Minggu, 01 Mei 2016

HINDU-BUDHA ADALAH AHLU KITAB (?)

1


Oleh : Muhammad Fajar Nur Rachmat

A.    Pendahuluan
Allah menetapkan aturan pada segala aspek kehidupan manusia. Allah menjadikan agama Islam sebagai agama yang sempurna. Di dalamnya terkandung syariat yang mengatur kehidupan manusia dari hal terkecil seperti urusan kakus sampai perkara makro seperti ketatanegaraan. Islam juga mengatur hubungan hamba dengan Rabbnya serta hubungan antar individu. Dalam konteks keislaman, Allah memberi keistimewaan bagi Ahlu Kitab. Keistimewaan ini tidak diberikan kepada umat lain selain mereka, yaitu kebolehan seorang muslim menikahi wanitanya dan memakan sembelihannya.
Para ulama sepakat bahwa Yahudi dan Nasrani merupakan Ahlu Kitab.[1] Adapun Majusi bukan Ahlu Kitab, sedangkan Shaabiun masih diperselisihkan apakah termasuk atau tidak.[2] Belakangan, definisi ini mulai digugat oleh sebagian orang dengan memasukkan Majusi, Zoroaster, Hindu, dan Budha sebagai Ahlu Kitab. Dalam sebuah forum diskusi, Zainun Kamal[3] melontarkan gagasan bahwa umat Hindu dan Budha yang ada di Indonesia termasuk Ahlu Kitab.[4] Tentunya gagasan ini bertentangan dengan pendapat para ulama salaf maupun khalaf. Padangan ini mengaburkan pengetahuan tentang Ahlu Kitab yang sebenarnya sudah dijelaskan para ulama.
Pada sebuah forum diskusi keislaman dalam Kajian Islam Utan Kayu, Zainun Kamal mengutarakan konsep Ahlu Kitab menurut versi liberal.[5] Ketika ia ditanya mengenai konsep Ahlu kitab dalam Islam, ia menjawab bahwa secara singkat Ahlu Kitab bisa diartikan orang yang mempercayai salah satu nabi dan percaya kepada kitab suci, entah itu Yahudi atau Nasrani. Ia menambahkan, kenapa ketika dalam Al-Qur’an disebutkan istilah Ahlu kitab, populernya merujuk pada Yahudi dan Nasrani?  Karena dua agama itulah yang memiliki pengikut paling besar. Padahal, asalkan sudah percaya kepada nabi dan percaya adanya kitab suci yang diturunkan kepada salah satu nabi, itu sudah bisa disebut Ahlu Kitab.
Pernyataan Zainun Kamal ini tidak dilontarkan tanpa dalil. Ia mendasarkan pernyataannya dengan ulasan dalam tafsir al-Manar. Dalam Tafsir al-Manar jilid enam diulas panjang lebar kalau Hindu-Budha termasuk Ahlu Kitab. Zainun berujar, “Kalau dalam konteks Indonesia, agama Budha, Hindu, atau agama Konghucu, agama Shinto, menurut Muhammad Abduh dalam kitab tafsirnya al-Manar juga disebut Ahlu Kitab. Alasannya karena ada kitab sucinya dan tentu saja kitab suci tersebut dibawa oleh seorang nabi. Pengertian nabi di sini diartikan sebagai pembawa pesan moral. Itu dikaitkan dengan ajaran Al-Qur’an bahwa “Allah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, faba’atsna fi kulli ummatin rasula” jadi setiap umat itu ada nabinya. Dalam hal agama Budha, bisa dikatakan Sidharta Ghautama adalah seorang nabi yang membawa kitab suci”.[6]
Gagasan ini berdampak pada pemikiran kaum muslimin dan hukum-hukum yang berhubungan dengan Ahlu Kitab. Jika Hindu dan Budha termasuk Ahlu Kitab, maka seorang muslim boleh memakan sembelihan dan menikahi wanita mereka. Padahal Hindu dan Budha tidak mengenal Allah sebagaimana Yahudi dan Nasrani mengenal-Nya. Lebih jauh lagi, pendapat ini akan berujung pada kesimpulan bahwa semua agama sama-sama berasal dari Allah. Kelak semuanya akan selamat di akhirat karena inti dari ajaran semua agama adalah sama. Tidak ada bedanya antara Islam, Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, dan Shinto.[7] Lantas apakah Hindu dan Budha termasuk Ahlu Kitab? Bagaimana pendapat para ulama mengenai pandangan ini?
Dalam makalah ini penulis melakukan pendekatan pada kajian akidah mengenai klasifikasi Ahlu Kitab menurut syar’i. Selanjutnya melakukan klarifikasi dan komparasi dalil yang digunakan oleh Zainun Kamal sebagai hujah.

