Oleh : Hasri
I. Pengertian Gencatan Senjata
Secara bahasa, وهادنه مهادنة: أي صالحه، والاسم: الهدنة، ويقال للصلح بعد القتال
Artinya melakukan perjanjian atau perjanjian setelah berperang.
Atau biasa diistilahkan al-Hudnah, ash-Sulhu al-Muaqqat, al-Muwada’ah.
Secara istilah para ulama memiliki berbagai macam pengertian namun
artinya tidak jauh berbeda. Yaitu mengadakan kesepakatan dengan kafir harbi
untuk tidak melakukan perang dalam waktu tertentu dengan disertai pengganti ataupun yang lainnya, baik diantara
kafir harbi itu ada yang masuk islam atau tidak, dan mereka masih tetap tidak
berada dalam kekuasaan pemerintahan islam.[1]
Ibnu Qudamah menyebutkan di dalam kitab
Al-Mughni makna al-hudnah Adalah
مَعْنَى الْهُدْنَةِ، أَنْ يَعْقِدَ
لِأَهْلِ الْحَرْبِ عَقْدًا عَلَى تَرْكِ الْقِتَالِ مُدَّةً، بِعِوَضٍ وَبِغَيْرِ
عِوَضٍ. وَتُسَمَّى مُهَادَنَةً وَمُوَادَعَةً وَمُعَاهَدَةً
Seorang imam (pemimpin kaum muslimin)
mengadakan perjanjian dengan pihak musuh untuk menghentikan peperangan selama
jangka waktu tertentu, baik dengan kompensasi maupun tanpa kompensasi.[2]
Gencatan senjata adalah penghentian perang atau konflik bersenjata apapun untuk sementara di mana kedua belah
pihak yang terlibat setuju untuk menghentikan tindakan agresif masing-masing.[3]
Disyariatkannya Gencatan Senjata
Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa hukum Gencatan
senjata yang pada saat itu imam mengadakan perjanjian dengan pihak musuh untuk
menghentikan perang selama jangka waktu tertentu, baik dengan kompensasi maupun
tanpa kompensasi adalah dibolehkan. Berdasarkan firman Allah.
{بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى
الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ}
Artinya : “(Inilah pernyataan)
pemututusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang
telah kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka)” (QS At-Taubah 9:1).
{وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ
لَهَا}
Artinya : “Tetapi jika
mereka condong kepada perdamaian maka terimalah dan bertakwalah kepada Allah
sungguh Dia Maha Mendengar Maha Mengetahui” (QS Al-Anfal 8:61).
Juga diriwayatkan oleh Marwan dan Al-Musawwir
bin Al-Makhramah bahwa nabi berdamai dengan Suhail bin Amr (wakil dari kaum
musyrik Quraisy) di Al-Hudaibiyah untuk menghindari perang selama sepuluh tahun.[4]
Contoh lain perjanjian gencatan senjata yang
dilakukan Rasulullah dengan pihak lain adalah kesepakatan antara Rasulullah
dengan kaum yahudi setelah beliau hijrah ke Madinah. Inilah yang tercatat dalam
shahifah (lembaran sejarah) yang terkenal. Ditetapkan hak-hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi kedua belah pihak, baik dalam kondisi damai
maupun perang, yaitu membentuk koalisi pertahanan dan keamanan secara bersama
terutama saat ada serangan musuh ke Madinah.
II.
Syarat-Syarat Gencatan Senjata
Agar gencatan senjata yang dilakukan pihak
kaum muslimin sesuai yang dicontohkan Rasulullah maka harus terpenuhi beberapa
syarat sebagai berikut :
1.
Perjanjian harus dilakukan oleh imam atau wakilnya tidak boleh
selainnya. Ini pendapat jumhur ulama. Hudnah tidak akan sah jika dilakukan oleh
selain imam atau wakilnya. Dengan alasan Rasulullah sendiri yang mengadakan
perjanjian dengan Bani Quraidhah dan Quraisy[6].
2.
Harus ada kemaslahatan bagi Kaum Muslimin yang jelas. Seperti kondisi
Kaum Muslimin dalam keadaan lemah untuk berperang dan pihak kafir kuat.
3.
Massa Hudnah harus dibatasi. Imam yang menentukan batas waktunya
setelah berijtihad. Akad hudnah tidak dilaksakan secara mutlak,sebab jika
Hudnah dlakukan secara mutlak tanpa ada batasa akan menjadikan jihad
ditingalkan. Ini adalah pendapat jumhur[7]
4.
