Oleh : Mukhlis Muhammadi
I. PENDAHULUAN
Islam datang di muka bumi ini sebagai rahmatanlil’alamin,
dengan Islam seluruh manusia akan merasakan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh
karenanya Allah memberikan manusia dengan keduanya bisa
mendapatkan kebahagiaan yang nyata. Maka dari itu untuk mendapatkan semua bentuk
kasih sayang-Nya, Allah menurunkan batasan-batasan ataupun aturan dalam
kehidupan manusia agar manusia mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat. Namun
dalam kenyataannya manusia dalam berinteraksi dengan sesama manusia kadang
memunculkan gesekan diantara mereka. Yang mengakibatkan mereka melakukan
perbuatan yang menjurus pada tindakan pidana[1]
yang dapat memunculkann permusuhan dan juga merugikan diri mereka sendiri
ataupun orang lain.
Jika
kita perhatikan dunia pada hari ini,
maka kita akan banyak menemukan macam-macam berita, mulai
dari pecurian, perzinaan, korupsi, pemerkosaan, dan lain
sebagainya yang mana tindakan tersebut termasuk pada
tindakan pidana. Itu semua terjadi tidak
lepas dari rayuan dan bujukan syaitan la’natullah alaihi, karena
lemahnya iman dan jauhnya seseorang dari Allah.
Untuk menanggulangani kasus-kasus diatas, Islam telah
memberikan peraturan-peraturan berupa sanksi-sanksi bagi pelaku kemaksiatan. Bahwa
dalam islam memiliki hukuman sanksi bagi seorang hamba yang melakukan sebuah
pelanggaran aturan islam. Maka di dalam islam
dikenal dengan adanya hukuman
Hudud, qishas,
diyat dan kafarah, yang semuanya adalah hukuman yang memiliki nash syar’i dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunah.
Lalu bagaimana dengan kasus-kasus yang terjadi sedangkan didalam
Al-Qur’an maupun as-Sunah sendiri tidak ada nash yang menjelaskan secara jelas tentang
akan hukuman had, qishas,
diyat maupun kafarah? Seperti, pencurian yang belum
mencapai nisobnya, jasus (mata-mata), pelecehan dan penghinaan pada
Allah dan Rasulnya, pelaku lesbian atau homoseksual, seorang laki-laki yang
menyurupai wanita, menuduh seseorang yang baik-baik berzina, dan juga peristiwa
yang masih hangat yang terjadi di Indonesia mengenai pelaku pelecehan seksual
yaitu pelecehan seksual yang dilakukan terhadap anak-anak dibawah umur, yang
mana pemerintah menetapkan hukuman kebiri, apakah hukuman tersebut termasuk kedalam
hukuman ta’zir atau tidak?
Maka
disini penulis akan sedikit mengulas tentang apa yang dimaksud dengan hukuman ta’zir
itu sendiri, bentuk-bentuk
hukuman ta’zir dan hal-hal yang berkaitan dengan hukuman ta’zir.
II. DEFINISI TA’ZIR
Ta’zir secara
etimologi adalah dari kata عزر- يعزر- عزراyang berarti mencegah,
melarang, menghalangi.[2]
Di antara bentuk penggunaannya ta’zir memiliki arti an-nushrah
(membantu, menolong), kerena pihak yang menolong mecegah dan menghalangi pihak
musuh dari menyakiti orang yang ditolong. Hukuman yang diberikan selain hukum
hudud untuk mencegah pelaku kemaksiatan dari mengulangi kejahatannya dan
melindungi dari kemaksiatan.[3]
Ta’zir secara terminologi:
1. Hanafiyah
Wahbah az-Zuhaili berkata, “Hukuman yang diberlakukan
terhadap suatu bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak ada ancaman hukuman
had dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah
maupun kejahatan terhadap hak Adami.[4]
2. Malikiyah
Muhammad bin Ahmad bin Jazi bekata, “Hukuman yang ditetapkan
pada perbuatan kemaksiatan menyerupai hukuman hudud yang kadar hukuman bisa
lebih atau kurang dari hukuman hudud itu sendiri yang dilakukan dari hasil
ijtihad Imam.”[5]
3. Syafi’iyah
Umar bin Aly berkata, “Hukuman kepada semua kemaksiatan
yang tidak ada hadd dan kafarahnya, termasuk juga wanita yang
berakal yang terkena hukuman juga menanggung dari banyak sedikitnya hukuman.”[6]
4. Hanabilah
Ibnu Qudamah berkata, “Hukuman yang diberikan terhadap
suatu bentuk perbuatan kemaksiatan dan
kriminal yang didalamnya tidak ada ancaman dengan hukuman hadd[7] , kafarat[8], qishas[9]dan
diyat [10].” [11]
Dari definisi diatas bisa kita
tarik kesimpulan pengertian ta’zir ialah bentuk hukuman dalam islam yang
didalam nash syar’i tidak ada penjelasan secara jelas tentang hukuman suatu kemaksiatan.
