by: ekhwan
Pengertian
Pengertian
Secara bahasa al-isti’anah merupakan bentuk masdar dari ista’aana-yastai’iinu-isti’anatan
yang berarti istadharo-yastadzhiru yaitu meminta kekuatan dan
pertolongan.[1]
Kemudian digandengkan dengan kata bi al-kuffar
sebagai bentuk pengkhususan, karena isti’anah (meminta bantuan) itu bermacam-macam,
diantaranya isti’anah bi al-fasikin, isti’anah bi al-bughot,
isti’anah bi al-munafiqin dan isti’anah bi ahli al-kitab yang
semuanya memiliki arti dan maksud yang berbeda-beda.
Adapun al-kuffar secara bahasa adalah
bentuk jama’ dari kata al-kafir yang berarti orang yang menentang
dan ingkar, adapun secara istilah adalah orang yang tidak beriman kepada
syariat Allah yang dibawa oleh Rasulullah.
Sehingga arti al-isti’anah bi al-kuffar
fi al-jihad yaitu: meminta bantuan dan menyandarkan diri kepada orang-orang
yang tidak mau beriman kepada syariat Allah untuk dalam jihad melawan musuh kaum muslimin dengan
ketentuan dan persyaratan yang sudah dijelaskan oleh para ulama.[2]
Dalil- dalil syari’ yang berkaitan dengan
meminta bantuan kepada orang kafir
a. Al-Qur’an
1.
Firman Allah :
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِير
Artinya:
janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin,
melainkan orang-orang beriman. Siapa yang berbuat demikian, niscaya dia tidak
akan memperoleh apapun dari Allah kecuali karena (siasat) menjaga diri dari
sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri
(siksa)-Nya dan hanya Allah tempat kembali. (Al-Imaran :28)
لَا
تَرْكَنُوا إَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا
لَكُمْ مِنْ دُونِ
اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا
تُنْصَرُونَ
Artinya: dan janganlah kamu cenderung kepada orang dzalim yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak memiliki seorang
penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan (Hud :
113)
Imam
Al-Qurthubi mengatakan bahwa kalimat tarkanu dalam ayat ini berarti
tunduk dan bersandar serta ridho kepada mereka. Begitu juga menurut Ibnu Juraij
bahwa makna tarkanu yaitu condong
dan ridho.[3]
2.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لا تَتَّخِذُوا بِطانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبالاً وَدُّوا ما
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya : wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang diluar keluargamu (seagama)
sebagai teman kepercayaanmu, (karena)mereka tidak henti-hentinya menyusahkan
kamu. Mereka megharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dihati mereka lebih jahat. Sungguh,
telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat kami jika kamu mengerti (Al-Imran : 118).
Imam Al-Qurtubi mengomentari ayat ini dalam kitabnya, “Sesungguhnya
Allah melarang kaum mukminin dengan ayat ini menjadikan orang-orang kafir baik
dari Ahli Kitab atau pengikut hawa nafsu sebagi tamu dan sahabat karib, lalu
megadukan perkara kepada mereka , meminta bantuan kepada mereka dan
menyandarkan seluruh urusannya kepada mereka”[4]
Imam Baghawi
dalam tafsirnya menjelaskan, “Janganlah engkau menjadikan orang-orang non
muslim sebagai wali, orang kepercayaan atau orang-orang pilihan, karena mereka
tidak segan-segan melakukan apa-apa yang membahayakanmu.”[5]
3.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ
artinya: wahai orang-orang
yang beriman! janganlah kalian menjadikan pemimipnmu orang-orang orang yang membuat
agamamu jadi bahan ejekan dan permainan,(yaitu) diantara orang-orang yang telah
diberi kitab seblumu, dan orang-orang kafir (orang musyrik)” (Al-Maidah: 57)
b. As-Sunnah
1.