Tidak ada syarat yang fasid (yang tidak dibenarkan oleh
syara’). Seperti, Kaum Kafir mensyaratkan untuk tidak melepaskan tawanan
perang.[8]
III.
Masa Gencatan Senjata
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha mengenai masa Hudnah,
ada empat pendapat :
1. Pendapat Imam Syafi’i.
-Jika Kaum Muslimin Kuat tidak boleh lebih dari empat bulan dan
jika ada hajah/keperluan boleh lebih sampai satu tahun. Dalilnya Surat At-Taubah: 2
-Jika Kaum Muslimin lemah boleh sampai sepuluh tahun. Dalilnya
adalah perjanjian Hudaibiyah Rasulullah dengan Quraisyi.
2.Tidak boleh lebih dari sepuluh tahun baik Kaum muslimin dalam
keadaan lemah atau kuat. Dalilnya adalah perjanjian Hudaibiyah Rasulullah dengan
Quraisy. Adapun jika waktunya telah berakhir maka boleh untuk
mengadakan perjanjian kembali dengan melihat maslahat dalam perjanjian baru
itu. Sebab perjanjian yang dilaksanakan secara mutlak akan menjadikan jihad
ditinggalkan secara total[9]
3. Perjanjian boleh dilaksanakan lama atau cepat dengan waktu yang
ditentukan walaupun lebih dari sepuluh tahun.
4.Boleh dengan jangka waktu cepat atau lambat yang terbatas juga
boleh secara mutlak selama ada maslahat yang jelas. Hudnah yang mutlak boleh
tapi bukan wajib. Ini pendapat sebagian Hanabilah salah satunya adalah Ibnu
Taimiyah, beliau berkata ”Bolehnya akad Hudnah mutlak ataupun
muaqqat(terbatas). Dan jika muaqqat ia menjadi tetap dengan dua pilihan. wajib
untuk menepati janji selama musuh tidak membatalkan dan tidak membatalkan jika
(hanya)takut adanya penghianatan menurut pendapat ulama. Adapun yang mutlak
adalah akad yang boleh dilakukan imam dengan (menimbang) adanya
maslahat.”
Mengenai batasan waktu yang dibolehkan bagi
Kaum Muslimin untuk melakukan gencatan senjata dengan pihak musuh telah
disebutkan empat pendapat diatas. Penulis lebih cenderung dengan pendapat yang
keempat dengan melihat adanya kemaslahatan selama berlakunya gencatan senjata.
Apabila suatu kemaslahatan berlawanan dengan
suatu kemaslahatan yang lain, atau upay mencegah potensi kerusakan bertentangan
dengan potensi kerusakan yang lain atau kedua kepentingan ini (maslahat dan
kerusakan) berbenturan satu sama lain yang kita prioritaskan adalah fiqih
keseimbangan (Fiqih Al-Muwazanat). Yakni dengan menetapkan sejumlah
kriteria sebagai pedoman dan tolok ukurnya. Misalnya, mengabaikan kemaslahatan
yang lebih rendah untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar, mengambil resiko
paling ringan demi menghindari resiko yang paling berat, menanggung kerugian
yang lebih kecil untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Selain itu mengedapkan
pula prinsip-prinsip, menghindarkan kerusakan lebih utama daripada meraih
kemaslahatan, mengorbankan kemaslahatan simbolik demi meraih kemaslahata
substansial. Serta prinsip yang tidak kalah penting dari itu adalah
mengutamakan manfaat yang bersifat langgeng ketimbang manfaat yang bersifat
hanya sementara dan mengesampingkan kemaslahatan yang dikhususkan bagi
segelintir orang untuk mencapai kemaslahatan yang dapat dinikmati oleh
sebanya-banyak orang dan sebagainya.[10]
IV.
Perbedaan antara Gencatan Senjata dengan Pemberian Keamanan
1.
Gencatan senjata adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara
yang berperang untuk menghentikan perang dan mewujudkan perdamaian, adapun
pemberian jaminan keamanan adalah kesepakatan antara negara dengan
sekelompok tertentu dari pihak musuh dengan menjamin keamanan salah satu
wilayah atau bagian dari sebuah negara.
2.
Gencatan senjata adalah jalan untuk mengakhiri perang antara umat
islam dengan musuh, sedangkan jaminan keamanan adalah jaminan keamanaan kepada
sekelompok orang meskipun perang sedang berkecamuk.
3.
Memenuhi permohonan jaminan keamanan adalah wajib sedangkan
permohonan gencatan senjata hukumnya mubah tidak wajib, dengan mempertimbangkan
maslahat bagi kaum muslimin.
4.
