Oleh : Muhammad Fajar Nur Rachmat
A.
Pendahuluan
Allah menetapkan aturan pada segala
aspek kehidupan manusia. Allah menjadikan agama Islam sebagai agama yang
sempurna. Di dalamnya terkandung syariat yang mengatur kehidupan manusia dari
hal terkecil seperti urusan kakus sampai perkara makro seperti ketatanegaraan.
Islam juga mengatur hubungan hamba dengan Rabbnya serta hubungan antar
individu. Dalam konteks keislaman, Allah memberi keistimewaan bagi Ahlu Kitab.
Keistimewaan ini tidak diberikan kepada umat
lain selain mereka, yaitu kebolehan seorang muslim menikahi wanitanya dan
memakan sembelihannya.
Para ulama sepakat bahwa Yahudi dan
Nasrani merupakan Ahlu Kitab.[1]
Adapun Majusi bukan Ahlu Kitab, sedangkan Shaabiun masih
diperselisihkan apakah termasuk atau tidak.[2] Belakangan, definisi
ini mulai digugat oleh sebagian orang
dengan memasukkan Majusi, Zoroaster, Hindu, dan Budha sebagai Ahlu Kitab. Dalam sebuah
forum diskusi, Zainun Kamal[3]
melontarkan gagasan bahwa umat Hindu dan Budha yang ada di Indonesia termasuk Ahlu Kitab.[4]
Tentunya gagasan ini bertentangan dengan pendapat para ulama salaf maupun khalaf. Padangan ini mengaburkan pengetahuan tentang Ahlu Kitab yang
sebenarnya sudah dijelaskan para ulama.
Pada sebuah forum diskusi keislaman
dalam Kajian Islam Utan Kayu, Zainun Kamal mengutarakan konsep Ahlu Kitab
menurut versi liberal.[5]
Ketika ia ditanya mengenai konsep Ahlu kitab dalam Islam, ia menjawab bahwa secara singkat Ahlu Kitab bisa diartikan orang yang mempercayai salah satu
nabi dan percaya kepada kitab suci, entah itu Yahudi atau Nasrani. Ia
menambahkan, kenapa ketika dalam Al-Qur’an disebutkan istilah Ahlu kitab,
populernya merujuk pada Yahudi dan Nasrani?
Karena dua agama itulah yang memiliki pengikut paling besar. Padahal,
asalkan sudah percaya kepada nabi
dan percaya adanya kitab suci yang diturunkan kepada salah satu nabi, itu sudah
bisa disebut Ahlu Kitab.
Pernyataan Zainun Kamal ini tidak
dilontarkan tanpa dalil. Ia mendasarkan pernyataannya dengan ulasan dalam tafsir
al-Manar. Dalam Tafsir al-Manar jilid enam diulas panjang lebar
kalau Hindu-Budha termasuk Ahlu
Kitab. Zainun berujar, “Kalau dalam konteks Indonesia,
agama Budha, Hindu, atau agama Konghucu, agama Shinto, menurut
Muhammad Abduh dalam kitab
tafsirnya al-Manar juga disebut Ahlu Kitab. Alasannya karena ada kitab
sucinya dan tentu saja kitab suci tersebut dibawa oleh seorang nabi. Pengertian nabi
di sini diartikan sebagai pembawa pesan moral. Itu dikaitkan dengan ajaran Al-Qur’an
bahwa “Allah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, faba’atsna fi kulli
ummatin rasula” jadi setiap umat itu ada nabinya. Dalam hal agama Budha, bisa dikatakan Sidharta Ghautama adalah seorang nabi yang membawa kitab suci”.[6]
Gagasan ini
berdampak pada pemikiran kaum muslimin dan hukum-hukum yang berhubungan dengan Ahlu
Kitab. Jika Hindu dan Budha termasuk Ahlu Kitab,
maka seorang muslim boleh memakan sembelihan dan menikahi
wanita mereka. Padahal Hindu dan Budha tidak mengenal Allah sebagaimana Yahudi
dan Nasrani mengenal-Nya. Lebih jauh lagi, pendapat ini akan berujung pada
kesimpulan bahwa semua agama sama-sama berasal dari Allah. Kelak semuanya akan
selamat di akhirat karena inti dari
ajaran semua agama adalah sama. Tidak ada bedanya antara Islam, Yahudi,
Nasrani, Hindu, Budha, dan Shinto.[7]
Lantas apakah Hindu dan Budha termasuk Ahlu Kitab? Bagaimana pendapat para
ulama mengenai pandangan ini?
Dalam makalah
ini penulis melakukan pendekatan pada kajian
akidah mengenai klasifikasi Ahlu Kitab menurut syar’i. Selanjutnya melakukan
klarifikasi dan komparasi dalil yang digunakan oleh Zainun Kamal sebagai hujah.
