Oleh : Tyo el-Bungry
Pendahuluan
Alhamdulillah wa shalatu wa salam ala Musthafa Shalallahu Alaihi wa
Sallam, segala puji hanya milik Allah Ta’ala
yang telah melimpahkan segala nikmat kepada hambanya, shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada nabi kita, Rasulullah Muhammad Shalallahu
Alaihi wa Sallam serta kepada para keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan
orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnah-sunnahnya hingga hari Kiamat. Amma
ba’du.
Agama Islam adalah agama yang sempurna, diatur dengan syariat yang
benar demi tercapainya kehidupan yang damai dan tentram. Di dalam syariat
tersebut terdapat banyak konsekuensi yang harus dilaksanakan oleh seluruh
penganutnya. Mulai dari tatacara bersuci, bermuamalah, berjihad, dan yang tidak
kalah penting adalah dalam masalah ibadah, yang merupakan tujuan utama dari
diciptakannya jin dan manusia. Ibadah sangatlah banyak sekali, mulai dari yang
diwajibkan untuk perorangan sampai yang sifatnya disunnahkan. Namun, di dalam
prakteknya dan ditambah dengan adanya perkembangan zaman, ternyata tidak semua
permasalahan ibadah yang ada di zaman sekarang, hukumnya telah ditetapkan oleh
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Lalu, bagaimana para ulama di dalam
menentukan hukumnya? Ternyata di dalam ilmu ushul terdapat metode pengambilan
hukum selain dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan ijma’, yaitu dengan menggunakan qiyas.
Qiyas adalah
menyamakan hukum pada dua hal, yaitu dengan mencari persamaan dari dua ibadah
yang salah satunya telah ditetapkan dengan nash, lalu hasilnya diberlakukan
kepada ibadah yang belum ada hukumnya. Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan
antara ulama yang membolehkan dan ulama yang melarang. Sehingga dari sinilah
terdapat ungkapan bahwa qiyas tidak dapat berlaku di dalam ibadah, sebab
ibadah adalah perkara tauqifi yang tidak ada seorangpun dapat ikut
campur di dalam menentukannya.
Akan tetapi, apakah demikian yang dimaksud dari al-qiyas fi
al-ibadah? Sebenarnya, tanpa kita sadari ternyata banyak dari hukum-hukum
seputar ibadah yang para ulama sendiri menetapkannya dengan menggunakan qiyas,
dan kita juga mengamalkannya.
Maka, dalam pembahasan kali ini kami akan mencoba untuk memaparkan
terkait hal-hal tersebut. Mulai dari pengertian dari al-qiyas fi al-ibadah,
pandangan ulama terkait hal ini, dan apakah hukum dari menjalankan qiyas di
dalam ibadah?
Semoga apa yang kami paparkan bermanfaat dan menjadi wawasan baru bagi
para pembaca. Amin!
Definisi Qiyas dan Ibadah
·
Qiyas
Secara bahasa qiyas (القياس) adalah masdar
dari قَاسَ
– يَقِيسُ, jika dikatakan qasa
asy-syai’ maka berarti menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain atau qastu
ats-tsaub bi adz-dzira’ yang bermakna aku telah mengukur kain dengan hasta.[1] Namun
secara global, makna qiyas secara bahasa dapat diartikan dengan at-taqdir,
al-musawah, at-tasybih, at-tamtsil, dan al-i’tibar yang memiliki
makna mengukur atau menyamakan.[2]
Sedangkan secara istilah, ulama berbeda pendapat di dalam
mengistilahkannya. Walau demikian, sejatinya menurut mereka esensi, fungsi, dan
hakikatnya tetaplah sama. Adapun dalam pembahasan kali ini, kami hanya akan
menampilkan makna qiyas yang sesuai dengan fungsinya saja. Yaitu
sebagaimana yang disimpulkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushul
al-Fiqh al-Islami,
إِلْحَاقُ أَمْرٍ
غَيْرِ مَنْصُوصٍ
عَلَى حُكْمِهِ الشَرْعِيْ بِأَمْرٍ مَنْصُوصٍ عَلَى حُكْمِهِ, لِاشْتِرَاكِهِمَا
فِي عِلَّةِ الحُكْمِ
“Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya,
kepada perkara lain yang ada nash hukumnya, disebabkan keduanya berserikat di dalam
illat hukum.”[3]
Namun di dalam Mu’jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh[4]
ditampilkan dengan berbeda susunan kalimatnya. Yakni,
إلحاق
أمر منصوص علي حكمه الشرعي, بأمر غير منصوص علي حكمه, لاشتراكهما في علة الحكم عند
المجتهد
“Menghubungkan suatu perkara yang terdapat nash tentang hukumnya,
dengan perkara lain yang tidak ada nash yang menghukuminya, disebabkan menurut
mujtahid keduanya berserikat di dalam illat hukum”
·
Ibadah
Secara bahasa ibadah (العبادة) adalah masdar
dari kata عَبَدَ
– يَعْبُدُ – عِبَادَةyang berarti
ketaatan, adapun pokok dari ‘ubudiyyah itu sendiri adalah rasa tunduk
dan patuh, sedangkan pelakunya disebut العَابِدyang berbentuk jama’ عُبَّاد, maka dapat terpakai juga untuk istilah bagi siapa yang
menjadikan selain Allah sebagai Ilah dan mendekatkan diri kepadanya, dengan
sebutan عَابِدُ الوَثَنِ ‘penyembah berhala’. [5]
Adapun secara istilah, ulama berbeda di dalam menetapkan makna
ibadah. Sebagian ulama masih tetap mendefinisikan dengan makna secara bahasa.
