Oleh, Wildan Arief
A.
Pendahuluan
Islam adalah
agama yang lengkap dan mencakup semua aspek kehidupan.[2] Allah tidak
menjadikan urusan agama ini sebagai sebuah etika internal khusus untuk
orang-orang yang hanya berada dalam tempat ibadah dan terputus dengan dunia
luar, bahkan ayat-ayat al-Qur’an al-Karīm sangat banyak berbicara mengenai
aturan hidup manusia dan syarī’at yang harus ditegakkan. Dalam tatanan
kepemerintahan Islam haruslah berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tiada
hukum yang lebih tinggi dari keduanya. Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi
timbangan setiap masalah yang ada. Bukan sebatas indoktrinasi, Islam datang
bersama dengan manusia yang akan memberikan contoh riil bagaimana
mengaplikasikan hukum Allah di kehidupan dunia, yaitu
Rasulullah Saw.
Allah sendiri
telah mewajibkan bagi umat Islam untuk berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam setiap perselisihan yang terjadi diantara
mereka. Maka kedaulatan yang mutlak milik Allah semata. Tidak ada campur tangan
di dalamnya, baik dari kalangan malaikat, para nabi, orang-orang shalih, atau
para pemimpin. Baik itu presiden, raja, perdana menteri, atau julukan lain yang
dibuat oleh manusia.[3]
Berhukum dengan
hukum selain hukum Allah bisa menyebabkan kekafiran. jika seseorang
berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah tidak wajib, atau bahkan
menghinanya, maka ia telah kafir.[4] Jika seseorang berhukum dengan
hukum selain hukum Allah, namun masih meyakini kewajiban berhukum dengan hukum Allah maka itu termasuk
kafir ashghar[5].
Masuk ke dalamnya adalah sistem demokrasi yang hari ini banyak dijadikan sistem
utama sebuah negara.
Hanya saja,
dewasa ini muncul pendapat bahwa boleh masuk ke dalam parlemen pemerintah sekuler. Dengan dalih
mashlahat, pengusung pendapat ini membolehkan masuk ke dalam parlemen lantaran
dapat memperkecil madharat dari sistem kufur tersebut. Duduknya seorang muslim ke dalam kursi parlemen adalah sebuah upaya
untuk meresmikan hukum Allah agar diterima oleh seluruh rakyat sebagai hukum
positif. Dengan begitu hukum Allah dapat terealisasikan dan diterima oleh
rakyat secara luas[6].
Makalah ini
akan membahas polemik
seputar masuknya seorang aktivis muslim ke dalam parlemen dengan berlandaskan
maslahat. Meskipun tentu saja makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna.
B.
Definisi Parlemen
Parlemen secara etimologis diambil dari akar kata Belanda ”Parlementte” memiliki
makna berbicara, berpidato dan berdebat kian kemari.[7] Adapun dalam KBBI, parlemen adalah badan yang terdiri atas
wakil-wakil rakyat yang dipilih dan bertanggung jawab atas perundang-undangan
pengendalian keuangan negara.[8]
Kepemimpinan
sistem demokrasi setidaknya terdiri dari tiga lembaga yang menjadi pilar utama.
Pertama, Dewan Legislatif, yaitu dewan yang membuat aturan
dan undang-undang umum yang mengikat. Rakyat harus mematuhi dan komitmen. Tidak
boleh melanggar undang-undang yang telah disahkan. Peran dewan legislatif
adalah pembahasan, diskusi, dan pemilihan kebijakan-kebijakan umum. Tujuan dari
lembaga ini adalah untuk memperjuangkan suatu kepentingan dan kebijakan yang
menguntungkan dan menghindarkan dari keputusan yang merugikan.
Kedua, Dewan Eksekutif, yaitu dewan yang memiliki hak untuk
melaksanakan dan merealisasikan undang-undang yang telah disepakati oleh dewan
legislatif.[9]
Dewan eksekutif biasanya terdiri dari presiden atau raja beserta seluruh
menter-menterinya.
