PENGERTIAN TOLERANSI
a. Bahasa
Berasal dari kataسَمَحَ dengan wazn تفاعَل menjadi تسامح yang berarti تساهل فيه (murah hati, bersikap mudah/toleransi).[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “Toleran” artinya membiarkan,mendiamkan dan sikap lapang dada dalam pergaulan. Sedangkan menurut WJS. Poerwadarminta, adalah sikap kelapangdadaan dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang lain berpendapat dan berpendirian lain tak mau menggangu kebebasan berfikir dan keyakinan orang lain.[2] Adapun toleransi dalam Bahasa Inggris berasal dari kata “ Toleration” atau “Tolerance” artinya membiarkan suatu perbuatan yang dikerjakan orang lain, meskipun pada dasarnya kita tidak senang dengan perbuatan itu.[3]
Berasal dari kataسَمَحَ dengan wazn تفاعَل menjadi تسامح yang berarti تساهل فيه (murah hati, bersikap mudah/toleransi).[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “Toleran” artinya membiarkan,mendiamkan dan sikap lapang dada dalam pergaulan. Sedangkan menurut WJS. Poerwadarminta, adalah sikap kelapangdadaan dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang lain berpendapat dan berpendirian lain tak mau menggangu kebebasan berfikir dan keyakinan orang lain.[2] Adapun toleransi dalam Bahasa Inggris berasal dari kata “ Toleration” atau “Tolerance” artinya membiarkan suatu perbuatan yang dikerjakan orang lain, meskipun pada dasarnya kita tidak senang dengan perbuatan itu.[3]
Sedangkan menurut Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali makna toleransi
adalah:
1.
Kerelaan
hati dan kedemawanan
2.
Kelapangan
dada kerenan kebersihan dan ketaqwaan
3.
Kelamahlembutan
karena kemudahan
4.
Muka
ceria karena kegembiraan
5.
Rendah
diri di hadapan kaum Muslmin bukan karena kehinaan
6.
Mudah
dalam berhubungan sosial tanpa penipuan dan kelalaian
7.
Menggampangkan
dalam berdakwah ke jalan Allah tanpa basa-basi
8.
Terikat
dan tunduk kepada agama Allah tanpa rasa keberatan
9.
Merupakan
inti Islam
10. Iman yang paling utama
11. Puncak
tertinggi budi pekerti (akhlaq)[4]
b. Menurut
Syar’i
Toleransi dalam Islam dikenal dengan as-Samahah, istilah ini berasal dari hadits Ubadah bin Shamit dalam Musnad Imam Ahmad:
عن عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ يَقُولُ إِنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ
قَالَ الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَتَصْدِيقٌ بِهِ وَجِهَادٌ فِي سَبِيلِهِ قَالَ
أُرِيدُ أَهْوَنَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ السَّمَاحَةُ وَالصَّبْرُ
قَالَ أُرِيدُ أَهْوَنَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا تَتَّهِمِ
اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي شَيْءٍ قَضَى لَكَ بِهِ
Artinya: “ Dari 'Ubadah bin Ash Shamit berkata: Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam dan berkata: Wahai Nabi Allah amalan apa yang paling utama? Rasulullah menjawab: "Beriman kepada Allah dan membenarkannya dan berjihad dijalanNya." Orang itu berkata: Saya ingin yang lebih mudah dari itu wahai Rasulullah! Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Berlapang dada dan bersabar." orang itu berkata lagi: Saya ingin yang lebih mudah dari itu wahai Rasulullah?. Maka, Rasulullah berkata: "Janganlah kamu berprasangka buruk kepada Allah dalam suatu yang telah diputuskan untukmu." Disebutkan juga dalam riwayat Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah menyukai agama yang “hanifiyyah dan as-samhatu”.[5]
Tidak ada definisi khusus memang tentang masalah toleransi yang tersebut dalam nash. Hanya saja kita bisa memahaminya melalui banyak ayat dalam al-Qur’an, hadits, serta melalui perkataan para ulama. Sebagai berikut:
a. Perintah
Berbuat Kebaikan
Dalam surat an-Nahl: 90 Allah
berfirman: “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
b. Perintah
Untuk Melapangkan Dan Menghilangkan Kesulitan
Firman Allah
dalam Al-A’raf:
199, An-Nuur:22, al-Baqarah 237, Al-Imran :134, al-Hijr: 85, az-Zukhruf: 89,
as-Syura: 43
“Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh”
(al-A’raf:199)
“Dan
janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu
bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya),
orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa
Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(
an-Nuur:22)
“Jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh
orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada
takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan” (al-Baqarah:237)
“Yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan” (al-Imran:134)
“Dan
tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya,
melainkan dengan benar. Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang,
maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (al-Hijr:85)
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah:
"Salam (selamat tinggal)". Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka
yang buruk)” (az-Zukhruf:89)
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya
(perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan” (as-Syura:43)
c. Membalas
Keburukan Dengan Kebaikan
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari
keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang
Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak
kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan
(yang baik)” (ar-Ra’d:22)
“Tolaklah perbuatan buruk mereka
dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan” (al-Mukminun:96)
“Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (Fushilat: 34)
d. Mengangkat
Kesusahan
“Dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong” (Al-Hajj:78)
“Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”(al-Baqarah:185)
“Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi
yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang
ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung (al-A’raf:157)
Jika kita perhatikan secara teliti, ayat-ayat diatas
semuanya berbicara pada konteks mu’alamah bukan pada konteks aqidah, sehingga
tidak ayat ini tidak bisa digunakan melegalkan toleransi yang berkaitan dengan
masalah aqidah, semisal ikut merayakan hari raya orang kafir atau sekedar
mengucapkan selamat saja. Karena pada perkara ini para ulama sudah bersepakat
haram hukumnya. Karena hari raya adalah bagian dari syari’at dan bernilai
ibadah dalam agama mereka, sedangkan umat Islam diperintahkan oleh Rasulullah
untuk menyelisihi mereka[6]
e.
