Add caption |
oleh: Tyo Budi
PENGERTIAN SAFAR dan MAHRAM
Pengertian
Safar
Safar secara bahasa adalah melakukan perjalanan. Safar juga berarti
terbuka, disebut demikian karena orang
yang melakukan safar akan terbuka dirinya dari tempat tinggalnya ke tempat yang
terbuka. Begitu juga orang yang melakukan safar akan terbuka akhlaq, perilaku
dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika seseorang tidak mengadakan
perjalanan.[1]
Oleh karenanya,
wanita yang tidak menggunakan jilbab, sehingga sebagian anggota tubuhnya
terlihat disebut dengan “Safirah“ (wanita terbuka auratnya).
Adapun Safar secara istilah yaitu keluarnya seseorang dari rumahnya
dengan maksud melakukan perjalanan, dimana tempat dia dengan tempat yang akan
ditiju adalah tiga hari perjalanan atau lebih menggunakan onta atau dengan
jalan kaki. Atau menurut Hanafiyah sekitar 86 km dan 85 km menurut Syafi’yah.[2]
Para ulama berbeda pendapat
di dalam menentukan batasnya. Mayoritas ulama menentukan bahwa safar adalah
perjalanan yang jaraknya lebih dari 85 km. Sedangkan sebagian lainnya
mengatakan, batasan suatu perjalanan disebut dengan safar atau tidak,
dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat masing-masing. Mereka berpedoman
dengan kaidah fiqih yang menyatakan: “Setiap istilah yang tidak mempunyai
batasan di dalam bahasa Arab, dan tidak pula dalam syariat (al-Qur’an dan
sunnah), maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat”
1.
Pengertian
Mahram
Mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah
dengannya. [3]
Mahram bagi wanita menurut Abi
Maryam Majd Fathi Said adalah siapa saja yang diharamkan menikah dengannya
secara mutlak (selamanya) seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki,
dan yang dihukumi sama dengan mereka melalui susuan, demikian pula suami dari
putri-putrinya (menantu) yang telah bercampur dengan mereka (yakni menantu
tersebut telah melakukan jima’ dengan putrinya sebagaimana layaknya suami
istri). Termasuk dalam hitungan mahram bagi wanita adalah suaminya.” (Al Manhiyat Al ‘Asyr Li An Nisa’, hal:68)
DALIL LARANGAN SAFAR TANPA MAHRAM BAGI WANITA
1. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ
إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا
وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا
"Janganlah wanita safar (bepergian jauh) kecuali bersama
dengan mahromnya, dan janganlah seorang (laki-laki) menemuinya melainkan wanita
itu disertai mahromnya. Maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sesungguhnya aku ingin pergi mengikuti perang anu dan anu,
sedangkan istriku ingin menunaikan ibadah haji.” Beliau bersabda: “Keluarlah
(pergilah berhaji) bersamanya (istrimu)". [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari
IV/172), Muslim (hal. 978) dan Ahmad I/222 dan 246]
2. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu
'anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ مَعَ
ذِي مَحْرَمٍ
"Janganlah seorang wanita safar sejauh tiga hari (perjalanan)
melainkan bersama dengan mahramnya". [HR. Imam Bukhari (1087), Muslim
(hal. 970) dan Ahmad II/13; 19; 142-143; 182 dan Abu Daud]
3. Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
"Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada
Allah dan hari akhir safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram
(yang menyertainya)". [HR. Imam Bukhari (Fathul Baari II/566), Muslim
(hal. 487) dan Ahmad II/437; 445; 493; dan 506]
4. Dari Qaz’ah
maula Ziyaad berkata: "Aku mendengar Abu Sa’id (Al-Khudry Radhiyallahu
'anhu), yang telah mengikuti dua belas peperangan bersama Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, berkata: “Empat perkara yang aku dengar dari rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang membuat aku takjub dan kagum, yaitu:
“Janganlah seorang wanita safar sejauh dua hari (perjalanan) tanpa disertai
suami atau mahramnya, janganlah berpuasa pada dua hari Idul Fitri dan Idul
Adlha, janganlah sholat setelah mengerjakan dua sholat yaitu setelah sholat
Ashar sampai tenggelam matahari dan setelah sholat Subuh sampai terbit
matahari, dan janganlah bepergian jauh kecuali menuju tiga masjid: masjidil
Haram, masjidku (masjid nabawi) dan masjidil Aqsho." [HR. Imam Bukhari (Fathul
Baari IV/73), Muslim (hal. 976) dan Ahmad III/34 dan 45]
BENTUK-BENTUK SAFAR dan HUKUMNYA bagi WANITA
Safar yang dilakukan oleh wanita bisa dibagi menjadi tiga bentuk:
Pertama: Safar Mubah, seperti melakukan perjalan untuk rekreasi.