Kemudian
dijatuhkan melalui kebijakan dan ijtihad Imam kepada seorang pelaku kemaksitan.
Ibnu Qoyim al-Jauzi mengatakan, “Kemaksiatan terbagi
menjadi tiga katagori, pertama, perbuatan maksiat yang pelakunya diancam
dengan hukuman had tanpa ada kewajiban membayar kafarat. seperti
pencurian, meminum minuman keras, zina dan qadaf. Sehingga
dengan adanya hukuman had tersebut, maka hukuman ta’zir sudah
tidak diperlukan lagi. Kedua, perbuatan maksiat yang pelakunya hanya
terkena kewajiban membayar kafarat saja, tidak sampai terkena hakuman had,
seperti melakukan hubungan suami-istri disiang hari dibulan Ramadhan.
Ketiga,
tindakan kemaksiatan yang pelakunya tidak terkena ancaman hukuman had
dan tidak pula terkena kewajiban membayar kafarat, seperti mencium
perempuan asing, berduan dengan perempuan asing. Pelaku kemaksiatan yang ketiga
ini terkena hukuman ta’zir, dan menurut jumhur ulama’ maka imam harus
memberlakukan hukuman ta’zir terhadap pelakukannya, tidak boleh membiarkannya
hal tersebut maka diserahkan pada ijtihad imam. Apakah akan diberikan hukuman ta’zir
atau tidak. Dan juga kadar dan bentuk hukuman ta’zir yang di jatuhkan
kepada pelaku maka di serahkan kepada hasil ijtihad dan kebijakan imam.[12]
III.
MASYRU’IYYAH
-
Dalil Al-Qur’an:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا
تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar.”[an-Nisa’:
34]
Ibrahim bin Fahd berkata,
“Bahwasanya suatu hukuman memiliki tahapan, karena bisa jadi dalam nash yang
lain ada yang penjelasan balasan yang berbeda bagi pebuatan tersebut yang
sesuai dengan tarhapan hukuman dari yang ringan kemudian kepada yang lebih
berat. Seperti tahapan dari ayat diatas dimulai dari menasehati, meningkat
dengan didiamkan, kemudian meningkat pada pemukulan. Dengan adanya tahapan itu
maka akan tercapainya tujuan dari suatu hukuman dengan dimulai dari tahapan
yang paling ringan. Maka hukuman tidak bisa langsung kepada hukuman yang paling
berat.[13]
-
Dalil as-Sunah :
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ نِيَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ لَا يُجْلَدُ أَحَدٌ فَوْقَ
عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ
“Dari Abu Burdah bin Niyar, Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seseorang tidak boleh
didera lebih dari sepuluh kali deraan, kecuali di dalam salah satu hukum hudud."[14].
