Oleh: Abdullah Mukhlis
Muqaddimah
Allah Ta’ala menciptakan jin dan manusia tidak
lain adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Allah mengutus para Nabi dan Rasul sebagai wasilah datangnya hidayah kepada
seluruh makhluk Allah, jin dan manusia. Khusus bagi Nabi Muhammad saw Rasul
terakhir yang diutus bagi semua umat dan dengan pedoman Al-Quran
telah meyempurnakan seluruh pelajaran lini kehidupan yang tercantum dalam Al-Quran
dan dijelaskan oleh Sunnah.
Hidup ini dinamis, selalu berkembang
setiap zamannya. Lalu apakah sama kejadian di masa ketika Rasul masih hidup dan
zaman setelahnya? Kita telah dihadapkan oleh perkara-perkara yang begitu rumit
dan komplek sehingga menuntut adanya ijtihad dalam kehidupan ini, Nabi
saw bersabda,”Apabila seorang
hakim menentukan hukum dengan
berijtihad dan ia benar, maka
ia mendapatkan dua pahala. Namun, jika ia menetapakan hukum dalam ijtihad
kemudian ia salah, maka ia mendapat satu pahala.”[1]
Telah dijelaskan oleh Rasulullah
Muhammad saw ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk menjadi penguasa di sana. Beliau menanyakan apa
yang akan diperbuat dalam menghukumi sesuatu, ia menjawab akan merujuk kepada
al-Quran. Jika tidak didapatinya dalam al-Quran maka ia akan merujuk pada
hadits-hadits Nabi dan jika tidak pula didapati maka ia akan berijtihad
semampunya.
Dari hadist di atas telah jelas
bolehnya berijtihad dalam Islam, karena ijtihad merupakan salah satu element
terpenting dalam perkembangan hukum syara’. Ijtihad menjadi alat penggali hukum
untuk setiap permasalahan atau peristiwa yang tidak ada nash syara’ di
dalamnya. Dan hanya kepada mereka yang memiliki kemampuan dan pemahaman yang
dalam yang boleh melakukan ijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
Salah satu alat ijtihad adalah
Qiyas, yaitu
dengan menyamakan illat hukum antara yang ternashkan
oleh syara’ dan dengan hukum yang tidak ada nash di dalamnya. Namun,
dalam hal ini terdapat dua kubu pendapat yang saling berlawanan, satu memihak
adannya alat qiyas dengan berbagai macam
argumentasi dan yang lainnya
menolak penggunaan qiyas juga dengan argumentasi yang saling
bertentangan.
Dari latar belakang di atas penulis mencoba mendudukkan keduanya dengan mengedepankan
pendapat-pendapat para ulama’. Semoga apa yang penulis torehkan bersifat adil
dan benar. Selain itu juga bermanfaat bagi
pembaca seluruhnya.
Definisi
Qiyas menurut etimologis, القياس adalah masdar dari قَاسَ
– يَقِيسُ, jika dikatakan qasa
asy-syai’ maka berarti menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain atau qastu
ats-tsaub bi adz-dzira’ yang bermakna aku telah mengukur kain dengan hasta.[2]
Namun secara global, makna qiyas secara bahasa dapat diartikan dengan at-taqdir,
al-musawah, at-tasybih, at-tamtsil, dan al-i’tibar yang memiliki
makna mengukur atau menyamakan.[3]
Adapun makna qiyas secara
terminologis para ulama’ berbeda pendapat dalam memaknainya. Mereka mendefinisikan
qiyas dengan banyak redaksi yang berbeda dalam sebagian redaksinya, namun sejatinya
esensi, fungsi, dan hakikatnya adalah sama. Adapun definisi qiyas yang mereka jelaskan adalah sebagai
berikut:
Menurut Imam al-Ghozali dalam al-Mustashfa[4]
dan al-Qodhi al-Baqilani yang juga disepakati oleh sebagian besar Ulama’
Syafiiyah[5],
qiyas adalah:
حَمْلَ مَعْلُومٍ عَلَى مَعْلُومٍ فِي إِثْبَاتِ حُكْمٍ لَهُمَا أَوْ نَفِيْهِ
عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَامِعٍ بَيْنَهُمَا مِنْ إِثْبَاتِ حُكْمٍ أَوْ صِفَةٍ أَوْ
نَفِيْهِمَا عَنْهُمَا
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau memadukan
hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam
penetapan hukum atau peniadaan hukum.
Sementara definisi qiyas menurut Shadru
as-Syariah[6]
adalah:
تَعْدِيَةُ حُكْمٍ مِنَ الأَصْلِ إِلَى الفَرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَا
تُعْرَفُ بِمُجَرَّدِ فَهْمِ اللُّغَةِ
Merentankan (menjangkaukan) hukum dari ‘ashal’
kepada ‘furu’ karena ada kesatuan illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughawi
semata.
Imam Ibnu al-Hajib menyatakan [7]:
مُسَاوَةُ فَرْعٍ الأَصْلِ فِيْ عِلَّةِ حُكْمِهِ
Samalah hukum
furu’ dengan ashal jika sama pada illatnya.
Al-Baidhowi menjelaskan qiyas dalam al minhaj[8]:
اِثْبَاتُ مِثْلِ حُكْمٍ مَعْلُوْمٍ فِي مَعْلُوْمٍ اَخَر لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي
عِلَّةِ الحُكْمِ عِنْدَ المُثْبِتِ
Menetapkan hukum yang sama dari permasalahan yang telah
diketahui ke dalam permasalahan lainnya yang telah diketahui juga karena
kesamaan illat hukum dari kedua permasalahan tersebut menurut orang yang
menetapkannya.