B.
Definisi Ahlu
Kitab
Secara etimologi kata Ahl
berasal dari ahila-ya`halu-ahlan berarti keluarga. Jika disebutkan ahlu
ar-rajul berarti keluarganya, ahlu lirrajul istrinya, ahlu ad-dar penghuni, ahlu
Al-Qur’an berarti orang yang menghafal Al-Qur’an dan mengamalkannya.[8]
Kemudian kata al-kitab berarti
mushaf.[9]
Jika kata ahl digabungkan
dengan al-kitab, bisa dipahami bahwa maksud dari frasa ahlu al-kitab
adalah pemilik kitab atau orang yang mengamalkannya. Dalam konteks pembahasan
kali ini, makna etimologi Ahlu Kitab yang paling tepat adalah mereka yang
memiliki kitab samawi.
Secara terminologi, mereka adalah
kaum yang diberikan kitab Taurat dan Injil. Kitab Taurat adalah milik Yahudi
dan Samirah, sedangkan Injil milik Nasrani dan mereka yang memiliki kesamaan
dalam pokok agama dengan Nasrani seperti Ifrij, Arman, dan lainnya.[10] Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya menyebutkan
bahwa Ahlu Kitab adalah Yahudi dan Nasrani yang Allah turunkan kepada nabi-nabi
mereka Taurat dan Injil.[11] Dalam buku yang lain beliau menyebutkan
bahwa mereka adalah pemilik kitab Taurat dan Injil.[12]
C.
Sekilas
Sejarah Hindu dan Budha
Agama Hindu merupakan suatu
kepercayaan yang diciptakan oleh bangsa Arya yaitu bangsa pengembara
dari utara yang masuk ke India melalui celah Kaibar dan menduduki lembah sungai Gangga
dan Yamuna. Agama Hindu bersifat politeisme
dengan dewa utamanya Trimurti yang terdiri dari Brahma,Wisnu dan Syiwa. Adapun
kitab sucinya adalah Weda.[13] Asal-usul
ajaran Hindu dimulai dari kisah bangsa Dravida. Jauh sekitar 2500 SM bangsa
Dravida sudah mengalami kemajuan peradaban yang tinggi sebelum kemunculan
bangsa Arya di anak benua Indo-Pakistan. Sekarang daerah tersebut menjadi
Pakistan. Mereka dikenal sebagai bangsa petani yang mahir baca tulis. Menurut
penelitian dari hasil temuan paninggalan-peninggalan bangsa Dravida, waktu itu
sudah ada aktifitas peribadatan terhadap Tuhan Ibu. Selain itu, juga
ditemukan beberapa lukisan berbentuk wanita dengan perut mengeluarkan tumbuhan.
Ini merupakan ide dari dewi bumi yang berhubungan dengan tanaman. Peradaban
bangsa Dravida tiba-tiba terhenti pada kisaran 2000-1500 SM. Ditemukan
bukti-bukti terjadinya kejahatan dan sebuah penyerangan-penyerangan asing. Para
ahli sejarah menyimpulkan bahwa para penyerang adalah bangsa Arya. Agama
Indo-Arya sebagaimana ditemukan dalam Rig Weda digambarkan sebagai penjelmaan alam. Dewa-dewi
agama Weda ini adalah penjelmaan lebih kurang sebagai pengejawantahan dari daya-daya
kekuatan alam. Agni adalah dewa api, Bayu adalah dewa angin, Surya adalah dewa
matahari, dan seterusnya. Mereka dipandang sebagai makhluk yang lebih tinggi
dari manusia, dan kewajiban manusia untuk menyembah, mematuhi, dan memberi sesaji
kepada mereka. Jadi terdapat banyak tuhan dalam agama bangsa Arya.[14]
Merekalah bangsa yang kemudian menduduki lembah sungai Gangga dan Yamuna.
Kemudian mereka menindas penduduk asli dan diturunkan statusnya menjadi budak
(Sudra). Di samping itu, terjadi pertempuran internal antara kaum perwira
(Ksatria) dengan ulama (Brahmana). Terjadilah sistem kasta yang tidak adil.
Kitab yang disucikan Brahmana
disusun oleh pendeta agama Brahmana sekitar abad kedelapan sebelum masehi.