Seperti penjelasan Imam al-Baghawi di dalam tafsirnya[6], “Ibadah
adalah ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kepatuhan” dan juga
Imam al-Qurthubi dengan makna yang sama.[7]
Namun, pada dasarnya makna ibadah secara istilah terbagi menjadi
dua, yaitu makna umum dan makna khusus. Makna umum dari ibadah adalah mencakup
seluruh hal yang dilakukan manusia dari amalan-amalan yang bermanfaat bagi
kehidupan dunia dan akhirat, serta untuk kebaikan bagi dirinya dan orang lain.[8] Pengertian
umum juga dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam al-‘Ubudiyyah,
العبادة
هى اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والاعمال الباطنة والظاهرة
“Ibadah adalah segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah
dari perkataan atau perbuatan baik yang batin ataupun yang dzahir”[9]
Dengan pengertian umum ini Imam Ibnu Katsir juga menyebutkan di
dalam menafsirkan ayat إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ , bahwa
ibadah secara syar’i adalah suatu istilah bagi amalan yang terkumpul di
dalamnya kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.[10]
Pengertian yang lebih umum adalah yang disebutkan oleh Ibnu
al-Qayyim bahwa perbuatan anggota badan dapat bernilai ibadah dengan adanya
niat, maka perbuatan yang tidak dibarengi dengan niat akan tidak diterima dan
tidak disebut ibadah. Sebab, niat untuk mendekatkan diri dan beribadah adalah
bagian dari keikhlasan, sehingga keikhlasan akan dapat tercapai jika ia
memiliki niat untuk beribadah.[11]
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa makna ibadah secara
umum adalah segala bentuk ketaatan yang dilakukan dengan niat agar mendapatkan
cinta dan ridha dari Allah Ta’ala, baik dalam bentuk perbuatan dzahir
ataupun batin.
Sedangkan makna ibadah secara khusus adalah segala amalan khusus
yang ditentukan bagi setiap hamba dengan tujuan agar mereka tunduk pada
perintah. Atau yang sering disebut dengan syiar ibadah, seperti yang tercantum
pada rukun Islam dan syiar-syiar lain yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala.[12]
Juga pada dasarnya pengertian ibadah secara khusus ini adalah makna dari kata at-ta’abbud,
hal ini sebagaimana Imam asy-Syathibi jelaskan di dalam al-Muwafaqat
bahwa semua ayat yang memerintahkan ibadah baik secara mutlak atau yang
mengkhususkan suatu yang umum adalah dikembalikan kepada Allah Ta’ala di
dalam menyikapinya serta patuh terhadap semua hukum-hukumnya, dan inilah yang
disebut dengan at-ta’abbud Lillah,[13]
atau mudahnya adalah perkara yang tidak dapat dinalar oleh akal. Contohnya
seperti jumlah rakaat shalat fardhu, sebab kita tidak mengetahui apa tujuan
shalat Subuh bilangan rakaatnya hanya berjumlah dua rakaat saja?
Lalu apa yang dimaksud dengan al-qiyas fi al-ibadah?
Dari definisi di atas, dan juga yang dapat difahami dari penjelasan
sebagian ahli ushul adalah bahwa yang dimaksud dari al-qiyas fi al-ibadah adalah
itsbat (menetapkan) sesuatu ibadah dengan qiyas.[14] Sehingga
ada yang memisalkan dengan adanya shalat enam waktu di-qiyas-kan dengan
shalat lima waktu dan melarang hal tersebut. Namun, apakah demikian yang dimaksudkan
dari al-qiyas fi al-ibadah?
Muhammad Mandzur Ilahi menyimpulkan di dalam bukunya al-Qiyas fi
al-Ibadat bahwa yang dimaksud dari qiyas di sini adalah menggunakan qiyas
untuk menampakkan hukum dan tatacara ibadah, bukan menetapkan ibadah yang baru.
Seperti tetapnya kewajiban shalat walau dengan isyarat alis mata, jika memang
tidak dapat melaksanakan shalat kecuali dengan hal tersebut, dengan meng-qiyas-kan
pada tetap wajibnya shalat walau dengan duduk atau dengan anggukan kepala. Sebab
shalat dengan duduk ditetapkan dengan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam,
صَلِّ
قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ
“Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan
bila tidak mampu juga maka berbaringlah”[15]
Dan Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu pernah berkata, “Jika
seorang yang sakit tidak mampu untuk melakukan sujud, maka ia menggunakan
isyarat kepala untuk itu . . .”[16]
Adapun ketetapan shalat dengan isyarat alis mata tidak terdapat di
dalam nash, akan tetapi ditetapkan oleh ulama dengan menggunakan qiyas.[17] Dari
sinilah akan muncul perbedaan pendapat antara tetap wajibnya shalat atau tidak,
dan perbedaan ini akan dibahas dipembahasan selanjutnya.