Sabda Nabi salAllahu alaihi wasalam:
عن عائشة قالت: خرج النبي صلى
الله عليه وآله وسلم قبل بدر
فلما كان بحرة الوبرة أدركه رجل قد كان تذكر منه جرأة ونجدة، ففرح به
أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم حين رأوه، فلما أدركه قال:
جئت لاتبعك
فأصيب معك،
فقال له رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: تؤمن بالله ورسوله قال: لا، قال:
فارجع فلن أستعين بمشرك، قالت: ثم مضى
حتى إذا كان بالشجرة أدركه الرجل فقال له كما قال أول مرة، فقال له
النبي صلى الله عليه وآله وسلم كما قال أول مرة فقال لا، قال: فارجع فلن استعين
بمشرك، قال: فرجع فأدركه بالبيداء فقال له كما قال أول مرة: تؤمن بالله ورسوله؟
قال: نعم، فقال له: فانطلق
Artinya : Dari Aisyah r.a., dia berkata, “Sebelum perang Badar, Rasulullah SAW.
Melakukan suatu perjalanan. Sesampainya di Harrah Al-Wabarah_sebuah
tempat berjarak 4 mil dari Madinah_ beliau ditemui oleh seorang laki-laki yang
disebut-sebut sebagai pemberani. Para sahabat Rasulullah SAW. Terlihat gembira
melihat orang tersebut. setelah menemui beliau, laki-laki itu berkata, “Aku
datang untuk ikut denganmu, dan bergabung dengan pasukanmu.” Rasulullah SAW.
Lantas bertanya, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasulnya?” Dia
menjawab, “Tidak”. Belaiu kembali bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena
aku tidak mau meminta bantuan kepada seorang yang musyrik.” Laki-laki- itupun
pergi, sehinga sesampinya Rasulullah di Syajarah, beliau kembali ditemui
oleh laki-laki tersebut. Dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya, dan
Nabi SAWpun mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, orang itu
menjawab, “Tidak”. Maka Nabipun bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena aku
tidak mau meminta bantuan kepada orang musyrik.” Laki-laki itupun pulang,
tetapi kemudian menemui Nabi kembali di Baida’, dia mengutarakan hal yang sama
seperti sebelumnya. Lalu Rasulullah bertanya, “Apakakh egkau beriman kepada Allah
dan rasulnya?” dia menjawab, “Ya” beliau bersabda lagi kepadanya, “Ikutlah
engkau bersama kami,” [6]
2.
Sabda Nabi -Salallahu alaihi wasalam-:
عن خبيب بن عبد الرحمن عن أبيه عن جده قال: أتيت النبي صلى الله عليه وآله وسلم وهو يريد غزوا أنا ورجل
من قومي ولم نسلم، فقلنا: إنا نستحي أن يشهد قومنا مشهدا
لا نشهده معهم، فقال: أسلمتما؟ فقلنا: لا، فقال: إنا لا نستعين
بالمشركين على المشركين، فأسلمنا وشهدنا معه (رواه أحمد)
Artinya:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Khubaib Ibnu Abdurrahman,
dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW pernah menolaknya, dan menolak juga
orang yang bersamanya dalam peperangan beliau, karena keduanya belum memeluk
islam, beliau bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan meminta bantuan kepada
seorang musyrik untuk memerangi orang-orang musyrik,” lalu dia berkata, “Kamipun
memeluk islam dan ikut berperang bersama beliau.”[7]
3.
Al-Bukhori meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib, r.a., dia
mengatakan ‘seseorang yang bertopeng besi menemui Nabi SAW. Seraya berkata, “Wahai Rasulullah !
bolehkan aku ikut berperang, atau aku harus memeluk islam terlabih dahulu?
beliau menjawab, ‘Masuklah kedalam islam, lalu berperanglah bersama kami,’
orang itupun memeluk islam, lalu ia berperang, dan akhirnya terbunuh. Raulullah
lalu bersabda “Orang ini sedikit beramal, tetapi banyak mendapatkan pahala.”[8]
4.
