Oleh :
Herman Budi Zamroni
Pengertian :
Ghonimah
secara bahasa : keuntungan yang didapat dengan mudah
Secara Istilah adalah harta yang diperoleh dari musuh Islam melalui peperangan dan
pertempuran yang pembagiannya diatur oleh agama.
Nafal secara bahasa : tambahan
Nafal secara bahasa : tambahan
Secara Istilah adalah harta rampasan perang yang
diberikan oleh imam secara khusus untuk tentara tertentu sebagai dorongan
kepadanya agar aktif bertempur.
Salaba
secara bahasa : merampas
Secara Istilah adalah perlengkapan perang
(termasuk kuda atau unta yang ditunggangi) yang berhasil dirampas tentara Islam
dari prajurit musuh yang dibunuhnya.
Fa`i secara bahasa : kembali
Secara Istilah adalah harta (rampasan perang) yang diperoleh dari musuh tanpa
terjadinya pertempuran.
Sejarah Pensyari’atan Ghanimah :
Terjadi pertama kali pada Perang
Badar, yaitu pada 17 Ramadan 2 H.
Peperangan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin Quraisy ini berakhir dengan kemenangan umat Islam. Karena kalah, kaum musyrikin meninggalkan harta yang banyak di medan perang.
Harta itu kemudian dikumpulkan dan diambil oleh umat Islam. Akan tetapi, segera setelah itu, umat Islam berbeda pendapat tentang cara pembagiannya.
Mereka kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itulah turun ayat Alquran yang menjelaskan tata cara pembagian rampasan perang. Al-Anfal : 1
Peperangan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin Quraisy ini berakhir dengan kemenangan umat Islam. Karena kalah, kaum musyrikin meninggalkan harta yang banyak di medan perang.
Harta itu kemudian dikumpulkan dan diambil oleh umat Islam. Akan tetapi, segera setelah itu, umat Islam berbeda pendapat tentang cara pembagiannya.
Mereka kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itulah turun ayat Alquran yang menjelaskan tata cara pembagian rampasan perang. Al-Anfal : 1
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الأَنفَالِ قُلِ الأَنفَالُ لِلّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُواْ اللّهَ وَأَصْلِحُواْ
ذَاتَ بِيْنِكُمْ وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Dalil-dalil Ghanimah dan Fa`i:
وَاعْلَمُواْ
أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِن كُنتُمْ
آمَنتُمْ بِاللّهِ وَمَا أَنزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ
الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Allah SWT berfirman, “Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang Kami turunkan kepada hagmba Kami (Muhammad) di hari furqan, yaitu di
hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
(QS.Al-Anfal: 41).
عن جَابِرُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ
مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا
رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِي
المَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ
النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
Dari Jabir bin Abdillah,
sesungguhnya Nabi bersabda: “Aku diberikan lima hal yang tidak pernah diberikan
kepada nabi mana pun sebelumku. Aku ditolong di saat menghadapi kegoncangan
sepanjang perjalanan sebulan, dijadikan bagiku tanah sebagai tempat bersujud
serta bersuci, di mana pun umatku menemui waktu salat ia boleh shalat,
dihalalkan untukku ganimah yang tidak dihalalkan kepada seorang nabi pun
sebelumku, diberikan kepadaku syafaat, dan aku diutus untuk seluruh manusia.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Allah SWT berfirman : “Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Al-Hasyr : 6).
Allah SWT berfirman : “Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Al-Hasyr : 6).
Hukum Ghanimah :
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta ghanimah itu harus dibagi di
wilayah Islam. Alasannya adalah karena pemilikan harta ghanimah tidak sempuma
kecuali setelah dikuasai, dan penguasaan itu tidak sempuma kecuali setelah
dibawa ke wilayah Islam.
Akan tetapi, mereka berpendapat jika
imam membagi harta ghanimah itu di medan perang atau di wilayah musuh karena
tuntutan keadaan tertentu, maka hukumnya adalah boleh.
Jumhur ulama (Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali) berpendapat bahwa imam boleh membagi harta ghanimah di wilayah musuh, dengan alasan Nabi SAW melakukan hal yang demikian pada Perang Hunain (HR. Bukhari dan Tabrani) dan perang dengan Bani Mustaliq (HR. Baihaqi).
Jumhur ulama (Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali) berpendapat bahwa imam boleh membagi harta ghanimah di wilayah musuh, dengan alasan Nabi SAW melakukan hal yang demikian pada Perang Hunain (HR. Bukhari dan Tabrani) dan perang dengan Bani Mustaliq (HR. Baihaqi).
