Oleh : Ace Faturrahman
I.
Pendahuluan
Madzhab yang umumnya diartikan sebagai sebuah aliran atau ajaran
merupakan sebuah realita sejarah yang tidak mungkin dihindari ataupun
dihilangkan, karena pengaruhnya kita rasakan hingga sekarang. Madzhab dalam literatur
Islam dibagi menjadi dua, madzhab dalam aqidah dan madzhab dalam fikih, madzhab
dalam aqidah adalah madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah, dalam ranah aqidah
umat Islam semuanya harus bermadzhab yang sesuai dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah,
maka setiap yang menyelisihi madzhab ini dikatakan sesat. Adapun madzhab dalam
fikih berbeda dengan madzhab dalam aqidah, yang sering diistilahkan dengan
perbedaan di dalam masalah cabang (furu’), maka madzhab dalam fikih jauh
lebih mudah dan lebih bisa ditoleransi perbedaanya, oleh karenanya, perlu
kajian yang mendalam mengenai hal ini
agar umat Islam tidak terpecah belah hanya karena masalah furu’iyah
sehingga kaum muslimin bisa mendudukkannya secara proporsional.
Bagi seorang muslim diharuskan menjalankan syariat Islam yang berpedoman
dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah dan juga sesuai dengan pemahaman salafush
shalih. Dalam menjalankan ibadah pada asalnya setiap muslim harus mengambil
hukum – hukum dari kedua sumber utama
syariat yang menjadi landasan yang wajib ditaati dan diamalkan.namun
kenyataannya realita membuktikan bahwa tidak semua umat Islam mampu
mengeluarkan hukum – hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ternyata hanya segelintir orang yang memiliki kemampuan dan kelayakan
melakukannya, seperti imam – imam madzhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali).
Mengingat karena hanya orang –
orang pilihanlah yang sudah memiliki kualifikasi sampai kepada level mujtahid
yang bisa meng-istinbath-kan sebuah hukum syar’i. tentunya bagi yang
bukan mujtahid tidak ada pilihan lain selain mengambil hukum – hukum yang telah
disimpulkan orang para mujtahid atau harus mengikuti imam mujtahid yang biasa
disebut dengan bermadzhab.
Bermadzhab memang merupakan sebuah jalan untuk bisa memahami nash-nash
syar’i baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, karena tidak semua orang bisa
menginterpretasikan dalil-dalil yang ada dan mengkonklusikan (istimbath)
sebuah hukum, hanya orang – orang yang memiliki kemampunan berijtihad atau menggali sendiri hukum dari Al-Qur’an dan
as-Sunnah dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya yang mampu untuk menyimpulkan
sebuah hukum.
Dalam sejarah Islam, madzhab fikih sebenarnya tidak hanya empat (Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad Rahimahumullah) tetapi banyak mujtahid yang lainnya bahkan
dari segi keilmuanpun sebenarnya tidak kurang,
ada Al-Hasan Al-Bashri, Sufyan ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad dan masih
banyak tokoh – tokoh mujtahid lainnya, akan tetapi sejarah kemudian menunjukkan
– tentu saja dengan kehendak Allah Ta’ala – bahwa pemahaman dan ajaran yang
berkembang adalah yang disampaikan dan diajarkan oleh empat imam yang terkenal
hingga sekarang, yang lembat laun dikenal sebagai madzhab yang empat (Al-Madzhabiul
Arba’ah).[2]
Dari realita akan banyak madzhab dalam fikih, timbul polemik di tengah
umat, mereka dihadapkan dengan dua kubu besar yang saling bertentangan, satu
pihak mengatakan wajib bermadzhab bahkan sampai kepada fanatik madzhab
tertentu, di lain pihak yang begitu ektrim dengan menolak madzhab, mereka menghasung
gerakan anti madzhab dengan alasan kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan
menafikan madzhab sebagai sarana untuk memahami nash – nash syar’i.
Berpijak dari fakta itulah, penulis terdorong untuk menelaah kembali
pembahasan mengenai hukum bermadzhab, dan bagaimana cara menyikapinya, karena
sikap yang keliru dalam permasalahan ini akan menimbulkan kesalahan yang fatal.
Wallahul musta’an.
II.