Disebutkan dalam riwayatt Imam Muslim bahwa Nabi pernah
meminta bantuan kepada Shofwan bin Umayyah pada perang Hunain padahal ketika
itu Shofwan masih dalam kondisi kafir[9]
5.
Al-Zuhri meriwayatkan bahwa Nabi SAW. Pernah meminta
bantuan kepada orang-orang Yahudi dalam perang Khoibar untuk memeragi kaum Yahudi.
Kemudian beliaupun membagi jatah harta rampasan perang kepada mereka.[10]
6.
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah
menyewa Abullah bin Uraiqit sebagai penunjuk jalan untuk berhijrah ke Madinah[11]
I.
Dalam hal apa saja kaum Muslimin meminta
bantuan kepada orang kafir ?
Dalam perakteknya, tidak dalam semua hal kaum Muslimin
meminta bantuan kepada orang kafir meskipun itu dalam kondisi lemah, karena hal
itu tidak dibutuhkan, adapun perkara-perkara yang sering terjadi didalamnya
keikutsertaan kaum kafir atas permintaan kaum Muslimin itu sebagai berikut:[12]
Pertama: Dalam urusan Jihad, dalam jihad biasanya kaum Muslimin sering melibatkan
orang kafir bersama mereka, tentu hal ini karena kondisi yang mendesak, baik
itu kurangnya kekuatan, jumlah personil atau
persenjataan dari kaum Muslimin, sehingga ketika kaum Muslimin meminta
bantuan dari orang kafir itu tidak lebih dari persenjataaan, pendapat dan
personil.
Kedua: Dalam urusan Mengumpulkan zakat dan membangun masjid, dalam perakteknya
ternyata dalam kondisi tertentu kaum Muslimin masih menggunakan orang kafir
dalam urusan pengelolaan zakat kaum muslilim, meskipun hal ini diperselisihkan
oleh para ulama akan kebolehannya, tapi yang pasti kaum Muslimin dalam hal ini
terkadang meminta bantuan kepada mereka.
Ketiga: Dalam urusan pendidikan, tidak bisa dipungkiri bahwa
terkadang orang-orang kafir lebih unggul dalam beberapa bidang ilmu daripada
kaum Muslimin, tidak hanya ilmu duniawi saja, bahkan ilmu diin sekalipun banyak
diantara mereka yang lebih unggul dari sebagian kaum Muslimin, sehingga hal ini
menyebabkan kaum Muslimin belajar kepada mereka, dalam hal ini para ulama sudah
menjelaskan dengan panjang lebar dan tidak kami cantumkan disini karena tidak
termasuk kedalam pembahasan.
Keempat: Menjadikan mereka sebagi mata-mata, ini pernah terjadi
pada masa Rasulullah ketika beliau keluar bersama 1000 sahabatnya pada tahun Hudaibiyah,
ketika beliau sampai di Dzul Hulaifah beliau mengikatkan hewan kurbannya dan
bersyair kemudian berihram, lalu beliau mengutus mata-mata dari Khuza’ah[13].
II.
Pandangan Imam Madzhab Terhadap Masalah Ini
karena
permasalahan ini termasuk yang diperselisihkan oleh para ulama, maka sangat
tepat sekali jika kita melihat bagaimana para ulama terkhusus kalangan empat Imam
Madzhab yang sudah masyhur memandang permasalahan ini, kita melihat bagaimana
mereka memandang masalah ini dengan hujah-hujah yang mereka miliki, apakah terjadi kesepakatan atau justru
malah kontradiksi yang sangat keras diantara mereka, untuk lebih jelasnya kami
paparkan masing-masing pendapat mereka sebagai berikut:
1.