Adanya Perbedaan Pendapat
Namun, sebelum membahas perbedaan pendapat di antara ulama, akan
lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu apa saja yang menjadi
kesepakatan di antara mereka. Para ulama dalam hal ini menyepakati dua hal.[18]
Pertama, tidak ada
perbedaan akan tidak bolehnya menetapkan ibadah baru dengan disandarkan kepada
ibadah-ibadah yang telah difahami nashnya dari Al-Quran dan As-Sunnah dengan qiyas,
seperti menetapkan shalat keenam atau shaum Syawal dengan qiyas.[19]
Kedua, tidak ada
perbedaan di dalam masalah tidak bisanya qiyas digunakan ke dalam
hal-hal dari ibadah yang maknanya tidak dapat dinalar oleh akal, sebab qiyas
adalah hal untuk menalar makna, maka hal yang maknanya tidak dapat dinalar oleh
akal tidak akan mungkin diaplikasikan qiyas di dalamnya, seperti jumlah waktu
shalat dan bilangan rakaatnya.
Letak Perbedaan
Jika kita perhatikan ungkapan para Ahli Ushul dan contoh-contoh
fikih dari para fuqaha’ di dalam masalah qiyas untuk diaplikasikan
kepada ibadah, kita akan dapati bahwa perbedaan mereka adalah terletak pada
bagaimana hukum menampakkan hukum-hukum dari ibadah yang belum ada hukumnya
dengan menggunakan qiyas, bukan dalam menetapkan ibadah baru dengan qiyas.
Atau jika dibuat sebuah pertanyaan adalah, apakah boleh menggunakan qiyas
kepada permasalahan-permasalahan ibadah guna menampakkan sebagian hukum yang
tidak ada nashnya, atau tetap tidak diperbolehkan?
Seperti contoh seseorang tidak mendapatkan air atau batu untuk
beristinja, akan tetapi ia mendapatkan barang lain selain dari keduanya yang
dapat digunakan untuk istinja dan juga bukan barang yang dilarang untuk
digunakan beristinja atau seseorang yang sakit tidak bisa shalat dengan duduk
atau dengan anggukan kepala, ia hanya bisa menggerakkan kelopak matanya saja.
Hal-hal semacam inilah yang menjadi pertanyaan apakah boleh menghubungkan
hukumnya dengan hasil penelitian dari ibadah-ibadah yang ada hukumnya, jika
memang ibadah tersebut maknanya dapat dinalar?
Madzhab Hanafi secara tertulis di dalam buku-buku ushul melarang
akan adanya qiyas di dalam ibadah. Seperti apa yang tertera di dalam al-Bahru
al-Muhith[20]
bahwa Abu Hasan al-Karakhi[21]
mengatakan, “Tidak diperbolehkan mencari illah di dalam hudud, kafarah,
dan ibadah,” sehingga mereka tidak memotong tangan pencuri kain kafan (النَّبَاشُ). Namun,
kemungkinan adanya kesimpulan akan pelarangan tidak adanya qiyas di
dalam ibadah adalah tidak terlepas dari istilah-istilah yang mereka gunakan dan
pemahaman mereka terkait mengaplikasikan qiyas di dalam
permasalahan-permasalahan yang menyerupai ibadah, seperti takaran, hudud, dan
kafarah.[22]
Seperti apa yang tertulis di dalam al-Fushul fi al-Ushul, “Qiyas
tidak dapat digunakan untuk menetapkan sebuah kadar (jumlah) dalam ibadah, yang
mana hal tersebut adalah hak-hak Allah Ta’ala.”[23]
Dan juga telah masyhur bahwa ibadah itu adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dari sinilah terlihat bahwa Hanafiyah menyerupakan hudud dan kafarah dengan
ibadah yang maknanya tidak dapat dinalar, sehingga dilarang untuk
mengaplikasikan qiyas di dalamnya.
Selain itu, Hanafiyah juga menganggap adanya qiyas jika illah
pada ibadah tidak ditetapkan dengan nash, adapun jika illah terdapat
pada nash, maka hukum yang ada ditetapkan dengan dalil nash bukan dengan qiyas.
Ini sebagaimana yang terdapat di dalam Ushul as-Sarkhasi ketika memakai
hadits,
إنها
ليست بنجس إنما هي من الطوافين عليكم أو الطوافات
“Sesungguhnya (kucing) bukanlah hewan najis, Ia binatang yang suka
berkeliling di rumah (binatang rumahan)”[24]
Kemudian hukum ketidak najisan ini dengan illah yang ada digunakan
untuk menghukumi ketidak najisan tikus dan ular. Maka, hukum tidak najisnya
tikus dan ular bukan ditetapkan berdasarkan qiyas namun dengan dalil
dari nash.[25]
Adapun jumhur ulama, mereka membolehkan untuk menggunakan qiyas
di dalam ibadah.[26]
Namun, pada dasarnya Hanafiyah dan jumhur ulama membolehkan menggunakan qiyas
ke dalam ibadah. Hanyasanya pada beberapa persoalan mungkin di antara
mereka berbeda pendapat antara menggunakan qiyas atau tidak.
Dan juga hal ini diperkuat dengan penjelasan dari Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin terkait ungkapan ulama bahwa qiyas tidak
dibenarkan untuk digunakan di dalam ibadah. Beliau menjawab, “Yang dimaksud
dari ungkapan para ulama bahwa tidak ada qiyas di dalam ibadah adalah
dalam menetapkan ibadah yang pokok, adapun ketika menetapkan
syarat-syarat di dalam ibadah atau hal-hal yang serupa, yaitu dengan cara menyamakan
makna dari kedua ibadah, maka hal ini tidak mengapa. Sebab para ulama telah
menggunakannya, seperti mewajibkan membaca basmalah pada mandi besar dan
tayamum dengan di-qiyas-kan kepada wudhu”[27]
Argumen Masing-masing
·
Argumen
bagi yang melarang qiyas dalam ibadah
Pertama, sesungguhnya
ibadah-ibadah telah tercakup di dalamnya ketetapan kadar yang maknanya tidak
dapat dinalar oleh akal, seperti jumlah rakaat pada shalat dan nishab pada
zakat. Sedangkan qiyas adalah merupakan hal yang digunakan untuk menalar makna.