Kedua: Safar Mustahab (yang dianjurkan), seperti melakukan perjalanan
untuk mengunjungi orang sakit atau
menyambung silaturahim. Imam Baghawi menuturkan, “Para ulama tidak
berbeda pendapat tentang ketidakbolehan seorang perempuan melakukan perjalanan
yang bukan wajib, kecuali harus disertai suaminya atau mahramnya. Kecuali bagi
perempuan kafir yang masuk Islam kemudian ingin berhijrah dari Dar al-Harbi
(Negara Kafir) atau dia dalam keadaan ditawan musuh dan bisa lepas.” [4]
Ketiga: Safar Wajib, seperti melakukan perjalanan untuk melaksanakan
ibadah haji, menolong orang sakit, dan berbakti kepada orang tua. Jika seorang
wanita melakukan safar dalam bentuk ketiga ini tanpa mahram, para ulama berselisih pendapat tentang status hukumnya.
Pendapat Pertama, seorang wanita tidak boleh melaksanakan ibadah
haji kecuali dengan mahramnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam
salah satu riwayat dari beliau. Mereka berdalil dengan keumuman hadits yang
melarang seorang wanita melakukan safar tanpa mahram, diantaranya adalah hadits
Ibnu Abbas ra bahwa dia mendengar Nabi
saw bersabda: “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan
seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali
bersama mahramnya.”Lalu ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku
telah mendaftarkan diriku untuk mengikuti suatu peperangan sedangkan istriku
pergi menunaikan hajji.”Maka Beliau bersabda, “Tunaikanlah haji bersama
istrimu.” (HR. Bukhari).
Hadits tersebut
menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi seorang wanita muslimah.
Pendapat Kedua, seorang wanita muslimah dibolehkan melaksanakan
ibadah haji tanpa mahram. Mahram bukanlah syarat wajib haji bagi seorang wanita
muslimah.Ini adalah pendapat Hasan Basri, Auza’i, Imam Malik Syafi’I, dan Ahmad
dalam salah satu riwayat dari beliau, serta pendapat Zhahiriyah. Pendapat ini
dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam riwayat terakhir beliau[5].
Imam Malik menyatakan bahwa mahram bisa diganti dengan rombongan
wanita yang bisa dipercaya selama perjalanan aman. Imam al-Baji al-Maliki
berkata: “Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu
dalam keadaan sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah
rombongan sangat banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang
ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang
banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan, maka seperti ini
dianggap aman bagi wanita yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita.( Al-Muntaqa:
III/17)
Dalil mereka
adalah sebagai berikut:
Dalil Pertama,
hadits Adi bin Hatim ra, bahwa Nabi saw bersabda:
“Seandainya
kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai
kendaraan berjalan dari Al-Hirah hingga melakukan thawaf di Ka’bah tanpa takut
kepada siapapun kecuali kepada Allah.” (HR. Bukhari).
Hadits tersebut
berisi tentang pujian dan sanjungan pada suatu perbuatan, hal itu menunjukkan
kebolehan.Sebaliknya hadist yang mengandung celaan kepada suatu perbuatan
menunjukkan keharaman perbuatan tersebut.[6]
Dalil Kedua,
atsar Ibnu Umar ra.
Dari Ibnu Umar
bahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya.Kemudian beliau berhaji
dengan mereka.Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu
Umar.Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram.(Disebutkan Ibnu Hazm
dalam al-Muhalla).
Dalil Ketiga, atsar Aisyah:
Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa
mahram adalah syarat wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata, “Apakah
semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?” (Riwayat Baihaqi).
Dalil Keempat, kaidah fiqhiyah.
“Dalam masalah ibadah mahdhah dasarnya adalah ta’abbud (menerima apa adanya tanpa
dicari-cari alasannya, seperti jumlah rakaat shalat) dan dalam masalah muamalah
dasarnya adalah ta’lil (bisa dicerna
dengan akal dan bisa dicari alasannya, seperti jual beli dan pernikahan).”
Masalah safar wanita termasuk dalam katagori muamalah, sehingga
bisa kita cari alasan dan hikmahnya, yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu
sendiri dan ini bisa terwujud dengan adanya teman-teman wanita yang bisa
dipercaya apalagi dalam jumlah yang banyak dan jalan dianggap aman.
Dalil Kelima, kaidah fiqhiyah.
“Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut
perubahan waktu, keadaan, tempat dan perorangan.”
Berdasarkan kaidah tersebut, sebagian ulama kontemporer seperti
Syaikh Abdurrazaq Afifimembolehkan seorang wanita bepergian sendiri atau
bersama beberapa temannya yang bisa dipercaya dengan naik pesawat, diantar oleh
mahramnya ketika pergi dan dijemput juga ketika datang. Bahkan keadaan seperti ini jauh lebih aman
dibanding jika seorang wanita berjalan sendiri di dalam kota, khususnya
kota-kota besar. (Fatawa wa Rasail: I/201)
Dalil Keenam, kaidah fiqhiyah.