Menurut Ibnu al-Hummam[9]
qiyas adalah:
مُسَاوَاةُ مَحَلٍّ لِاَخَرَ فِيْ عِلَّةِ حُكْمٍ لَهُ شَرْعِيٍّ لَا تُدْرَكُ
من نصّه بِمُجَرَّدِ فَهْمِ اللُّغَةِ
Samanya satu wadah (tempat berlakunya hukum)
dengan yang lain dalam illat hukumnya. Baginya ada artian syar’i yang tidak
dapat dipahami dari segi bahasanya.
إِلْحَاقُ أَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوصٍ عَلَى حُكْمِهِ الشَرْعِيْ بِأَمْرٍ مَنْصُوصٍ
عَلَى حُكْمِهِ, لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي عِلَّةِ الحُكْمِ
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada
nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena
keduanya berserikat dalam illat hukum.
Menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, dari
berbagai macam definisi tersebut, jika dikelompokkan maka dapat menjadi dua kelompok.
Pertama adalah kelompok yang mendefinisikan qiyas dengan menggunakan kata حمل (menanggungkan), اثبات
(menetapkan), الحق (menghubungkan), dan ثعدية
(merentankan). Sebagai mana pengertian yang didefinisikan oleh Imam al-Ghozali,
Ibnu Subki, Abu Zuhroh dan yang lainnya.[12]
kelompok kedua ialah kelompok yang menggunakan kosakata استواء
(sama), dan مساواة
(samanya).
Dari kedua pengelompokan itu terdapat
konsekwensinya masing masing. Pertama mengandung arti bahwa qiyas itu merupakan
hasil dari jerih payah seorang mujtahid. Kata “penetapan hukum pada furu’ berarti
mujtahid menetapkan hukum pada furu’ semisal dengan hukum yang ditetapkan oleh
Allah swt pada ashal. Karena menurut mujtahid adanya kesamaan illat antara
furu’ dengan ashal. Adanya kemungkinan usaha mujtahid itu salah dalam melihat
titik kesamaan illat pada ashal dan furu’. Oleh karenanya mujtahid yang
menetapkan hukum dengan qiyas tidaklah mau menganggap hasil ijtihadnya benar
secara mutlak. Untuk maksud tidak menganngap hasil temuannya itu sebagai hukum
syara’ yang benar secara mutlak.
Sedang pada kelompok yang kedua mengandung
arti bahwa qiyas itu sebenarnya bukanlah karya mujtahid, karena pada dasarnya
hukum furu’ itu adalah sama hukum ashal. Meskipun tidak ada mujtahid yang
mengqiyaskan furu’ pada ashal. Kesamaan dipahami secara sama, terlepas dari
apakah kesamaan itu sesuai dengan pandangan mujtahid atau tidak.
Fungsi Qiyas
Meski berbagai macam definisi diatas berbeda
dan menghasilkan pemahaman yang berbeda pula namun jika diperhatikan dan
dianalisis akan terlihat bahwa keduanya tidak berbeda secara prinsip. Menurut
syeikh Abdul Wahhab Khallaf sebelum mengetahui makna yang lebih sesuai dengan
prakteknya maka kita akan melihat terlebih dahulu apa fungsi dari qiyas itu
sendiri dan akan menyesuaikannya dengan redaksi definisi para ulama’[13].
Fungsi qiyas adalah menganalogikan
suatu hukum dengan menunjukkan illat suatu hukum dari suatu permasalahan yang
terdapat nash. Disamping itu juga berfunsi menentukan kesamaan antara
permasalahan yang terdapat nash di dalamnya dengan permasalahan yang tidak
terdapat nash di dalamnya, karena kesamaan illat kedua permasalahan tersebut,
dan menentukan hukum permasalahan yang tidak ada nashnya dengan hukum yang
telah ditentukan dari nash. Dengan demikian, fungsi qiyas tersebut memiliki
banyak bagian, dan dalam hal itu mujtahid berpindah dari satu fase ke fase yang
lainnya. Karena perbedaan yang terjadi dalam memaknai fungsi itulah maka
terjadi perbedaan redaksi yang dibuat para pakar ahli ushul fikih ketika mendefinisikan
makna qiyas.
Dari fungsi qiyas yang telah dirumuskan maka
penulis memilih definisi yang paling sesuai dengan fungsinya sebagaimana yang
dipilih oleh Dr. Wahbah az-Zuahili:
إِلْحَاقُ أَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوصٍ عَلَى حُكْمِهِ الشَرْعِيْ بِأَمْرٍ مَنْصُوصٍ
عَلَى حُكْمِهِ, لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي عِلَّةِ الحُكْمِ
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada
nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena
keduanya berserikat dalam illat hukum.
Kosa kata yang terpilih menggunakan lafadz الحاق
begitu juga yang dipilih oleh syeikh Abdul Wahaf Kholaf[14],
beliau memilih definisi yang menggunakan kosakata الحاق karena definisi itulah yang paling mendekati
fungsi dari qiyas itu sendiri; yaitu menyikap dan menampakkan hukum, bukan اثبت
menetapkan dan membuat hukum. Karena hukum telah ada sebelum diqiyaskannya
furu’ dengan ashal dan baru terungkap ketika mujtahid menjelaskannya dengan
perantara mewujudkan illat.[15]
Juga karena qiyas adalah alat untuk menampakkan hukum yang menjadikan illat
sebagai asasnya. Sedang yang dilakukan mujtahid ialah menampakkan hukum furu’
dengan menyamakan illat pada hukum ashal.