Kaidah Fiqih
Dalam kaidah
fiqih kita mengenal kaidahالمشقة
تجلب التيسير" " salah satu hadits yang menjadi landasan kaidah ini adalah hadits
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah dalam
musnadnya "...بعثت
بالحنفية والسمحة ..." artinya “ …sesungguhnya Aku (Nabi
Muhammad) di utus untuk agama yang lurus dan toleransi...”[7]
Rasulullah diutus Allah dengan
membawa Islam, jadi logikanya agama dimana Rasulullah diutus itulah yang
disifati dalam hadits diatas, dan sudah tentu agama itu adalah agama islam
karena Islam adalah agama yang dibawa Rasululullah. Islam adalah agama yang sempurna yang
mengatur segala macam urusan, baik urusan dunia atau urusan akhirat, urusan
sesama agama maupun urusan dengan orang yang beda agama. Kita tidak akan mendapatkan
hal ini secara spesifik pada agama diluar Islam. Kaidah fiqih ini adalah salah
satu contoh bahwa Islam itu sebenarnya menginginkan hubungan yang baik terhadap
sesama manusia. Bahkan, pada perintah jihad sekalipun. Karena jihad bertujuan
untuk meninggikan kalimat Allah. Maksudnya adalah kalimat tauhid, sedangkan
syari’at Islam merupakan pengejawantahan dari kalimat tersebut.
BATASAN-BATASAN TOLERANSI TERHADAP NON-MUSLIM
Sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya, agama Islam adalah agama yang paling toleran,
namun bukan toleransi tanpa batas yang sering didengungkan kaum Sekularis dan
Liberalis. Islam mempunyai prinsip ushul (pokok) dan furu’ (cabang).
Ummat Islam dalam perkara ushuliyyah menolak toleransi antar agama,
karena perkara ini berkaitan dengan masalah i’tiqadi (perkara
keyakinan), menerima toleransi pada ranah ini berimplikasi pada rusaknya
aqidah. Sedangkan masalah furu’iyah kaitannya dengan permasalahan fiqih
yang masih mengandung perbedaan pendapat dikalangan ulama. Perkaranya bisa pada
masalah tatacara pelaksanaan ibadah, muamalah dan semua perkara yang yang masuk
dalam ranah ijtihad. Pada hal ini Islam memberikan ruang pada toleransi.
Imam al-Badzdawi[8] berkata
dalam sebuah pernyataan yang dinukil oleh Syaikh at-Thuraiqi ,“...pada
dasarnya berhak atas orang kafir hukum-hukum Islam (dalam darul Islam),
namun hal itu bukan dimaksudkan agar Allah mengampuninya. Hanya saja itu
berlaku hanya sebatas masalah sosial dunia saja. Bukan sebagaimana pada kaum
muslimin, bagi mereka perkara itu juga berpengaruh pada perkara akhiratnya (ampunan
Allah).”[9]
Maknanya al-Badzdawi hanya membatasi pada masalah yang sifatnya
sosial saja, tidak untuk perkara yang berkaitan dengan masalah akhirat.
Syaikh Mahmas al-Jal’ud membagi hubungan dengan orang kafir dalam dua
bagian. Pertama, hubungan kaum muslimin dengan orang kafir yang netral, artinya
tidak memerangi kaum muslimin. Beliau membolehkannya, dengan landasan ayat:
ادع إلى سبيل
ربك بالحكمة والموظة الحسنة وجادلهم بالتى هي أحسن....