Abdurrahman
al-Jaziri berkata, “Maksud dari hadits tersebut adalah hukuman untuk perbuatan
maksiat, bukan termasuk pada hukuman had. Maka hadits ini menunjukkan
tidak bolehnya menghukum dengan lebih dari sepuluh deraan kecuali pada
perbuatan-perbuatan kemaksiatan yang telah diharamkan oleh Allah. Maka
keputusan hukuman ta’zir sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Maka semua
jenis kejahatan yang didalamnya tidak ada syari’at had dan kafarah
maka hakim menghukum dengan memenjarakan atau dengan pukulan yang dilihat dapat
mencegah terhadap perbuatan maksiat. Adapun hukuman yang dilakukan pada sorang anak kecil disebut
dengan ta’dib yaitu sebagai bentuk pendidikan dengan syarat tidak
melebihi sepuluh kali deraan .[15]
-
Atsar Sahabat:
Adl bin Yusuf berkata, “ar-Razi dalam kitabnya
al-Mushanaf beliau mengatakan, ‘Bahwasanya Umar memerintahkan untuk
membakar sebuah kedai penjual khamr dari pemilik yang bernama Ruwaisyid
al-Tsaqofi dan mengatakan: ‘sesungguhnya kamu Fuwaisik laa Ruwaisyid
(orang fasik kecil dan bukan orang yang lurus).’ Dan juga Aly bin Abi Thalib
pernah menyuruh untuk membakar sebuah desa yang menjual Khamr.[16]
IV. PEMBAGIAN
TA’ZIR
Ta’zir terbagi menjadi dua macam :
1.
Ta’zir Untuk Maksiat
Sebenarnya macam-macam dari
hukuman ta’zir bagi pelaku maksiat sendiri begitu banyak, bisa berupa
perkataan, perbuatan, cambukan, penjara, pengambilan harta keseluruhan atau
sebagian, pembakaran harta benda, pengasingan, calaan, teguran, ancaman atau nasehat.
Ibnu Qoyim berkata[17] dalam kitabnya “al Hudud wa at Ta’zir”, beliau
mengklasifikasikan hukuman ta’zir bagi pelaku kemaksiatan sebagai berikut:
1.
Hal-hal
yang berkaitan dengan badan seperti dengan cambukan dan pembunuhan.
2.
Hal-hal
yang berkaitan dengan harta seperti dengan perusakan dan penyitaan.
3.
Hal-hal
yang berasal dari keduanya seperti dicambuknya pencuri barang yang tidak
terjaga bersama dengan penyitaan atas barang curian tersebut.
4.
Hal-hal
yang berkaitan dengan membatasi ruang gerak seperti dengan penahanan dan
pengasingan.
5.
Hal-hal
yang berkaitan dengan moral seperti penjatuhan harga diri berupa celaan dan
pengusiran.
Dan juga hukuman ta’zir
kadang bisa sampai pada hukuman mati. Jika seorang hakim atau wali al Amr
melihat pada penjatuhan hukuman mati tersebut ada maslahah umum. Kadang juga
hukuman ta’zir bisa berbentuk pengusiran atau pengasingan pada suatu
tempat.
Pada dasarnya hukuman ta’zir
tidak memiliki batasan hukuman. Seperti halnya tidak ada batasan dalam
perbuatan kriminal dan bentuk hukumannya. Begitu juga tidak semua perbuatan
maksiat termasuk pada hukuman had dan qishas pada hukum islam.
Maka diperlukan ijtihad seorang Imam atau Qadhi dalam menetapkan suatu hukuman ta’zir.
Melihat adakah maslahah umum serta ada
bentuk penjagaan terhadap dasar-dasar hukum islam pada hukuman yang dijatuhkan
pada seorang pelaku kejahatan.
Dan
para fuquha’ mereka semua berpendapat bahwasanya hukuman ta’zir bukan sesuatu
hukuman yang dibatasi. Maka hukuman ta’zir dikembalikan pada ijtihad imam yang
sekiranya dapat mecegah pada perbuatan kemaksiatan.
2.
Ta’zir Untuk Mendidik
Ta’zir yang di lakukan oleh seorang pendidik atau pengasuh yang dilakukan di
rumah, atau di madrasah atas dasar pendidikan sangatlah berbeda dengan ta’zir
yang dilakukan sebagaimana umumnya, baik dari sifat maupun metodenya.