B.     Definisi Ahlu Kitab
Secara etimologi kata Ahl berasal dari ahila-ya`halu-ahlan berarti keluarga. Jika disebutkan ahlu ar-rajul berarti keluarganya, ahlu lirrajul istrinya, ahlu ad-dar penghuni, ahlu Al-Qur’an berarti orang yang menghafal Al-Qur’an dan mengamalkannya.[8] Kemudian kata al-kitab berarti mushaf.[9] Jika kata ahl digabungkan dengan al-kitab, bisa dipahami bahwa maksud dari frasa ahlu al-kitab adalah pemilik kitab atau orang yang mengamalkannya. Dalam konteks pembahasan kali ini, makna etimologi Ahlu Kitab yang paling tepat adalah mereka yang memiliki kitab samawi.
Secara terminologi, mereka adalah kaum yang diberikan kitab Taurat dan Injil. Kitab Taurat adalah milik Yahudi dan Samirah, sedangkan Injil milik Nasrani dan mereka yang memiliki kesamaan dalam pokok agama dengan Nasrani seperti Ifrij, Arman, dan lainnya.[10] Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Ahlu Kitab adalah Yahudi dan Nasrani yang Allah turunkan kepada nabi-nabi mereka Taurat dan Injil.[11] Dalam buku yang lain beliau menyebutkan bahwa mereka adalah pemilik kitab Taurat dan Injil.[12]

C.    Sekilas Sejarah Hindu dan Budha
Agama Hindu merupakan suatu kepercayaan yang diciptakan oleh bangsa Arya yaitu bangsa pengembara dari utara yang masuk ke India melalui celah Kaibar dan menduduki lembah sungai Gangga dan Yamuna. Agama Hindu bersifat politeisme dengan dewa utamanya Trimurti yang terdiri dari Brahma,Wisnu dan Syiwa. Adapun kitab sucinya adalah Weda.[13] Asal-usul ajaran Hindu dimulai dari kisah bangsa Dravida. Jauh sekitar 2500 SM bangsa Dravida sudah mengalami kemajuan peradaban yang tinggi sebelum kemunculan bangsa Arya di anak benua Indo-Pakistan. Sekarang daerah tersebut menjadi Pakistan. Mereka dikenal sebagai bangsa petani yang mahir baca tulis. Menurut penelitian dari hasil temuan paninggalan-peninggalan bangsa Dravida, waktu itu sudah ada aktifitas peribadatan terhadap Tuhan Ibu. Selain itu, juga ditemukan beberapa lukisan berbentuk wanita dengan perut mengeluarkan tumbuhan. Ini merupakan ide dari dewi bumi yang berhubungan dengan tanaman. Peradaban bangsa Dravida tiba-tiba terhenti pada kisaran 2000-1500 SM. Ditemukan bukti-bukti terjadinya kejahatan dan sebuah penyerangan-penyerangan asing. Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa para penyerang adalah bangsa Arya. Agama Indo-Arya sebagaimana ditemukan dalam Rig Weda  digambarkan sebagai penjelmaan alam. Dewa-dewi agama Weda ini adalah penjelmaan lebih kurang sebagai pengejawantahan dari daya-daya kekuatan alam. Agni adalah dewa api, Bayu adalah dewa angin, Surya adalah dewa matahari, dan seterusnya. Mereka dipandang sebagai makhluk yang lebih tinggi dari manusia, dan kewajiban manusia untuk menyembah, mematuhi, dan memberi sesaji kepada mereka. Jadi terdapat banyak tuhan dalam agama bangsa Arya.[14] Merekalah bangsa yang kemudian menduduki lembah sungai Gangga dan Yamuna. Kemudian mereka menindas penduduk asli dan diturunkan statusnya menjadi budak (Sudra). Di samping itu, terjadi pertempuran internal antara kaum perwira (Ksatria) dengan ulama (Brahmana). Terjadilah sistem kasta yang tidak adil.
Kitab yang disucikan Brahmana disusun oleh pendeta agama Brahmana sekitar abad kedelapan sebelum masehi. Kitab tersebut berisi ajaran-ajaran pengorbanan, dongeng aneh-aneh baik dari dewa maupun manusia yang menggambarkan proses pengorbanan.[15]
Sedangkan agama Budha muncul setelah agama Hindu. Awalnya hanya sebagai suatu ajaran dalam rangka mencari kebenaran yang dilakukan pertama kali oleh Sidharta. Sidharta adalah putra mahkota dari Kerajaan Kapilawastu yang merupakan putra raja Sudhodana dan putri Maya, kemudian ia mengemban menjadi cakyamuni (pendeta) sampai menerima wahyu yang berupa kesadaran akan penderitaan dan cara menindas penderitaan tersebut. Dalam hal ini Sidharta dianggap sebagai Budha Gautama. Budha sebagai suatu ajaran dapat berkembang menjadi suatu agama dengan kitab sucinya Tripitaka (tiga keranjang) yang menggunakan bahasa Pali, bahasa rakyat Magadha. Selanjutnya agama Budha berkembang menjadi dua aliran yaitu aliran Mahayana (kendaraan besar) dan aliran Hinayana (kendaraan kecil).[16]
Berdasarkan sumber ajarannya, secara umum agama dikelompokkan menjadi dua golongan. Agama wahyu atau agama samawi, langit dan agama ra’yu atau agama ardhi, agama bumi, agama budaya. Hindu dan Budha termasuk dalam kategori agama ardhi (agama budaya). Berbeda dengan Islam, Yahudi, dan Nasrani yang masuk kategori agama samawi.[17]