Kitab tersebut berisi ajaran-ajaran pengorbanan, dongeng aneh-aneh baik dari
dewa maupun manusia yang menggambarkan proses pengorbanan.[15]
Sedangkan agama Budha muncul
setelah agama Hindu. Awalnya hanya sebagai suatu ajaran dalam rangka
mencari kebenaran yang dilakukan pertama kali oleh Sidharta. Sidharta adalah putra mahkota dari Kerajaan Kapilawastu yang
merupakan putra raja Sudhodana dan putri Maya, kemudian ia mengemban menjadi
cakyamuni (pendeta) sampai menerima wahyu yang berupa kesadaran akan
penderitaan dan cara menindas penderitaan tersebut. Dalam hal ini Sidharta
dianggap sebagai Budha Gautama. Budha sebagai suatu ajaran dapat berkembang
menjadi suatu agama dengan kitab sucinya Tripitaka (tiga keranjang) yang
menggunakan bahasa Pali, bahasa rakyat Magadha. Selanjutnya
agama Budha berkembang menjadi dua aliran yaitu aliran Mahayana (kendaraan besar)
dan aliran Hinayana (kendaraan kecil).[16]
Berdasarkan sumber ajarannya,
secara umum agama dikelompokkan menjadi dua golongan. Agama wahyu atau agama
samawi, langit dan agama ra’yu atau agama ardhi, agama bumi, agama budaya. Hindu
dan Budha termasuk dalam kategori agama ardhi (agama budaya). Berbeda dengan
Islam, Yahudi, dan Nasrani yang masuk kategori agama samawi.[17]
D.
Dalil Tentang Ahlu Kitab
QS : al-Maidah : 5
“(5.) Pada hari ini dihalalkan bagimu
segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahlu Kitab itu halal bagimu dan
makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi)
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan yang beriman
dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk
menikahinya, tidak dengan maksud berzina
dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah
beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk
orang-orang yang rugi.”
QS : an-Nahl : 36
“(36.) Dan sungguh kami telah mengutus seorang
rasul untuk setiap umat (untuk menyatakan), “Sembahlah Allah dan jauhilah
Thaghut”. Kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di Bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
QS : Fathir : 24
“(24.)
Sungguh kami mengutus engkau dengan membawa kebenaran, sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada satu pun umat melainkan
di sana telah datang seorang pemberi peringatan.”
E.
Analisa
Pada bab
analisa ini, penulis akan menganalisa pendapat Zainun kamal dengan cara
membandingkannya dengan konsep ahlu kitab menurut ulama mu’tabar. Penulis juga
akan sedikit menampilkan sekilas sejarah Hindu-Budha sebagai data pendukung.
Tetapi penulis tetap menitikberatkan fokus kajian ahlu kitab menurut perspektif
syar’i.
Gagasan Zainun
Kamal mengenai ahlu kitab bertentangan dengan definisi yang dikemukakan oleh
ulama salaf. Para mufasir mendefinisikan istilah ahlu kitab dengan Yahudi dan Nasrani. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan istilah ahlu
kitab dengan Yahudi dan Nasrani, merekalah yang diberi Taurat dan Injil
kemudian mengimani kedua atau salah satu darinya.[18] Dalam
tafsir al-Qurtubi disebutkan juga kalau ahlu kitab adalah Yahudi dan Nasrani.[19]
Imam Ibnu Katsir pun menyebutkan demikian.[20]
Selain ulama
tafsir, para ulama fikih juga mendefinisikan istilah ahlu kitab dengan Yahudi
dan Nasrani. Imam Ibnu Qudamah menyatakan, “Mereka adalah kaum yang diberikan
kitab Taurat dan Injil. Taurat adalah milik Yahudi dan Samirah, sedangkan Injil
milik Nasrani dan mereka yang memiliki kesamaan dalam pokok agama dengan
Nasrani seperti Ifrij, Arman, dan lainnya.”[21] Ulama fikih yang tergolong kontemporer seperti Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili
dalam buku-bukunya menyebutkan kalau mereka adalah Yahudi dan Nasrani atau
mereka yang diberikan kitab Taurat dan Injil.[22]
DR. Abdul Mun’im
seorang penulis buku tentang kelompok, jamaah, dan madzhab berpendapat, “Al-kitab
yang dimaksud adalah Taurat dan Injil, pemilik Taurat adalah Yahudi sedangkan
Nasrani pemilik Injil”.[23]
Selanjutnya Yahudi, dan Nasrani
disebut sebagai agama samawi. Penyebutan ini dikarenakan Allah mengutus kepada
mereka seorang nabi pembawa kitab
suci yang langsung diturunkan dari langit. Taurat dibawa oleh Nabi Musa
kemudian pengikut beliau merubah isinya. Injil diturunkan kepada Nabi Isa lalu
pengikutnya melakukan hal yang sama dengan orang Yahudi. Walaupun kedua
golongan tadi telah melakukan tahrif, mereka masih disebut sebagai ahlu
kitab. Karena kitab suci mereka sebelum mereka rubah langsung diturunkan oleh
Allah. Adapun agama lainnya seperti Hindu, Budha, Majusi/
Zoroastrianisme, Kong Hu Cu, Taoisme, dan Shinto, kitab suci mereka bukan
diturunkan oleh Allah. Tetapi mereka membuat kitab suci mereka sendiri yang
disesuaikan dengan adat, tata karma, dan filosofi masyarakat pada masa itu.[24]
Pendapat di atas dikuatkan dengan
sejarah kemunculan agama Hindu dan Budha. Ajaran Budha muncul dari hasil
meditasi Sidhatta Ghautama. Awalnya karena ia tak tahan melihat fenomena yang dilihat
di luar istana berupa masa tua, sakit, dan mati, ia memutuskan untuk pergi mencari
obat dengan cara
bermeditasi. Meditasi tersebut dilakukan di hutan. Dalam meditasi inilah
Pertapa Gotama (sebutan lain untuk Sidhatta Ghautama) menemukan ajarannya. Ia
mengerti sebab dari semua keburukan dan cara untuk mengobatinya. Ia menjadi
orang yang paling bijaksana dan mengerti jawaban tentang cara untuk mengakhiri
kesedihan, penderitaan, usia tua, dan kematian. Ia menjadi Budha setelah itu.
