Oleh : Yunalul Murad Ridwan
I. PENDAHULUAN
Syariat ada untuk menjaga lima kebutuhan dasar (primer) manusia, yakni menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan
(keturunan), dan harta.[1]
Tidak terpenuhinya kelima hal tadi, atau salah satu darinya akan berimplikasi
pada kehidupan yang tidak lurus dan bermasalah. Demi menjaga lima hal tadi
pulalah hukuman hudud disyariatkan dalam Islam.
Aturan dan hukuman-bagi pelanggarnya- dibuat
demi menjaga kehidupan individu serta masyarakat dari munculnya
pelanggaran-pelanggaran dan kerusakan-kerusakan yang akan menabrak keharmonisan
sosial, serta menjaga kebutuhan-kebutuhan asasi manusia sebagai hamba Allah
Ta’ala. Prinsip dasar inilah yang harus selalu kita ingat tentang penegakan
hudud. Bahwa tidaklah hudud disyariatkan bagi manusia kecuali karena di
dalamnya terkandung kemashlahatan yang besar bagi umat manusia.
Karenanya, perlu kita ingat dan catat
baik-baik bahwa semua kaedah dan prinsip yang ada seputar penegakan hudud
selalunya bersifat manusiawi, baik disadari maupun tidak, karena ia dibuat oleh
Rabb-nya manusia. Dengan adanya kaedah-kaedah tadi, diharapkan tujuan dari
pelaksanaan hudud itu sendiri akan terealisasi secara optimal.
Diantara salah satu dari kaedah seputar
penerapan hudud adalah bahwa ia tidak diterapkan dalam kondisi dan keadaan
tertentu,[2] demi menjaga mashlahat yang lebih
besar. Dan supaya tidak muncul implikasi yang buruk setelah pelaksanaannya,
baik untuk si pelaku maupun masyarakat muslim secara umum. Diantara kondisi yang
mendapat pengeculian adalah ketika kondisi perang, meskipun para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hal ini..
Dalam kitab-kitab fiqh, para ulama tidak
secara eksplisit menjelaskan tentang hukum menegakkan hudud ketika perang,
apakah tetap harus terapkan ataukah ditunda pelaksanaannya. Yang secara jelas
dijelaskan di kitab-kitab fiqh yang ada adalah pembahasan mengenai apakah hudud
ditegakkan didaerah perang (darul harb atau darul kufr). Namun secara substansial,
kandungan pembahasan keduannya adalah sama. Karena kajian utama dari
pembahasanya adalah hudud dan perang itu sendiri. Selain itu kita juga bisa
melihatnya dari dalil-dalil yang digunakan, serta argumen-argumen yang
diungkapakan. Semuanya berkaitan tentang penegakan hudud ketika perang.
Adapun menegakkan hudud di wilayah konflik
namun yang sudah berada dibawah kendali aturan Islam-sebagaimana yang terjadi
di banyak negara seperti Suriah, Yaman, Somalia, dsb- dikembalikan kepada
tinjauan mashlahat dan madharat yang akan muncul setelah
pelaksanaan. Jika dilihat lebih baik untuk mengakhirkannya, maka diakhirkan
penegakannya. Adapun jika ada mashlahat yang besar jika hudud tetap
ditegakkan, maka ia tetap ditegakkan.
II. DEFINISI HUDUD DAN PERANG
Secara Bahasa: hudud (حدود) adalah jamak dari kata had
(حدّ)
yang bermakna larangan. Maka penjaga pintu dan sipir penjara biasa disebut
dengan haddad (حدّاد), karena penjaga pintu melarang orang
untuk memasuki pintu tersebut, sedangkan sipir (penjaga) penjara melarang orang
untuk keluar darinya.[3] Sedangkan yang dimaksud dengan hudud
(larangan) Allah Ta’ala adalah perkara-perkara yang diharamkan oleh-Nya.[4]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Itulah larangan-larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya.”[5]
Banyak ulama yang
menyatakan bahwa secara bahasa had (حدّ)
adalah ‘pembatas antara dua hal’[6],
atau ‘yang membedakan sesuatu dari selainnya.’[7] Sedangkan Ibnu Mandzur dalam
kitabnya Lisan al-Arab menyebutkan, “Had adalah pemisah antara dua hal,
sehingga salah satunya tidak bercampur dengan yang lain. Atau bisa juga
dimaknai dengan batasan, karena ia melarang sesorang untuk melampauinya. Maka
had pencuri adalah sesuatu yang melarangnya untuk mengulangi atau kembali
melakukan perbuatan tersebut, dan membuat yang lain enggan melanggarnya.”[8]
Sedangkan H. Moh Kasim
Bakri dalam bukunya Hukum Pidana Dalam Islam menyebutkan, “Hudud diambil dari
kata ‘had’ yang secara bahasa bermakna pagar, larangan, batas, tapal, dan
dinding. Tukang pintu dinamakan ‘haddad’ karena ia melarang oranng masuk dan
menjaga orang lain masuk ke dalam rumah.[9]
Secara umum, makna bahasa dari kata had berkutat pada larangan, batasan, dan penghalang.