D.    Dalil Tentang Ahlu Kitab
QS : al-Maidah : 5
“(5.) Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahlu Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud  berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”

QS : an-Nahl : 36 
 “(36.) Dan sungguh kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyatakan), “Sembahlah Allah dan jauhilah Thaghut”. Kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di Bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”

QS : Fathir : 24
 “(24.) Sungguh kami mengutus engkau dengan membawa kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada satu pun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan.”

E.     Analisa
Pada bab analisa ini, penulis akan menganalisa pendapat Zainun kamal dengan cara membandingkannya dengan konsep ahlu kitab menurut ulama mu’tabar. Penulis juga akan sedikit menampilkan sekilas sejarah Hindu-Budha sebagai data pendukung. Tetapi penulis tetap menitikberatkan fokus kajian ahlu kitab menurut perspektif syar’i.
Gagasan Zainun Kamal mengenai ahlu kitab bertentangan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama salaf. Para mufasir mendefinisikan istilah ahlu kitab dengan Yahudi dan Nasrani. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan istilah ahlu kitab dengan Yahudi dan Nasrani, merekalah yang diberi Taurat dan Injil kemudian mengimani kedua atau salah satu darinya.[18] Dalam tafsir al-Qurtubi disebutkan juga kalau ahlu kitab adalah Yahudi dan Nasrani.[19] Imam Ibnu Katsir pun menyebutkan demikian.[20]
Selain ulama tafsir, para ulama fikih juga mendefinisikan istilah ahlu kitab dengan Yahudi dan Nasrani. Imam Ibnu Qudamah menyatakan, “Mereka adalah kaum yang diberikan kitab Taurat dan Injil. Taurat adalah milik Yahudi dan Samirah, sedangkan Injil milik Nasrani dan mereka yang memiliki kesamaan dalam pokok agama dengan Nasrani seperti Ifrij, Arman, dan lainnya.[21] Ulama fikih yang tergolong kontemporer seperti Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili dalam buku-bukunya menyebutkan kalau mereka adalah Yahudi dan Nasrani atau mereka yang diberikan kitab Taurat dan Injil.[22]
DR. Abdul Mun’im seorang penulis buku tentang kelompok, jamaah, dan madzhab berpendapat, “Al-kitab yang dimaksud adalah Taurat dan Injil, pemilik Taurat adalah Yahudi sedangkan Nasrani pemilik Injil”.[23]
Selanjutnya Yahudi, dan Nasrani disebut sebagai agama samawi. Penyebutan ini dikarenakan Allah mengutus kepada mereka seorang nabi pembawa kitab suci yang langsung diturunkan dari langit. Taurat dibawa oleh Nabi Musa kemudian pengikut beliau merubah isinya. Injil diturunkan kepada Nabi Isa lalu pengikutnya melakukan hal yang sama dengan orang Yahudi. Walaupun kedua golongan tadi telah melakukan tahrif, mereka masih disebut sebagai ahlu kitab. Karena kitab suci mereka sebelum mereka rubah langsung diturunkan oleh Allah. Adapun agama lainnya seperti Hindu, Budha, Majusi/ Zoroastrianisme, Kong Hu Cu, Taoisme, dan Shinto, kitab suci mereka bukan diturunkan oleh Allah. Tetapi mereka membuat kitab suci mereka sendiri yang disesuaikan dengan adat, tata karma, dan filosofi masyarakat pada masa itu.[24]
Pendapat di atas dikuatkan dengan sejarah kemunculan agama Hindu dan Budha. Ajaran Budha muncul dari hasil meditasi Sidhatta Ghautama. Awalnya karena ia tak tahan melihat fenomena yang dilihat di luar istana berupa masa tua, sakit, dan mati, ia memutuskan untuk pergi mencari obat dengan cara bermeditasi. Meditasi tersebut dilakukan di hutan. Dalam meditasi inilah Pertapa Gotama (sebutan lain untuk Sidhatta Ghautama) menemukan ajarannya. Ia mengerti sebab dari semua keburukan dan cara untuk mengobatinya. Ia menjadi orang yang paling bijaksana dan mengerti jawaban tentang cara untuk mengakhiri kesedihan, penderitaan, usia tua, dan kematian. Ia menjadi Budha setelah itu. Baru setelah itu ia berjumpa dengan orang-orang yang kagum dengan ajarannya. Mereka memohon untuk diangkat menjadi  murid dan dikabulkan oleh Budha. Setelah sekian lama mengajari murid-muridnya, akhirnya Shidatta memerintahkan murid-muridnya untuk pergi berpencar mengajarkan ajarannya.[25]
Adapun ajaran Hindu lahir dari peradaban bangsa Arya. Peradaban bangsa Dravida juga mempengaruhi corak konsep ketuhanan Hindu. Mereka menyembah dewa-dewi yang dianggap sebagai tuhan. Keyakinan mereka adalah politeisme yang meyakini adanya lebih dari satu tuhan. Kitab suci Hindu disusun oleh kaum Brahmana selaku ulama Hindu. Sebagaimana yang penulis sebutkan pada bab definisi, kitab mereka berisi dongeng aneh-aneh tentang pengorbanan. Ajaran mereka tidak berasal dari wahyu yang Allah sampaikan melalui utusan-Nya. Sri Swami Sivananda (seorang penganut agama Hindu) menegaskan bahwa Hindu tidak berasal dari ajaran seorang nabi. Ia terbebas dari ajaran nabi manapun. Ia tidak memiliki tanggal pasti kemunculan seperti agama samawi lainnya.[26]