Ketiga, Dewan Yudikatif, yaitu dewan atau badan yang menyelesaikan
berbagai perselisihan secara damai, baik antar sesama rakyat atau antara rakyat
dengan pemerintah berdasarkan undang-undang yang ada.[10]
Maka dari itu badan yudikatif berfungsi mengadili penyelewengan pelaksanakan konstitusi
dan undang-undang.[11]
Maka yang
disebut dengan parlemen adalah
dewan legislatif. Dimana hak
perundang-undangan di tangan mereka. Parlemen sendiri memiliki beberapa nama,
seperti dewan legislatif, kongres, senat, dll. Ali
bin Nayf asy-Syukhud mendefinisikan parlemen dengan lembaga yang menghimpun beberapa orang dari perwakilan
rakyat yang merancang undang-undang dan menjabat pada jangka waktu tertentu.[12]
Menurut
Budiarjo, Lembaga Legislatif adalah lembaga yang
legislature atau lembaga yang membuat undang-undang. Angota–angotanya dianggap mewakili rakyat.[13]
legislature atau lembaga yang membuat undang-undang. Angota–angotanya dianggap mewakili rakyat.[13]
Dewan
legislatif atau parlemen memiliki banyak istilah, tergantung pada
negaranya. Di Mesir dan Suriah, dewan ini disebut dengan Dewan Rakyat. Di
Lebanon, Tunisia, dan Yaman lembaga ini bernama Majelis Perwakilan. Di Kuwait
disebut dengan Dewan Umat.[14] Di
Indonesia sendiri, kita mengenalnya dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan
DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
C.
Definisi Mashlahat
Secara
etimologi, mashlahah (مصلحة)
berasal dari kata shalaha (صلح)
yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Dapat juga dimaknai dengan kebaikan, kebermanfaatan,
kepantasan, kelayakan, keselarasan, dan kepatutan. Kata mashlahah kadang
dilawankan dengan mafsadah dan kadang pula dilawankan dengan madharah,
yang berarti kerusakan.[15]
Kemudian kata mashlahat
diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi maslahat/kemaslahatan. Ia mengandung
makna yang sama dengan aslinya, yaitu sesuatu yang mendatangkan kebaikan,
berguna dan bermanfaat atau kepentingan.[16]
Adapun secara
terminologi, banyak ulama telah mendefinisikan mashlahat dalam kitab-kitab
mereka. Al-Ghazali mengatakan bahwa makna dari maslahat adalah menarik atau
mewujudkan kemanfaatan dan menyingkirkan atau menghindarkan kemudharatan.
Menurut al-Ghazali, yang dimaksud maslahat secara terminologis syar’i adalah memelihara
dan mewujudkan tujuan hukum Islam (syari’at) yang berupa menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta.[17]
Abdul Karim
Zaidan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maslahat adalah berusaha
mewujudkan kebaikan atau manfaat dan menolak mudharat atau kerusakan.[18] Selaras
dengan itu pula, Jalaluddin Abdurrahman menjelaskan bahwa maslahat itu berarti
memelihara maksud dari syara’, yaitu kebaikan yang mendatangkan manfaat yang
diletakkan atas kerangka dan batasan-batasan yang jelas, bukan atas dasar keinginan
dan hawa nafsu saja.[19]
Dari beberapa
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Maslahat adalah apa yang dipandang
baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan
(kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Maslahat
sendiri dapat dibagi menjadi tiga macam. Pertama, yaitu maslahat yang
diperhitungkan oleh Syar’i. Ada petunjuk syar’i yang menunjukkan adanya
maslahat yang dijadikan alasan dalam menetapkan hukum. Maslahat ini disebut
dengan Mashlahah al-Mu’tabarah. Kedua, yaitu maslahat yang
dianggap oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syar’i dan ada petunjuk
syar’i yang menolaknya. Ulama sepakat menolak maslahat seperti ini. Maslahat
ini disebut dengan Maslahah al-Mulghah. Ketiga, yaitu yang
dianggap baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syar’i dalam menetapkan hukum, hanya saja tidak ada
petunjuk dari syar’i, baik menolak atau memerintahkannya. Dalam hal ini,
menggunakan maslahat ini sebagai dalil berijtihad menjadi perbincangan para ulama
dan perselisihan di antara mereka. Maslahat ini disebut dengan Maslahat
al-Mursalah.[20]
D.