Melakukan ta’zir atas dasar pendidikan harus dilakukan dengan
beberapa tahap:
Pertama, Bergaul dengan anak didik dengan sifat lemah lembut
dan kasih sayang. Sebagaimana disebutkan dalam “Adab al-Mufrad” yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah:"عليك بالرفق وإياك والعنف والفخش" “Hendaklah kalian berlembah lembut dan janganlah
kalian berbuat kasar"
Kedua, Memperhatikan tabiat seorang anak sebelum menjatuhkan
hukuman (ta’zir), karena mereka memilki sifat yang berbeda-beda, ada
yang pendiam, sedang-sedang, dan ada yang pemarah. Maka dalam menetapkan
hukuman harus berdasarkan karakter masing-masing anak, dan tidak bisa
disamakan. Hukuman yang diberikan kepada anak dilakukan ketika dalam keadaan
darurat, juga setelah adanya peringatan kepada anak, sebagaimana dilakukan oleh
para ulama’ terdahulu seperti Ibnu Sinna, al ‘Abdari, dan Ibnu Khaldun.
Ketiga, Bertahap dalam memberikan hukuman dari yang ringan
sampai pada tahap yang berat.
Berikut ini adalah tahapan dalam memberi hukuman kepada seorang anak :
1.
Memberi pengajaran dari kesalahan dengan pengarahan.
2.
Memberi pengajaran dari kesalahan dengan lemah lembut.
3.
Memberi pengajaran dari kesalahan dengan nasehat.
4.
Memberi pengajaran dari kesalahan dengan teguran.
5.
Memberi pengajaran dari kesalahan dengan mendiamkan (hijr).
6.
Memberi pengajaran dari kesalahan dengan pukulan.
7.
Memberi pengajaran dari kesalahan dengan hukuman yang
dapat membuat efek jera.
Syarat-syarat hukuman yang dilakukan
dengan pukul berdasarkan urutannya:
1)
Pendidik atau pengasuh tidak menghukum dengan pukulan
setelah melalui beberapa wasilah yang telah disebutkan diatas.
2)
Tidak melakukan hukuman ketika dalam keadaan marah.
3)
Menghindari tempat-tempat yang berbahaya untuk dipukul
seperti, kepala, wajah, dada, dan perut.
4)
Hukuman yang
dilakukan pertama kali tidaklah langsung pada tahap berat.
5)
Tidak memberi hukuman pukul sebelum berusia sepuluh
tahun.
6)
Jika seorang anak berbuat salah pertama kali, hendaknya diberikan waktu untuk bertaubat,
tanpa memberikan hukuman terlebih dahulu, sehingga tidak mengulangi pada kedua
kalinya.
7)
Seorang pendidik
atau pengasuh melakukan hukuman pukul terhadap anaknya sendiri tanpa
melakukannya kepada salah satu dari anak sahabatnya.
8)
Jika seorang anak mendekati usia balighnya, dan
pendidik melihat tidak ada pengaruh yang membekas padanya, maka boleh baginya
untuk menambah hukuman, serta mencegah agar tidak megulanginya, sehingga ia
melihat ada perubahan pada seorang anak dan berjalan pada jalan yang lurus.
Dari penjelasan di atas, menerangkan bahwa tarbiyah
Islamiyah terkadang harus menggunakan metode lemah lembut dan terkadang juga
harus menggunakan metode hukuman. Maka dalam hal ini pendidik atau pengasuh
harus mengetahui situasi dan kondisi, kapan si anak harus di hadapi dengan
lemah lembut, dan kapan si anak harus di hadapi dengan hukuman, tentunya
setelah memenuhi syarat-syarat di atas.[18]
V.
SYARAT-SYARAT WAJIB
HUKUMAN TA’ZIR
Syarat hukum
ta’zir dapat di lakukan pada suatu tempat yang pertama adanya seorang pemimpin
atau Qadhi dengan kriteria yaitu laki-laki, merdeka, mujtahid, mempunyai
pengaruh, memiliki angota badan yang berfungsi normal dari pendengaran,
penglihatan, dan dapat berbicara, serta memutuskan perkara melihat dari
maslahah dunia dan agama.[19]
Kedua
supaya hukuman ta’zir bisa dijatuhkan atau bisa
dilaksanakan adalah hanya dengan satu syarat yaitu berakal saja. Maka hukuman
ta’zir hanya dijatuhkan kepada orang yang berakal yang melakukan suatu
kejahatan yang tidak memiliki ancaman had dan kafarat.