Sebab perbedaan :
Jumhur ulama berpendapat bahwa peralihan pemilikan harta rampasan dari
tangan musuh ke tangan tentara Islam sudah terjadi ketika harta itu berhasil
diambil dan dikuasai tentara Islam.
Ulama Mazhab Hanafi, hal itu
terwujud melalui tiga peringkat:
1. Ketika harta itu berhasil dirampas dan dikuasai tentara Islam di medan perang, maka terwujud prinsip hak secara umum.
2. Setelah harta ghanimah sampai di wilayah Islam dan belum dibagi-bagikan kepada yang berhak, hak umum itu diperkukuh; dan
3. Setelah dibagi-bagi, maka harta ghanimah menjadi hak milik pribadi.
1. Ketika harta itu berhasil dirampas dan dikuasai tentara Islam di medan perang, maka terwujud prinsip hak secara umum.
2. Setelah harta ghanimah sampai di wilayah Islam dan belum dibagi-bagikan kepada yang berhak, hak umum itu diperkukuh; dan
3. Setelah dibagi-bagi, maka harta ghanimah menjadi hak milik pribadi.
Bahaya Ghulul :
Semua ulama fikih sepakat bahwa
berkhianat tentang harta ghanimah (gulul) ini hukumnya adalah haram karena
dapat memecah-belah hati kaum Muslimin dan dapat menyebabkan kekalahan kaum
Muslimin dalam peperangan.
Allah SWT berfirman, "Tidak
mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran: 161)
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda tentang seseorang bernama Karkarah, “Dia di dalam
neraka." Para sahabat kemudian pergi melihat orang itu dan mendapatkan di
sisinya barang (harta rampasan perang) yang dicurinya.” (HR. Bukhari).
Boleh
memanfaatkan ghanimah di medan perang :
Ulama juga sepakat bahwa harta rampasan
yang sudah dikuasai dan belum dibawa ke wilayah Islam, yaitu yang berupa barang
konsumsi (makanan dan minuman), boleh dimanfaatkan, termasuk kayu bakar.
Alasan yang dianut jumhur ulama
adalah firman Allah SWT, "Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang
telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”
(QS.Al-Anfal: 69).
Sejalan dengan itu Ibnu Umar
berkata, "Dalam salah satu peperangan kami memperoleh madu dan anggur,
kemudian kami makan dan tidak kami bagi-bagi.” (HR Bukhari).
Imam Malik berpendapat bahwa unta,
sapi, dan kambing termasuk dalam kategori makanan yang bisa dimakan kaum
Muslimin jika mereka berada di daerah musuh. Akan tetapi, menurut ulama Mazhab
Hanafi, kebolehan itu disebabkan pemanfaatan seperti itu merupakan kebutuhan
umum para tentara, baik kaya maupun miskin.
Menurut mereka, kebutuhan itu
mendatangkan keadaan darurat. Karena alasan darurat, maka pemanfaatan itu hanya
diperkenankan sejauh kebutuhan saat itu sudah terpenuhi, dan hanya berhubungan
dengan konsumsi.
Di luar barang-barang konsumtif itu,
ulama juga sepakat bahwa harta itu tidak boleh dimanfaatkan oleh tentara.
Mereka juga sepakat, apabila terdapat harta ghanimah, seperti senjata atau
hewan, yang tidak mungkin dibawa ke wilayah Islam karena adanya kesulitan
tertentu, maka tentara Islam diperintahkan untuk menyembelih dan merusak
senjata itu. Hal itu dimaksudkan agar barang-barang itu tidak dapat
dimanfaatkan lagi oleh musuh.
Pembagian Ghanimah :
Jumhur Ulama : berdasarkan surah
Al-Anfal (8) ayat 41. Harta ghanimah itu pertama-tama dibagi menjadi lima
bagian. Seperlima menjadi hak Allah SWT sebagaimana tersebut di dalam ayat di
atas.
Adapun sisanya yang betjumlah empat
perlima dibagi-bagikan kepada tentara, sesuai dengan hadis Nabi SAW,
"Seperlima untuk Allah dan empat perlima lainnya untuk tentara." (HR.
Bukhari). Hal ini dianut oleh jumhur ulama.
Ulama Mazhab Hanafi, hak kerabat Nabi SAW hanya dibagikan kepada kerabat yang
miskin saja.
Jumhur ulama, semua kerabat Nabi SAW dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib
mendapat bagian, baik kaya maupun miskin.
Alasan mereka karena Nabi SAW
menyatakan bahwa mereka, kaya dan miskin, yang dekat dan yang jauh, laki-laki
dan perempuan, semuanya mendapat bagian. Hanya saja lelaki mendapat dua kali
bagian wanita (HR. Bukhari dan Ahmad bin Hanbal).