Berdasarkan pada intisari di atas, dapat disimpulkan bahwa agama Hindu dan Budha tidak diturunkan oleh Allah. Akan tetapi agama ini muncul dari tata karma, adat, peradaban, dan norma-norma kehidupan. Budha Gotama sebagai pendiri ajaran ini bukanlah seorang nabi seperti yang Zainun Kamal katakan. Melainkan seorang pendiri sekaligus guru ajaran Budha yang mengusung pembebasan diri terhadap hawa nafsu duniawi (menurut mereka,-pen.). Sedangkan Hindu merupakan ajaran politeisme yang mengimani banyak sesembahan berupa dewa-dewi alam semesta. Ia muncul dari peradaban bangsa Arya yang dahulu sudah dipraktikkan oleh bangsa Dravida.  Jadi jika dilihat dari sejarah kemunculannya, Hindu dan Budha bukanlah agama samawi apalagi Ahlu Kitab.
Pelebaran makna Ahlu Kitab dengan memasukkan Hindu dan Budha ke dalamnya merupakan sebuah kesalahan. Karena pendapat ini bertentangan dengan definisi ulama tafsir, fikih, dan firaq yang mu’tabar. Pendapat ini lemah dan banyak dikritik oleh para ulama. Kajian serius mengenai Ahlu kitab dilakukan oleh Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an dan DR. M. Ghalib Muthalla dalam Ahl Kitab Makna dan Cakupannya. Buku karangan M. Ghalib merupakan desertasi doktoralnya di IAIN Ciputat –sekarang menjadi UIN. Setelah mengkaji  berbagai ayat Al-Qur’an, hadits, dan pendapat para ulama dalam masalah ini, mereka menyimpulkan bahwa makna istilah Ahlu Kitab terbatas pada Yahudi dan Nasrani.[27] Tidak melebar kepada Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan lainnya. Sekali lagi, pendapat Zainun Kamal terbantahkan dengan penelitian ini.
Zainun Kamal menyandarkan pendapatnya pada tafsir al-Manar jilid enam karangan Syaikh Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh. Ketika penulis melakukan klarifikasi hujah, memang benar Rasyid Ridha berpendapat demikian. Beliau menjelaskan panjang lebar mengenai status Hindu-Budha sebagai ahlu kitab.[28] Beliau berkata, “Dalam Al-Qur’an tidak ada nash sharih yang menjelaskan hukum menikah dengan selain wanita musyrik dan Ahlu Kitab. Yaitu (wanita) dari ajaran (lain) yang memiliki kitab atau syibhu kitab seperti Majusi, Shabiin, dan semisal Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu”.[29] Pada kesimpulan akhir baliau menyatakan, “Kesimpulan fatwa ini bahwa wanita musyrik yang Allah haramkan dalam surat al-Baqarah (ayat 221) adalah wanita musyrik Arab. Inilah pendapat terpilih yang dirajihkan syaikh para mufasir, Ibnu Jarir at-Thabari. Adapun Majusi, Shabiin, penyembah berhala di India, Cina, dan lainnya seperti Jepang merupakan Ahlu Kitab yang mengandung ajaran tauhid sampai hari ini.  Secara zhahir sejarah dan penjelasan Al-Qur’an, semua umat diutus kepada mereka rasul-rasul. Kemudian kitab samawiyah mereka terkena tahrif seperti yang terjadi pada kitab Yahudi dan Nasrani.”[30] Namun, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya dalam hal pengambilan kesimpulan. Perbedaaan pengambilan kesimpulan ini bisa berimbas pada kerusakan akidah seorang muslim.
Ayat yang digunakan sebagai dalil adalah surat al-Maidah : 5, an-Nahl : 36, dan Fathir : 24. Kutipan pernyataan di atas terdapat pada tafsir surat al-Maidah ayat lima  bab “Hukum Memakan Makanan (Sembelihan) Orang Musyrik  dan Menikahi Wanita Mereka”. Di sana Rasyid Ridha membahas  status Hindu-Budha sebagai Ahlu kitab. Konteks pembicaraan yang digunakan juga seputar hukum-hukum fikih, seperti kebolehan menikahi wanita dan memakan sembelihan mereka. Berbeda dengan orang-orang liberal (diwakili oleh Zainun Kamal) yang mengambil kesimpulan terlalu jauh. Mereka menyimpulkan bahwa ajaran semua agama mengandung tauhid dan kelak selamat di akhirat. Padahal pada bagian lain, Rasyid Ridha menjelaskan pandangannya mengenai status kelompok-kelompok tersebut di akhirat. Beliau memperinci antara ahlu kitab yang sudah sampai dakwah Nabi (Islam) kepadanya dan belum. Bagi Ahlu Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka, mereka selamat sebagaimana yang dikabarkan dalam surat al-Baqarah : 62 dan al-Maidah : 69. Oleh karena itu mereka diperlakukan seperti ahlu kitab yang hidup sebelum datangnya Nabi.
Sedangkan Ahlu Kitab yang sudah sampai dakwah Islam kepada mereka (sesuai rincian Ali Imran : 199), Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu, 1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yaitu iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, 2) Beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebut lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya. Karena Al-Qur’an merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan, 3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, 4) rendah hati (khusyu’) yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, 5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apa pun dari kesenangan dunia.[31]