Definisi Madzhab
Madzhab (مذهب) secara bahasa adalah jalan yang ditempuh
atau yang dilewati. Madzhab juga diartikan dengan sesuatu yang dituju manusia,
baik yang bersifat materi atau non materi.[3] Kata madzhab
merupakan pecahan kata dari tiga huruf dza, ha, ba. Dari tiga huruf
itulah terbentuk kata “ dzahaba- yadzhabu-dzahaban” yang umumnya diartikan
dengan pergi atau berlalu. dan kata madzhab adalah sebuah nama tempat atau nama
waktu.[4]
Namun
selain itu dapat juga berarti : Berpendapat, jika seseorang mengambil pendapat
orang lain, dikatakan :
ذَهَبَ إِلَى قَوْلِ فُلَانٍ
Dia
berpendapat dengan pendapat si fulan.[5]
Dari makna
inilah, kata madzhab lebih mendekati maknanya, yang secara bahasa umumnya
diartikan dengan istilah aliran, doktrin, atau ajaran. Bahkan kata madzhab itu
sendiri sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.[6] Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa arti dari madzhab adalah haluan
atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat madzhab,
yaitu madzhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi’i). [7]
Menurut
istilah madzhab adalah jalan atau cara yang telah digariskan oleh seseorang
atau sekelompok orang, baik dalam masalah kayakinan, prilaku, hukum, dan
lainnya.[8]
Dijelaskan
dalam al-Mu’jam al-Wasith yang dimaksud madzhab menurut para ulama adalah kumpulan pandangan
dan teori ilmiah serta filsafat yang
satu sama lain berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan yang erat.[9]
Dengan
demikian yang dimaksud madzhab fikih adalah metode yang ditempuh oleh seorang
ahli fikih (ulama) yang memiliki derajat mujtahid, di mana dia memiliki ciri
khas tersendiri di kalangan ahli fikih dalam menentukan sejumlah hukum-hukum
dalam bidang furu’ (cabang agama).[10]
Sedangkan
untuk pengertian bermadzhab (التمذهب) adalah iltizamnya
seseorang (bukan orang awam ) dengan madzhab
mujtahid tertentu dalam perkara ushul dan furu’ atau
salah satu dari keduannya, atau dengan menisbahkan madzhab kepadanya.[11]
III.
Sejarah Terbentuknya Madzhab
Dalam sejarahnya, fikih mengalami fase pertumbuhan, agar membantu kita
dalam memahami terbentuknya madzhab dalam fikih :
Fase pertama : fase penetapan syari’at (Marhalah Tasyri’), fase
ini dimulai dari diutusnya Rasulullah menjadi nabi sampai dengan wafatnya
Rasulullah di bulan Rabiul awal pada tahun 11 hijrah.[12] Fase
pembentukan syari’at juga masih tetap berlaku pada masa khulafaurrasyidin
sesudah wafat Rasulullah, karena mereka juga mendapat legalitas (pengesahan)
dari Rasulullah untuk diikuti segala keputusannya, hal ini bukan berarti mereka
menetapkan syari’at yang tidak pernah Allah tetapkan.[13]
Fase kedua : fase peletakan dasar fikih (Marhalah Ta’sis li al-Fiqh),
tahun 41 H – 132 H. setelah masa khulafaurrasyidin datanglah masa
sahabat yunior dan tabi’in senior, fase
ini setelah Muawiyah berhasil menyatukan negeri – negeri kaum muslimin
seluruhnya. Ditandai dengan Al-Hasan bin
Ali menyerahkan urusan kaum muslimin kepada Muawiyah di tahun 41 H, yang
dinamakan dengan amm al-jamaah,[14]
mereka (sahabat) kemudian mengajarkan kepada para tabi’in dari generasi awal
yang kemudian menjadi tokoh – tokoh terkenal di kalangan tabi’in (Kibaruttabi’in),
fase ini kekuasaan Islam semakin luas, namun demikian kaum muslimin saat itu
tidak kekurangan ulama yang terdiri dari kalangan tabi’in yang telah berguru
dari para sahabat, sehingga tidak ada satupun kota yang dikuasai Islam waktu
itu kecuali padanya terdapat mufti dan para fuqaha yang mengajarkan agama dan
memberikan fatwa – fatwa tentang agama Islam.[15]
Yang
menarik dari fase ini adalah adanya polarisasi atau corak dan pendekatan dalam
penetapan hukum yang pada akhirnya akan berpengaruh pula pada generasi
berikutnya, maka dikenallah pada fase ini dua aliran yang memiliki
karekteristiknya masing – masing. Aliran pertama dikenal sebagai “Madrasah ahlu
hadits”[16]
dari madrasah ini lahir tiga madzhab yang terkenal ( Madzhab Maliki,
Syafi’i, dan Hambali), sedangkan aliran yang kedua dikenal sebagai “ madrasah
ahlu ra’yi ”[17]
madrasah ini melahirkan ulama dari
kalangan tabi’in, diantaranya : Alqamah, an-Nakha’i, Syuraih bin al-Harits
al-Kindi, Sa’id bin Jubair, Hammad bin Abi Salman dll. Dan kemudian dari
madrasah ini nantinya muncul pendiri madzhab Hanafi.[18]
Fase ketiga : fase kematangan dan kesempurnaan (Marhalah an-Nuhd wa
al-Kamal), atau dikenal dengan masa kecemerlangan fikih, 132 – 350 H. fase
ini hasil dari proses fase – fase sebelumnya mengkristal dan mengalami
puncaknya, banyak faktor yang menyebabkan lahirnya fase cemerlang ini yaitu :
1.