Hanafiyah: diriwayatkan dalam kitab Al-bahr dari
Al-Atrah dan Imam Abu Hanifah bahwa mereka membolehkan meminta bantuan kepada
orang kafir. Mereka berhujjah dengan hadits Nabi Salallahu alaihi wasallam yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi Salallahu Alaihi wasallam
pernah meminta bantuan kepada Shofwan bin Umayyah pada perang Hunain sedangkan
ia ketika itu masih dalam keadaan musyrik[14]
Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Dzu
Al-Mukhbir bahwa Nabi SAW bersabda:
عن
ذي مخبر رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلم يقول ستصالحون الروم صلحا آمنا فتغزون أنتم وهم عدوا من ورائكم فتنصرون
وتغنمون وتسلمون ثم ترجعون حتى تنزلوا بمرج ذي تلول فيرفع رجل من أهل النصرانية
الصليب فيقول غلب الصليب فيغضب رجل من المسلمين فيدقه فعند ذلك تغدر الروم وتجمع
للملحمة
Dari Dzu Mihbar, seorang laki-laki dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallaahu
‘Alaihi wasallam, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi
wasallam bersabda : “Kalian pasti akan melakukan perdamaian dengan
Romawi dengan aman. Kalian bersama mereka akan memerangi satu musuh
dikemudian hari. Kemudian kalian akan ditolong dan berhasil mendapatkan
ghanimah (memenagkan pertempuran) serta selamat. Kemudian kalian kembali pulang
hingga kalian singgah di sebuah daerah yang tinggi. Tiba-tiba seorang laki-laki
dari kaum Nashrani mengangkat salib seraya berkata : “Telah menang salib”.
Hingga marahlah seorang dari kaum muslimin dan mendorongnya. Maka ketika itu
mulailah tentara Romawi berkhianat serta menyiapkan pasukannya untuk
pertempuran besar” [15]
2. Malikiyah:
mereka berpendapat bahwa tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir
dalam peperangan, kecuali orang kafir itu hanya sebagai pengikut dan pembantu,
bukan sebagai pengatur atau atasan yang memberikan komando secara utuh bagi akum Muslimin, adapun jika mereka
ditempatkan pada posisi yang mungkin untuk mengatur urusan kaum Muslimin, maka
menurut pendapat ini tidak diperbolehkan meminta bantuan kepada mereka, karena
ini menjadi syarat dibolehkannya meminta bantuan kepada kaum kafir.[16]
3. Syafi’iyah: disebutkan dalam sebuah riwayat
dari Imam As-Syafi’i bahwa belaiu tidak membolehkan meminta bantuan kepada orang
kafir, karena itu sama saja dengan menjadikan jalan bagi mereka, sedangkan Allah Ta’ala melarang yang
demikian dalam firmannya. Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits
Nabi yang sudah disebutkan di atas, diantaranya :
Firman Allah:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطانَةً
مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبالاً وَدُّوا ما عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ
الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا
لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya : : wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang diluar keluargamu (seagama)
sebagai teman kepercayaanmu, (karena)mereka tidak henti-hentinya menyusahkan
kamu. Mereka megharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dihati mereka lebih jahat. Sungguh,
telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat kami jika kamu mengerti (al-imran : 118).
Akan
tetapi dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa imam syafi’i membolehkan
meminta bantuan kepada orang kafir asalkan orang kafir tersebut memiliki pandangan
bagus terhadap kaum muslimin.[17]
4.
Hanabilah: disebutkan dalam Al-mughni bahwa Imam
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi beliau membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir dengan beberapa ketentun , diantarnya: orang
kafir yang dimintai bantuan harus memiliki perangai yang baik terhadap kaum Muslimin,
tidak pernah dikenal melakukan penipuan dan merugikan terhadap mereka, jika ini tidak terpenuhi
maka tidak disahkan untuk meminta bantuan kepda mereka.[18]
Dalil yang mereka gunakan sangat banyak
sekali, diantaranya hadits-hadits Nabi Salallahu alaihi wasalam yang sudah disebutkan diatas, misalanya yang
disebutkan dalam riwayat Imam Muslim bahwa Nabi pernah meminta bantuan kepada Shofwan
bin Umayyah pada perang Hunain padahal ketika itu Shofwan masih dalam kondisi
kafir[19].