Pembagian seperlima Ghanimah setelah
Nabi SAW wafat :
Imam Syafi‘i,
Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadis berpendapat bahwa yang seperlima itu tetap dibagi lima, satu bagian yang
semula untuk Allah SWT dan Rasul-Nya dijadikan untuk kemaslahatan umum dan
empat bagian lagi tetap seperti semula.
Ulama Mazhab
Hanafi berpendapat bahwa bagian Allah SWT dan
Rasul-Nya dan bagian kerabat Nabi SAW menjadi hilang, karena bagiannya itu
didasarkan pada kerasulan dan bukan pada kepemimpinannya. Maka, seperlima dari harta ghanimah tersebut hanya dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu untuk anak yatim, fakir miskin dan ibnu sabil.
Imam Malik berpendapat bahwa pembagiannya diserahkan kepada imam untuk
dibelanjakan di jalan Allah SWT.
Sifat Muqotil/tentara yang
berhak atas ghanimah :
Jumhur
Ulama, syarat tentara ; ikut berperang, laki-laki, Muslim,
dan merdeka.
Yang dimaksudkan dengan tentara yang
ikut berperang adalah orang yang menyaksikan peperangan dan berniat untuk
berjihad, meskipun ia tidak sampai bertempur bersama tentara Islam yang lain.
Pendapat ini didasarkan pada pendapat Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khathab (sahabat, dua khalifah pertama) yang mengatakan, "Ghanimah itu dibagikan kepada orang yang menyaksikan peperangan." (Riwayat at-Tabrani dan Baihaqi).
Pendapat ini didasarkan pada pendapat Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khathab (sahabat, dua khalifah pertama) yang mengatakan, "Ghanimah itu dibagikan kepada orang yang menyaksikan peperangan." (Riwayat at-Tabrani dan Baihaqi).
Para tentara itu dibagi dalam dua
kategori, yaitu tentara berkuda dan tentara pejalan kaki.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, perbandingan bagian tentara berkuda
dan bagian tentara pejalan kaki adalah 2:1.
Jumhur ulama, perbandingannya adalah 3:1. Besarnya
bagian tentara berkuda itu, menurut jumhur ulama, dikarenakan kuda membutuhkan
makanan.
Jumhur ulama juga berpendapat bahwa tentara yang menggunakan selain kuda bagiannya
sama dengan bagian tentara pejalan kaki, karena tidak ada hadisnya dari
Rasulullah SAW.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, pendapat jumhur ulama lebih tepat karena Rasulullah SAW membagi kepada tentara berkuda tiga bagian, yaitu satu bagian untuk tentara dan dua bagian untuk kudanya (HR. Bukhari. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud. Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, dan Baihaqi).
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, pendapat jumhur ulama lebih tepat karena Rasulullah SAW membagi kepada tentara berkuda tiga bagian, yaitu satu bagian untuk tentara dan dua bagian untuk kudanya (HR. Bukhari. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud. Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, dan Baihaqi).
Terdapat juga orang-orang yang ikut
atau menyaksikan pertempuran yang tidak mempunyai saham tertentu dalam harta
ghanimah. Mereka itu adalah wanita, anak-anak, budak, dan kafir dzimmi. Mereka
tidak mendapat bagian yang sempurna seperti tentara, tetapi hanya diberi
sedikit yang dikeluarkan dari yang seperlima.
Landasannya adalah hadis Nabi SAW.
Tentang anak-anak, Rasulullah SAW pada Perang Khaibar mengeluarkan pemberian
(bukan bagian) kepada anak-anak (HR. Tirmidzi).
Sedangkan tentang wanita dan budak, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah SAW ditanya tentang wanita dan hamba sahaya. Nabi SAW menjelaskan bahwa mereka tidak memperoleh bagian, kecuali jika diberi (HR. Al-Khamsah (lima ahli hadis) kecuali Bukhari).
Sedangkan tentang wanita dan budak, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah SAW ditanya tentang wanita dan hamba sahaya. Nabi SAW menjelaskan bahwa mereka tidak memperoleh bagian, kecuali jika diberi (HR. Al-Khamsah (lima ahli hadis) kecuali Bukhari).
Berkenaan dengan nonmuslim dari
kalangan dzimmi yang ikut berperang di pihak Islam, ulama fikih berbeda
pendapat.
Sufyan as-Sauri dan Abdurrahman
al-Auza'i (keduanya ahli fikih dari kalangan
tabiin) berpendapat bahwa mereka mendapat bagian (saham) dari harta ghanimah.