Pandangan Ulama Tentang Bergabung Dalam
Parlemen
Sebelum kita
masuk pembahasan lebih dalam, perlu diketahui bahwa sebenarnya para ulama
telah sepakat akan haramnya masuk ke dalam parlemen pemerintah kufur. Pemerintah
yang berhukum dengan hukum buatan manusia adalah pemerintah kafir, maka masuk
dan bergabung di dalamnya adalah perbuatan kufur.[21] Hanya saja, jka alasan masuknya seseorang di dalamnya lantaran
maslahat ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama tetap melarang dan sebagian lain membolehkan bergabung ke dalam parlemen jika hal itu dilakukan
lantaran maslahat yang terkandung di dalamnya.
Para ulama yang
membolehkan bergabung dalam parlemen sering menggunakan dalil maslahat.
Misalnya saja, Dr. Umar al-Asyqar, beliau mengatakan, “Orang-orang yang
membolehkan masuk ke dalam dewan legislatif berpendapat
bahwa kemaslahatan dakwah dan kaum muslimin secara umum bisa dicapai dengan
partisipasinya tersebut. Dan nilai kemaslahatan yang didapatkan lebih besar
daripada kerusakan yang diakibatkan oleh partisipasinya dalam dewan parlemen,
meskipun kemampuan merealisasikan maslahat ini berbeda-beda antara satu negara
dengan negara lain.[22]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya tentang hukum
masuknya aktivis dan ulama ke dalam parlemen. Beliau menjawab, “Masuk ke dalam parlemen dan dewan legislatif sangat berbahaya. Akan tetapi
barang siapa yang masuk ke dalamnya dengan landasan ilmu dan pijakan yang kuat,
bertujuan menegakkan yang haq dan mengarahkan manusia kepada kebaikan serta
menghambat kebatilan. Tujuan utamanya bukan untuk kepentingan dunia atau
ketamakan terhadap harta. Ia masuk benar-benar hanya untuk menolong agama
Allah, memperjuangkan yang haq dan mencegah kebatilan. Dengan niat baik
seperti ini, maka saya memandang tidak mengapa melakukan hal itu, bahkan
seyogyanya dilakukan, agar dewan dan majelis seperti itu tidak kosong dari
kebaikan dan pendukung-pendukungnya.[23]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya hal
serupa, beliau menjawab, “Bahwa sudah
seharusnya (ada yang) masuk dan turut serta dalam pemerintahan. Dan
hendaknya dengan masuknya seseorang ke dalam pemerintahan, ia meniatkannya
untuk melakukan perbaikan, bukan untuk menyetujui setiap keputusan yang
dikeluarkan. Dan dalam kondisi seperti ini, bila ia menemukan sesuatu yang
menyelisihi syari'at maka ia berusaha menolak / membantahnya.”[24]
Syaikh Yusuf al-Qardhawi juga membolehkan seorang muslim
bergabung dalam parlemen. Beliau
menggunakan kaidah fikih “Yakhtaru ahwanu as-sarrain aw akhaffu
adh-dhararain”.[25]
Bergabung dengan parlemen memang mengandung madharat. Hanya saja, jika tidak
ada seorang muslim pun yang masuk ke dalamnya maka parlemen tersebut akan
dipenuhi dengan orang-orang yang membenci Islam. Mereka akan mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang merugikan umat Islam, dan ini merupakan madharat yang
lebh besar.[26]
Syaikh Ahmad
ar-Raisuni berpendapat bahwa demokrasi tidak memiliki rukun yang pasti.