Lahirnya para mujtahid termasuk diantaranya imam
madzhab yang empat (A’immah al-Madzhahib al-Arba’ah)[19]
Sebenarnya
madzhab lahir dari pergulatan yang intens seorang ulama mujtahid yang selalu
berinteraksi dengan sumber – sumber hukum Islam,[20] dari
intensitas yang tinggi itu lahirlah pengikut masing –masing mujtahid tersebut
yang berawal dari murid – murid yang berguru langsung kepadanya.[21]maka lama –
kelamaan terjadilah komunitas dari masing – masing pengikut setiap syaikh
hingga akhirnya terjadilah polarisasi (corak) di antara mereka, lalu sebagai
identitas disebutlah bahwa pengikut syaikh ini adalah bermadzhab ini , dan
syaikh itu bermadzhab itu, kemudian disusun lagi kitab – kitab khusus untuk
menguatkan, sehingga tidaklah berlebihan kalau dikatakan murid – muridnyalah
yang sebenarnya menjadikan upaya dan kesungguhan para mujtahid tersebut lambat
laun mengkristal menjadi sebuah madzhab.[22]
2.
Perhatian yang besar dari para khalifah Bani Abbasiyah
terhadap kajian fikih dan para fuqahanya.
3.
Maraknya pembukuan dari berbagai disiplin ilmu
4.
Banyaknya terjadi adu argumentasi (Munazharaat)
Fase keempat : masa kejumudan dan fanatisme madzhab (Marhalah Jumuud
wa Ta’ashub Madzhabi).[23]
IV.
Sebab Terjadinya Perbedaan Madzhab
Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu
menjelaskan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di antara
ulama, yaitu :
1.
Perbedaan terhadap makna lafadz-lafadz arab
terkadang
nash-nash syar’i ada yang bermakna mujmal
(umum), musytarak (kata yang memiliki banyak makna), terkadang ada yang
bermakna haqiqiy dan majaziy, dan perbedaan-perbedaan yang menyangkut bahasa
yang memberikan peluang terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama.
2.
Faktor-faktor yang menyangkut periwayatan hadits
Sebagian besar
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama adalah adanya hadits yang
diperselisihkan keshahihannya, sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini
shahih, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa hadits ini dhaif, jika para
ulama masih memperselisihkan akan keshahihannya hadits tersebut merupakan celah yang menjadikan
terjadi perbedaan karena akan berbeda pula dalam menyimpulkan hukum terkait
dengan hadits yang diperselisihkan akan keshahihannya.
3.
Perbedaan sumber hukum yang dijadikan sandaran dalam
menyimpulkan sebuah hukum syar’i, seperti istihsan, mashlahah mursalah,
istishhab, sadd dzari’ah, perkataan sahabat Madinah yang masih diperselisihkan apakah bisa
dijadikan dalil atau tidak.
4.
Faktor-faktor yang menyangkut kaidah-kaidah ushuliyah,
seperti kaidah al-amm al-makhsush bukan hujjah, mafhum bukan
hujjah, nasikh, dan mansukh dan lain-lain.
5.
Berijtihad dengan qiyas
6.
Adanya Ta’arudh (saling berlawanan) dan tarjih
(merajihkan) di antara dalil-dalil.[24]
V.
Hukum Bermadzhab
Di sini terjadi perselisihan pendangan di kalangan umat Islam, yang
terbagi kepada dua golongan besar.
A. Tidak wajib :
sebagian ulama Ushul berpendapat bahwa bermadzhab itu tidak wajib. Umat Islam
wajib mengikuti apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ulama yang
berpendapat demikian adalah Khujandi, Nashiruddin al-Albani dan Ibnu Hazm.