Kehujjahan Qiyas
Dalam membahas sebuah dalil syar’i dan
menjelaskan hakikatnya maka hal yang perlu dibahas selanjutnya adalah mengetahui
kehujjahan dalil syar’i tersebut. Maksudnya adalah membahas tentang dalil bahwa
ia merupakan hujjah dan sumber hukum yang harus diamalkan. Sebab, hukum yang
disimpulkan darinya tidak bisa menjadi undang-undang yang mengikat kecuali jika
terdapat bukti bahwa ia adalah hukum syar’i yang bersumber dari dalil yang
diakui oleh syariat.
Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat
dikalangan ulama muktabar bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i, di mana hukum
yang ditunjukkan wajib diamalkan dalam dua kondisi, yaitu:
Pertama, qiyas yang disandarkan pada illat yang dinyatakan secara
tersurat oleh syariat. Yaitu nash yang menunjukkan illat suatu hukum dan
menunjukkan bahwa nash tersebut menetapkan hukum dalam setiap permasalahan yang
terdapat illat di dalamnya.
Qiyas-qiyas inilah yang dilakukan oleh
Rasulullah. Karena jika Rasul melakukan qiyas lalu Allah mengakuinya, berarti
illat-illat hukum dari permasalahan tersebut berasal dari Allah, dan dari Allah
juga hukum permasalahan ditetapkan.
Kedua, qiyas yang tidak ada keterangan illat dari Rasulullah,
maka inilah titik perbedaan pendapat dikalangan ulama; apakah ia hujjah syar’i
atau bukan. Pendapat mereka terbagi menjadi banyak cabang[16],
namun pendapat yang paling menonjol hanya dua[17],
yaitu:
Pertama, pendapat jumhur, mayoritas ulama. Menurut mereka
qiyas adalah hujjah syar’i yang bisa dijadikan landasan untuk hukum-hukum yang
bersifat aplikatif. Dan ia juga merupakan suaatu dalil yang ditentukan syariat
untuk mencari hukum dari suatu permasahan yang tidak ada nashnya. Mereka
disebut dengan golongan mutsbitu al-qiyas[18]
(golongan yang menetapkan qiyas).
Kedua, adalah pendapat kalangan Syiah, an-Nadzdzam,
adh-Dhohiriyah dan dari kalangan Mu’tazilah Bagdad. Mereka berpendapat qiyas
seperti ini bukanlah hujjah syar’i yang digunakan sebagai perangkat untuk
menentukan hukum syar’i. Mereka ini sisebut sebagai golongan nufatu al-qiyas[19]
(golongan yang menafikan qiyas).
Dalil-dalil yang Dikemukakan Ulama Mutsbitu
al-Qiyas
para ulama yang menetapkan qiyas sebagai
hujjah syar’i telah mengambil dalil dari Al-Quran, Sunnah, perkataan sahabat,
dan juga dari akal (rasio).
Dalil-dalil dari Al-Quran
Adapun dalil-dalil yang paling menonjol yang
menetapkan qiyas sebagai hujjah adalah sebagi berikut:
Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’ ayat 59:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul”
Wajhu dalalahnya adalah dengan ayat ini, Allah telah
menyuruh orang-orang beriman ketika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu
yang tidak ada keterangan hukumnya baik dari Allah, Rasul-Nya, dan para ulil
amri, untuk mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan mengembalikan
perbedaan pendapat ini juga mencakup segala hal yang pantas dikembalikan kepada
keduanya.[20]
Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr ayat 2:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Wajhu dalalah: Allah telah menceritakan Yahudi Bani Nadhir
yang telah kufur dan hukuman yang telah menimpa mereka tanpa mereka sangka sebelumnya,
maka Allah pun berfirman “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran.” Maksudnya adalah qiyaskanlah diri kalian dengan mereka. Karena
kalian adalah manusia juga seperti mereka, di mana jika kalian melakukan hal
seperti mereka maka kalian juga akan ditimpa hukuman seperti mereka.[21]
Hal ini telah menjadi sunnatullah kehidupan
bahwa segala nikmat, siksaan, dan ketetapan-Nya merupakan silogisme yang
dihasilkan dari premis-premis tersebut dan dampak atau akibat dari
perbuatan-perbuatan itu. Dimana ada premis maka di situlah ada silogisme[22],
dan dimana ada sebab maka di situlah ada akibat. Namun, lebih indah menggunakan
istilah qiyas dan illat dibanding menggunakan istilah premis dan silogisme
karena kalimat itu (premis-silogisme) merupakan kalimat yang ahli filsafat dan
terkadang terjadi kesalahan di dalamnya. Qiyas hanyalah bentuk penyelarasan
dengan sunnatullah dan pengurutan akibat terhadap penyebabnya di manapun
terdapat penyebab itu. Itulah yang ditunjukkan firman Allah “Maka ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi pelajaran.” Sudah menjadi sunnah-Nya bahwa apa
yang telah terjadi pada sesuatu juga pasti terjadi pada sesuatu yang
menyerupainya. Sebagai contoh lain apabila salah seorang santri di drop out karena
masalah wanita dan sang ustad akan berkata “ambillah pelajaran darinya.” Maka
yang dimaksud oleh sang ustad adalah jika kita melakukan perbuatan yang sama
dengannya maka kita juga akan di-drop out seperti dirinya bukan orangnya
namun perbuatannya.