Al-Zuhri juga meriwayatkan bahwa Nabi SAW. Pernah meminta
bantuan kepada orang-orang Yahudi dalam perang Khoibar untuk memeragi kaum Yahudi.
Kemudian beliaupun membagi jatah harta rampasan perang kepada mereka.[20]
III.
Tarjih
Tehadap Permasalahan
Setelah
meneliti pendapat para ulama terhadap masalah ini beserta dalil-dalilnya
ternyata mereka berbenda pendapat, dan masing-masing pendapat yang mereka
pegang berlandaskan kepada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, lantas pendapat
siapa yang harus dipilih?
Dalam permasalahan ini -dengan melihat
dalil-dalil yang ada- kami tidak merojihkan salasatu dari pendapat yang
disebutkan diatas, karena dalil-dalil yang menjelaskan tentang perkara ini semuanya bisa digunakan sebagi hujjah,
pendapat yang melarang meminta bantuan kepada orang kafir itu memiliki landasan
yang sohih, artinya dalil-dalil yang digunakan adalah al-qur’an dan hadits
sohih atau hasan, misalnya hadits aisyah yang menunjukan bolehnya meminta
bantuan kepada orang kafir, itu adalah hadits shohih yang diriwayakan oleh imam
muslim, begitu juga dengan hadits abu hamid as-saidi, itu adalah hadis yang
dihasankan oleh syaikh nasirudin al-albani dalam kitabnya.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan
oleh kelompok yang mengharamkan meminta bantuan kepada orang kafir itu
kebanyakan dhoif, namun ada satu hadis dengan
derajat hasan yang masih boleh dijadikan sebagai hujjah, yaitu hadits
Dzu-Mikhbar yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya.
Dari sinilah kami tidak mengambil langkah
tarjih dari beberapa pendapat diatas, sebagaimana para ulama kontemporer juga tidak
merojihkan salah satunya, akan tetapi kami menggunakan metode pertama yang
ditempuh dalam menanggapi dalil-dalil -yang secara dzohir bertentangan-
yaitu metode torikotul jam’i (metode menggabungkan dalil) dengan
berlandaskan kepada sebuah kaidah dalam ushul fikih Al-jam’u aula mina
at-tarjih[21]
(menggabungkan dalil-dalil yang ada
itu lebih utama dari pada merojihkan yang satu dan membuang yang lainnnya)
sebagai metode pertama yang harus digunakan dalam menyimpulkan hukmm dari
nash-nash syar’i, karena jika dalil-dalil yang ada masih memungkinkan untuk
digabung maka itu lebih utama daripada ditarjih dan ini cara yang benar.[22]
Demikian ini sebagaimana yang dilakukan oleh ulama
kontemporer seperti Yusuf Qordhowi[23] dan
Robi’ Ath-Thuraiqi[24], mereka
mengambil jalan keluar untuk permasalahan ini dengan cara menggabungkan
dalil-dalil yang ada, sehingga hasilnya adalah boleh meminta bantuan kepada
orang kafir tetapi dengan beberapa syarat dan ketentuan, tidak dalam semua
situasi dan kondisi, adapun syarat yang mereka sebutkan adalah:
1.