Bagi golongan ini, tidak wajib
mengamalkan pendapat madzhab tertentu dalam setiap masalah.[25]
Ia boleh berpindah dan mengamalkan pendapat dari madzhab lain.[26]
Iltizam terhadap satu madzhab saja merupakan kesulitan dan kesempitan, padahal
adanya beberapa madzhab merupakan rahmat, nikmat dan karunia.[27] Muhammad Sulthan al-Ma’shumi al-Khujandi
al-Makki, beliau mengatakan tidak wajib bagi seorang muslim untuk melazimi
salah satu madzhab dari empat madzhab, dan barangsiapa yang melazimi salah
satu madzhab dalam setiap
permasalahan-permasalahannya maka ia adalah orang yang fanatik salah, orang
yang bertaklid buta, dan yang memecah belah agama sehingga terjadinya
golongan-golongan dan Allah telah melarang dari berpecah belah dalam agama.[28]
B. Wajib
: Golongan ini mengatakan bermadzhab itu harus bahkan bagi orang awam hukumnya
wajib,[29]
Al-Amidi mengatakan bahwa orang awam dan orang yang tidak memiliki keahlian
berijtihad, walaupun dapat menghasilkan sebagian ilmu yang diakui (mu’tabar)
dalam berijtihad, ia wajib mengikuti pendapat para mujtahid dan berpegang
dengan fatwa-fatwanya, demikian menurut ahli tahqiq dan ulama ushul.[30] Khudhari Bek
pula berpandangan wajib atas orang awam meminta fatwa dan mengikuti para ulama.[31]
mayoritas ulama ushul berpendapat bahwa bermadzhab
bagi orang awam itu harus, bahkan bagi orang awam yang benar-benar murni,
bermadzhab itu wajib. Hanya saja mereka berbeda pendapat, apakah mengikuti
madzhab itu dalam arti kata taqlid [32] atau ittiba.[33] keduanya
memberikan kesimpulan yang sama yaitu bermadzhab, mereka juga tidak membedakan
antara orang awam yang memang tidak faham tentang persoalan hukum dengan orang
yang berpengetahuan tetapi belum sampai ke tahap mujtahid. Kedua golongan ini
dianggap awam, dan bagi orang awam kewajiban mereka adalah bertanya kepada ahlu
ilmi yaitu mujtahid, jika ia bertanya atau mengikuti seorang mujtahid maka ia
disebut bermadzhab.[34]
Dari
kenyataan yang ada antara kedua golongan, nampaknya sangat sulit untuk
mengkompromikan keduanya namun ada titik temu antara kedua golongan ini yaitu mereka
bersepakat tentang keharusan mengikuti pendapat atau fatwa para imam madzhab.
C.
Berpegang Pada
Satu Madzhab
Wahbah
az-Zuhaili membagi pandangan ulama ushul fikih dalam masalah ini menjadi tiga :
Pendapat pertama mengatakan bahwa
wajib melazimi madzhab imam tertentu, karena ia berkeyakinan bahwa itu adalah
yang benar, dan wajib baginya beramal dengan apa yang ia yakini.
Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib bertaklid
dengan madzhab imam tertentu dalam setiap permasalahan dan peristiwa yang
dihadapi. Bahkan ia boleh bertaklid kepada mujtahid mana pun yang ia kehendaki,
walaupun ia beriltizam dengan madzhab tertentu seperti Abu Hanifah, Imam
Syafi’i atau yang lainnya, tidak ada kewajiban untuk terus menerus
mengikutinya, bahkan membolehkan baginya untuk berpindah dari madzhabnya ke
madzhab yang lain, karena tidak ada kewajiban kecuali mengikuti apa yang
diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan untuk
bermadzhab dengan madzhab seseorang dari para imam, Allah hanya mewajibkan
untuk mengikuti ulama dan tidak mengkhususkan dengan satu imam saja tanpa imam
yang lain, sebagaimana firman Allah :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون
“…Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu
tidak mengetahui.”
(Q.S. Al – Anbiya
: 7).”