Artinya: “ dan serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, peringatan
yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik…” (an-Nahl: 125).
Pada saat orang-orang kafir itu ingin mengadakan hubungan sosial dengan
kaum muslimin dan kedua belah pihak mendapatkan manfaat maka dalam hal ini
tidak dilarang. Kedua, hubungan dengan kafir harbi (yang memerangi kaum
muslimin), maka sebagaimana para ulama yang lain beliau mewajibkan memerangi
mereka. Beliau mengklasifikasikan kafir yang wajib diperangi pada tiga
golongan; (kaum kafir penyembah berhala, kafir dari
kalangan Yahudi dan kafir dari kalangan Nashrani). Setiap golongan dari mereka ada kaidah-kaidah
berbeda yang diterapkan ketika memerangi mereka.[10]
Namun ada satu celah yang harus dipahami, celah ini bisa digunakan untuk
melegalkan ide toleransi ala Pluralis dan Liberalis. Masalahnya terdapat
pada penafsiran pada kalimat "لا اكراه فى الدين" dalam surat al-Baqarah: 226. Jika ditinjau
dari makna secara tekstual memang benar makna kalimat itu adalah “…tidak ada
paksaaan dalam beragama…” yang secara tidak langsung ayat ini memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memilih agamanya sendiri dan tidak boleh ada
klaim kebenaran pada masing-masing agama, karena Allah tidak pernah memaksa
hambaNya memililih agama tertentu. Pendapat ini berimplikasi pada ide toleransi
bebas tanpa aturan. Ini jelas tidak benar, karena landasannya hanya berdasar
logika saja. Tentunya untuk memahami tafsir ayat itu kita harus merujuk kepada
tafsir para ulama mufassirin yang telah mendapat rekomendasi ummat Islam. Namun
terkadang mereka menolak tafsiran para ulama Islam dan lebih mengacu pada
tafsiran metode Orientalis. Karena pada dasarnya mereka ingin memutus mata
rantai syari’at dengan mengkaburkan seluruh tafsir para ulama yang mereka
anggap tidak sesuai meskipun telah diakui umat Islam seluruh dunia.
Mengenai ayat diatas, Ibnu Katsir berkata,” Tidak ada paksaan dan
tidak boleh memaksa seseorang untuk masuk ke dalam Islam. Hanya mereka yang
mendapat hidayah saja yang masuk kedalam Islam. Barangsiapa telah Allah tutup
dan butakan mata hatinya serta telah Allah tulikan kedua telinganya. Maka tidak
perlu memaksa orang ini untuk masuk kedalan Islam”[11].Imam
at-Thabari berpendapat ayat ini diperuntukkan bagi mereka yang membayar
jizyah di negara Islam.[12]
Sedangkan Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa sebenarnya ayat ini telah dimansukh
dengan ayat perintah untuk berjihad
(at-Tahrim:9)
" يآيّهاالنبي جاهد الكفار والمنافقين...." artinya “Wahai Nabi, berjihadlah kalian
terhadap orang-orang kafir dan Munafik…”[13]
Sebenarnya ketiga penafsiran diatas tidak bertentangan, pada awal ayat
ini turun maknanya sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir, kemudian ayat
itu dimansukh sebagaimana penjelasan al-Qurthubi, kemudian berlaku
seperti pada pendapat at-Thabari. Jelas sudah ayat ini tidak berkaitan dengan
masalah kebebasan memilih agama tertentu.
Adapun sikap kaum Muslimin sudah jelas sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Kafirun:6 " لكم دينكم ولي الدين " ( bagimu agamamu dan bagiku agamaku ). Toleransi itu membiarkan bukan mengikut,
logikanya seperti itu. Menurut para ulama mufassirun, kekafiran adalah suatu millah
(agama) apapun bentuknya, ini merupakan esensi yang terkandung pada ayat ini. Toleransi
yang diinginkan orang kafir pada hari ini sebenarnya kaum muslimin dipaksa
harus mempercayai keyakinan mereka, sedangkan toleransi hanyalah sebuah kedok
yang digunakan sebagai alat untuk memuluskan rencana mereka.
C.
KESIMPULAN
Dari uraian
diatas dapat kita simpulkan bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung
toleransi, namun toleransi dalam batas tertentu selama tidak berkaitan dalam
perkara i’tiqadiyat (keyakinan). Jika toleransi yang dimaksud
sampai melanggar batas ini, maka hal ini tidak bisa dikatakan sebagai toleransi
dan menyalahi syari’at Islam.
Wallahu a’lam bis-Shawwab
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Imam
al-Hafidz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyq, Tafsir
al-Qur’anul adzim, (Qahirah: Darul Aqidah, 1429 H/2008 M)
2.