Adanya kebutuhan yang mendesak untuk melakukan hal itu,
karena jika tidak ada kebutuhan untuk melakukan hal ini seperti banyaknya
jumlah pasukan dan kekuatan yang dimiliki oleh kaum musllimin, yang dengannya
diperkirakan akan mampu mengalahkan musuh,_tentunya dengan sunnatullah dan
sebab-sebabnya_ maka tidak dibolehkan meminta bantuan kepada mereka.[25]
2. Adanya rasa tenang pada diri kaum Muslimin
terhadap orang yang akan dimintai pertolongan _orang kafir_. Karena tabiatnya
orang kafir itu adalah pendusta dan tidak bisa dipercaya, mereka juga punya
keinginan untuk menghancurkan kaum Musliminm, sehingga jika tidak ada kejelasan
yang nyata tentang orang kafir yang dimintai pertolongan, maka ini tidak
dibolehkan sebagai bentuk kehati-hatian, akan tetapi jika orang kafirnya sudah
jelas keperibadiannya bahwa dia bisa dipercaya maka ini tidak mengapa.[26]
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
terhadap Shofwan bin Umayah, Karena Nabi mengetahui bahwa pada diri Shofwan
terdapat loyal yang lebih kuat terhadap suku daripada watsaniyah (teman
menyembah patung), sehingga Nabi tidak ragu lagi untuk meminta bantuan kepada
beliau.[27] [28]
3. Orang kafir yang dimintai pertolongan tidak
boleh memiliki misi dakwah, mengajak kaum Muslimin kedalam agamanya, karena hal
ini bisa merusak akal dan membingungkan kaum Muslimin, padahal mereka sangat
membutuhkan kepada kuatnya keimanan, keyakinan dan bersatunya barisan, sehingga
jika tampak seruan dari orang kafir kepada kuam Muslimin untuk mengikuti
agamanya, maka orang kafir tersebut harus segera disingkirkan dari barisan dan dijauhkan
dari kam Muslimin, hal ini berlandaskan kepada sebuah kaidah “daru
al-mafsadah mukoddam ala jalbi al-masholih” [29] [30](mencegah
kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil mashlahat)
4. Orang kafir yang dimintai pertolongan tidak
boleh menduduki posisi tertinggi sehingga bisa mengatur seluruh gerak kaum Muslimin
dengan sekehendaknya.
5. Dengan ketentuan-ketentuan yang sudah
disebutkan diatas, seyogyanya bagi kaum Muslimin untuk membatasi diri dari
meminta bantuan kepada orang akfir hanya pada kondisi terdesak saja sebagai
bentuk kehati-hatian terhadap mereka, karena Allah berfirman: “wahai
orang-orang yang berimn berhati-hatilah kalian” (an-nisa’), dan karena
orang kafir itu tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang muslim berupa
keimanan dan loyalitas, sehingga hal ini tidak bisa diremehkan, artinya kaum
muslimin harus selalu berhati-hati dari kejahatan mereka baik sedikit ataupun
banyak.
IV.
Kesimpulan
Setelah
melihat penjelasan diatas baik pendapt para ulama mutakoddimin ataupun mutaakhirin
kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pada asalnya meminta bantuan kepada orang
kafir itu diharamkan secara mutlak dalam kondisi apapun, akan tetapi hal ini
bisa diperbolehkan dalam kondisi tertentu dan dengan syarat-syarat yang sudah
disebutkan diatas.
Sebagai
penutup kami kutipkan keterangan Ibnu Hajar dalam masalah ini, beliau berkata, “Dipadukan
antara keduanya – yaitu hadits ‘Aisyah yang mengandung pelarangan dan hadits
Shafwan bin Umayyah yang mengandung pembolehan serta hadits mursal Az-Zuhri –
dengan beberapa bentuk pemaduan, Diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan
oleh Al-Baihaqi dari pernyataan Asy-Syafi’i bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam berharap di balik penolakan tersebut agar orang tersebut mau
masuk Islam. Dan ternyata perkiraan beliau
tersebut adalah benar. Diantara bentuk pemaduan yang beliau sebutkan pula
adalah : Bahwasannya penentuan perkara tersebut adalah kembali pada kebijakan
imam/penguasa. Bentuk pemaduan yang ketiga adalah : Bahwasannya Al-Isti’anah
(meminta pertolongan kepada orang musyrik/kafir) pada awalnya dilarang,
kemudian akhirnya diijinkan. Kemungkinan (yang terakhir) inilah yang saya (Ibnu
Hajar) dukung, dan atas pendapat inilah Asy-Syafi’i menegaskan” [At-Talkhiisul-Habiir
juz 4 no. 1856].
V.
Daftar pustaka
1.
Abdullah bin
Ibrahim bin Ali ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri al-Muslimin fi al-Fiqhi
al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu Al-Buhuts wa Al-Iftaa wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1409 H) Cet. I
2.