Demikian
juga orang yang meminta fatwa di zaman para sahabat dan tabi’in mereka tidak
melazimi madzhab tertentu, tapi mereka bertanya kepada orang yang bersedia menjawab tanpa
terikat dengan satu orang saja tidak dengan yang lain, dan ini adalah ijma
mereka atas ketidakwajiban bertaklid dengan seorang imam, atau mengikuti
madzhab tertentu dalam setiap permasalahan, iltizam dengan satu madzhab saja
merupakan kesulitan dan kesempitan, padahal adanya beberapa madzhab merupakan
nikmat, karunia, dan rahmat bagi umat, Pendapat yang kedua adalah pendapat yang
rajih dikalangan ulama ushul fikih.
pendapat ketiga adalah pendapat imam
Al-Amidi, Al-Kamal bin al-Hamam memperinci masalah ini sebagai berikut : bahwa
amalan seseorang dengan melazimi sebagian permasalahannya dalam madzhab
tertentu, maka tidak boleh baginya bertaklid kepada orang lain dalam masalah
tersebut, jika pada sebagian tertentu ia tidak beramal dengan madzhab yang
dianutnya maka boleh mengikuti madzhab yang lain, karena dalam syari’at tidak
ada kewajiban mengikuti madzhab yang diiltizaminya, hanyasanya syari’at
mewajibkan mengikuti ulama tanpa mengkhususkan orang alim tertentu.[35]
VI.
Golongan
yang menolak madzhab
(Allamadzhabiyah)
Terdapat sebagian
kelompok yang kononnya terlalu progresif dalam ilmu agama yang berpendapat
bahwa masyarakat awam pada hari ini tidak perlu mengikuti madzhab dan ulama
manapun, yang perlu diikuti adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah.[36]
Siapa pun yang mengikuti madzhab
termasuk pelaku bid’ah mungkar, bahkan ada yang lebih dangkal dengan menyatakan
mereka sesat dan kafir.[37]
Apabila
kenyataan itu keluar dari mulut seseorang, maka terbukti sekali kedangkalan
mereka dalam memahami pembahasan ulama mu’tabar, mereka membayangkan
ulama madzhab terdahulu mengeluarkan fatwa tanpa sandaran atau serampangan
terhadap nash Al-Qur’an dan as-Sunnah.[38]
Pemahaman anti madzhab
ini sangat berbahaya, ia akan tergelincir dalam pemahaman yang salah yang
disebabkan oleh keangkuhan hati yang egois dalam menerima suatu perkara yang haq,
dan akan terjadi pengamalan suatu hukum yang sesuai dengan hawa nafsunya dengan
mengambil yang enak – enak saja. Tentu akan terjadi kesalahpahaman dalam
memahami nash-nash syar’i.
VII.
Larangan Fanatik Madzhab dan Taklid Buta
Sejarah mencatat fikih mengalami beberapa fase
pertumbuhan, dimulai sejak diutusnya Rasulullah untuk membawa risalah Islam,
kemudian fikih mengalami masa kematangan dan kesempurnaan atau yang dikenal
juga dengan masa kecemerlangan fikih sampai kepada fase kejumudan dan fanatisme
madzhab yang sampai sekarang pengaruhnya masih dirasakan.
Fenomena fanatisme madzhab sangat nyata dan tak bisa dielakkan karena
kecenderungan pengikut madzhab tertentu adalah fanatik terhadap madzhab yang
diikutinya, membela mati-matian, mencari pembenaran terhadap madzhabnya, bahkan
menganggap madzhabnya lah yang paling benar dan yang lain salah, dan fenomena
fanatisme inilah yang bisa berpotensi memecah belah persatuan umat.
Fanatisme madzhab adalah istilah yang diberikan kepada sikap yang hanya
mengakui madzhabnya sebagai landasan dalam beragama dan menolak pendapat lain
walaupun didukung oleh dalil yang kuat.[39]
Berpedoman dengan Satu madzhab dan kemudian menolak mentah-mentah
pendapat di luar madzhabnya yang jelas – jelas didukung oleh dalil-dalil yang
kuat yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, di samping hal tersebut
merupakan sikap yang tidak diajarkan dalam agama Islam, bertentangan dengan
sunnah Rasulullah, para sahabatnya dan salafush shalih, hal tersebut juga
memberikan dampak negatif yang tidak sedikit, baik bagi pelakunya maupun umat
Islam secara umum.[40]
Dampak negatif bagi pelakunya – diakui atau tidak – akan menjadikan
pendapat – pendapat madzhab yang dianutnya lebih diagungkan daripada Al-Qur’an
dan As-Sunnah sehingga ia menolak kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya, ia
akan mementahkan dalil yang shahih karena bertentangan dengan madzhabnya,
berpegang dengan argumen yang rapuh karena berpaling dari argumen yang kuat,
demi kepentingan madzhabnya ia rela merubah nash yang benar, dalam rangka menjunjung
madzhabnya ia pun rela memalsukan dalil dan juga bisa jadi ia akan
mempermainkan dalil demi membela madzhabnya.