Al-Imam
Ibnu Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayân ‘an Aayil Qur’an, (Beirut: Darul
Fikr, 1421 H/2001 M)
3.
Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi’ fi Ahkâmil Qur’an, (ttp: tp, tt)
4.
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (ttp: ar-Risalah,tt)
5.
Abdullah
bin Ibrahim bin Ali at-Thuraiqi, al-Isti’ânah bi-Ghari al-Muslimin fi Fiqhi al-Islâmi, (Saudi Arabia: Jami’ah Imam
Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, 1407 H)
6.
Mahmas
bin Abdullah bin Muhammad al-Jal’ud, al-Muwâlah wal Mu’âdah fî as-Syarî’ah al-Islâmiyah, (ttp: Maktabah Ibnul Jauzi, 1410 H/1989
M)
7.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’
Shirâtal Mustaqîm Mukhalafâtu Ashâbul Jahîm, (ttp: Maktabah Riyadh, tt)
8.
Muhammad
Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu, al-Wajîz fî Idhâhi Qawa’id al-Fiqhi
al-Kulliyyât, (Beirut: Muassasah ar-Risalah,1416 H)
9.
Bilal
Shafiyuddin, Mafhum at-Tasâmuh fî al-Islâm wa Shilatuhu
bi Mafhumi al-Wajîb, Risalah milik universitas Damaskus Fakultas Syari’ah tahun 1430 H
10.
Louis
Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughâh wal I’lâm, (Beirut: al-Muthaba’ah al-Katsulikiyah, 1980 M)
11.
Ibnu
Mandhur, Lisânul Arab, versi Maktabah Syamilah
12.
(http://
groups.yahoo.com/group/assunnah)
13.
Pendidikan dan Penelitian TOLERANSI DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA.html
[1]
Louis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughâh wal I’lâm, huruf sa’, (Beirut: al-Muthaba’ah al-Katsulikiyah,
1980 hlm. 349, makna semisal disebutkan oleh Ibnu Mandhur dalam Lisanul
Arab, Maktabah Syamilah
[2]
Pendidikan dan Penelitian TOLERANSI DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA.html, diposkan oleh Bang Yus, 5 Desember 2011
[3]
Bilal Shafiyuddin, Mafhum
at-Tasâmuh
fi al-Islâm wa
Shilatuhu bi Mafhumi al-Wajîb, disampaikan
dalam “Mu’tamar at-Tasâmuh ad-Dîni fî as-Syari’ah al-Islamiyah, di Univ. Damaskus,
Fak. Syari’ah pada tanggal 19-20 Rajab 1430 H
[4]
Diambil dari arsip mailinglist As-Sunnah (http://
groups.yahoo.com/group/assunnah), merujuk pada kitab: Salim bin ‘Ied al-Hilali,
Toleransi dalam pandangan al-Qur’an dan as-Sunnah, alih bahasa: Abu
Abdillah Mohammad afiduddin as-Sidawi terbitan Maktabah Salafy Press, di unggah
pada 15 Maret 2003
[5]
Dalam musnad Ahmad (ar-Risalah 4/17, no. 2107)
[6]
Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ Shirâtal Mustaqim Mukhâlafatu Ashâbul Jahîm, (ttp:
Maktabah Riyadh, tt), hlm. 179
[7]
Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu, al-Wâjiz fî Idhâhi Qawa’id
al-Fiqhi al-Kulliyyât, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1416H/1996M), hlm. 219
[8]
Beliau adalah Ali bin Muhammad bin Abdul Karim al-Hanafi panggilannya Abu
Hasan, beliau seorang ulama yang faqih, ahli dalam masalah Ushul, seorang
Mufassir dan mempunyai banyak tulisan dalam berbagai bidang ilmu (Siyar
A’lam Nubala’)
[9] Abdullah
bin Ibrahim bin Ali at-Thuraiqi, al-Isti’ânah bi-Ghari al-Muslimin fî Fiqhi
al-Islâmi, (Saudi Arabia: Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah,
1407 H), hlm. 86
[10] Mahmas
bin Abdullah bin Muhammad al-Jal’ud, al-Muwâlah wal Mu’âdah fî as-Syarî’ah
al-Islâmiyah, (ttp: Maktabah Ibnul Jauzi, 1410H/1989M), hlm. 620-627,
vol.II
[11]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul adzim, (Qahirah: Darul Aqidah,
1429H/2008M), hlm. 470, vol. I
[12]
at-Thabari, Jamî’ul Bayân ‘an Aayil Qur’an, (Beirut: Darul Fikr, 1421H/2001M),
hlm. 23, vol. III
[13]
al-Qurthubi, al-Jâmi’ fî Ahkâmil Qur’an, (ttp: tp, tt), hlm. 280, vol.
III
0 komentar:
Posting Komentar