Baru setelah itu ia berjumpa dengan orang-orang yang kagum dengan ajarannya.
Mereka memohon untuk diangkat menjadi
murid dan dikabulkan oleh Budha. Setelah sekian lama mengajari
murid-muridnya, akhirnya Shidatta memerintahkan murid-muridnya untuk pergi
berpencar mengajarkan ajarannya.[25]
Adapun ajaran Hindu lahir dari
peradaban bangsa Arya. Peradaban bangsa Dravida juga mempengaruhi corak konsep
ketuhanan Hindu. Mereka menyembah dewa-dewi yang dianggap sebagai tuhan.
Keyakinan mereka adalah politeisme yang meyakini adanya lebih dari satu tuhan.
Kitab suci Hindu disusun oleh kaum Brahmana selaku ulama Hindu. Sebagaimana
yang penulis sebutkan pada bab definisi, kitab mereka berisi dongeng aneh-aneh
tentang pengorbanan. Ajaran mereka tidak berasal dari wahyu yang Allah
sampaikan melalui utusan-Nya. Sri Swami Sivananda (seorang penganut agama Hindu) menegaskan
bahwa Hindu tidak berasal dari
ajaran seorang nabi. Ia terbebas dari ajaran nabi manapun. Ia tidak memiliki
tanggal pasti kemunculan seperti agama samawi lainnya.[26]
Berdasarkan pada intisari di atas,
dapat disimpulkan bahwa agama Hindu dan Budha tidak diturunkan oleh Allah. Akan
tetapi agama ini muncul dari tata karma, adat, peradaban, dan norma-norma
kehidupan. Budha Gotama sebagai pendiri ajaran ini bukanlah seorang nabi seperti
yang Zainun Kamal katakan. Melainkan seorang pendiri sekaligus guru ajaran
Budha yang mengusung pembebasan diri terhadap hawa nafsu duniawi (menurut
mereka,-pen.). Sedangkan Hindu merupakan ajaran politeisme yang mengimani
banyak sesembahan berupa dewa-dewi alam semesta. Ia muncul dari peradaban bangsa Arya yang dahulu sudah dipraktikkan oleh
bangsa Dravida. Jadi jika
dilihat dari sejarah kemunculannya, Hindu dan Budha bukanlah agama samawi apalagi Ahlu Kitab.
Pelebaran makna Ahlu Kitab dengan
memasukkan Hindu dan Budha ke dalamnya merupakan sebuah kesalahan. Karena
pendapat ini bertentangan dengan definisi ulama tafsir, fikih, dan firaq
yang mu’tabar. Pendapat ini lemah dan banyak dikritik oleh para ulama. Kajian
serius mengenai Ahlu kitab dilakukan oleh Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan
Al-Qur’an dan DR. M. Ghalib Muthalla dalam Ahl
Kitab Makna dan Cakupannya. Buku karangan M. Ghalib merupakan desertasi
doktoralnya di IAIN Ciputat –sekarang menjadi UIN. Setelah mengkaji berbagai ayat Al-Qur’an, hadits, dan pendapat
para ulama dalam masalah ini, mereka menyimpulkan bahwa makna istilah Ahlu
Kitab terbatas pada Yahudi dan Nasrani.[27]
Tidak melebar kepada Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan lainnya. Sekali lagi, pendapat Zainun Kamal terbantahkan dengan penelitian ini.