Baik itu laki-laki maupun perempuan, muslim atau kafir, baligh atau anak kecil
(muamayiz). Karena mereka semua selain anak kecil mereka memiliki kelayakan
untuk mendapat hukuman. Adapun anak kecil yang sudah mumayiz, maka ia di ta’zir,
namun bukan sebagai ta’zir namun sebagai bentuk mendidik dan memberikan
pelajaran (ta’dib).
Patokan dan kriteria
hukuman ta’zir adalah setiap orang yang melakukan suatu kemungkaran atau
menyakiti orang lain tanpa hak (tanpa alasan yang dibenarkan) baik dengan ucapan,
perbuatan ataupun isyarat, baik itu korbannya itu seorang muslim atau kafir.[20]
Orang Yang Berhak Dalam
Memberikan Ta’zir:
Ta’zir sama seperti halnya hudud,
maka dalam pelaksanaan hukuman ta’zir mengikuti kebijakan imam dan tidak ada
yang berhak menta’zir selain Imam. Namun
ada pengecualian pada tiga orang yang berhak memberikan hukuman ta’zir,
yaitu seorang ayah, suami, dan seorang hakim atau seorang tuan.
Pertama,
Seorang ayah atau seorang yang semakna dengannya dalam hal mendidik seorang
anak kecil. seperti seorang pengajar atau guru maka dia berhak menghukum
seorang anak didiknya yang meninggalkan sholat dan shaum. Dan memberikan
hukuman ta’zir tersebut bertujuan memberi pelajaran atau mengajarkan
akhlak yang baik dan mencegah dari kemaksiatan. Maka dalam masalah pengasuhan anak
seorang ibu juga sama seperti ayah. Dan itu sesuai dengan syari’at bahwa
seorang ayah, kakek, atau guru memiliki hak dalam hal mendidik seorang anak..
Kedua,
Seorang suami berhak memberikan hukuman ta’zir kepada istrinya ketika istri
membangkangan pada dirinya, atau pada hak Allah. Seperti dalam masalah pelaksanaan
shalat dan shaum Ramadhan. Jika hukuman ta’zir tersebut dilihat dapat
memberikan perbaikan pada istrinya. Karena semuanya dalam bertujuan dan dalam rangka
memerintahkan pada kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Kaetiga,
seorang hakim atau seorang tuan atau seorang yang memliki kuasa pada seorang
budak. Maka ia berhak memberikan hukuman ta’zir kepada budaknya dalam
perkara yang menyangkut hak Adami dan hak Allah.[21]
VI.
KAIDAH DAN DHAWABIT TA’ZIR
Dalam pelaksanakan hukuman ta’zir harus diperhatikan
beberapa ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaannya, tidak bisa ta’zir diterapkan
kepada seseorang secara langsung dan sama rata dengan
yang lainnya. Akan tetapi ada kaidah-kaidah atau
rambu-rambu dalam penetapan hukuman ta’zir
kepada seseorang. Maka hukuman ta’zir itu sendiri memiliki beberapa kaidah
yang dipakai dalam penerapannya itu sendiri. diantaranya yang kami intisarikan
dari Qawaid wa Dhawabit al Uqubat al
Hudud wa at Ta’azir milik Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al Wad’an[22]:
1. Hukuman ta’zir
sesuai dengan kadar perbutan dosa yang dilakukan.
Yaitu bahwa sebuah
hukuman harus sesuai dengan perbuatan dosa yang dikerjakan. Dengan syarat
perbuatan kejahatan itu mewajibkan dilaksankannya hukuman. Dan maksud dari
hukuman tersebut terlaksana yaitu memberi efek jera bagi pelaku maksiat serta
adanya tindakan preventif untuk kemaslahatan masyarakat.
2.
Hukuman
sesuai dengan kondisi pelaku kejahatan.
Bahwa seorang hakim dalam memutuskan suatu
hukuman harus melihat dari kondisi pelaku kemaksiatan. Dan hukuman yang
dijatuhkan harus sesuai dengan kondisi pelaku maksiat apakah dia seorang budak
atau seorang yang merdeka ataupun selainnya. karena setiap orang berbeda-beda
kondisinya ketika melakukan kemaksiatan tersebut.