Dari sini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
qiyas merupakan qiyas dan sah untuk dijadikan sarana untuk mencari dalil.
Dali-dalil dari Sunnah
Adapun hadits yang paling menonjol adalah
hadits Muadz bin Jabal ketika ia menjadi seorang delegasi Islam di negri Yaman.
Hadits tersebut telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Nabi
Muahammad saw berkata kepadanya, “Bagaimana anda akan mengambil keputusan
jika dihadapkan pada suatu masalah?” Muadz menjawab, “Aku akan
memutuskannya dengan kitabullah. Jika aku tidak mendapatinya di sana maka, aku
akan memutuskannya dengan Sunnah Rasul-Nya. Dan jika aku tidak mendapatinya di
sana, maka aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan ragu.”
Rasulullahpun menepuk punggung Muadz seranya berkata, “segala puji bagi
Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah kepada apa yang
diridhoi Rasulullah.”[23]
Wajhu istadlal: Rasulullah saw mengakui keputusan Muadz untuk
berijtihad jika tidak didapati nash baik dari Al-Quran ataupun dari Sunnah
dalam menetapkan suatu keputusan. Dan Ijtihad adalah mengerahkan segala kekuatan
untuk sampai kepada suatu hukum. Ijtihad dengan pengertian seperti ini mencakup
di dalamnya qiyas. Sebab, ia adalah salah satu jenis ijtihad dan istidlal. Dan
Rasulullah saw tidak mengakui istidlal Muadz dengan jenis tertentu, namun
menyebutnya secara mutlak.[24]
Dalam Hadits lain Rasulullah telah
mencontohkan qiyas kepada umatnya seperti hadits yang menceritakan seorang
gadis muda yang mengadu kepada Rasulullah akan beban haji yang telah wajib atas
ayahnya sedang sang ayah sudah lanjut usia yang tidak memungkinkan baginya
melaksanakan ibadah haji. Lalu Rasulullah menqiyaskannya dengan seorang yang
memiliki beban hutang dan ia wajib untuk membayarnya, jika ia tidak mampu maka
ahli warisnyalah yang memiliki kewajiban menggantikannya. Juga Hadits Umar bin
Khotob yang bertanya kepada Rasulullah perihal dirinya yang telah mencium
intrinya dalam keadaan berpuasa dan tidak mengeluarkan seperma. Maka,
Rasulullah pun mengqiyaskannya dengan berkumur ketika dalam keadaan berpuasa.[25]
Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’lamu
al-Muwaqiin banyak menukil fatwa dari para sahabat Rasulullah dengan
ijtihad mereka.[26]
Dan muara ijtihad mereka adalah Qiyas. Dengan demikian, selama hidupnya,
Rasulullah tidaklah mengingkari ijtihad para sahabatya. Begitu juga para
sahabat tidak mengingkari ijtihad dan mengqiyaskan suatu permasalahn dengan
permasalahan yang serupa yang dilakukan sebagian sahabat yang lain. Karenanya,
mengingkari kehujjahan qiyas berarti menyalahkan apa yang telah berjalan di
kalangan para sahabat dalam berijtihad dan apa yang telah mereka tetapkan
dengan perbuatan dan perkataan mereka.
Dalil-dalil Nufatul Qiyas
Para ulama yang menafikan qiyas juga memiliki
landasan dalil baik dari Al-Quran, Sunnah perkataan sahabat, dan juga secara
rasio. Seakan-akan mereka hendak menandingi setiap dalil yang dikemukakan para
ulama yang menetapkan qiyas sebagai hujjah dengan dalil yang semisal.
Dalil dari Al-Quran
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hujurat:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah.” (Al-Hujurat: 1)
Wajhu Istidlal: Ayat ini melarang orang-orang mukmin untuk mendahului
Allah dan Rasul-Nya dalam masalah penentuan hukum dari suatu permasalahan atau
dalam masalah lainnya. dan qiyas merupakan bentuk mendahului Allah dan
Rasul-Nya dalam menentukan hukum dari permasalahan yang tidak ditentukan
hukumnya oleh Allah dan Rasul-Nya tersebut.[27]
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 89
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ
لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.”