Zainun Kamal menyandarkan
pendapatnya pada tafsir al-Manar jilid enam karangan Syaikh Rasyid Ridha
dan Muhammad Abduh. Ketika penulis melakukan klarifikasi hujah, memang benar
Rasyid Ridha berpendapat demikian. Beliau menjelaskan panjang lebar mengenai
status Hindu-Budha sebagai ahlu kitab.[28]
Beliau berkata, “Dalam Al-Qur’an tidak ada nash sharih yang menjelaskan
hukum menikah dengan selain wanita musyrik dan Ahlu Kitab. Yaitu (wanita) dari
ajaran (lain) yang memiliki kitab atau syibhu kitab seperti Majusi, Shabiin,
dan semisal Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu”.[29]
Pada kesimpulan akhir baliau menyatakan, “Kesimpulan fatwa ini bahwa wanita
musyrik yang Allah haramkan dalam surat al-Baqarah (ayat 221) adalah wanita
musyrik Arab. Inilah pendapat terpilih yang dirajihkan syaikh para mufasir,
Ibnu Jarir at-Thabari. Adapun Majusi, Shabiin, penyembah berhala di India,
Cina, dan lainnya seperti Jepang merupakan Ahlu Kitab yang mengandung ajaran
tauhid sampai hari ini. Secara zhahir
sejarah dan penjelasan Al-Qur’an, semua umat diutus kepada mereka rasul-rasul.
Kemudian kitab samawiyah mereka terkena tahrif seperti yang terjadi pada kitab
Yahudi dan Nasrani.”[30]
Namun, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya dalam hal pengambilan
kesimpulan. Perbedaaan pengambilan kesimpulan ini bisa berimbas pada kerusakan
akidah seorang muslim.
Ayat yang digunakan sebagai dalil
adalah surat al-Maidah : 5, an-Nahl : 36, dan Fathir : 24. Kutipan pernyataan
di atas terdapat pada tafsir surat al-Maidah ayat lima bab “Hukum Memakan Makanan (Sembelihan) Orang
Musyrik dan Menikahi Wanita
Mereka”. Di sana Rasyid Ridha membahas
status Hindu-Budha sebagai Ahlu kitab. Konteks pembicaraan yang
digunakan juga seputar hukum-hukum fikih, seperti kebolehan menikahi wanita dan
memakan sembelihan mereka. Berbeda dengan orang-orang liberal (diwakili oleh
Zainun Kamal) yang mengambil kesimpulan terlalu jauh. Mereka menyimpulkan bahwa
ajaran semua agama mengandung tauhid dan kelak selamat di akhirat. Padahal pada
bagian lain, Rasyid Ridha menjelaskan pandangannya mengenai status
kelompok-kelompok tersebut di akhirat. Beliau memperinci antara ahlu kitab yang
sudah sampai dakwah Nabi (Islam) kepadanya dan belum. Bagi Ahlu Kitab yang
kepada mereka dakwah Nabi tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran
agama tidak tampak bagi mereka, mereka selamat sebagaimana yang dikabarkan dalam
surat al-Baqarah : 62 dan al-Maidah : 69. Oleh karena itu mereka diperlakukan
seperti ahlu kitab yang hidup sebelum datangnya Nabi.
Sedangkan Ahlu Kitab yang sudah
sampai dakwah Islam kepada mereka (sesuai rincian Ali Imran : 199), Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu, 1) beriman
kepada Allah dengan iman yang benar, yaitu iman yang tidak bercampur dengan
kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan
kebaikan, 2) Beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebut lebih dahulu daripada tiga syarat
yang lainnya. Karena Al-Qur’an merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi
pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran
kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami
pengubahan, 3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, 4)
rendah hati (khusyu’) yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu
untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, 5) tidak menjual ayat-ayat
Allah dengan apa pun dari kesenangan dunia.[31]
Walaupun demikian, pendapat Rasyid
Ridha dan Muhammad Abduh termasuk Syadz.
Pertama, karena bertentangan dengan pendapat ulama-ulama mu’tabar seperti
yang penulis cantumkan pada bagian awal analisa.
Kedua, menyelisihi salah satu dari sembilan langkah yang harus dilakukan oleh
seorang mufasir, yaitu memperhatikan adat kebiasaan Al-Qur’an dalam pemakaian
suatu istilah.[32]
Dalam Al-Qur’an, pemakain istilah Ahlu
Kitab sering mengarah pada Yahudi dan Nasrani. Maka, inilah kebiasaan Al-Qur’an
dalam pemakaian istilah Ahlu Kitab. Selain itu, pendapat ini juga berbau
liberal. Ini adalah pengaruh dari keleluasaan penggunaan akal Rasyid Ridha
dalam menafsirkan nash-nash syar’i yang
berhubungan dengan muamalah. Begitu pula Muhammad Abduh, sebagai
seorang guru ia lebih liberal dari muridnya.