Walaupun demikian, pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh termasuk  Syadz. Pertama, karena bertentangan dengan pendapat ulama-ulama mu’tabar seperti yang penulis cantumkan pada bagian awal analisa. Kedua, menyelisihi salah satu dari sembilan langkah yang harus dilakukan oleh seorang mufasir, yaitu memperhatikan adat kebiasaan Al-Qur’an dalam pemakaian suatu istilah.[32] Dalam Al-Qur’an, pemakain istilah Ahlu Kitab sering mengarah pada Yahudi dan Nasrani. Maka, inilah kebiasaan Al-Qur’an dalam pemakaian istilah Ahlu Kitab. Selain itu, pendapat ini juga berbau liberal. Ini adalah pengaruh dari keleluasaan penggunaan akal Rasyid Ridha dalam menafsirkan nash-nash syar’i yang berhubungan dengan muamalah. Begitu pula Muhammad Abduh, sebagai seorang guru ia lebih liberal dari  muridnya. Ia tidak membatasi eksplorasi akal pada perkara muamalah saja, tetapi  semua aspek penafsiran termasuk ta’wil sifat-sifat Allah.[33] Jadi, pendapat ini tidak terpakai dan pemahaman makna Ahlu Kitab dikembalikan kepada definisi ulama-ulama mu’tabar.
Alasan setiap umat memiliki rasul dalam arti rasul sebenarnya yang Allah utus dengan membawa kitab suci perlu diklarifikasi. Ayat yang digunakan sebagai hujah adalah an-Nahl : 36 dan Fathir : 24. Dalam ayat tersebut, kata “nadzir” yang berarti pemberi peringatan lebih umum dari pada kata “rasul”. Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut,
{وَإنَّ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ} أي: وَمَا مِنْ أُمَّةٍ خَلَتْ مِن بَنِي آدمَ إِلَّا وَقَد بَعَثَ اللهُ إليهِمْ النذر، وَأَزَاحَ عَنْهُمُ العِلَلَ، كَمَا قَال تَعَالى: {إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَاد} [الرعد: 7] ، وَكَمَا قَالَ تَعَالى: {وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجتَنِبُوا الطَّاغُوتِ فَمِنْهُمْ مَن هَدَى اللهُ وَمِنهُمْ مَن حَقَّتْ عَلَيهِ الضَّلَالَة} الآية [النحل: 36] ، والآيات في هذا كثيرة.  [[34]]
Beliau menjelaskan maksud dari ayat tersebut, “Dan tidak ada satu pun umat dari Bani Adam kecuali Allah telah mengutus kepada mereka seorang pemberi peringatan…”. Senada dengan itu, Imam at-Thabari juga menafsirkan ayat tersebut bahwa setiap umat sebelum Nabi Muhammad tidak kosong dari seorang pemberi peringatan yang memperingatkan mereka tentang siksaan atas dosa menyekutukan Allah.[35] Jadi, yang dimaksud setiap umat diutus seorang rasul adalah seorang pemberi peringatan. Bisa berupa rasul dalam istilah syar’i yang membawa kitab suci, bisa juga berupa seorang pemberi peringatan biasa. Karena kata “nadzir” lebih umum dari pada “rasul”.
Klaim kepemilikan Hindu-Budha terhadap kitab yang diturunkan dari langit tak bisa dibuktikan. Setiap perkara yang berkaitan dengan ushuluddin harus dibuktikan dengan adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Namun, tidak ada penjelasan berupa ayat atau hadits Rasulullah yang menerangkan perkara tersebut. Penjelasan yang ada hanya melalaui lisan para ulama dalam tafsir mereka yang masih berbentuk zhan. Ketika zhan ini bertentangan dengan perkara ushul yang sudah jelas ada dalil syar’inya, maka dalil tersebut harus didahulukan. Berbeda dengan Yahudi dan Nasrani yang memang benar memiliki kitab samawi. Allah Ta’ala berfriman,
 “(3.) Dia menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran, membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.” (QS : Ali Imran : 3)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan Al-Qu’an, Taurat, dan Injil. Sudah penulis paparkan pada bagian definisi bahwa Taurat adalah milik Yahudi sedangkan Injil milik Nasrani.
Orang-orang liberal terkhusus Zainun Kamal mengalami kondisi prakonsepsi dalam menafsirkan ayat-ayat tentang Ahlu Kitab. Prakonsepsi adalah kondisi di mana seorang mufasir memiliki kecenderungan dan harapan subjektif kepada pemahaman agama. Subjektifitas mufasir dibawa ke dalam proses penafsiran teks. Akibatnya tafsir teks syar’i yang dihasilkan tercampur dengan suasana pemikiran mufasir. Padahal dalam metode tafsir klasik, prakonsepsi dan praasumsi adalah hal terlarang. Perhatian mufasir harus  terpusat kepada kesadaran memahami misi teks. Tentunya pemahaman tersebut harus objektif sesuai kehendak pembuat teks.[36]
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang Ahlu Kitab, orang-orang liberal sudah memiliki perhatian bagaimana cara melegitimasi universalisme agama. Semua agama dianggap sama-sama mengajarkan tauhid dan memiliki pedoman berupa kitab suci. Akibatnya mereka menggiring pehaman teks sesuai dengan prakonsepsi yang dimiliki. Jadilah buah tafsir sebagai tafsir kontekstual dengan pandangan akal semata yang dicela agama (tafsir bi ra’yi al-mazhmum).