Yusuf Kordowi, Fikih
Jihad, (Qohiroh: Maktabah Wahbah 1436 H, 2009 M). Cet. I
3.
Robi’ bin Hadi Umair
al-Madkholi, Shoddu Udwanu al-Muslimin Wa Hukmu Isti’anatu Ala Qitalihim Bi
Ghoiri al-Muslimin, (Riyadh: Al-Furqon 1411 H).
4.
Imam As-Syaukani, Fathu al-Qodir (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmi 1415 H), Cet. I
5.
Imam Al-Qurtubi,
Al-Jami’ Li ahkami al-Qur’an, (Dar Kutub al-Mishriyah 1384 H).
6.
Abu Amru, Al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Multako Ahlu al-Hadits)
7.
Muhamad bin Qudamah, Al-Mughni (Qohiroh: Hajaro)
8.
Imam Nawawi, Minhaj ath-Tholibin wa Umdatu l-Muftin (Beirut: Dar Al-Ma’rifah)
9.
Ibnu Hazm, Al-Muhalaa, (Bairut-libanon: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah 2010 M), Cet, I
10.
Imam Nawawi, Raudhatu ath-tholibin (Bairut-libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1427 H, 2006 M), Cet, III
11.
Abu Al-Harits al-Ghozzi, al-Wajiz fi idhohi qowaidi
al-Fiqhi al-Kuliyati (beirut: Musasatu ar-Risalah 1416 H, 1996 M), Cet, V
12.
Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (Damaskus-Suriyah:
Dar al-Fikr 1419 H, 1999 M) Cet, I
[5] Imam Al-Baghowi, Ma’alim At-Tanzil Fi Tafsir Al-Qur’an ( Beirut: dar
at-thoyibah li an-nasyri wa at-tauzi’, 1417 H, 1997 M), vol. II hal. 95
[6] HR Muslim (1817) dalam kitab Al-Jihad Wa Al-Sair, Ahmad (24386) dalam
Al-Musnad, Abu Daud (2732) dalam kitab Al-Jihad, Al-Tirmidzi (1558) dalam kitab
Al-Sair, dan Ibnu Majah (2832) dalam kitab Al-Jihad, dari Aisyah r.a.
[7] HR Ahmad (17563) dalam Al-Musnad, para perawi hadits ini mengatakan bahwa
sanadnya dhaif, kecuali kalimat, “sesungguhnya kami
tidak akan meminta bantuan kepada seorang musyrik untuk memerangi orang-orang
musyrik” riwayat ini bersetatus hasan lighoirihi. Diriwayatkan pula oleh Abi
Syaibah (33831) dalam kitab Al-Sair, At-Thabrani dalam Al-Kabir
(4/223), dan Al-Hakim (2/121) dalam kitab Al-Jihad. Al-Hakim
menshahihkan sanadnya, tetapi Adz-Dzahabi tidak mengomentarinya tentang hal
tersebut, diriwayatkan pula oleh Abu Nu’man dalam Hilyah Auliya (1/364)
dan Al-Baihaki dalam Al-Kurba (9/37) dalam kitab Al-Sair, dari
Khubaib Ibnu Isaf, dalam Majma’ Az-Zawaid (5/550), Al-Haitsami
mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dengan
perawi-perawi yang tsiqqoh.
[10] HR. Riwayat Ibnu Mansur (2/284) dalam bab Ma Jaa’a fi Sahman Al-Nisaa
dan Ibnu Abi Syaibah (33835) dalam kitab Al-Sair, Awwamah mengatkan
bahwa riwayat ini berasal dari Maroosil Al-Zuhri, sedagkan ia bagaikan
angin dalam pandangan Yahya Al-Qoththon. Diriwayatkan pula oleh Abu Daud dalam maraasil
(270) dan Al-Baihaki dalam Al-Kubra ((9/53) dalam kitab al-sair,
dikatakan bahwa hadits ini mungkoti’ dari Al-Zuhri.