Yang menunjukkan bahwa adanya had adalah sebagai bentuk dari aturan yang
ditetapkan Allah Ta’ala yang merupakan batasan yang tidak boleh dilanggar oleh
manusia.
Adapun secara Istilah:
Hudud adalah hukuman atau sanksi yang telah ditentukan oleh Allah yang membuat
seorang kriminal enggan untuk mengulangi perbuatannya, berupa pelanggaran
terhadap hak Allah Ta’ala. Maka keluar dari definisi ini ta’zir, karena
hukumannya tidak jelas batasan dan ketentuannya. Karenanya, qisas tidak temasuk
had karena ia berkaitan dengan hak sesama manusia.[10]
Serupa dengan
pengertian di atas, Sayyid Sabiq mengatakan, “Had adalah sanksi yang ditetapkan
(kadarnya) sebagai hak Allah Ta’ala. Maka ta’zir bukanlah had karena kadarnya
ditetapkan oleh seorang hakim.”[11]
Karena had adalah murni hak Allah, maka ia tidak bisa dibatalkan baik oleh
individu ataupun oleh kelompok. Sedangkan Imam al-Jurjani berkata, “Hudud
adalah bentuk jamak dari kata had yang secara bahasa bermakna larangan.
Sedangkan secara syar’i had adalah hukuman yang kadarnya telah ditentukan dan
wajib dilaksanakan sebagai hak Allah Ta’ala.”[12]
Dalam kitabnya yang
populer, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu DR. Wahbah az-Zuhaili memerinci
tentang pengertian had (hudud), “Had secara istilah menurut ulama Hanafiyah
adalah hukuman yang kadarnya telah ditentukan oleh syariat yang wajib
dilaksanakan sebagai hak Allah Ta’ala. Maka hukuman ta’zir tidak bisa disebut
had karena tidak ditentukan kadarnya oleh syariat. Begitu juga qisas, karena
meskipun kadarnya ditentukan, namun ia adalah hak manusia, maka qisas bisa
dibatalkan dan dimaafkan pelakunya.[13]
Adapun menurut jumhur, Had adalah hukuman yang ditetapkan oleh syariat, baik
berupa hak Allah Ta’ala atau hak sesama hamba.”[14]
Sedangkan ‘perang’
adalah sebuah aksi fisik ataupun non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi
permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia
untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara klasik
di maknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern, perang lebih mengarah
pada superioritas teknologi dan industri, namun secara umum perang berarti
‘pertentangan’.[15]
Pada dasarnya, perang bersifat militer dan
menggunakan berbagai jenis senjata. Akan tetapi, pada zaman sekarang dikenal
perang-perang yang lain seperti perang kebudayaan, perang media massa, perang
ekonomi, dan perang fisik.[16]
Maka cakupan perang
lebih luas dari sekedar aksi permusuhan yang bersifat fisik secara langsung. Termasuk dalam kategori perang adalah
kegiatan mengalahkan lawan dengan selain menggunakan senjata dan alat tajam.