Tergantung siapa yang msuk ke dalamnya. Demokrasi Kristen ortodoks berbeda
dengan demokrasi orang-orang komunis. Maka dari itu, masih memungkinkan
demokrasi tersebut diganti esensinya dan dimasukkan beberapa kemaslahatan untuk
kaum muslimin.[27]
E. Analisis Hukum
Bergabung Dengan Parlemen
Menegakkan kalimatullah
memang perkara yang Qath’i dan tsawabit, jalannya pun juga Qath’i berupa
dakwah dan jihad. Hanya saja aplikasi dari dakwah dan jihad itu sendiri adalah
masalah ijtihadi dan mutaghayyirat, sehingga masih ada pintu
untuk berbeda pendapat di dalamnya. Maka pada penggunaan parlemen sebagai
sarana dakwah dan jihad atau sarana mendapatkan maslahat masih masuk dalam
ranah ijtihadi.
Syaikh Muhammad
Shalih a-Munajjid pernah memberikan fatwa yang selaras dengan pernyataan di
atas. Beliau ditanya, “Bolehkah kaum muslimin memberikan hak suara mereka
kepada kaum kafir yang bahayanya lebih ringan?”
Beliau
menjawab, “Segala puji bagi Allah. Ini merupakan bagian dari masalah fatwa yang
mana hukumnya bisa berbeda-beda menurut kondisi waktu, tempat, serta keadaan.
Sehingga tidak dapat dikatakan satu hukum mutlak dalam semua gambaran yang
terjadi dan yang akan terjadi.”[28]
Dr. Shalah
Shawi mengatakan, “Berbagai sistem (manhaj) perubahan yang ditawarkan
gerakan Islam kontemporer tidak keluar dari ijtihad manusia yang berbingkai siyasah
syar’iyah dan hukum-hukumnya yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan
maslahat dan mafsadah. Dengan demikian, tidak ada yang sakral dalam
pemikirannya dan tidak ada ishmah (keterpeliharaan) bagi para tokohnya
dari kemungkinan salah secara manusiawi. Namun, niat yang ikhlas dan tujuan
yang baik membuat nilainya tidak berkurang.”[29]
Yang harus dijadikan
landasan berfikir adalah bahwa hak perundang-undangan adalah mutlak milik
Allah. Membuat hukum tandingan atau berhukum dengan hukum tandingan termasuk
perkara syirik. Padahal syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni allah ta’ala.
Banyak sekali nash syar’i yang menunjukkan akan hal tersebut. Bahkan ulama
tidak berselisih di dalamnya.
Al-Qur’an banyak
sekali menjelaskan bahwa hukum mutlak hanya milik Allah. Tidak ada sekutu
bagi-Nya. Allah berfirman:
إِنِ
الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ.
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan
Allah.”[30]
وَلا
يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
وَمَا
اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ
رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ.
“Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih maka putusannya
(terserah) kepada Allah. (Yang
mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku
bertawakal dan kepada-Nya lah aku kembali.”[32]
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ.
“Apakah
hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”[33]
ثُمَّ
رُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلاهُمُ الْحَقِّ أَلا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ
الْحَاسِبِينَ.
“Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada
Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada
hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.”[34]
Ayat-ayat di
atas menunjukkan secara pasti bahwa setiap hukum milik Allah, tidak ada sekutu
bagi-Nya. Meskipun sekutu tersebut merupakan makhluk yang paling dekat dengan
Allah, seperti malaikat dan para nabi atau rasul. Apalagi jika hanya individu
atau sekelompak manusia biasa.
Diriwayatkan
dari Syuraih bin Hani dari ayahnya, Hani, bahwa ketika ia (Hani) menjadi
delegasi menghadap Rasulullah. Beliau mendengar orang-orang menggelarinya
dengan Abu Al-Hakam. Rasulullah memanggilnya seraya bersabda, “Sesungguhnya
Allah adalah Al-Hakam. Kepada-Nya (diserahkan) segala keputusan,
lalu mengapa engkau digelari dengan Abu Al-Hakam?” Maka Hani menceritakan
penyebabnya. Lantas Rasulullah menggelarinya dengan putra tertuanya, Syuraih.