Maka, jika sesuatu itu illah-nya tidak dapat diketahui, tidak dapat pula
diaplikasikan qiyas kepadanya.[28]
Kedua, mereka mengatakan
bahwa, “Sesungguhnya kami tidak mengetahi dan tidak dapat menalar apa maslahat
yang pasti dari penetapan syariat ibadah itu sendiri, dan tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah. Maka tidak boleh memindahkan hukum yang tertera di
dalamnya kepada hal yang lain, sehingga tidak boleh juga menetapkannya dengan
qiyas.[29]
Ketiga, jika memang
qiyas diperbolehkan untuk menetapkan ibadah, maka akan boleh pula menetapkan
shalat keenam. Namun, yang demikian ini ternyata tidak diperbolehkan, sehingga
menunjukkan bahwa qiyas tidak boleh digunakan.
·
Argumen
bagi yang membolehkan adanya qiyas dalam ibadah[30]
Pertama, keumuman
dalil yang digunakan untuk menetapkan kehujahan qiyas menunjukkan bahwa qiyas
dapat digunakan pada seluruh hukum, yakni jika syarat-syaratnya telah
terpenuhi.
Kedua, secara
sepakat bahwa khabar ahad dapat menetapkan sebuah ibadah.[31]
Walaupun cara penetapannya adalah dengan ghalabah adz-dzan, dan qiyas
juga demikian. Sehingga, menerapkan hukum asal yang ada pada ibadah-ibadah yang
ada nashnya kepada hal-hal yang tidak ada nashnya menggunakan qiyas adalah
diperbolehkan.
Ketiga, sesungguhnya
yang melarang akan tidak bolehnya qiyas digunakan dalam hukum-hukum ibadah,
telah membatalkan pernyataannya dengan disebabkan penggunaan mereka terhadap
qiyas pada beberapa persoalan ibadah. Seperti menetapkan bolehnya istijmar dengan
menggunakan selain batu, padahal nash hanya menyebutkan batu saja.
Keempat, mereka yang
melarang qiyas, ketika ada hukum yang dapat disandarkan dengan menggunakan
qiyas, mereka menetapkannya dengan menggunakan istihsan. Seperti pernyataan
bahwa air bekas minum burung-burung yang buas, baik elang atau rajawali adalah najis.
Sebab hal ini di-qiyas-kan pada air bekas minum hewan-hewan buas, seperti
harimau dan serigala, yaitu karena adanya bekas najis dari daging yang menempel
pada mulut. Namun, dalam hal ini mereka menerima istihsan yang menunjukkan
bahwa bekas air tersebut tetap suci. Karena, burung itu meminum air dengan
menggunakan paruhnya, sedangkan paruh adalah tulang yang suci, disebabkan paruh
itu kering tidak basah, maka air tidak akan menjadi najis dikarenakan paruh
yang menempel. Sehingga air bekas minumnya tetap suci sebagaimana air bekas
minum orang atau hewan yang dimakan dagingnya, hal ini disebabkan tidak adanya
illah yang menjadikan air tersebut najis. Yaitu adanya najis yang masih basah
pada alat minum pada hewan.[32]
Sebab Ikhtilaf
Penyebab adanya perbedaan adalah pada tiga hal.
Pertama, mengglobalkan
permasalahan-permasalahan yang ada, sehingga tidak dapat menggunakan qiyas.
Atau perlu adanya penelitian satu persatu sehingga dapat diketahui apakah
diperbolehkan qiyas di dalamnya atau tidak?
Hanafiyah menganggap bahwa ada sekumpulan permasalahan yang qiyas
tidak bisa digunakan di dalamnya, salah satunya adalah ibadah. Sehingga mereka
menjadikan permasalahan-permasalahan ibadah adalah hal yang tidak dapat
dimasuki oleh akal dan qiyas.
Adapun jumhur tidak memukul rata. Namun, mereka melakukan penelitian
terhadap masalah satu demi satu.
Kedua, apakah ibadah itu
maknanya dapat dinalar sehingga boleh untuk dijalankan qiyas di
dalamnya, atau tidak dapat dinalar sehingga tidak diperbolehkan menggunakan qiyas?
Yang melarang, memandang bahwa ibadah maknanya tidak dapat dinalar.
Maka, tidak bisa untuk dicari illah-nya, sehingga apa yang tidak dapat
di-ta’lil, tidak boleh juga untuk dijalankan qiyas di dalamnya.
Sedangkan yang membolehkan, berpendapat bahwa sejatinya ibadah itu
maknanya dapat dinalar pada mayoritas dari hukumnya, sehingga boleh untuk di-ta’lil
dan dijalankan qiyas di dalamnya jika memungkinkan.
Ketiga, apakah
petunjuk nash disebut dengan qiyas, sehingga hukum yang ditetapkan
dengannya adalah hukum yang ditetapkan dengan qiyas atau petunjuk nash
tersebut adalah bersifat lafdzi, sehingga hukum yang ditetapkan adalah
dengan nash bukan dengan qiyas?