Bagi umat Islam secara umum tidak diragukan lagi bahwa dampak paling
nampak dari sikap fanatisme madzhab
terjadinya perpecahan umat, menimbulkan api perselisihan dan permusuhan,
persatuan umat terasa mustahil terwujud bila penyakit fanatik madzhab masih ada
pada tubuh umat.
Syeikh
Muhammad Ied al-Abbasi dalam kitab Bid’atu at-Ta’asshub al-Madzhabi
beliau mengatakan : Kami tidak menentang kajian fikih madzhab pada masa
sekarang, dengan syarat yaitu tanpa adanya ta’asshub (fanatisme) madzhab,
karena ta’asshub madzhablah yang tidak kami sukai dan kami perangi.[41]
VIII. Masalah Bermadzhab
Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika kehidupan
manusia, tak terkecuali dalam perkara-perkara dien, dan lebih khusus lagi dalam
ranah fikih yang notabene bersifat ijtihadiyah, perbedaan ini merupakan
sebuah rahmat dan kemudahan dari Allah bagi umat Islam.
Tentunya
hal yang tak kalah pentingnya untuk dipahami dalam masalah ini adalah sikap
proporsional terhadap perbedaan yang terjadi, yaitu menempatkan sesuatu sesuai
pada tempatnya, agar tidak terjadi kekeliruan dalam persoalan ini, berikut ini
beberapa masalah yang terkait yang harus disikapi dengan proporsional :
1. Taklid
Secara bahasa berarti menggantungkan kalung di
leher. Sedangkan secara istilah berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa
tahu dalilnya[42],
tidak mengetahui kekuatan dalilnya[43] atau
iltizamnya seorang mukallaf terhadap suatu pendapat dalam ranah hukum syar’i yang mana
pendapat itu sendiri bukan merupakan sebuah hujjah.[44]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah memberikan kriteria tentang
jenis-jenis taklid yang diharamkan :
- Berpaling dan tidak menghiraukan dari apa yang
Allah turunkan karena merasa cukup dengan apa yang telah dia ikuti dari
ajaran nenek moyangnya.
- Taklidnya seseorang kepada orang yang tidak dia
ketahui apakah orang tersebut layak diikuti atau tidak.
- Taklid kepada seseorang padahal telah jelas
adanya dalil yang bertentangan dengan pendapat orang yang dia ikuti. [45]
Pada dasarnya memahami Islam adalah upaya yang harus
dilakukan secara terus menerus oleh setiap muslim, sebagai bentuk semangat
ajaran Islam yang menyerukan untuk beramal sesuai dalil yang shahih, mengetahui
landasan ilmu dalam beribadah dan beramal tidak hanya sekedar ikut-ikutan tanpa
disertai pemahaman, namun perbedaan tingkatan manusia dalam suatu ilmu merupakan sunatullah yang ada di dunia
ini, mereka yang tidak memiliki perangkat-perangkat berijtihad dan tidak mampu
untuk mengetahui suatu hukum syar’i beserta dalilnya maka ia harus bertaklid kepada seorang mufti (mujtahid)
yang ia percaya, meskipun terdapat mufti yang lebih pandai darinya.
Dan bagi mereka
yang dapat mempelajari dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ia tidak
boleh baginya mengikuti begitu saja suatu pendapat tanpa menyelidiki terlebih
dahulu kekuatan pendapat – pendapat tersebut jika disandingkan dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah.[46]
2. Talfiq
Secara umum
talfiq adalah mengamalkan dua pendapat madzhab atau lebih dalam suatu amalan
yang memiliki rukun-rukun atau cabang-cabang
yang lain sehingga darinya terkesan amalan baru yang tidak dipraktekkan
oleh para mutahid.
Misalnya
dalam hal wudhu, seseorang mengikuti madzhab Syafi’i yang cukup mengusap sebagian
kepala saat berwudhu, kemudian mengikuti madzhab Abu Hanifah dan Imam Malik
yang berpendapat bahwa wudhu’ tidak batal karena bersentuhan dengan wanita
tanpa syahwat.[47]
IX.