F.     Kesimpulan
Dari analisa yang penulis paparkan, dapat disimpulkan bahwa Hindu dan Budha bukanlah Ahlu Kitab. Karena konsep tersebut bertentangan dengan definisi para ulama tafsir, fikih, dan firaq yang mu’tabar. Selain itu, ia juga bertentangan dengan sebuah kaidah tafsir yang mengharuskan seorang mufassir memperhatikan kebiasaan Al-Qur’an dalam penggunaan sebuah istilah. Pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh pun tidak bisa dijadikan sebagai landasan yang kuat. Karena ia merupakan pendapat syadz yang berbau liberal. Istilah Ahlu Kitab yang terdapat dalam Al-Qur’an selalu ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani. Adapun Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan Shinto termasuk dalam kategori orang musyrik. Karena secara lahiriah mereka menampakkan keyakinan pagan dan ritual penyembahan berhala. Wallahu a’lam bish shawab.

G.    Penutup
Demikianlah makalah munazharah ilmiyah ini kami buat. Sebuah karya pastilah memiliki kekurangan. Jika terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini maka penulis hanya bisa memohon maaf sebesar-besarnya. Adapun kekurangan dalam hal kelengkapan pembahasan bisa menjadi inspirasi bagi penulis selanjutnya untuk membahas perkara yang kiranya masih perlu didalami. Jazakumullah khairu jaza.