Ia tidak membatasi eksplorasi akal pada perkara muamalah saja, tetapi semua aspek penafsiran termasuk ta’wil
sifat-sifat Allah.[33]
Jadi, pendapat ini tidak terpakai dan pemahaman
makna Ahlu Kitab dikembalikan kepada definisi ulama-ulama mu’tabar.
Alasan setiap umat memiliki rasul
dalam arti rasul sebenarnya yang Allah utus dengan membawa kitab suci perlu
diklarifikasi. Ayat yang digunakan sebagai hujah adalah an-Nahl : 36 dan Fathir
: 24. Dalam ayat tersebut, kata “nadzir” yang berarti pemberi peringatan
lebih umum dari pada kata “rasul”. Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat
tersebut,
{وَإنَّ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ} أي: وَمَا مِنْ
أُمَّةٍ خَلَتْ مِن بَنِي آدمَ إِلَّا وَقَد بَعَثَ اللهُ إليهِمْ النذر، وَأَزَاحَ
عَنْهُمُ العِلَلَ، كَمَا قَال تَعَالى: {إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ
هَاد} [الرعد: 7] ، وَكَمَا قَالَ تَعَالى: {وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ
رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجتَنِبُوا الطَّاغُوتِ فَمِنْهُمْ مَن هَدَى
اللهُ وَمِنهُمْ مَن حَقَّتْ عَلَيهِ الضَّلَالَة} الآية [النحل: 36] ، والآيات في
هذا كثيرة. [[34]]
Beliau menjelaskan maksud dari ayat tersebut, “Dan
tidak ada satu pun umat dari Bani Adam kecuali Allah telah mengutus kepada
mereka seorang pemberi peringatan…”. Senada dengan itu, Imam at-Thabari
juga menafsirkan ayat tersebut bahwa setiap umat sebelum Nabi Muhammad tidak
kosong dari seorang pemberi peringatan yang memperingatkan mereka tentang
siksaan atas dosa menyekutukan Allah.[35]
Jadi, yang dimaksud setiap umat diutus seorang rasul adalah seorang pemberi
peringatan. Bisa berupa rasul dalam istilah syar’i yang membawa kitab suci, bisa
juga berupa seorang pemberi peringatan biasa. Karena kata “nadzir” lebih
umum dari pada “rasul”.
Klaim
kepemilikan Hindu-Budha terhadap kitab yang diturunkan dari langit tak bisa
dibuktikan. Setiap perkara yang berkaitan dengan ushuluddin harus
dibuktikan dengan adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Namun, tidak ada penjelasan berupa ayat atau hadits Rasulullah yang
menerangkan perkara tersebut. Penjelasan yang ada hanya melalaui lisan para
ulama dalam tafsir mereka yang masih berbentuk zhan. Ketika zhan ini
bertentangan dengan perkara ushul yang sudah jelas ada dalil syar’inya,
maka dalil tersebut harus didahulukan. Berbeda dengan Yahudi dan Nasrani yang
memang benar memiliki kitab samawi. Allah Ta’ala berfriman,
“(3.) Dia
menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran,
membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.” (QS : Ali
Imran : 3)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah
Ta’ala telah menurunkan Al-Qu’an, Taurat, dan Injil. Sudah penulis paparkan
pada bagian definisi bahwa Taurat adalah milik Yahudi sedangkan Injil milik
Nasrani.
Orang-orang liberal terkhusus
Zainun Kamal mengalami kondisi prakonsepsi dalam menafsirkan ayat-ayat tentang
Ahlu Kitab. Prakonsepsi adalah kondisi di mana seorang mufasir memiliki
kecenderungan dan harapan subjektif kepada pemahaman agama. Subjektifitas
mufasir dibawa ke dalam proses penafsiran teks. Akibatnya tafsir teks syar’i
yang dihasilkan tercampur dengan suasana pemikiran mufasir. Padahal dalam
metode tafsir klasik, prakonsepsi dan praasumsi adalah hal terlarang. Perhatian
mufasir harus terpusat kepada kesadaran
memahami misi teks. Tentunya pemahaman tersebut harus objektif sesuai kehendak
pembuat teks.[36]
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang
Ahlu Kitab, orang-orang liberal sudah memiliki perhatian bagaimana cara
melegitimasi universalisme agama. Semua agama dianggap sama-sama mengajarkan
tauhid dan memiliki pedoman berupa kitab suci. Akibatnya mereka menggiring
pehaman teks sesuai dengan prakonsepsi yang dimiliki. Jadilah buah tafsir
sebagai tafsir kontekstual dengan pandangan akal semata yang dicela agama (tafsir
bi ra’yi al-mazhmum).
F.