Beliau bersabda, “Mulai sekarang (kamu) Abu Syuraih.”[35]
Ibnu al-Atsir
mengomentari, “Sesungguhnya Rasulullah tidak menyukai gelar tersebut untuk
Hani, supaya ia tidak bersekutu dengan Allah dalam sifatnya.”[36]
Nash-nash
syar’i di atas menunjukkan akan kesakralan hak tasyri’ (kontitusi). Maka
barang siapa yang menyaingi Allah dalam berhukum, ia telah melakukan perbuatan
syirik. Dan syirik adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Allah. Masuk ke
dalam parlemen pemerintah sekuler berarti turut serta dalam berhukum dengan
hukum selain hukum Allah.
Bergabung dalam
perlemen sendiri membawa madharat yang tidak sedikit. Banyak madharat yang
muncul dengan masuknya seseorang ke dalam parlemen. Madharat tersebut seperti, pertama,
resiko terhadap akidah. Demokrasi sendiri adalah sistem kufur. Bergabung
dalam salah satu lembaga di bawahnya berarti secara tidak langsung ia akan ikut
serta dalam acara atau kegiatan kufur di dalamnya. Hal tersebut tetap akan
mempengaruhi akidah muslim tersebut baik sedikit atau banyak.[37]
Kedua, memperkeruh masalah bagi publik. Dengan masuknya aktivis Islam justru akan menyebarkan kebodohan
pada kaum muslimin. Masyarakat umum akan menilai bahwa menempuh jalan demokrasi
adalah hal yang sah-sah saja.[38]
Setelah itu masyarakat justru semakin ridha dengan demokrasi dan akan semakin
sulit membangun masyarakat islami yang madani.
Ketiga, resiko masuk dalam jebakan musuh[39].
Demokrasi adalah permainan diplomasi. Kebenaran dan keburukan hanya stempel.
Maka siapa yang diplomasinya paling kuat, dialah yang merancang kebenaran
tersebut. Jika seorang muslim bergabung dalam parlemen ditakutkan hanya akan
menambah buruk citra Islam karena kuatnya diplomasi musuh Islam dalam
memutarbalikan fakta.
Maslahat yang
ada dalam bergabungnya seorang muslim dalam parlemen memang baik menurut akal.
Selain itu hal tersebut selaras dengan tujuan syar’i dalam menetapkan hukum.
Yaitu untuk memperkecil kejahatan dan keburukan yang ditimpakan pada kaum
muslimin. Hanya saja, tidak ada nash syar’i—baik dari Al-Qur’an dan
as-Sunnah—yang memerintahkan atau menolak hal ini. Sehingga maslahat yang
dijadikan landasan sebagian ulama untuk membolehkan bergabung dengan parlemen
termasuk ke dalam mashlahah al-mursalah.