Dan semakna dalam surat Al-Anam ayat 59
وَلَا
رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"
Wajhul istidlal: dalam ayat tersebut terdapat keterangan bahwa
dalam Al-Quran terdapat penjelasan tentang segala hukum. Dan tidak lagi
membutuhkan qiyas sebagai dasar hukum. Sebab, jika hukum yang ditunjukkan qiyas
adalah sama dengan hukum yang ditunjukkan Al-Quran, maka qiyas tidaklah
dibutuhkan. Sedangkan jika hukum yang ditunjukkan qiyas tidaklah sama dengan
hukum yang ditunjukkan Al-Quran, maka qiyas terbut tertolak.[28]
Dalil dari Sunnah
Para ulama yang berada dalam madzhab ini
mengeluarkan dalil dari Sunnah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Hazm di dalam
ar-Risalah al-Kubro dari Abu Huroiroh ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Umat
ini mengambil dari Al-Quran, dari Sunnah, dan dari qiyas. Apabila mereka
melakukan hal itu, maka mereka sungguh
telah tersesat”[29]
Wajhu istidlal: mereka memahami hadits ini demikian, bahwa
umat ini sesekali mengambil dalil dari Al-Quran jika ditemukan. Jika tidak
ditemukan dalam Al-Quran, mereka mengambilnya dari Sunnah. Jika dari Al-Quran
dan Sunnah tidak ditemukan maka mereka mengambilnya dari qiyas. Apabila ia
melakukan hal itu , yaitu mengamalkan qiyas ketika tidak ada dalil dalam
Al-Quran dan Sunnah, maka mereka telah tersesat.[30]
Selain dari hadits diatas mereka juga
menggunakan hadits sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai
ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu
langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga
mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah
kamu bahas hal itu”.[31]
Wajhu istidlal: Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan
bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan
saja, yang hukumnya berkisar antara di maafkan dan mubah (boleh). Sudah barang
tentu sesuatu yang diqiyaskan adalah sesuatu yang yang didiamkan oleh syariat
dan jika telah diqiyaskan sesuatu yang didiamkan oleh syariat, misalnya, kepada
sesuatu yang diwajibkan maka sesungguhnya ia telah mewajibkan sesuatu yang
telah didiamkan oleh syariat. Dan jika diqiyaskan kepada hal yang haram maka ia
telah menharamkan sesuatu yang didiamkan oleh syariat.[32]
Meskipun mereka tidak menggunakan qiyas bukan
berarti mereka tidak memiliki metode penggalian hukum atas suatu kasus yang
oleh ulama jumhur menggunakan metode qiyas, misalnya Zhahiriyah menggunakan
metode “umum lafadz nash” sebagai ganti dari qiyas.[33]
Contoh, dalam permasalahan haramnya memukul
orang tua. Ulama jumhur mengqiyaskannya kepada haramnya mengucapkan kata “uf”
(kata-kata kasar) kepada orang tua, secara qiyas awlawi, karena adanya
illat yang sama, yaitu: menyakiti orang tua.
Dalam hal ini ulama Zhahiri tidak menggunakan
qiyas. Bagi mereka, hanya dengan semata adanya laranangan mengucapkan “uf”
terhadap orang tua tidak berarti haram memukul orang tua. Namun mereka pun
berpandanagan bahwa memukul orang tua haram hukumnya. Tetapi dengan dalil yang
mereka gunakan adalah umumnya perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orang
tua dalam firman Allah di beberapa ayat dalam Al-Quran. Dengan adanya lafadz
yang umum dan didukung oleh beberapa hadits Nabi, maka wajib berbuat baik
kepada kedua orang tua dengan segala cara dan menjauhi menimpakan kemudaratan
kepada orang tua dengan cara apapun, termasuk memukulnya. Jadi haramnya memukul
orng tua itu bukan karena adanya larangan mengucapkan “uf”.
Contoh lainnya, dalam Al-Quran dan hadits
tidak pernah menyebutkan haramnya nabiz dan minuman keras lainnya selain khomer
seperti alkohol dan lainnya. jumhur menetapkan dengan mengqiyaskan kepada
khamer yang ditetapkan keharamannya dalam firman Allah pada surat al-Maidah
ayat 90:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Zhahiriyah berpendapat bahwa minuman selain khamer tidak haram hukumnya
hanya dengan adanya ayat di atas dan tidak dapat diqiyaskan hukumnya kepada
ayat itu. Namun, haramnya nabiz dan selainnya adalah berdasarkan sabda Nabi:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَام
Setiap yang memabukkan adalah
khamer dan setiap yang memabukkan adalah haram[34]
Nabi
menyamakan hukum setiap minuman keras sebagai haram; tidak terbatas pada yang
terbuat dari anggur, kurma, tin, madu, dan lainnya. kemudian Nabi menyatakan, “Setiap
yang memabukkan adalah khamer dan setiap yang memabukkan adalah haram”
khamer dari anggur tidaklah lebih utama dari pada khamer dari tin melainkan
keduanya sama hukumnya dengan yang ditetapkan oleh nash.
Demikianlah sekedar contoh yang
menjelaskan bahwa Zhahiri tidaklah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum
tetapi memakai kaidah umum nash. Dengan demikian, kedua kelompok ini pada
dasarnya tidaklah beda dalam hukum yang ditetapkan melainkan hanya berbeda
dalam menggunakan dalil untuk menetapkan hukum itu.
Tarjih
penulis telah memaparkan pendapat tentang
kehujjahan qiyas secara garis besar terbagi menjadi dua, serta telah memaparkan
dalil-dalil yang mereka gunakan dalam setiap pendapatnya. Lalu pendapat manakah
yang lebih rojih. Akan penulis paparkan kejelasannya dibawah ini.
Dalil yang digunakan oleh mutsbitul qiyas cenderung
lebih kuat, rojih, dari dalil yang digunakan para nufatul qiyas di
karenakan beberapa hal. Adapun alasannya adalah:
Dalil dari Al-Quran
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hujurat:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah.” (Al-Hujurat: 1)
Ayat ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk
pendapat mereka dengan cara apapun. Baik maksud dari ayat لَا تُقَدِّمُوا (janganlah kamu mendahului). Sebab, dalam qiyas tidaklah ada unsur mendahului atau
mendahulukan sesuatu dari Allah dan Rasul-Nya, berjalan di belakang keduanya,
dan memutuskan hukum yang sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan
Rasul-Nya dari perkara yang tidak ada nashnya. Dengan demikian, ayat ini
bermakna larangan terhadap orang-orang mukmin untuk mendahului Allah dan
Rasul-Nya dalam segala hal. Namun, di dalam qiyas tidak terdapat hal itu,
melainkan terdapat bentuk mengikuti hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 89
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ
لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.”