Sikap Terhadap Perbedaan Madzhab dan Pendapat Ulama
1. Sikap terhadap
para imam
Mereka adalah ulama
pilihan dari kaum muslimin, namun mereka bukanlah orang yang
ma’sum[48]
dari kesalahan. Setiap ijtihad mereka yang benar, maka mereka mendapat pahala
ijtihad dan pahala dari kebenaran ijtihadnya. Adapun bila ijtihad mereka salah,
mereka tetap mendapat pahala dari ijtihadnya dan mendapat udzur dari
kesalahannya. Mereka mendapat pahala dalam setiap keadaan. Tidak ada bagi
mereka celaan, aib, dan kekurangan karena kesalahan dalam ijtihadnya[49].
2. Sikap terhadap
masalah khilafiyah
Perbedaaan pendapat (ikhtilaf)
asalkan bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan metode pengambilan hukum
yang benar maka itu adalah rahmat bagi umat, perbedaan yang ada merupakan
sebuah kelapangan dan kelonggaran dari Allah bagi manusia, dan yang terpenting
dari ikhtilaf tersebut tidak boleh melahirkan pertentangan dan pertikaian
antara sesama muslim.
X. Kesimpulan
Tidak dipungkiri bahwa perbedaan pendapat
dalam masalah-masalah furu’iyah (ijtihadiyah) adalah realita
klasik yang sudah ada sejak generasi salaf, maka kita mesti memilih sikap yang
benar sehubungan dengan adanya banyak perbedaan. Sehingga kita dapat terhindar
dari taklid buta dan ta’asshub (fanatik) terhadap madzhab tertentu dan
memilih pendapat yang lebih benar dan bijak.
Telah disepakati bahwa Seorang
mujtahid tidak disyariatkan bertaklid kepada mujtahid lainnya dan mengambil
pendapat mujtahid lain yang berbeda serta meninggalkan pendapat sendiri.
Menurut mayoritas ulama, ijtihad dibolehkan bagi orang yang mampu berijtihad
dan taklid dibolehkan bagi orang yang tidak mampu berijtihad. orang yang belum
mencapai tingkatan mujtahid harus mengikuti seorang imam agar tidak
mengeluarkan pendapat yang ganjil dalam sebuah masalah. Dianjurkan untuk
mengkaji fikih dengan imam tertentu dengan syarat tidak ta’asshub
(fanatik buta), karena tuntutan zaman sekarang adalah memulai belajar melalui
salah satu imam madzhab kemudian menelaahnya dan setelah itu meninggalkan
pendapat yang jelas kesalahannya oleh dalil.
Adapun orang awam kewajiban
baginya adalah bertanya kepada orang yang berilmu, karena hakikat bermadzhab adalah bagi orang berilmu
yang mereka mengikuti madzhab tertentu berdasarkan dengan ilmu, dan orang awam tidak
mempunyai madzhab karena madzhabnya adalah madzhab orang yang memberi fatwa
kepadanya. Wallahu a’lam bisshawab.
[1] Disampaikan dalam munazharah
ilmiyyah di Ma’had A’ly An-Nuur, pada
hari Ahad, 13 Rabi’uts Tsani 1437 H / 24 Januari 2016 M.
[2] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan
dan cara menyikapinya, (Riyadh, Dar Khalid bin Al-Waleed for Pub. &
Dist, 2004), hlm. 25-26
[4] Muhammad bin Mukarram bin Mandzur
al-Ifriqi al-Misri, LIsan al-Arab, (Beirut, Dar Shadir), vol. 1 cet. 1,
hlm. 394
[6] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh
kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 11
[7] Bisa dilihat dalam “ Kamus Besar
Bahasa Indonesia”, oleh tim penyusun kamus besar bahasa Indonesia Depatemen
Pendidikan dan Kesehatan, Penerbit Balai Pustaka edisi ketiga hlm. 726
[8] Umar Sulaiman al-Asyqar,
Al-Madkhal ilaa asy-Syari’ah wa al-Fiqh al-Islami, (Oman, Dar an-Nafais,
2005 ), hlm. 205
[10] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh
kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 13
[11] Khalid bin Musa’id, At-Tamadzhub,
(Riyadh, Dar al-Tadmuriyah, 2013), Vol. 1, hlm. 87
[12] Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Madkhal ilaa asy-Syariah wa al- Fiqh al-Islami…hlm.