Dalam khazanah
ilmu maqashid terdapat apa yang disebut dengan mashlahah adh-dharuriyah.[40]
Maslahat tersebut adalah perihal menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta (dharurat al-khamsah). Yang paling utama dari seluruh maslahat
tersebut adalah menjaga agama (hifdzu ad-din). Jika agama hilang maka
turut hilang pula seluruh maslahat lainnya.[41]
Ada sebuah
kaidah yang berbunyi:
أعظم مصلحة في
الوجود لا يجوز تعطيلها و معارضتها بأي مصلحة دونها
“Maslahat
terbesar dalam kehidupan ini (menjaga agama/hifdzu ad-din) tidak boleh digugurkan dan dibenturkan dengan maslahat lain di bawahnya.”[42]
Ditinjau dari
hal tersebut di atas, maslahat bergabung dengan parlemen adalah mashlahah
al-mursalah. Sementara menghindar dan menolak semua lembaga bawahan sistem
demokrasi adalah sarana untuk menjaga kemurnian agama agar terhindar dari
perbuatan syirik, dan ini merupakan mashlahah al-mu’tabarah, yang mana
ulama sepakat untuk menggunakannya. Karena hal tersebut menjaga kemurnian agama sejalan dengan tujuan
syar’i dan ada petunjuk dari nash syar’i yang memerintahkannya. Maka maslahat al-mu’tabarah haruslah diutamakan dari pada maslahat
al-mursalah.[43]
Dalam
penggunaan mashlahah al-mursalah sendiri harus memperhatikan seluruh dzawabit-nya
(rambu-rambu). Sehingga tidak terkesan serampangan dalam menyimpulkan suatu
hukum.[44]
Ketika
menentukan hukum dari masalah-masalah tertentu, haruslah dikaji secara
proporsional. Sehingga akan muncul kesimpulan: maslahat dalam masalah ini lebih
besar dari mafsadatnya. Atau mafsadat dalam masalah ini lebih besar dari pada
maslahatnya. Tentu hal itu diputuskan setelah adanya kajian dari para pakar di
bidangnya masing-masing.[45]
Maslahat yang
didapat seseorang dari bergabungnya ia ke dalam perlemen tidak lebih besar dari
pada kerusakan atau madharat yang terkandung di dalamnya. Pasalnya, jika
maslahat lebih kecil atau seimbang dengan madharat yang terkandung di dalam
suatu perkara, berlaku kaidah fikih “Dar’u al-mafasid aula min jalbi
al-mashalih.” Yang berarti “Mencegah suatu kerusakan itu lebih diutamakan
dari pada mencari sebuah maslahat.”[46]
Syaikh Abu Muhammad al-Maqdisy dengan tegas
menyatakan, “Apa yang telah disyaratkan kepadanya, yaitu lembaga-lembaga yang
didirikan oleh para thaghut, seperti parlemen (MPR/DPR/DPRD), majelis-majelis
umat (MPR), dan yang serupa dengannya. Supaya di dalamnya mereka mengumpulkan
lawan-lawan mereka dari kalangan para aktivis dan yang lainnya. Mereka duduk bersama-sama, berdampingan, serta berbaur
dengannya. Sehingga mereka memandulkan permasalahan itu di antara mereka.
Akhirnya masalah itu tidak lagi terjadi masalah baru dari mereka, atau mengkufurkan UU dan UUD mereka, atau mencabut diri
dari kebatilan mereka seluruhnya. Namun yang terjadi adalah ta’awun, saling
bergandeng tangan, saling menasehati, duduk di meja rapat dalam rangka
kepentingan negeri, ekonomi, keamanan, dan demi kepentingan tanah air yang
dikendalikan oleh thaghut dan diatur berdasarkan keinginan-keinginan dan
kekafiran-kekafirannya.[47]
Syaikh Nashiruddin al-Bani pernah dimintai fatwa tentang
masuknya seseorang ke dalam parlemen. Beliau menjawab, “Yang saya yakini, bahwa setiap negara yang
tidak berhukum dengan hukum Allah secara jelas dan juga tidak mengamalkan
hukum-hukum Allah tersebut, maka tidak boleh bagi seorang muslim ikut serta
menjadi anggota pada majelis negara tersebut ataupun parlemennya. Oleh karena
itu, saya berpendapat bahwa tidak ada manfaat bagi kaum muslimin untuk ikut
serta dalam hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, terutama untuk masa depan
mereka yang panjang. Karena dampak keikutsertaan ini tidak memberikan manfaat
secara konkrit.”[48]
Madharat bergabung dalam parlemen pemerintah kufur, secara realita
lebih besar dari pada maslahat yang didapatkan. Sementara menyimpulkan hukum
dengan landasan maslahat saja tentu saja tidak cukup menguatkan pendapat
tersebut.[49]
Berdasarkan hal
tersebut, pendapat yang rajih adalah pendapat yang melarang. Pun tujuan
seorang aktivis adalah menegakkan kalimatullah. Tujuan yang begitu mulia
bagaimana mungkin ditempuh melalui jalan yang bukan saja tidak dicontohkan
Rasulullah, tapi juga banyak menabrak prinsip-prinsip Islam.