Dalam Bahasa Arab
perang disebut dengan harb atau qital, yang biasa dimaknai dengan
pertikaian, permusuhan, saling membunuh dan menyerang. Berkata Ibnu Mandzur,
“Perang merupakan bentuk kata sifat yang bermakna kebalikan dari situasi aman,
atau kegiatan saling menyerang (berperang) satu dengan yang lain.”[17]
Sedangkan Ahmad bin Muhammad al-Muqri’ memaknai perang (حرب) dengan saling bermusuhan (membunuh) atau saling bertikai.[18]
Disebutkan pula dalam al-Mu’jam al-Wasith, “Adalah peperangan atau permusuhan yang dilakukan oleh dua kelompok.”[19]
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, perang memiliki beberapa arti, diantaranya; pertama, permusuhan
antara dua negara, bangsa, agama, atau suku, dsb. Kedua, pertempuran
besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih (tentara, laskar, pembenrontak,
dsb). Ketiga, perkelahian atau konflik.[20] Namun yang akan menjadi pembahasan kita
adalah perang yang bermakna kontak senjata antara dua atau lebih pihak di mana
masing-masing pihak bertujuan mengalahkan pihak lainnya.
III. DISYARIATKANNYA HUDUD
Menegakkan hudud adalah wajib atas setiap
penguasa atau yang mewakilinya. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’
dan logika.[21]
Allah Ta’ala berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (al-Maidah: 38)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ
جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali deraan.”
(an-Nuur: 2)
Penegakkan hudud
membawa mashlahat yang besar bagi kehidupan manusia. Dengan ditegakkannya
hudud, kriminalitas akan berkurang dan masyarakat mampu merasakan keamanan dan
ketentraman dalam semua aspek kehidupan mereka. Jiwa mereka akan terlindungi,
harta mereka aman, serta kehormatan mereka akan terjaga. Karenanya, penegakkan
hudud merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam Islam.[22]
Maka setiap perbuatan yang
dikerjakan untuk menolak dan meniadakan penegakkan hudud, sama saja dengan
menolak, memusuhi serta mengumumkan perang terhadap hukum Allah Ta’ala.[23]
Karena perbuatan tersebut berimplikasi pada eksisnya kejahatan dan kemungkaran,
serta merupakan bentuk kerelaan terhadap kemaksiaatan. Dari jalur sahabat
Abdullah bin Umar Rasulullah pernah bersabda:
مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُونَ حَدٍّ مِنْ
حُدُودِ اللَّهِ فَقَدْ ضَادَّ اللَّه فِي أَمْرِهِ
"Barangsiapa yang pembelaannya
digunakan untuk menghalang-halangi hukum Allah, berarti ia melawan Allah dalam
perintah-Nya.”[24]
Rasulullah juga pernah bersabda:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ
أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ
فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ
فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Sesungguhnya
yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, ketika orang-orang
terpandang mereka mencuri, mereka membiarkannya (tidak menghukum), sementara
jika orang-orang yang rendahan dari mereka mencuri mereka menegakkan hukuman
had. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri
yang akan memotong tangannya."[25]
Berkata Abu Malik
Kamal, “Para ulama telah berijma’ akan wajibnya menegakkan hudud atas para
pelaku kriminal, dan tidak ada yang berbeda pendapat mengenai hal ini.”[26]
Telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah pelanggaran-pelanggaran yang wajib diberlakukan had terhadap
pelakunya, yakni: zina -termasuk didalamnya liwath-, menuduh zina (qadzaf),
meminum khamr, mencuri, muharabah (begal, rampok, dan
sejenisnya), serta murtad.[27]
IV. APAKAH HUDUD DIBERLAKUKAN DI WILAYAH
PERANG?
Dalam
literatur-literatur fiqh, para ulama tidak secara eksplisit menjelaskan tentang
hukum menegakkan hudud ketika perang, apakah tetap harus terapkan ataukah
ditunda pelaksanaannya. Yang secara jelas dijelaskan di kitab-kitab fiqh yang
ada adalah pembahasan mengenai apakah hudud ditegakkan didaerah perang (darul harb
atau darul kufr).
Namun jika kita mengkaji lebih dalam,
substansi dari keduannya adalah sama. Ini
bisa kita lihat dari dali-dalil serta argumen yang para ulama gunakan
ketika menjelaskan tentang hukum menegakkan had di wilayah perang, semuanya
berkaitan tentang perang itu sendiri. Selain itu, kalau kita mau menelisik
kasusnya lebih dalam, yang dimaksud dalam menegakkan hudud di wilayah perang
adalah ketika pasukan muslimin berperang memerangi orang-orang kafir, dan bukan
untuk tujuan lain selain daripada berperang. Oleh karenanya, hukum menegakkan
had ketika perang dapat kita simpulkan dari pembahasan menegakkan had di
wilayah perang atau darul harb.