Ayat ini juga tidak bisa dijadikan sebagai
dalil untuk menafikan qiyas karena maksud dari ayat ini adalah Al-Quran
merupakan penjelas segala sesuatu secara global yang meliputi hukum-hukum,
prinsip-prinsip pensyariatan yang umum dan tatacara penggalian hukum tersebut
yang telah ditunjukkan oleh Al-Quran. Dengan kata lain, dengan kumpulan secara
global ini, kaidah-kaidah umum, maupun dengan melalui penggalian hukum, yaitu
dengan dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, maksud
penjelasan bagi segala sesuatu bukanlah Al-Quran tersebut yang menjelaskan
setiap hukum dari suatu permasalahan yang sudah atau akan terjadi. Sebab, hal
ini tidaklah benar dan tidak sesuai dengan faktanya.[35]
Dari Sunnah
Para ulama yang berada dalam madzhab ini
mengeluarkan dalil dari Sunnah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Hazm di dalam
ar-Risalah al-Kubro dari Abu Huroiroh ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Umat
ini mengambil dari Al-Quran, dari Sunnah, dan dari qiyas. Apabila mereka
melakukan hal itu, maka mereka sungguh
telah tersesat”
Telah dijelaskan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya[36],
al-Haruri dalam Dzammu al-Kalamnya[37],
dan al-Haitsumi dalam al-Mujma’nya[38]
bahwa pada silsilah sanadnya terdapat seorang bernama Utsman bin Abdurahman
az-Zuhri yang mana mereka telah sepakat akan ke-dhoif-annya. Albani pun
mencantumkannya sebagai salah satu dari hadits-hadits dhoif dalam kitabnya Dhoif
al-Jami’.[39]
Hadits diatas bertentangan dengan hadits yang memerintahkan qiyas seperti
hadits Muadz dan Abu Musa al-Asy’ari. Sehingga, ketika dua hadits yang saling
bertentangan bersatu maka diambil yang lebih rojih dari keduanya, dan hadits
diatas tidaklah dapat dijadikan hujjah karena keterangan dhoif dari para ahli
hadits telah tersemayam atasnya.
Selain dari hadits diatas mereka juga
menggunakan hadits sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai
ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu
langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga
mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka
janganlah kamu bahas hal itu”.
Dr. Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa hukum yang
dihasilkan dari qiyas itu telah tetap apa adanya bukan hukum penetapan seorang
mujtahid, melainkan itu adalah hukum Allah Ta’ala. Karena illat hukum ashal
sesuai dengan illat furu’. Mujtahid bukanlah seorang yang menetapkan sesuatu
itu wajib atau haram sekehendaknya sendiri melainkan ia menampakkan hukum dari
suatu yang tidak ada nash kepada suatu yang telah terdapat dalam nash dengan
mencari kesamaan illat dari keduanya.[40]
Prinsip berhujjah dengan qiyas adalah suatu
keniscayaan demi kekekalan syariat dan kelayakannya untuk diterapkan pada
setiap masa dan tempat. Sebab, nash Al-Quran dan Sunnah terbatas jumlahnya,
telah terhenti, dan tidak ada lagi penambahan, sementara persoalan manusia
tidaklah terbatas dan terus terjadi tiada henti. Jadi, dengan mengenali
masalah-masalah yang sepadan (furu’) dan mengembalikan hukum sesuatu kepada
padanannya (ashal) akan dapat menjamin terakomodasinya berbagai kejadian yang
tidak terbatas ke dalam nash-nash yang terbatas jumlahnya, sekaligus dapat
menyingkap hukum syariat tentang kejadian dan persoalan yang terus berkembang.
Al-Muzani berkata:
Para ahli fikih sejak masa Rasulullah hingga
hari ini dan seterusnya menggunakan qiyas dalam fikih untuk semua hukum dalam
urusan agama. Mereka
sepakat bahwa sesuatu yang sama dengan yang haq adalah haq, dan sesuatu yang
sama dengan yang batil adalah batil. Oleh karenanya kita tidak bisa menolak
qiyas karena sesungguhnya qiyas merupakan sebuah upaya dalam mengidentifikasi
persoalan-persoalan yang sejenis kemudian memberi hukum yang sejenis pula.[41]
Perbedaan pendapat antara pemakai qiyas dan
penolak qiyas sejatinya disebabkan oleh perbedaan pendapat mereka dalam
penamaan dan hakikat itu sendiri. Qiyas yang diartikan dengan “menghubungkan
furu’ kepada ashal dalam penetapan hukum” atau menetapkan hukum ashal pada
furu’” sebagaimana diuraikan dengan
berbagai definisi yang oleh pendukung qiyas dapat dijadikan dalil hukum syara’,
tidak dinamakan qiyas oleh penentang qiyas melainkan dinamakan tamtsil,
yang di kalangan ulama manthiq/logika disebut analogi yang berarti tidak logis.