Kesimpulan
Dari analisa yang penulis paparkan,
dapat disimpulkan bahwa Hindu dan Budha bukanlah Ahlu Kitab. Karena konsep
tersebut bertentangan dengan definisi para ulama tafsir, fikih, dan firaq
yang mu’tabar. Selain itu, ia juga bertentangan dengan sebuah kaidah
tafsir yang mengharuskan seorang mufassir memperhatikan kebiasaan Al-Qur’an
dalam penggunaan sebuah istilah. Pendapat
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh pun tidak bisa dijadikan sebagai landasan yang
kuat. Karena ia merupakan pendapat syadz yang berbau liberal. Istilah Ahlu
Kitab yang terdapat dalam Al-Qur’an selalu ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani.
Adapun Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan Shinto termasuk dalam kategori orang musyrik. Karena secara lahiriah mereka
menampakkan keyakinan pagan dan ritual penyembahan berhala. Wallahu a’lam
bish shawab.
G.
Penutup
Demikianlah makalah munazharah
ilmiyah ini kami buat. Sebuah karya pastilah memiliki kekurangan. Jika terdapat
banyak kesalahan dalam makalah ini maka penulis hanya bisa memohon maaf
sebesar-besarnya. Adapun kekurangan dalam hal kelengkapan pembahasan bisa
menjadi inspirasi bagi penulis selanjutnya untuk membahas perkara yang kiranya
masih perlu didalami. Jazakumullah khairu jaza.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Ibnu Jarir at-Thabari. 1421 H. Jami’ul
Bayan. Beirut : Dar al-Fikir
2.
Al-Qurtubi. Tt. Al-Jami’
liahkami Al-Qur’an
3.
Ibnu Katsir. Tt. Tafsir
Al-Qur’anu al-Azhim. Kairo : Maktabah Taufikiyah
4.
Muhammad Rasyid Ridha. 1426 H. Tafsir
Al-Qur’an al-Hakim (al-Manar). Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
5.
Ibnu Qudamah. 1413 H. al-Mughni.
Hajar
6.
Ibnu Mandzur. Tt. Lisanul Arab.
Beirut : Dar ash-Shadir
7.
Muhammad al-Fairuz Abadi. 1415 H. Al-Qamus
al-Muhith. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah
8.
Abdur Rauf al-Manawi. Tt. at-Tauqif ‘ala Muhimmat at-Ta’arif
9.
Wahbah az-Zuhaili. 2009. al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus :
Dar al-Fikir
10. Wahbah az-Zuhaili. Tafsir
al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Minhaj
11. Abdul Mun’im. 1413 H. Mausu’atu al-Firaq wa al-Jama’at wa al-Madzahib al-Islamiyyah. Dar ar-Rasyad
12. M. Quraish Shihab.
2013. Wawasan Al-Qur’an. Bandung : Mizan
13. Nurcholish
Madjid. 2008. Islam Doktrin dan
Peradaban. Jakarta :
Paramadina
14. Fahmi Salim.
2013. Tafsir Sesat. Jakarta : Gema Insani
15. Jurnal Studi
Keislaman Ulumuna, vol. 16 Nomer 2 ( Desember ) 2012
16. Jurnal Pemikiran Islam; vol. 37, No. 2 Juli-Desember 2012
17. Fahad bin
Abdurrahman ar-Rumi. Tt. Buhuts fi Ushuli at-Tafsir wa Manahijuhu. Maktabah
at-Taubah
18. S.
Widyadharma. 2003. Riwayat Hidup Buddha Gotama. Malang : Club Penyebar
Dhamma
19. Zulfat
Aziz-us-Samad. Tt. Agama-Agama Besar Dunia terjemahan the Great
Religions of The World
20. Dwi Hartini.
Tt. Pertumbuhan dan Perkembangan Agama serta Kebudayaan Hindu-Budha di
Indonesia
21. Sri Swami
Sivananda. 1999. All About Hinduism. Himalaya : The Define Life Society
22. IslamLib : http://islamlib.com/agama/minoritas/zainun-kamal-penganut-budha-dan-hindu-adalah-ahlul-kitab/
[1]Dinukil dari Zulyadain, “Menimbang Kontroversi
Pemaknaan Konsep Ahl Kitab Dalam Al-Qur’an” dalam Jurnal Studi Keislaman Ulumuna,
vol. 16 Nomer 2 (Desember) 2012, hlm. 298
[2]Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Hajar, 1413 H),
vol. 9, hlm. 546-457
[3]Prof. DR. Zainun Kamal adalah salah satu tokoh
Islam Liberal di Indonesia. Dia meraih gelar doktoralnya di IAIN Ciputat. Dia
merupakan tokoh JIL yang menghalalkan nikah beda agama. Pada hari Ahad, 28
November 2004, Zainun Kamal menikahkan seorang muslimah Suri Aggreni alias
Fitrhi dengan lelaki Kristen Alfin Siagian di Hotel Kristal Pondok Indah,
Jakarta Selatan. Sumber : Zainun%20Kamal%20-%20Meraih%20Ilmu%20Syar'i.html.