Sayyid Quthb
mengatakan, “Sangat sulit atas saya untuk menggambarkan bagaimana kita bisa
sampai kepada tujuan yang baik dengan menggunakan cara yang kotor?
Sesunguhnya tujuan yang baik tidak hidup kecuali dalam hati yang baik, maka
bagaimana mungkin bagi hati itu untuk tahan menggunakan cara yang kotor, bahkan
bisa ia mendapatkan jalan untuk menggunakan wasilah (cara) ini.”[50]
F.
Kesimpulan
Bergabungnya
seorang muslim ke dalam parlemen pemerintah sekuler memang mambawa maslahat
yang tidak kecil. Masuknya seorang muslim ke dalamnya dapat meminimalisir
kejahatan dan keburukan orang-orang yang memusuhi Islam. Ia juga dapat mencegah
kebijakan yang merugikan Islam dan membuat kebijakan yang menguntungkan Islam.
Hanya saja
madharat yang terkandung di dalamnya tidak kalah besar. Maka tetap tidak boleh
bergabung dalam parlemen pemerintah sekuler meskipun dengan dalil maslahat. Namun
permasalahan ini termasuk perkara yang ijtihadi sehingga tetap harus
menghormati adanya pendapat yang membolehkan
G.
Daftar Pustaka
1.
Muhammad Syakir asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota
Parlemen dan Pegawai Pemerintah Sekuler, Alih Bahasa: Sarwedi Hasibuan, (Solo:
Jazeera, 2013).
2.
Abū Muḥammad al-Maqdisīy, Millah Ibrāhim Dakwah Para
Nabi dan Rasul, (Tangerang: Ar-Rahmah Media, 2007).
3. Ali bin Nayif asy-Syukhud, Masyru’iyah
Musyarakah fi al-Majalis at-Tasyri’iyah wa at-Tanfidziyyah al-Mu’ashirah. (Versi
Syamilah).
4.
Abu Muhammad Ashim al-Maqdisi, al-Qaulu an-Nafis fi
at-Tahdzir min Khadi’ah al-Iblis, (Mimbar at-Tauhid wa al-Jihad).
5. Yusuf Qardhawi,
Fiqh ad-Daulah fi al-Islam, (Kairo: Dar Asy-Syuruq).
6.
Ahmad ar-Raisuni, al-Ummah Hiya al-Ashlu, (Beirut: Syabkah
al-Arabiyah li al-Abhats wa an-Nasyr, 2012).
7. Dr. Shalah Shawi, Ats-Tsawabit Wal
Mutaghayyirat, Alih Bahasa: Arwani Amin, (Solo: PT. Era
Adicitra Intermedia, 2011)
8.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002) edisi III.
9.
S. Wojowasito, Kamus Belanda-Indonesia,
(Jakarta: IBVH, 1996).
10. Ibnu Mandzur al-Ifriqi, Lisan al-Arab,
(Riyadh: Dar Alam al-Kutub) vol. II.
11. Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi
Ta’wil Al-Qur’an, (Beirut:
Mu’assasah ar-Risalah, 2000) vol. IX.
12. Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Adhwa’
al-Bayan fi Idhahi Al-Qur’an bi Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995) vol.
III.
13.
Raini R. Moediarta, Pkn: Harmoni Berkebangsaan, (Bogor: Quadra,
2007).
14.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)
15. Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilmi
al-Ushul, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1997) vol. I.
16.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2014) vol. II.
17. Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh, (Baghdad: Dar al-Arabiyah li at-Tiba’ah).
18. Jalaluddin Abd. Rahman, al-Mashalih al-Mursalah
wa Makanatuha fi Tasyri’, (Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah).
19. Muhammad Shidqi al-Burnu, Al-Wajiz fi
Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyat, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996).
20. Imam as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadha’ir,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990).
21. Abdul Aziz bin Abd Ar-Rahman, Ilmu Maqashid
asy-Syari’, (Riyadh: Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, 2002).