Sedangkan yang mereka namai qiyas adalah “ucapan yang terdiri dari beberapa
premis yang bila premis-premis itu diterima kebenarannya maka akan menghasilkan
ucapan lain yang disebut sebagai kesimpulan”. Yang disebut qiyas itu adalah
pemikiran yang berbentuk deduktif, sedangkan yang disebut qiyas oleh pemakai
qiyas adalah qiyas yang menggunakan pemikiran analogis. [42]
Untuk
tidak meragukan penggunaan qiyas yang berbeda itu, maka qiyas yang disebut tamtsil
itu dinamakan qiyas ushuli, dan qiyas yang bersifat deduktif
dinamakan qiyas manthiqi. Para ulama yang menolak qiyas seperti ulama
kalam Muktazilah dan ulama fikih Zhahiriyah, demikian juga ulama Syiah menolak qiyas
ushuli namun menerima qiyas manthiqi. Alasan penolakan mereka
terhadap qiyas ushuli adalah bahwa kebenaran yang dihasilkannya hanya
bersifat spekulatif oleh karena itu
kebenaran tidak kuat. Umpamanya: khamer itu hukumnya haram karena memabukkan.
Tuak juga memabukkan maka hukumnya juga haram. Tidaklah menyakinkan, karena
khamer itu memabukkan dan tuak memabukkan maka tuak hukumnnya juga haram.
Sebaliknya kelompok yang menolak qiyas
menerima qiyas manthiqi karena didasarkan pada pemikiran deduktif yang
nilai kebenarannya adalah menyakinkan karena didasarkan pada pemikiran
deduktif. Umpumanya: si Ahmad adalah makhluk hidup, setiap makhluk hidup itu
akan mati. Maka si Ahmad akan mati. Kebenaran ini tidak ada yang membantah.
Rukun-Rukun Qiyas
Adapun rukun-rukun qiyas adalah sebagai
berikut:
Pertana, al-ashal[43],
yaitu permasalahan yang terdapat nash tentang hukumnya. Ia juga disebut al-maqis
alaih, al-mahmul alaihi, dan al-musyabbah bih.
Kedua, al-furu’[44],
yaitu permasalahn cabang yang tidak ternashkan
hukumnya dan merupakan sepadan yang disamakan dengan padanannya dalam hukum
itu. Dan furu’ juga disebut dengan al-maqis, al-mahmul, dan al-musyabbah.
Ketiga, al-illah[45],
yaitu sifat yang melandasi hukum permasalahan
ashal (padanan) dan hukum permasalahan cabang (sepadan) disamakan dengan hukum
permasalahan ashal karena mempunyai illat yang sama.
Keempat, al-hukmu al-ashal[46],
yaitu hukum syar’i yang disebutkan di dalam
nash yang merupakan hukum permasalahan ashal dan hendak dijadikan hukum juga
untuk permasalahan cabang.
Misalnya adalah minum khamer merupakan
permasalahan ashal, sebab, terdapat nash tentang hukumnya, yaitu firman Allah
Ta’ala, “... maka jauhilah khamer itu...” (Al-Maidah: 90). Nash tersebut
menunjukkan keharaman meminum khamer karena adanya illat (alasan) pelarangan
hal tersebut, yaitu memabukkan. Kemudian meminum air fermentasi kurma yang
merupakan permasalahan cabang (al-Far’u), karena tidak adanya nash yang
menyatakan keharamannya. Namun, ia menyamai khamer ketika diminum, yaitu
sama-sama memabukkan. Karenya hukum meminum air fermentasi kurma pun disamakan
dengan hukum meminum khamer, yaitu haram.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa berhujjah dengan qiyas tidaklah mengapa selama tidak adanya
nash yang menyebutkan hukum perkara tersebut, adanya perkara padanan yang
dijadikan sandaran sebelum tersingkapnya hukum pada cabang, adanya illat yang
sama dari kedua perkara di atas, serta hukum yang jelas telah termaktub dalam
Al-Quran tentang hukum asal.
Qiyas yang benar merupakan hujjah yang diakui
dalam menetapkan hukum. Ini adalah pendirian mayoritas ulama, termasuk imam
empat madzhab dan lainnya. Qiyas berada pada peringkat keempat dari urutan dalil-dalil
syar’i setelah Al-Quran, Sunnah, dan ijmak. Qiyas boleh dijadikan hujjah
berdasarkan Al-Quran, Sunnah, perkataan para sahabat, dan pengamalan para imam.
Tidak ada yang berbeda pendapat dalam hal ini kecuali dari kalangan Zhahiriyah,
Nazhamiyah, dan sebagian kelompok syi’ah.
Penutup
Demikianlah pemaparan yang dapat peulis
paparkan. Dan layaknya sebuah gading, tidak ada yang tidak retak, mestinya
dalam penulisan makalah ilmiyah ini masih banyak sekali kekurangan. Sehingga atas
kurangnya penulis memohon maaf yang sebesarnya dan semoga bermanfaat bagi
segenap pembaca sekalian. Aamiin. Wallahu ‘a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ as-Shohih, (Beirut,
Darul Ihya’ at-Turotsal-Arobi)
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut,
Dar al-Kitab, al-Arobi) versi Syamilah
Al-Haruwi, Dzammu al-Kalam, (Madinah,
Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1998)
Abu Yakla, Musnad Abi Yakla, (Damaskus,
Dar al-Ma’mun li at-Turots, 1984)
Al-Haitsami, Mujma’ az-Zawaid, (Beirut,
Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1988)
Abu Hasan Daru Quthni, Sunan Daru Quthni,
(Beirut, Darul Makrifah, 1966) versi Syamilah
Al-Bani, Dhoif al-Jami’, Jil I hlm 207.