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa mereka tidak mempunyai bagian, tetapi
mereka diberi sedikit.
Ghanimah berupa
tanah :
pembagiannya dapat dilakukan seperti
harta ghanimah lainnya tersebut di atas, dan dapat juga diwakafkan kepada kaum
Muslimin.
Tanah yang diwakafkan itu boleh
digarap oleh baik muslim maupun kafir dzimmi.
Apabila tanah itu diwakafkan oleh
imam, maka atas tanah itu dikenakan Wiara (pajak tanah) secara terus-menerus
yang diambil dari penggarap atau pemegangnya. Kharaj itu merupakan sewa tanah
yang diambil setiap tahun.
Pembagian Fa`i :
Fai adalah
harta musuh yang diambil umat Islam tanpa melalui pertempuran.
Surah al-Hasyr
(59) ayat 6-10, menyatakan bahwa harta fai adalah hak Rasulullah SAW dan
beliau berhak mengeluarkannya untuk kepentingan apa pun.
Diriwayatkan
bahwa harta Bani Nadir yang merupakan harta fai seluruhnya menjadi wewenang
Nabi SAW. Harta itu sebagian dikeluarkannya untuk menafkahi keluarga setahun
dan selebihnya untuk kepentingan kendaraan dan senjata (HR. Bukhari, Muslim,
dan Ahmad bin Hanbal).
Setelah
Nabi SAW wafat, ulama sepakat menyatakan bahwa
harta fai menjadi milik umat Islam. Dalam hal ini, menurut ijma ulama,
pembagian harta fai diserahkan kepada pendapat dan ijtihad imam. Imam
boleh menafkahkan harta itu untuk keperluan apa pun, sejauh menurut ijtihadnya
mendatangkan kemaslahatan.
Syubhat-syubhat
:
1.
Haram membagi harta Ghanimah di Suriah, karena harta yang menjadi ghanimah dulunya milik kaum muslimin yang
dirampas oleh kafir Nushairiyah. Hal ini dibenarkan, karena menurut pendapat Syafi’iyah
orang kafir tidak bisa memiliki harta kaum muslimin dengan jalan merampas.
Berdasarkan dalil :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، قَالَ: ذَهَبَ فَرَسٌ لَهُ، فَأَخَذَهُ العَدُوُّ، فَظَهَرَ عَلَيْهِ
المُسْلِمُونَ، فَرُدَّ عَلَيْهِ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبَقَ عَبْدٌ لَهُ فَلَحِقَ بِالرُّومِ،
فَظَهَرَ عَلَيْهِمُ المُسْلِمُونَ، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ خَالِدُ بْنُ الوَلِيدِ
بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {البخاري 3067}
Sedang menurut Jumhur,
orang kafir dapat memiliki harta kaum muslimin. Berdasarkan dalil di
samping:
2.
Fa`i di Indonesia :
Berdasarkan
ijtihad bahwa Indonesia bukan negara Islam, tidak membayar jizyah kepada negara
Islam dan tidak sedang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam.
Maka, mengambil
harta orang kafir (bukan orang islam yang bermukim) di negara kafir dibolehkan
dan disebut fa`i. Dan hasilnya harus diserahkan kepada Imam.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa fa`i tidak terjadi kecuali setelah diumumkannya perang,
karena fa`i adalah hasil dari sebuah operasi jihad. Dan yang berhak mengumumkan
jihad adalah imam.
Tetapi,
sebagian ulama berpendapat boleh walau tanpa ada pengumuman jihad, sebagaimana
yang terjadi pada kelompok Abu Basheer di Daumatul Jandal yang merampas harta
kafir Makkah di perjalanan, setelah perjanjian Hudaibiyah.
Sedang di
Indonesia, pelaksanaannya bermasalah karena umat islam yang lemah, belum
terjadinya jihad secara merata, belum tahunya umat tentang hukum Islam
terkhusus tentang jihad dan fa`i. Maka, pelaksanaannya harus dipertimbangkan.
Ada sebuah kaidah : دفع المفسدات أولى من جلب المصالح “Menolak
mafsadat lebih diutamakan daripada mengerjakan amal yang membawa kemaslahatan”
Kemungkinan
yang terjadi setelah merampas harta orang kafir di Indonesia : Buruknya isu
kepada ajaran Islam, dipenjarakannya pelaku sekaligus jaringannya, dan
sebagainya. Sedang, keuntungannya tidak sebanding dengan kerugiannya. Berapa
juta harta yang mampu dirampok? Wallahu ‘alam..
Semoga
bermanfaat!
0 komentar:
Posting Komentar