3.
Adanya
tahapan dalam menghukumi.
Bahwa dalam memutuskan hukuman kepada
pelaku maksiat maka harus memperhatikan tahapan-tahapan dalam penegakkan
hukuman ta’zir yang akan di jatuhkan kepada pelaku maksiat. Beliau
mengatakan, “ Bahwa Mawardi berkata: ‘Tingkatan manusia berada pada derajatnya,
maka dalam masalah ketentuan hudud
manusia semua sama tidak ada yang membedakan, akan tetapi dalam masalah ta’zir
maka harus dilihat dari kemampuannya dalam menerima hukuman ta’zir.’” [23]
4.
Pertimbangan
dalam ta’zir harus dilihat dari sisi tujuan maslahah.
Seorang pemimpin adalah wali bagi
rakyatnya berkaitan dengan maslahah umum dan ketatanegaraan. Maka segala
kebijakan seorang pemimpin harus melihat keselarasanya dengan kemaslahatan
umum.
5.
Semua
jenis kemaksiatan yang tidak ada ukuran hukumannya masuk kedalam hukum ta’zir.
Perbuatan maksiat telah ditetapkan oleh Allah
untuknya hukuman yang berkaitan dengannya seperti had perbuatan zina,
murtad, pencurian dan lain sebagainya. Maka itu termasuk dalam hak-hak Allah,
dan hukuman yang tidak memiliki kadar hukuman had dan kafarahanya
maka perbuatan tersebut masuk kepada hukum ta’zir.
6.
Pertimbangan
dari penjagaan kehormatan manusia.
Bukti keluasan syariat islam ialah dalam
melindungi kehormatan seorang manusia dan penjagannya. Dimana Allah sendiri
memuliakan manusia dan mengakat derajat mereka dari makhluk-makhluknya.
7.
Pertimbangan
hukuman ta’zir harus ditinjau nash
syari’iyah dan kaidahnya.
Bahwa hukuman yang telah ditetapkan tidak
bisa dijadikan atau dianggap sebagai hukuman bagi pelaku maksiat kecuali ia
bersandarkan pada kitab Allah dan sunah atau dikuatkan oleh ijtihad para ulama’
muslimin dan mereka mengerti kaidah syariat islam. Artinya semua hukuman ta’zir
yang akan di jatuhkan harus sesuai dengan apa yang telah Allah turunkan di
dalam Al-Qur’an dan as-Sunah maupun ijtihad para ulama’.
8.
Metode
penghukuman yang adil dan sesuai.
Bahwa adanya persamaan disetiap sisi, adil
dalam menempatkan hukum, dan tidak membedakan antara manusia maka disemua
hadapan hukum itu sama semua. Dan tidak ada pilih kasih dalam hukum ta’zir
antara satu dengan yang lainnya baik itu seorang muslim atau non muslim.
VII. SIFAT-SIFAT TA’ZIR
Hukum ta’zir memiliki sejumlah sifat. Diantaranya,
hukuman ta’zir menurut ulama’ Malikiyah dan ulama Hanabilah adalah hak Allah
yang wajib dipenuhi apabila imam melihat hukuman tersebut perlu dijatuhkan.
Oleh karena itu, secara garis besar, hakim tidak bisa menggurkan hukuman
ta’zir, kerena itu adalah hukuman untuk memberi efek jera yang diberlakukan
untuk memenuhi hak Allah. Kerena itu, wajib
ditegakkan seperti hukuman had.
Sedang
menurut ulama’ Syafi’iyah, hukuman ta’zir sifatnya wajib. Oleh karena itu,
hakim bisa saja tidak melaksanakannya selama kasusnya tidak menyangkut hak
Adami. Dalam hal ini, berarti ulama’ Syafi’iyah sependapat dengan ulama’
Hanafiyah.[24]
Hal ini berdasarkan hadis nabi,
“maafkanlah
kesalahan-kesalahan orang yang memeliki perbuatan baik, kecuali
kesalahan-kesalahan yang mengharuskan hukuman had.”(HR. Ahmad dan Abu
Dawud)
Maka
apabila kasus kemaksiatan menyangkut hak Allah seperti kasus kejahatan yang
melanggar kewajiban-kewajiban agama, maka tidak harus dan tidak wajib
dilaksanakan. Adapun jika kasusnya menyangkut hak Adami dan pihak korban yang
haknya dilanggar tidak memberi maaf, maka hukuman ta’zir, terhadap pelaku wajib
dan harus dilaksanakan.