Versi Syamilah
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut : Daar Shadir, 2004)
Al-Amidi,
al-Ihkam, (Riyad : Daar ash-Shami’, 2003)
As’ad as-Sa’di, Mabahits al-‘Illat, (Beirut : Daar
al-Basyair, 2000)
Muhammad Rawwas, Mu’jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh,
(Damaskus : Daar al-Fikr, 2000)
Imam al-Ghozali, Al-Mustashfa fi Ilmi
al-Ushul, (Beirut, Daar al-Kitab al-Ilmiyah, 1413 H) cet I
Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I
Muhammad Abu zuhroh, Ushul Fiqh, (Daar
Fikri al-Arobi)
Abu Nashir as-Subki, Rof’u al-Hajib an
Mukhtashor Ibnu al-Hajib, (Beirut, Alim al-Kutub, 1999), cet I
Abdullah Umar al-Baidhowi, Minhaju
al-Wusul, (Damaskus, Muassasah ar-Risalah Nasirun, 2006) cet I
Ibnu al-Hummam, at-Tahrir fi ushuli
al-Fiqh, (Mesir, Mustofa al-Bani al-Halbi, 1351 H) Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, I’lamul Muwaqiin ‘an Rabb Al-Alamin, (Beirut,
Daar al-Jail)
Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi
asy-Syariahal-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat
Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2014) cet V
Sholah Showi, Ats-Sawabit wa
al-Mutaghoyirot, ahli bahasa: Arwani Amin, (Solo, Era Adicitra Intermedia),
cet I
[1] HR. Bukhori no. 6805, Shohih Bukhori, HR. Muslim no. 3240, Shohih
Muslim. Diriwayatlan dari ‘Amru bin ‘Ash
[2]
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut : Daar Shadir, 2004), vol. VI, hlm.
185, al-Amidi, al-Ihkam, (Riyad : Daar ash-Shami’, 2003), vol. III, hlm.
227, dan lihat As’ad as-Sa’di, Mabahits al-‘Illah, (Beirut : Daar
al-Basyair, 2000), hlm. 15 – 19
[3]
Muhammad Rawwas, Mu’jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh, (Damaskus : Daar
al-Fikr, 2000), hlm. 344
[4] Imam al-Ghozali, Al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul, (Beirut, Daar
al-Kitab al-Ilmiyah, 1413 H) cet I hlm. 280
[7] Abu Nashir as-Subki, Rof’u al-Hajib an Mukhtashor Ibnu al-Hajib, (Beirut,
Alim al-Kutub, 1999), cet I Jil IV hlm. 137
[8] Abdullah Umar al-Baidhowi, Minhaju al-Wusul, (Damaskus, Muassasah
ar-Risalah Nasirun, 2006) cet I hlm. 92
[13] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi
asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat
Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 184
[14] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi
asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam,
(Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 187
[18] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi
asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat
Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm 200
[21] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi
asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat
Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 203. Abdullah Umar
al-Baidhowi, Minhaju al-Wusul, (Damaskus, Muassasah ar-Risalah Nasirun, 2006)
cet I hlm. 92.
[22] KBBI. Premis mayor premis yg berisi term yg menjadi predikat kesimpulan; -- minor premis yg berisi term yg akan menjadi subjek sebuah kesimpulan; -- silogisme dua premis (mayor dan minor) yg mewujudkan anteseden
[23]HR. Ahmad no. 22061, Musnad Imam Ahmad, (Muassasah Risalah, 1999) Jil
36 cet II hlm. 382. Abu Isa at-Tirmidzi no. 1327, al-Jami’ as-Shohih, (Beirut,
Darul Ihya’ at-Turotsal-Arobi) jil III hlm. 616, Abu Dawud no. 3594, Sunan Abi Dawud, (Beirut, Dar
al-Kitab, al-Arobi) jil. III hlm. 330. versi Syamilah
[24] Syeikh
Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin
Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I
hlm. 206
[25] Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, I’lamul
Muwaqiin ‘an Rabb Al-Alamin, (Beirut, Daar al-Jail) Jil I hlm. 199
[27] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 610, Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi
asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam,
(Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 211.
[28] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami,
(Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 611. Syeikh Abdul Wahhab Kholaf,
al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam
Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 213. Prof. Dr. H.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2014) cet V hlm. 338.
[29] HR. Al-Haruwi no. 253, Dzammu al-Kalam, (Madinah, Maktabah al-Ulum
wa al-Hikam, 1998) Jil II hlm. 95. HR. Abu Yakla no. 5856, Musnad Abi Yakla,
(Damaskus, Dar al-Ma’mun li at-Turots, 1984) Jil X hlm. 240. HR. Al-Haitsami,
Mujma’ az-Zawaid, (Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1988) Jil I hlm.
365
[30] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj,
Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015)
cet I hlm. 216
[31] Abu Hasan Daru Quthni, Sunan Daru Quthni, (Beirut, Darul Makrifah,
1966) jil IV hlm. 183 nomer 42, versi Syamilah
[34] HR. Muslim dari Abdullah bin Umar dalam Shahihnya nomer 3733,
Tirmidzi dalam Sunannya nomer 1784
[35] Dr.
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I
hlm. 612. Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah
al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta,
Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 213.
[36] HR. Abu Yakla no. 5856, Musnad Abi Yakla, (Damaskus, Dar al-Ma’mun
li at-Turots, 1984) Jil X hlm. 240
[37] HR. Al-Haruwi no. 253, Dzammu al-Kalam, (Madinah, Maktabah al-Ulum
wa al-Hikam, 1998) Jil II hlm. 95
[41] Sholah Showi, Ats-Sawabit wa
al-Mutaghoyirot, ahli bahasa: Arwani Amin, (Solo, Era Adicitra Intermedia),
cet I hlm. 56
0 komentar:
Posting Komentar