Hanafiyah menganggap dalil adalah bersifat lafdzi bukan qiyas,
sehingga hukum-hukum ibadah ditetapkan dengan berdasarkan nash. Sedangkan yang
membolehkan beranggapan bahwa dalil adalah bersifat qiyas, dan mereka
memperluas makna qiyas serta cakupannya, sehingga ketika mereka menetapkan
hukum yang illah-nya dilandasi dalil nash dikatakan bahwa hukum
ditetapkan dengan qiyas.[33]
Contoh Aplikasi Qiyas dalam Ibadah
Apakah boleh istinja dengan selain air dan batu, yaitu dengan
barang-barang yang suci lagi bukan barang-barang yang dilarang untuk digunakan.
Seperti kayu, daun, atau kain?
Ada dua pendapat,
Pertama, tidak boleh
beristinja dengan selain air dan batu. Ini adalah riwayat dari Abu Bakr
al-Khilal[34]
dan juga pendapat dari madzhab Dzahiri. Yaitu dengan dalil dari sahabat Ibnu
Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Ketika Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam buang hajat, beliau menyuruhku untuk mencarikan
tiga buah batu. Namun, aku hanya mendapat dua batu saja, lalu aku tetap mencari
yang ketiganya, akan tetapi tetap tidak mendapatkannya. Lalu aku
mengambilkannya rautsah dan memberikannya. Maka, beliau menggunakan dua batu
dan membiarkan rautsah, dan bersabda, ‘Ini adalah kotoran atau najis”[35]
Wajhu dalalahnya adalah bahwa Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk
mendatangkan batu, dan tidak mengatakan, “Jika tidak mendapatkan batu maka
carilah benda yang dapat menggantikannya dari benda-benda padat lainnya.”
Sedangkan perintah adalah menunjukkan kepada kewajiban. Andapun selain batu
jika dapat menggantikan posisinya, mengapa nash hanya menyebutkan batu saja
tanpa yang lainnya. Maka diketahui dari itu bahwa yang masyru’ dari istinja
adalah dengan batu, adapun selainnya batu tidak dapat menggantikan
kedudukannya.
Kedua, boleh
beristinja dengan selain air dan batu, jika benda tersebut dapat menghilangkan
najisnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah. Mereka menggunakan dalil ketika Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang istithabah, beliau menjawab,
“Yaitu dengan tiga batu yang tidak ada kotorannya.”[36]
Wajhu dalalahnya adalah bolehnya beristinja dan hal-hal lain yang
semakna itu. Yaitu berdasarkan petunjuk bahwa jika tidak menginginkan batu atau
yang dapat menggantikannya, maka tidak akan ada pengecualian akan tidak adanya
kotoran. Karena hal itu tidak perlu untuk dikatakan, dan juga bahwa Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam telah melarang dari beristinja dengan menggunakan kurang
dari tiga batu dan beristijmar dengan kotoran atau tulang. Dari sini dapat
diketahui bahwa pengkhususan akan dua hal ini disertai dengan pelarangan
menggunakannya, menunjukkan bahwa boleh dengan menggunakan batu dan selainnya
yang dapat menggantikan posisinya selama bukan benda-benda yang tidak boleh
digunakan.
Selain itu, mereka juga menggunakan qiyas kepada air dan
batu, yaitu bahwa air dan batu dapat menghilangkan najisnya, sehingga illah-nya
adalah dapat menghilangkan najis. Maka dari itu, benda-benda yang dapat
menghilangkan najis juga masuk dalam kategori ini. Berdasarkan perkataan Ibnu
Qudamah, “Jika nash menyebutkan sesuatu yang maknanya dapat dinalar, maka dapat
dikeluarkan illah-nya untuk digunakan kepada hal yang semakna, adapun
makna dalam hal ini adalah menghilangkan najis. Maka, dapat mencakup selain
dari batu yang dapat menghilangkan najis.[37]
Contoh kedua, jika seseorang lemah untuk melakukan shalat dengan
isyarat kepalanya, apakah ia harus shalat dengan isyarat matanya sebagai qiyas
atas wajibnya shalat dengan isyarat kepala?
Ulama terbagi menjadi dua
pendapat,
Pertama, jika seseorang
yang sakit tidak dapat berdiri untuk shalat, maka shalat dengan cara duduk.