Apabila akad al-aman seorang laki-laki batal atau gugur,
akad al-aman bagi istri dan anak-anaknya masih terus berlangsung
sedangkan perjanjian gencatan senjata tercabut batal maka tercabutlah keamanaan
bagi semua pihak musuh.
V.
Hukum yang Timbul Karena
Adanya Gencatan Senjata
Dengan adanya gencatan senjata maka peperangan harus dihentikan
antara kedua belah pihak. Jiwa musuh, harta, kaum wanita,dan anak-anak mereka
harus dilindungi sebab gencatan senjata termasuk akad al-aman juga,
karena itu harus menahan diri dan juga kafir dzimmi dari mengganggu pihak musuh
kecuali jika mereka melanggar janji yang sudah disepakati. Pihak muslimin juga
harus memenuhi syarat yang telah disepakati jika syarat tersebut tidak
bertentangan dengan syara’(umpama pihak musuh mensyaratkan pihak muslim harus
menyerahkan kaum wanitanya kepada musuh).[11]
VI.
Hal–Hal yang Menyebabkan Gencatan Senjata Berakhir
Menurut pendapat mazhab hanafi mengatakan bahwa gencatan senjata
berakhir apabila waktu yang telah ditetapkan telah berakhir tanpa perlu ada
pemberitahuan kepadap pihak musuh. Jika perjanjian ditetapkan secara mutlak
(tidak disertai masa berakhirnya) maka penetapan masa berakhir atau batalnya
perjanjian dikembalikan kepada kebijakan imam dan adanya pengkhianatan dari
pihak musuh.
Sedangkan menurut pendapat jumhur ulama gencatan senjata berakhir
jika pihak musuh membatalkan perjanjian itu, misalnya musuh memerangi umat
islam, membantu musuh islam yang lain, mereka membunuh seorang muslim,mengambil harta
seorang muslim, menghina Allah,Rasulullah atau Al-Qur’an dan yang
lainnya.
Dalilnya
ialah :
فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا
لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
Artinya :”Maka selama mereka berlaku jujur terhadapmu, hendaknya kamu berlaku
jujur (pula) terhadap mereka” (QS At-Taubah 9:7).
إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ
أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
Artinya :“ kecuali orang-orang
musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kamu dan mereka sedikit pun
tidak mengurangi (isi perjanjian) dan
tidak pula mereka membantu seorangpun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka
itu penuhilan janji sampai batas waktunya.” (QS At-Taubah 9:4).
VII. Kesimpulan
Dari pemaparan makalah diatas dapat diambil
kesimpuan bahwa gencatan senjata bagi kaum muslimin dibolehkan dengan beberapa
syarat yang harus dipenuhi sebagaimana yang sebutkan. Gencatan senjata pula
tidak semata-mata dibolehkan secara bebas tapi ada batasan waktu yang
diberikan. Melihat banyak perbedaan pendapat mengenai batasan waktu yang
diberikan penulis lebih memilih pendapat yang ditinjau dari kemaslahatan yang
didapat kaum muslimin sejauh mana gencatan senjata itu memiliki maslahat yang
besar dari mafsadat maka itu boleh tetapi gencatan senjata tidak boleh
dilakukan secara mutlak selamanya. Sebab dengan mengadakan gencatan senjata
selamanya akan menjadikan jihad ditinggalkan oleh kaum muslimin.
Dengan adanya gencatan senjata maka peperangan harus dihentikan
antara kedua belah pihak. Jiwa musuh, harta, kaum wanita,dan anak-anak mereka
harus dilindungi. Gencatan
senjata gencatan senjata berakhir jika pihak musuh membatalkan perjanjian itu,
misalnya musuh memerangi umat islam, membantu musuh islam yang lain, mereka membunuh seorang muslim,mengambil
harta seorang muslim, menghina Allah, Rasulullah atau Al-Qur’an dan yang
lainnya.
VIII. Daftar
Pustaka
Wahbah
az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, )Beirut,
Darul Fikri, 1999)
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Kairo, Hijr, 1410
H)
Yusuf Qardhawi, Fiqih jihad, (Bandung, Mizan 2010/1431 H)
Al-Kasani, Badaiu
as-Shanai’, (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiah, 1406 H)
Ad-Dusuqi al-Maliki, Hasyiatu ad-Dusuqi ala as-Syarh
al-Kabir (Beirut, Darul Fikr)
Ibnu Humam, Fathu Qodir, (Beirut, Darul
Fikr)
Ibnu
Taimiyah, Fatawa Kubra, vol. IV
Wikipedia
how?
BalasHapus