[12] Abdullah bin Ibrahim bin Ali
Ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri Al-Muslimin fi Al-Fiqhi Al-Islami, (Saudi
Arabia: Idarotu Al-Buhuts wa Al-Iftaa wa
Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1407 H), hal. 274
[15] HR. Abu Dawud
no. 4292; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud
no. 2767].
[16] Al-Khorsi 3/14
وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَآخَرُونَ : إِنْ كَانَ الْكَافِر حَسَن الرَّأْي فِي الْمُسْلِمِينَ , وَدَعَتْ الْحَاجَة
إِلَى الِاسْتِعَانَة بِهِ اُسْتُعِينَ بِهِ , وَإِلَّا
فَيُكْرَه
”Asy-Syafi’i
dan yang lainnya telah berkata : ’Apabila orang kafir tersebut mempunyai
pandangan bagus terhadap kaum muslimin (bisa dipercaya) dan kondisi sangat
membutuhkan pada pertolongan orang kafir tersebut, maka diperbolehkan meminta
pertolongan kepadanya. Jika tidak, maka hal itu dibenci”
[20] HR. Riwayat Ibnu Mansur (2/284) dalam bab Ma Jaa’a Fi Sahman Al-Nisaa dan
Ibnu Abi Syaibah (33835) dalam kitab Al-Sair, Awwamah mengatkan bahwa
riwayat ini berasal dari maroosil Al-Zuhri, sedagkan ia bagaikan angin
dalam pandangan Yahya Al-Qoththon. Diriwayatkan pula oleh Abu Daud dalam maraasil
(270) dan Al-Baihaki dalam Al-Kubra ((9/53) dalam kitab Al-Sair,
dikatakan bahwa hadita ini mungkoti’ dari Al-Zuhri.
[21] Muhamad Sulaiman Al-Asyqor, al-Wadih fi ushul al-Fiqhi li al-Mubtadiin,
(Urdun: Dar An-Nafais). Vol. 1 Hal. 270. Wahbah zuhaili, al-Wajiz fi ushul
al-Fiqh, (Damaskus, suriah : Dar Al-Fikr ) hal, 245
ويجمع بينه وبين الذي قبله بأوجه ذكرها المصنف منها وذكره
البيهقي عن نص الشافعي أن النبي صلى الله عليه وسلم تفرس فيه الرغبة في الإسلام
فرده رجاء أن يسلم فصدق ظنه وفيه نظر من جهة التنكير في سياق النفي ومنها أن الأمر
فيه إلى رأي الإمام وفيه النظر بعينه ومنها أن الاستعانة كانت ممنوعة ثم رخص فيها
وهذا أقربها وعليه نص الشافعي
[24] Abdullah bin Ibrahim bin Ali Ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri Al-Muslimin
Fi Al-Fiqhi Al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu Al-Buhuts Wa Al-Iftaa wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1407 H) hlm. 270
[26]Imam Nawawi, Minhaj Ath-Tholibin wa Umdatu Al-Muftin (Beirut: Dar Al-Ma’rifah) vol.4 hal. 221
“لأن يربني رجل من قريش – يعني محمد –خير من أن
يربني رجل من هوازن"
H.R Abu Ya’la dalam
Al-Musnad (3/388), Ibnu Hiban dalam As-Sair (11/95), Al-Arnaut mengatakan bahwa
sanad hadits ini hasan, dan diriwayatkan juga oleh Al-Baihaki dalam kitab
pembagian fai’ dan ghonimah (6/370) dari jalur Jabir bin Abdillah.
[29] Muhamad Sulaiman al-Asyqor,
Al-Wadih Fi Ushul Fiqih Li al-Mubtadiin, (Qohiroh: Dar al-Salam) hal.
270
[30] Abi Al-Harits al-Ghozi, al-Wajiz fi Idhohi Qowaidi al-Fiqhi al-Kulliyah,
(Bairut: Musasatu Ar-Risalah) hal. 265
how your opinions?
BalasHapus