Maka dalam hal ini Ibnu Qoyim membagi ta’zir
menjadi dua macam, pertama, bentuk dan macamnya sudah ditentukan oleh
nas al-Qur’an dan hadits tetapi hukumnnya deserahkan kepada manusia. Kedua,
bentuk dan macamnya begitu pula
hukumnanya ditentukan oleh manusia. Syara’ hanya memberikan ketentuan-yang
bersifat umum saja.[25]
Hikmah
hukuman ta’zir
Sepertihalnya hikmah dari pensyari’atan
hukuman hudud bahwa syari’at ialah melarang atau mencegah terjadinya perbuatan
maksiat. Dan juga melarang atau mencegah
dari perbuatan meninggalkan suatu kewajiban, pada hakekatnya tujuan hukuman
tersebut adalah untuk membersihkan dan memperbaiki bagi pelaku kemaksiatan dan bentuk perlindungan bagi masyarakat.
VIII. KESIMPULAN
Dari
uraian yang telah disampaikan, maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan
yaitu:
1.
Bahwa hukuman ta’zir dapat diberlakukan pada suatu kekuasaan atau
suatu komunitas yang memiliki seorang
pemimpin yang sah. Yang mana pemimpin atau qadhi tersebut sebagai perwakilan
rakyat atau perwakilan suatu komunitas melalui ijtihadnya, bahwa kebijakan
hukuman ta’zir dapat memberi efek jera pada pelaku kemaksiatan.
2.
Setiap hukuman ta’zir tidak bisa dijatuhkan langsung kepada pelaku
kemaksiatan. Kerena dalam hukuman ta’zir yang di jatuhkan Qadhi atau pemimpin
kepada pelaku kemaksiatan memiliki rambu-rabu atau kaidah-kaidah dalam penetapan
hukuman ta’zir yang perlu diperhatikan dalam penetapannya. Karena penetapan
ta’zir harus melihat pada pencapaian maslahah umum atau tidak.
3.
Dari pengertian ta’zir itu sendiri maka ta’zir hanya berlaku
kepada semua perbuatan dosa yang mana tidak memiliki kadar had dan kafarahnya.
Maka dari itu keputusan hukuman ta’zir diserahkan kepada pemimpin atau
Qadhi serta ijtihad para ulama’ kaum muslimin dalam sebuah negara atau sebuah kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa:
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011 M).
2.
Ibnu
Mandzur, Lisanul ‘arab, (Berut: Daru as Shadr)
3.
Ibnu Qudamah, al-Mughni, Tahqiq : Abdullah bin muhsin dan Abdul
fatah (Kairo: Hijr, 1992 M)
4.
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Riyad: Darussalam, 1999 M)
5.
Adl bin yusuf Al-Azizi, Tamamu minah fi fiqih kitab shahih Sunah,
(Iskandariyah: darul Aqidah, 2009 M)
6. Fahd bin Ibrahim wadi’an, At-Tasyri’u al-Jani al-Islami, Riyad,
2007. sebuah desertasi.
7. Ibnu Jauzi, A’laamu Muwaaqi’n, (Berut: Darul Jail,)
8. Abdul Qodir Audah, Atasyri’ al-Jana’I
al-Islami,( Berut:
Muasasah al Risalah, 1992.)