Diakses pada Ahad, 7 Februari 2016 pukul : 07.30 WIB
[4]http://islamlib.com/agama/minoritas/zainun-kamal-penganut-budha-dan-hindu-adalah-ahlul-kitab/. Diakses pada Ahad, 7 Februari 2016, pukul :
07.30 WIB
[5]Penulis menyebutnya
“versi liberal” karena kenyataanya Zainun Kamal hanya mengekor pendapat para
pemikir liberal, seperti Nasr Hamid, Nurcholis Madjid, dkk.
[6]http://islamlib.com/agama/minoritas/zainun-kamal-penganut-budha-dan-hindu-adalah-ahlul-kitab/. Diakses pada Ahad, 7 Februari 2016, pukul :
07.30 WIB
[7]Disarikan dari Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta : Paramadina, 2008), hlm.
180-187
[8]Ahmad Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir (Surabaya : Pustaka progresif, 1997), hlm. 46, Ibnu Mandzur, Lisanul Arab (Beirut
: Dar Shadir, tt), vol. 11, hlm. 28-29, Muhammad al-Fairuz Abadi, al-Qamus
al-Muhith (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H) vol 3, hlm. 453, Abdur
Rauf al-Manawi, at-Tauqif ‘ala Muhimmat at-Ta’arif, (versi : Syamilah), hlm.
29
[9]Muhammad al-Fairuz Abadi,
al-Qamus al-Muhith (Beirut : Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H), vol. 1, hlm. 161
[10]Ibnu Qudamah, al-Mughni,(Hajar, 1413 H),
vol. 9, hlm. 546
[11]Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi
al-Aqidah wa asy-Syari’ah wal Minhaj, vol. 6, hlm. 94
[12]Wahbah az-Zuhaili, al- Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu (Damaskus : Dar al-Fikir al-Islami, 2009), vol. 7, hlm. 158
[13]Dwi Hartini, Pertumbuhan dan Perkembangan
Agama serta Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia, tt, hlm.
[14]Ulfat Aziz-us-Samad, Agama-Agama Besar
Dunia terjemahan The Great Religions of
The World, hlm. 11-13
[16]Dwi Hartini, Pertumbuhan dan Perkembangan
Agama serta Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia, tt, hlm. 3
[20]Lihat tafsir surat
al-Maidah ayat 5, Abu Fida’ Ismail bin Katsir, Tafsir Qur’anu al-‘Azhim (Kairo
: Maktabah Taufikiyah, tt), vol. 3, hlm. 29
[21]Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Hajar, 1413 H),
vol. 9, hlm. 546
[22]Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi
al-Aqidah wa asy-Syari’ah wal Minhaj, vol. 6, hlm. 94, al- Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu (Damaskus : Dar al-Fikir al-Islami, 2009), vol. 7, hlm. 158
[23]Abdul Mun’im, Mausu’atu
al-Firaq wal Jama’at wal Madzahib al-Islamiyyah (Dar ar-Rasyad, 1413 H),
hlm. 85
[24]Lihat catatan kaki dalam, Zulyadain,
“Menimbang Kontroversi Pemaknaan Konsep Ahl Kitab Dalam Al-Qur’an” dalam Jurnal
Studi Keislaman Ulumuna, vol. 16 Nomer 2 (Desember) 2012, hlm. 296
[25]Disarikan dari S. Widyadharma, Riwayat
Hidup Buddha Gotama (Malang : Club Penyebar Dhamma, 2003), hlm. 13-62
[27]Adian Husaini, Pendidikan Islam : Membentuk
Manusia Berkarakter (Jakarta :
Cakrawala, 2010), hlm. 14
[28]Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an
al-Hakim (al-Manar) (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1426 H), vol. 6,
hlm. 152-161
[31]Fahmi Salim, Tafsir Sesat (Jakarta :
Gema Insani, 2013) hlm. 210-211
[32]Untuk poin kedua ini lihat Ibid, hlm. 167
[33]Lihat Masnun Kasim, “Muhammad Rasyid Ridha
(Antara Rasionalisme & Tradisionalisme)” dalam Jurnal Pemikiran Islam;
vol. 37, No. 2 Juli-Desember 2012, hlm. 130
[35]Ibnu Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan (Beirut : Dar al-Fikir, 1421 H), vol. 12,
juz. 22, hlm. 139
Membenarkan anggapan masyarakat tentang agama hindu, karena sebenarnya agama hindu menganut ketuhanan Monoteisme, ini juga demi persatuan umat beragama di indonesia.
BalasHapus-----
Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai dalam hindu adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.
Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada umatnya.
Filsafat Adwaita Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi, Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.