101
[14] Manna’ Qaththan, Tarikh at-Tasyri
al-Islami, (Beirut, Muassasatu ar-Risalah, 1997), hlm. 193
[16]
Dikatakan ahlu hadits karena aliaran ini sangat besar sekali perhatiannya
terhadap hadits – hadits Rasulullah dimana keputusan –keputusan hukum selalu
menyertakan hadits – hadits Rasulullah tidak mengherankan karena aliran ini
berpusat di Madinah yang pada waktu itu lebih dikenal dengan istilah Madrasah
Hijaz
[17] Karakteristik
aliran ini adalah sedikit mengunakan periwatan hadits, sebagai kompensasinya
mereka banyak menggunakan ra’yu (logika) dalam menetapkan hukum, hal ini
sama sekali bukan berarti mereka mengesampingkan hadits Rasul sebagai landasan
hukum dan mengutamakan pendapatnya, mengingat wilayah tempat tinggal mereka
(Irak) jauh dari dari pusat periwayatan hadits waktu itu (Madinah), karena itu
mereka banyak menggunakan analogi (qiyas) dan mencari sebab (Illat)
dari sebuah masalah, lalu menjadikan sebab tersebut sebagai perbandingan bagi
penetapan hukum dalam kasus yang berbeda dengan sebab yang sama.
[24] Wahbah az- Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu,(Damaskus, Dar al-Fikr, 2009), Vol. 1, hlm. 77-78
[28] Lihat
Muhammad Sulthan al-Ma’shumi al-Khujandi al-Makki, Hal al-muslim Mulzimun bittibai’
madzhabin mua’yyinin min al- Mazahahib al-Arba’ah, (Kuwait, Jami’ah Ihya
at-Turats al-Islam, tt), hlm. 7
[29] pendapat ini disarikan dari kitab yang berjudul “ alla
Madzhabiyah akhtharu bidatin tuhaddidu al-Syari’ah al-Islamiyah”
yang ditulis oleh DR. Said Ramadhan al-Buti, sebenarnya kitab ini beliau tulis untuk
membantah penyataan al-Khujandi dalam kitabnya
“ Hal al-Muslim mulzimun bittibai’ madzhabin mua’yanin min
al-mazhahib al-arba’ah ? ” yang menyatakan bahwa
pendapat al-Khujandi tersebut amat menyesatkan.
[30] Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam, (Kairo, Mussasat al-Halabi, 1955), Vol. 5, hlm.198
[32] Mengambil sebuah pendapat, bahwa
fulan berkata demikian, tanpa ilmu dan mengetahui dalil perkataannya.
[33] Soal
Aqidah Jakim, Bahaya Anti Madzhab, Mohd Aizam Mas’ud, Cawangan Aqidah, Bahagian
penyelidikan JAKIM, hlm. 2.
makna ittiba’ adalah Mengambil pendapatnya seorang mujtahid dengan
mengetahui dalilnya atau mengambil pendapat seseorang yang bukan mujtahid
setelah mengetahui dalil.
[35] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu…hal, 84
[36] Haji Jainal Sakiban al-Jauhari, Persoalan
Madzhab, (Johor, Majlis Agama Islam Negeri Johor, 2010), hlm. 5
[38] Ibid.
[39] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh
kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 51
[41] Shalah Shawi, Ats-Tsawabit wa al-Mutagayyirat fi Masiir
al-‘Amal al-Islamy, (Amerika, Akademik Syari’ah Amerika, 1430 H), hlm. 74
[42] Wahbah
az-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul Fikr, 1986), vol. 2,
hlm. 1120, lihat juga Abu al-Khitab al-Kalwadhani, At-Tamhid fi Ushul
al-Fiqh, (Jeddah: Dar al-Madani, 1985) vol. IV, hlm. 395, lihat juga
Muhammad bin Husain bin Hasan al-Jizani, Ma’alim fi Ushul al-Fiqh, (Riyadh:
Dar Ibnu al-Jauzi, 1996), hlm. 496
[43] Abdul
Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Muassasah Qurtubah), hlm. 410
[44] Sa’ad
bin Nashir bin Abdul Aziz asy-Syatsari, at-Taqlid wa Ahkamuhu, (Riyadh: Dar
al-Wathn, 1416 H), hlm. 29
[45] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’
laamu al-Muawaqqi’iin, (Beirut, Daar al-Jail, tt), Vol. 4 hlm. 187
[48] Yang disucikan dari berbuat salah
[49] Muhammad
bin Husain bin Hasan al-Jizani, Ma’alim fi Ushul al-Fiqh, (Riyadh: Dar
Ibnu al-Jauzi, 1996), hlm. 499
mantab...ijin share
BalasHapus