Jika tidak bisa, maka dengan berbaring. Jika tidak bisa, maka dengan isyarat
kepala, dan jadikan isyarat untuk sujud lebih rendah dari ruku’. Jika masih
tidak mampu, maka gugur kewajiban shalat atasnya. Ini adalah pendapat
Hanafiyah, dan menambahkan bahwa jika shalat yang tertinggal adalah selama
sehari semalam atau lebih sedikit, maka ia ada kewajiban untuk meng-qada’-nya
setelah sembuh. Namun, ada perpedaan jika lebih dari sehari semalam. Sebagian
mengatakan bahwa tetap meng-qada’ dan yang lain berpendapat tidak meng-qada’.[38]
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits dari Nabi Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam,
صَلِّ
قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ
“Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan
bila tidak mampu juga maka berbaringlah”[39]
Dan juga dengan hadits,
صَلِّ
عَلَى الْأَرْضِ إنْ اسْتَطَعْت ، وَإِلَّا فَأَوْمِ إيمَاءً وَاجْعَلْ سُجُودَك
أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِك
“Shalatlah di atas tanah (dengan berdiri) apabila kalian mampu,
namun jika kalian tidak mampu, maka lakukanlah dengan isyarat! Dan jadikan
isyarat sujudmu lebih rendah dengan ruku’mu.”[40]
Wajhu dalalah dari kedua hadits tersebut adalah bahwa Nabi Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam di dalam ucapannya hanya membatasi sampai dengan isyarat
menggunakan kepala, sebagaimana yang tertera di dalam penjelasan. Andaikata
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkannya maka beliau akan
menjelaskannya.[41]
Kedua, jika seseorang yang sakit walau ia tidak bisa dengan isyarat
kepala, maka ia lakukan dengan isyarat kelopak matanya dan berniat di dalam
hati. Dan ini adalah pendapat dari ulama Malikiyah,[42]
Syafi’iyah,[43]
dan Hanabilah.[44]
Walaupun ia tidak mampu untuk menggerakkan kelopak matanya, ia
tetap harus melakukan shalat dengan lisannya, jika lisannya juga susah untuk
digerakkan atau kelu, maka ia lakukan shalat dengan membaca Al-Quran dan
dzikir-dzikir yang wajib di dalam hati. Dan yang mereka tetapkan adalah bahwa
shalat tidak akan gugur dari seorang hamba selama ia masih sadar dan berakal. [45]
Dalil yang mereka gunakan adalah sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ
فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ . . .
“. .
. Jika aku perintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah itu semampu
kalian!”[46]
Wajhu
dalalahnya adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan
agar mengerjakan apa-apa yang diperintahkan dengan kadar kemampuan
masing-masing, dan dalam masalah ini yang ia mampu adalah dengan menggunakan
isyarat kelopak mata, maka yang harus ia lakukan adalah mengerjakan shalat
dengan apa yang ia sanggupi.[47]
Selain
itu, mereka juga meng-qiyas-kan dengan orang yang mampu melaksanakan
shalat dengan menggunakan isyarat kepala, yangmana ia adalah seorang Muslim
yang baligh dan berakal. Sehingga kewajiban untuk melaksanakan shalat bagi yang
hanya bisa dengan menggunakan kelopak mata adalah tetap tidak gugur, sebab ia
adalah seorang Muslim yang baligh dan masih tersadar atau berakal.[48]
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa ulama
sepakat bahwa yang tidak diperbolehkan adalah menggunakan qiyas di dalam ibadah-ibadah yang
bersifat mahdhah. Adapun yang dimaksud dengan mengaplikasikan qiyas
di dalam ibadah adalah menentukan hukum-hukum ibadah yang bersifat furu’ atau
cabang dengan di-qiyas-kan kepada dalil-dalil yang ada nashnya, bukan
untuk menambah ibadah baru dengan landasan dalil-dalil yang ada. Seperti
menetapkan shalat keenam dengan di-qiyas-kan kepada dalil-dalil pada
shalat fardhu, sehingga secara umum para ulama membolehkan dan menggunakan qiyas
untuk menentukan hukum atau tatacara suatu ibadah yang tidak disebutkan di
dalam nash. Walaupun mungkin di dalam beberapa permasalahan mereka terdapat perbedaan
pendapat, antara melanjutkan dengan qiyas atau berhenti pada dalil yang
ada.
Seperti dalam menghukumi orang yang tidak bisa shalat kecuali hanya
menggerakkan alis mata atau kelopak mata saja. Sebagian ulama menganggap bahwa
orang yang seperti ini gugur kewajiban shalat atasnya, sebab hadits yang
menyebutkan tatacara shalat bagi orang yang sakit hanya sampai batasan menggerakkan
kepala, maka jika lebih dari itu kewajiban shalat menjadi gugur. Namun, jumhur
ulama berpendapat bahwa pada dasarnya inti dari hadits yang ada adalah
memerintahkan kita agar shalat semampunya, sehingga shalat tetap wajib
dilakukan walau hanya dengan isyarat alis mata atau kelopak mata saja.
Selain itu hal yang menyebabkan terlihatnya perbedaan adalah pada
penetapan istilah yang digunakan oleh para ulama. Seperti madzhab Hanafi
menganggap bahwa hukum yang illah-nya disebutkan di dalam nash adalah
ditetapkan berdasarkan nash bukan qiyas, berbeda dengan jumhur yang
tetap menganggap hukum tersebut ditetapkan dengan qiyas yang dilandaskan
pada dalil nash. Sehingga dapat memungkinkan jika di dalam madzhab Hanafi disebutkan
bahwa hukum itu ditetapkan berdasarkan nash, padahal secara gambaran hal
tersebut merupakan qiyas sebagaimana yang difahami oleh jumhur ulama.
Wallahu A’lam!
Daftar
Pustaka
1.
Muhammad
Mandzur Ilahi, al-Qiyas fi al-Ibadât Hukmuhu wa Atsaruhu, (Riyad : Maktabah
ar-Rusyd, 2004)
2.
Rami
bin Muhammad Jibrin Salhab, al-Qiyas fi al-Ibadah wa Tathbiquha fi
al-Madzhab asy-Syafi’i, (Beirut : Daar Ibnu Hazm, 2010)
3.
Ibnu
Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut : Daar Shadir, 2004)
4.
Ath-Thahir
Ahmad az-Zawi, Tartib al-Qamus al-Muhith, (Riyad : Daar ‘Alim al-Kutub,
1996)
5.
Muhammad
Rawwas, Mu’jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh, (Damaskus : Daar al-Fikr,
2000)
6.