[2] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’
Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, (Beirut: Mu’assasah
ar-Risalah, 2000) vol. IX, hlm. 516
[3] Muhammad Syakir
asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah
Sekuler, Alih Bahasa: Sarwedi
Hasibuan, (Solo:
Jazeera, 2013) hlm. 26
[4] Abdul Aziz bin Muhammad, Nawaqidh al-Iman al-Qauliyah Wa al-Amaliyah,
(Riyadh: Dar al-Wathan, 1414 H) hlm. 311
[5] Kafir ashghar adalah kafir yang tidak mengeluarkan seseorang
dari agama Islam, hanya saja mengurangi pahala amal dan bahkan membatalkannya
jika dilakukan secara terus menerus. Lihat: Ibid, hlm. 336
[6] Ahmad ar-Raisuni, al-Ummah hiya al-Ashlu, (Beirut: Syabkah
al-Arabiyah li al-Abhats wa an-Nasyr, 2012) hlm. 31-32
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) hlm. 831
[10] Muhammad Syakir
asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah
Sekuler…, hlm. 21
[11] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 295
[12] Ali bin Nayif
asy-Syukhud, Masyru’iyah Musyarakah fi al-Majalis at-Tasyri’iyah wa at-Tanfidziyyah
al-Mu’ashirah, (Versi Syamilah), hlm. 3
[14] Muhammad Syakir
asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah
Sekuler…, hlm. 39
[17] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa
min Ilmi al-Ushul, (Kairo: Dar al-Hadits, 2011) vol. I, hlm. 538
[18] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz
fi Ushul al-Fiqh, (Baghdad: Dar al-Arabiyah li at-Tiba’ah) hlm. 236.
[19] Jalaluddin Abd. Rahman, al-Mashalih
al-Mursalah wa Makanatuha fi Tasyri’, (Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah) hlm. 13.
[24] Fatwa ini dimuat dalam majalah Al Furqan edisi 42-Rabi' Ats Tsani
1414 H/Oktober 1993 M. Adapun terjemahan ini diambil dari buku Ash Shulhu Khair
terbitan Jama'ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan.
[25] Muhammad Shidqi al-Burnu,
Al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyat, (Beirut: Mu’assasah
ar-Risalah, 1996) hlm. 260
[27] Ahmad ar-Raisuni, al-Ummah hiya al-Ashlu…, hlm. 44
[28] Muhammad Syakir
asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah
Sekuler, hlm. 149.
[29] Dr. Shalah Shawi, Ats-Tsawabit
Wal Mutaghayyirat, (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011) terj: Arwani
Amin, hlm. 305.
[30] QS. Yusuf: 40
[37] Muhammad Syakir
asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah
Sekuler…, hlm. 64
[38] Ibid, hlm. 66
[39] Ibid, hlm. 67
[40] Yaitu sesuatu yang memang harus ada demi tegaknya kemaslahatan
agama dan dunia. Sehingga tanpa adanya hal tersebut, kemaslahatan dunia tidak
akan berjalan lurus dan kemaslahatan akhirat tidak akan mendapat keselamatan.
[41] Abdul Aziz bin Abd Ar-Rahman, Ilmu Maqashid asy-Syari’,
(Riyadh: Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, 2002) hlm. 130
[42] Abu Muhammad Ashim
al-Maqdisi, al-Qaulu an-Nafis fi at-Tahdzir min Khadi’ah al-Iblis,
(Mimbar at-Tauhid wa al-Jihad) hlm. 34
[43] Ibid, hlm. 35-36
[45] Muhammad Syakir
asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah
Sekuler…, hlm. 121
[47] Abū Muḥammad al-Maqdisīy,
Millah Ibrāhim Dakwah Para Nabi dan Rasul, (Tangerang: Ar-Rahmah Media,
2007) hlm. 154.
[48] Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, edisi
Indonesia Fatwa-Fatwa Al-Bani, hal 111-116, Penerjemah Adni Kurniawan, Pustaka
At-Tauhid.
[50] Ibid, hlm. 52
0 komentar:
Posting Komentar