9. Mawardi, Ahkamu Sulthaniyah, ,tahqiq:
Ahmad Jaad (Kairo: Darul Hadits, 2006)
10. Muhammad bin Ahmad bin Jazi al-Gartani,
Qowanin Fiqhiyah, juz 1(versi maktabah syamilah)
11. Ibnu Mulqin Umar bin Aly bin Ahmad bin
Muhammad al-Misry as-Syafi’i, Tadzqirah fi al-Fiqh As-Syafi’i, (Berut: Dar
al-Kutub al- Ilmiyah, 2006)
12. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, al-Hudud wa
at-Ta’zirat ‘Inda Ibnu Qoyim, (Riyad: Dar as-Shimah, 1415 H)
13. Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh
‘Ala Madzahibi al-Arba’ah, (Berut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,1990)
14. Jadwi Hatim, Jaraim at-Ta’zir fi
at-Tasyri’ al-Islami, (Sukrah: Jami’ah Khaidhir, 2013/2014)
15. ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyah
al-Aulad fi al-Islam, (Jeddah: Dar as-Salam, th.1412 H) Vol.1
[2] Ibnu mandzur, Lisanul
‘arab. (Berut: Dar as Shadr), Jlid 4,hal. 561
[3] Ibid.
[4] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa: Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011 M) hlm.523
[5] Muhammad bin Ahmad bin
Jazi al-Gartani,
Qowanin Fiqhiyah, juz 1(versi maktabah syamilah)
[6] Ibnu Mulqin Umar bin
Aly bin Ahmad bin Muhammad al-Misry as-Syafi’i, Tadzqirah fi al-Fiqh
As-Syafi’i, (Berut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2006) hlm.132
[7] Istilah hukum yang
telah ditentukan bentuk dan kadarnya oleh Allah.
[8] Denda yang harus di
bayar karena melanggar larangan Allah atau melanggar janji, atau persembahan
keapad Allah sebagi tanda mohon pengampunan (karena telah melanggar hukunya.).
[9] Hukuman bagi pelaku
kejahatan pembunuhan atau kekerasan fisik baerupa pemotongan anggpta tubuhatau
melukai yang dilakukan secara sengaja, dengan bentuk hukuman yang sama seperti
yang ia perbuat terhadap koban.
[10] Kompensasi berupa harta
yang wajib dibayarkan sebagai ganti rugi jiwa
[11] Ibnu qudmah, al-Mughni,
Tahqiq : Abdullah bin muhsin dan Abdul fatah(Kairo: Hijr, 1992 M), Juz 12,
hal.523,
[12] Ibnu al-Jauziyah, I’laamu
Muwaqqi’iin, (Berut: Darul Jail), Juz 2, hlm.118
[13] Ibrahim bin Fahd bin
Ibrahim al-Wa’dan, Qawaid wa Dhawabit al Uqubat al Hudud wa at Ta’azir,
(Riyad: 1428 H/2007 M.) Dalam desertasi.
[14] Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Majah, , (Riyad: Darussalam, 1999 M.) hlm.373 no.2601
[15] Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu
al-Fiqh ‘Ala Madzahibi al-Arba’ah, (Berut, Dar al-Kutub al-Ilmiah,1990)
vol.5 hlm.352
[16] ‘Adl bin Yusuf
al-Azazi, Tamamu al-Minah fi al-Kitab al-Fiqh wa Shahihi as-Sunah,
(Iskandariyah: Dar al-‘Aqidah, 2005), hlm.555
[17] Bakr bin Abdullah Abu
Zaid, al-Hudud wa at-Ta’zirat ‘Inda Ibnu Qoyim, (Riyad: Dar as-Shimah,
1415 H) hlm. 484.
[18] ‘Abdullah
Nashih ‘Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Jeddah: Dar as-Salam,
th.1412 H) Vol.1, hlm.719-728
[19] Ibnu Mulqin Umar bin
Aly bin Ahmad bin Muhammad al-Misry as-Syafi’i, Tadzqirah fi al-Fiqh
As-Syafi’i, (Berut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2006) hlm.132
[20] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa: Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011 M) hlm.531
[22] Ibrahim bin Fahd bin
Ibrahim al Wadi’an, Qawaid wa
Dhawabit al Uqubat al Hudud wa at Ta’azir, (Riyad: 1428 H/2007 M.) sebuah
desertasi.
[23] Mawardi, Al-Ahkamu
al-Sulthaniyah, (Kairo: Darul
Hadits, 2006), hlm.344
[24] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa: Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta, Gema Insani, 2011 M) hlm.533
[25] Ibnu Qoyim, A’lamu
Muwaqi’in, (Berut: Dar Jail), hlm.117
0 komentar:
Posting Komentar