Wahbah
az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus : Daar al-Fikr, 1986)
7.
Ali
bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Riyad : Daar
ash-Shami’, 2003)
8.
As’ad
as-Sa’di, Mabahits al-‘Illah, (Beirut : Daar al-Basyair, 2000)
9.
Muhammad
bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo : Daar
al-Kutub al-Mishri, 1964)
10. Ahmad bin Abdulhalim bin Taimiyyah, al-‘Ubudiyyah,
(al-Ismailiyyah : Daar al-Ashalah, 1999)
11. Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim,
(Beirut : al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 2000)
12. Ahmad bin Idris Al-Qurafi, Syarh Tankih al-Fushul, (Beirut :
Daar al-Fikr, 2004)
13. Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa, (Beirut : Daar al-Kutub
al-Alamiyah, 1413 H)
14. Abu al-Ma’ali al-Juwaini, at-Talkhish fi Ushul al-Fiqh,
(Daar al-Basyair, 1996)
15. Az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith, (Kairo : Daar ash-Shafwah,
1992)
16. Al-Jashshash al-Hanafi, al-Fushul fi al-Ushul, (Kuwait :
al-Idarah al-‘Amah, 1994)
17. Ali bin Abdul Kafi as-Sabki, al-Ibhaj, (Beirut : Daar
al-Kutub al-Ilmiyyah)
18. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Badai’ al-Fawaid, (Beirut :
Daar al-Kitab)
19. Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, (Daar Ibnu Affan, 1997) versi al-maktabah
asy-syamilah
20. Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi, versi al-maktabah
asy-syamilah
21. Ali bin Abdul Kafi as-Sabki, al-Ibhaj, (Beirut : Daar
al-Kutub al-Ilmiyyah)
22. Muhammad Nashar, Ma La Yajri al-Qiyas fihi, (Universitas
Kairo : Kuliyah Daar al-Ulum, 2000)
23. Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’, (Arab
Saudi : Daar Ibnu al-Jauzi)
24. Ahmad bin Muhammad al-Muqri, al-Mishbah al-Munir, (Beirut :
al-Maktabah al-Ilmiyyah) versi al-maktabah asy-Syamilah
25. Muhammad bin Abu Bakr, Mukhtar ash-Shahhah, versi al-maktabah
asy-Syamilah
26. Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, versi al-maktabah asy-syamilah
27. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
[1] Ibnu Mandzur, Lisan
al-Arab, (Beirut : Daar Shadir, 2004), vol. VI, hlm. 185, al-Amidi, al-Ihkam,
(Riyad : Daar ash-Shami’, 2003), vol. III, hlm. 227, dan lihat As’ad as-Sa’di, Mabahits
al-‘Illah, (Beirut : Daar al-Basyair, 2000), hlm. 15 – 19
[2] Muhammad
Rawwas, Mu’jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh, (Damaskus : Daar al-Fikr,
2000), hlm. 344
[3] Wahbah
az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus : Daar al-Fikr, 1986),
vol. I, hlm. 603 dan Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hlm. 218
[4] Muhammad
Rawwas, Mu’jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh, hlm. 344
[5] Ath-Thahir
Ahmad az-Zawi, Tartib al-Qamus al-Muhith, (Riyad : Daar ‘Alim al-Kutub,
1996), vol. III, hlm. 135, Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut : Daar
Shadir, 2004), vol. III, hlm. 273, Ahmad bin Muhammad al-Muqri, al-Mishbah
al-Munir, (Beirut : al-Maktabah al-Ilmiyyah), vol. II, hlm. 389, versi al-maktabah
asy-Syamilah dan Muhammad bin Abu Bakr, Mukhtar ash-Shahhah, hlm.
193, versi al-maktabah asy-Syamilah
[6] Al-Baghawi, Ma’alim
at-Tanzil, dalam menjelaskan makna ibadah di dalam surah al-Fatihah ayat 5,
vol. I, hlm. 53, versi al-maktabah asy-syamilah
[7] Lihat
al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo : Daar al-Kutub
al-Mishri, 1964), vol.I, hlm. 145
[8] Muhammad
Mandzur Ilahi, al-Qiyas fi al-Ibadât, (Riyad : Maktabah ar-Rusyd, 2004),
hlm. 250
[9] Ibnu
Taimiyyah, al-‘Ubudiyyah, (al-Ismailiyyah : Daar al-Ashalah, 1999), hlm.
19
[10] Lihat Ibnu
Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut : al-Maktabah al-‘Ashriyyah,
2000), vol. I, hlm. 23
[11] Lihat Ibnu
al-Qayyim, Badai’ al-Fawaid, (Beirut : Daar al-Kitab), vol. III, hlm.
193
[12] Lihat Muhammad
Mandzur Ilahi, al-Qiyas fi al-Ibadât, (Riyad : Maktabah ar-Rusyd, 2004),
hlm. 257 – 260
[13] Asy-Syathibi, al-Muwafaqat,
(Daar Ibnu Affan, 1997), vol. 4, hlm. 392, versi al-maktabah asy-syamilah
[14] Al-Qurafi, Syarh
Tankih al-Fushul, (Beirut : Daar al-Fikr, 2004), hlm. 323, Ali bin Abdul
Kafi as-Sabki, al-Ibhaj, (Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiyyah), vol. III,
hlm. 29, dan Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa, (Beirut : Daar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1413 H), vol. I, hlm. 328, di dalam persoalan dengan tema, apakah
mungkin menetapkan pokok ibadah menggunakan qiyas?