                                                  DAFTAR PUSTAKA
1.      Ibnu Jarir at-Thabari. 1421 H. Jami’ul Bayan. Beirut : Dar al-Fikir
2.      Al-Qurtubi. Tt. Al-Jami’ liahkami Al-Qur’an
3.      Ibnu Katsir. Tt. Tafsir Al-Qur’anu al-Azhim. Kairo : Maktabah Taufikiyah
4.      Muhammad Rasyid Ridha. 1426 H. Tafsir Al-Qur’an al-Hakim (al-Manar). Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
5.      Ibnu Qudamah. 1413 H. al-Mughni. Hajar
6.      Ibnu Mandzur. Tt. Lisanul Arab. Beirut : Dar ash-Shadir
7.      Muhammad al-Fairuz Abadi. 1415 H. Al-Qamus al-Muhith. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah
8.     Abdur Rauf al-Manawi. Tt. at-Tauqif ‘ala Muhimmat at-Ta’arif
9.      Wahbah az-Zuhaili. 2009. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.  Damaskus : Dar al-Fikir
10.  Wahbah az-Zuhaili. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Minhaj
11.  Abdul Mun’im. 1413 H. Mausu’atu al-Firaq wa al-Jama’at wa al-Madzahib al-Islamiyyah. Dar ar-Rasyad
12.  M. Quraish Shihab. 2013. Wawasan Al-Qur’an. Bandung : Mizan
13.  Nurcholish Madjid. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina
14.  Fahmi Salim. 2013. Tafsir Sesat. Jakarta : Gema Insani
15.  Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, vol. 16 Nomer 2 ( Desember ) 2012
16.  Jurnal Pemikiran Islam; vol. 37, No. 2 Juli-Desember 2012
17.  Fahad bin Abdurrahman ar-Rumi. Tt. Buhuts fi Ushuli at-Tafsir wa Manahijuhu. Maktabah at-Taubah
18.  S. Widyadharma. 2003. Riwayat Hidup Buddha Gotama. Malang : Club Penyebar Dhamma
19.  Zulfat Aziz-us-Samad. Tt. Agama-Agama Besar Dunia terjemahan the Great Religions of The World
20.  Dwi Hartini. Tt. Pertumbuhan dan Perkembangan Agama serta Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia
21.  Sri Swami Sivananda. 1999. All About Hinduism. Himalaya : The Define Life Society



[1]Dinukil dari Zulyadain, “Menimbang Kontroversi Pemaknaan Konsep Ahl Kitab Dalam Al-Qur’an” dalam Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, vol. 16 Nomer 2 (Desember) 2012, hlm. 298

[2]Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Hajar, 1413 H), vol. 9, hlm. 546-457

[3]Prof. DR. Zainun Kamal adalah salah satu tokoh Islam Liberal di Indonesia. Dia meraih gelar doktoralnya di IAIN Ciputat. Dia merupakan tokoh JIL yang menghalalkan nikah beda agama. Pada hari Ahad, 28 November 2004, Zainun Kamal menikahkan seorang muslimah Suri Aggreni alias Fitrhi dengan lelaki Kristen Alfin Siagian di Hotel Kristal Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sumber : Zainun%20Kamal%20-%20Meraih%20Ilmu%20Syar'i.html. Diakses pada Ahad, 7 Februari 2016 pukul : 07.30 WIB