“Apa-apa yang diharamkan karena dzatnya, tidaklah dibolehkan
kecuali dalam keadaan darurat, dan apa-apa yang diharamkan dengan tujuan
menutup jalan (kemaksiatan), maka dibolehkan pada saat dibutuhkan.”
Ketidak bolehan wanita melakukan safar tanpa mahram tujuannya untuk
menutup jalan kemaksiatan dan bahaya baginya. Oleh karena itu, hal itu menjadi
dibolehkan manakala ada kebutuhan, khususnya jika ditemani dengan rombongan
yang dipercaya dan keadaan jalan aman.
Pendapat yang kuat:
Pendapat yang kuat bahwa mahram bukanlah syarat wajib haji bagi
wanita muslimah berdasarkan hadits dan atsar di atas.Tetapi boleh bersama
rombongan perempuan yang bisa dipercaya, khususnya jika keadaan aman.
Adapun hadits
Ibnu Abbas yang mensyaratkan mahram, peristiwa tersebut bukan pada haji wajib,
tetapi pada haji yang sunnah. Sebab, haji baru diwajibkan pada tahun 10 H,
dimana Rasulullah pada waktu itu juga melaksanakan ibadah haji.
Walaupun demikian, diharapkan bagi wanita yang ingin melaksanakan
haji dan umrah atau melakukan safar wajib lainnya, hendaknya bersama mahramnya,
karena itu lebih terhindar dari fitnah dan marabahaya lainnya. Ini pada safar
wajib, tentunya dalam safar mubah dan mustahab lebih ditekankan lagi. Tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu yang dibutuhkan
sekali, kita bisa mengambil pendapat ulama yang membolehkan dengan
syarat-syarat yang sangat ketat. Dengan demikian Islam dipahami sebagai agama
yang selalu menjaga kehormatan dan keselamatan wanita, sekaligus memberikan
solusi-solusi yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara agama maupun secara
sosial disaat tidak ada pilihan lain.
KESIMPULAN
Diantara bentuk kesempurnaan Islam
adalah ia sangat menjunjung tinggi martabat seorang wanita. Disaat agama-agama
lain merendahkan kedudukan wanita, Islam dengan syumuliyah nya sangat
memperhatikan hak-hak mereka. Sedangkan diantara perhatian Islam adalah
mengharuskan bagi mereka tatkala dalam bersafar
adanya mahram yang menemaninya. Hal ini tidak lain hanyalah untuk
menjaga dirinya dalam perjalanan yang ia lakukan dari gangguan yang tidak
diinginkan.
Para ulama’ sepakat akan keharusan
keikutsertaan mahram bagi wanita dalam safar dalam safar yang mubah dan
mustahab. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai keikutsertaan mahram
bagiwanita dalam safar yang waajib, seperti menunaikan ibadah haji dan yang
lainnya. Apakah ia wajib ditemani oleh mahramnya atau ia boleh bersama
rombongan sesama wanita yang lain?.
Pendapat yang kuat adalah ia tidak mengapa tidak disertai mahramnya
dengan syarat ia bersama rombongan wanita yang tsiqah.
REFERENSI
2.
Ibnu
Hajar al-Asqalani, Umdatu al-Qari, (Beirut: darul kutub Al-Islamiyah,
1971 M)
3.
Abi
Zakaria Muhyiddin An-Nawawi, al-Majmu’, (Beirut:darul Fikr, 1417 H/1996
M)
4.
al-Muntaqa:
5.
Ibnu
Hajar Fathu al-Bari, (Dar al-Kutub al-Islamiyah:Beirut, 1410 H/1989 M)
6.
Ibnu
Mandhur, Lisan al-Arab, (Beirut:Daru Shadir, tt)
7.
Prof,Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, (Darul
Fikr:Damaskus, 2008 M)
8.
(Mukhtar as-Shihah: 1/ 56)
[1] (Ibnu
Mandhur, Lisan al-Arab, (Beirut:Daru Shadir, tt)
[2]
Prof.Dr Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, ( Darul
Fikr:Damaskus,1978 M), Vol.IX, hlm.480
[3]Imam
Muahammad bin Abi Bakar Ar-Razi, Mukhtar as-Shihah, (Beirut:Dar
al-Kutubal-Islamiyah, tt), Vol.1, Hal. 56)
[5] Abi
Zakaria muhyidddin an-Nawawi, al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, (Beirut:Darul
Fikr), Jilid.VIII Hal.382
0 komentar:
Posting Komentar