[15] HR. Al-Bukhari
no. 1117
[16] HR. Al-Baihaqi
no. 3821 dan Imam Malik no. 403
[17] Lihat Muhammad
Mandzur Ilahi, al-Qiyas fi al-Ibâdât, (Riyad : Maktabah ar-Rusyd, 2004),
hlm. 425 – 428
[18] Ibid, hlm.
429 – 431
[19] Lihat Abu
al-Ma’ali al-Juwaini, at-Talkhish fi Ushul al-Fiqh, (Daar al-Basyair,
1996), vol. III, hlm. 292 – 293
[20] Az-Zarkasyi, al-Bahru
al-Muhith, (Kairo : Daar ash-Shafwah, 1992), vol. V, hlm. 53
[21] Dia adalah
Ubaidullah bin Hasan bin Dalal, yang berkunyah Abu Hasan al-Karakhi. Ia lahir
tahun 260 H dan wafat di tahun 340 H. Ia merupakan pemuka dari kalangan madzhab
Hanafi di masanya.
[22] Muhammad
Mandzur Ilahi, al-Qiyas fi al-Ibâdât, (Riyad : Maktabah ar-Rusyd, 2004),
hlm. 435
[23] Al-Jashshash
al-Hanafi, al-Fushul fi al-Ushul, (Kuwait : al-Idarah al-‘Amah, 1994),
vol. IV, hlm. 105
[24] HR.
At-Tirmidzi no. 92, An-Nasa’i no. 67, dan Abu Dawud no. 76
[25] Muhammad bin
Ahmad as-Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi, vol. 1, hlm. 242, versi al-maktabah
asy-syamilah
[26] Lihat
Al-Qurafi, Syarh Tankih al-Fushul, (Beirut : Daar al-Fikr, 2004), hlm.
321, Ali bin Abdul Kafi as-Sabki, al-Ibhaj, (Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiyyah),
vol. III, hlm. 29, dan Muhammad Nashar, Ma La Yajri al-Qiyas fihi,
(Universitas Kairo : Kuliyah Daar al-Ulum, 2000), hlm. 171
[27] Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’, (Arab Saudi : Daar Ibnu
al-Jauzi), vol. VI, hlm. 524
[28] Lihat
Al-Jashshash al-Hanafi, al-Fushul fi al-Ushul, (Kuwait : al-Idarah
al-‘Amah, 1994), vol. IV, hlm. 105-108
[29] Lihat Muhammad
Mandzur Ilahi, al-Qiyas fi al-Ibâdât, (Riyad : Maktabah ar-Rusyd, 2004),
hlm. 442
[30] Ibid,
hlm. 446-452
[31] Lihat Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi,
vol. I, hlm. 112-113 versi al-maktabah asy-syamilah
[32] Lihat Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi,
vol. II, hlm. 204 versi al-maktabah asy-syamilah
[33] Lihat Muhammad
Mandzur Ilahi, al-Qiyas fi al-Ibâdât, (Riyad : Maktabah ar-Rusyd, 2004),
hlm. 439 – 440
[34] Beliau adalah
Ahmad bin Muhammad bin Harun bin Yazid, dijuluki Abu Bakr al-Baghdadi
al-Khilali. Merupakan salah satu syaikh dari madzhab Hanbali, ia lahir pada
tahun 234 H dan wafat pada tahun 311 H. Lihat adz-Dzahabi, Siyar A’lam,
(Muasasah ar-Risalah, 1985), vol. 14, hlm. 297
[35] HR. Al-Bukhari
no. 156
[36] HR. Abu Dawud
no. 41 dan Ibnu Majah no. 315
[37] Ibnu Qudamah, al-Mughni,
(Maktabah al-Qahirah, 1968), vol. I, hlm. 116
[38] Lihat Abu
Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’ ash-Shanai’, (Kairo : Daar
al-Hadits, 2005), vol. I, hlm. 349 dan as-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut
: Daar al-Ma’rifah), vol. I, hlm. 427-428
[39] HR. Al-Bukhari
no. 1117
[40] HR. Al-Baihaqi
no. 438 di dalam buku as-Sunan ash-Shughra
[41] Lihat
al-Inayah Syarh al-Hidayah, vol. 2, hlm. 318-319
[42] Lihat asy-Syarh
al-Kabir, vol. II, hlm. 89, versi al-Maktabah asy-Syamilah
[43] Lihat
an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Daar al-Fikr), vol. IV, hlm.
316, versi al-Maktabah asy-Syamilah
[44] Lihat Ibnu
Qudamah, al-Mughni, (Beirut : Daar al-Fikr, 1405 H), vol. I, hlm. 815
[45] Lihat
an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Daar al-Fikr), vol. IV, hlm.
317, versi al-Maktabah asy-Syamilah
[46] HR. Al-Bukhari
no. 6744
[47] Lihat Wahbah
az-Zuhaili, al-Fikh al-Islam wa Adillatuhu, vol. I, hlm. 645
[48] Lihat Ibnu
Qudamah, al-Mughni, (Beirut : Daar al-Fikr, 1405 H), vol. I, hlm. 814
ketika ada yang mengatakan tidak ada qiyas dalam ibadah...
BalasHapusdan ada yang mengqiyaskan semua ibadah...
maka bagaimana hal yang paling tengah-tengah...
semoga makalah ini dapat menambah wawasan kaum muslimin! aaamiiinnn