[5]Penulis menyebutnya “versi liberal” karena kenyataanya Zainun Kamal hanya mengekor pendapat para pemikir liberal, seperti Nasr Hamid, Nurcholis Madjid, dkk.
[7]Disarikan dari Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta : Paramadina, 2008), hlm. 180-187
[8]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya : Pustaka progresif, 1997),  hlm. 46, Ibnu Mandzur, Lisanul Arab (Beirut : Dar Shadir, tt), vol. 11, hlm. 28-29, Muhammad al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H) vol 3, hlm. 453, Abdur Rauf al-Manawi, at-Tauqif ‘ala Muhimmat at-Ta’arif, (versi : Syamilah), hlm. 29

[9]Muhammad al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H), vol. 1, hlm. 161

[10]Ibnu Qudamah, al-Mughni,(Hajar, 1413 H), vol. 9, hlm. 546

[11]Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wal Minhaj, vol. 6, hlm. 94

[12]Wahbah az-Zuhaili, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus : Dar al-Fikir al-Islami, 2009), vol. 7, hlm. 158

[13]Dwi Hartini, Pertumbuhan dan Perkembangan Agama serta Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia, tt, hlm.
[14]Ulfat Aziz-us-Samad, Agama-Agama Besar Dunia terjemahan The Great Religions of  The World, hlm. 11-13

[15]Ibid,hlm.17
[16]Dwi Hartini, Pertumbuhan dan Perkembangan Agama serta Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia, tt, hlm. 3

[17]Tanpa Pengarang, Pendidikan Agama Islam, hlm. 50
[18]Ibnu Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan (Bairut : Dar al-Fikir, 1421 H), vol. 4, juz. 6,  hlm. 123
[19]Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, al-Jami’ liahkami al-Qur’an, vol. 4, hlm. 105

[20]Lihat tafsir surat al-Maidah ayat 5, Abu Fida’ Ismail bin Katsir, Tafsir Qur’anu al-‘Azhim (Kairo : Maktabah Taufikiyah, tt), vol. 3, hlm. 29

[21]Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Hajar, 1413 H), vol. 9, hlm. 546

[22]Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wal Minhaj, vol. 6, hlm. 94, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus : Dar al-Fikir al-Islami, 2009), vol. 7, hlm. 158

[23]Abdul Mun’im, Mausu’atu al-Firaq wal Jama’at wal Madzahib al-Islamiyyah (Dar ar-Rasyad, 1413 H), hlm. 85

[24]Lihat catatan kaki dalam, Zulyadain, “Menimbang Kontroversi Pemaknaan Konsep Ahl Kitab Dalam Al-Qur’an” dalam Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, vol. 16 Nomer 2 (Desember) 2012, hlm. 296

[25]Disarikan dari S. Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama (Malang : Club Penyebar Dhamma, 2003), hlm. 13-62

[26]Sri Swami Sivananda, All About Hinduism (Himalaya : The Define Life Society, 1999), hlm. 1
[27]Adian Husaini, Pendidikan Islam : Membentuk Manusia Berkarakter  (Jakarta : Cakrawala, 2010), hlm. 14

[28]Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim (al-Manar) (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1426 H), vol. 6, hlm. 152-161

[29]Ibid, hlm.154

[30] Ibid, hlm. 119-120
[31]Fahmi Salim, Tafsir Sesat (Jakarta : Gema Insani, 2013) hlm. 210-211

[32]Untuk poin kedua ini lihat Ibid, hlm. 167

[33]Lihat Masnun Kasim, “Muhammad Rasyid Ridha (Antara Rasionalisme & Tradisionalisme)” dalam Jurnal Pemikiran Islam; vol. 37, No. 2 Juli-Desember 2012, hlm. 130

[34]Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim (Kairo : Maktabah Taufikiyah, tt), vol. 6, hlm. 347

[35]Ibnu Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan (Beirut : Dar al-Fikir, 1421 H), vol. 12, juz. 22, hlm. 139
[36]Fahmi Salim, Tafsir Sesat (Jakarta : Gema Insani, 2013), hlm. 201

1 komentar:

  1. Membenarkan anggapan masyarakat tentang agama hindu, karena sebenarnya agama hindu menganut ketuhanan Monoteisme, ini juga demi persatuan umat beragama di indonesia.

    -----
    Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai dalam hindu adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.

    Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.

    Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada umatnya.

    Filsafat Adwaita Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi, Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.

    BalasHapus

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net