Dalam disertasinya yang ditulis guna
mendapatkan gelar doktoral dengan judul Qawaid wa Dhawabith ‘Uqubat al-Hudud
wa at-Ta’zir, Ibrahim bin Fahd al-Wad’an menjelaskan bahwa para ulama
berbeda pendapat tentang penegakkan hudud bagi para kriminal ketika perang.
Secara garis besar, para ulama dalam menyikapi masalah ini terbagi menjadi
empat pendapat: Pertama, mereka yang menyatakan bahwa hukuman had tetap
ditegakkan secara mutlak, baik diwilayah kekuasaan Islam, maupun di wilayah
perang.
Kedua, yang menyatakan bahwa hukuman tidak
diberlakukan secara mutlak terhadap si pelaku, baik di wilayah perang, maupun
di wilayah kekuasaan Islam. Ketiga, bahwasanya semua hukuman had tetap
diberlakukan di wilayah perang kecuali pencurian (had potong tangan). Keempat,
bahwa hukuman tidak dilaksanakan terhadapnya di wilayah perang, tetapi
tidak gugur secara keseluruhan, melainkan ditangguhkan hingga kembalinya
pasukan.[28]
Di sini, kami akan memerincinya satu persatu
disertai dengan dalil-dalil digunakan oleh masing-masing, dan bagaimana
mendudukkannya:
A. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa hudud tetap
diberlakukan secara mutlak meskipun dalam keadaan serta wilayah perang.
Ini adalah
pendapat ulama Malikiyah[29]
dan Syafi’iyah[30], dan
juga pendapat yang dipilih oleh al-Baihaqi[31]
dan Ibnu Hubairah.[32]
Ini juga merupakan pendapat Abu Tsaur dan Ibnu Mundzir.[33]
Argumen yang mereka gunakan adalah:
1. Bahwa dalil-dalil yang memerintahkan pelaksanaan
hudud bersifat mutlak di segala tempat dan waktu, seperti firman Allah:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus
kali.” (an-Nur: 2)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potongkah tangan keduanya.”
(al-Maidah: 38)
Berkata
Imam Asy-Syafi’i, “Bisa diambil kesimpulan dari kedua ayat di atas, bahwa Allah
Ta’ala mewajibkan untuk menegakkan hudud serta tidak membedakan antara wilayah
musuh dengan wilayah Islam.”[34]
Dan karena setiap perintah menunjukkan
kewajiban yang harus dilaksanakan.
2. Hadist Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu,
bahwa Rasulullah bersabda:
جَاهِدُوا النَّاسَ فِي اللَّهِ الْقَرِيبَ وَالْبَعِيدَ
وَلَا تُبَالُوا فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ وَأَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْحَضَرِ
وَالسَّفَر
“Berjihadlah melawan manusia dengan niat karena
Allah, baik yang dekat atau pun yang jauh, jangan hiraukan cercaan orang karena
melaksanakan aturan Allah, dan tegakkanlah hukum-hukum Allah baik saat bermukim
maupun saat bepergian (dalam perjalanan).”[35]
Catatan: Hadist Ubadah bin Shamit di atas secara eksplisit
memang menunjukkan kewajiban menegakkan hudud baik ketika mukim maupun safar. Namun
lafadz yang digunakan masih umum (mutlak). Dan sebagaimana yang telah diketahui
ada dalam kaedah ushul fiqh sebuah kaedah yang menyatakan, bahwa lafadz
yang umum itu dikhususkan, dan yang mutlak di batasi kemutlakannya jika ada
dalil yang menunjukkan hal tersebut.
Maka, pendapat kelompok pertama ini tidak
tepat. Sebab, terdapat hadist lain yang diriwayatkan oleh Busr bin Abi Artha’ah
yang menunjukkan bahwa had tidak ditegakkan ketika kondisi perang, yang ini
menjadi pengkhusus dari kata ‘safar’ yang digunakan pada hadist Ubadah bin
Shamit di atas.
Berkata asy-Syaukani, “Tidak ada pertentangan
dari kedua hadist diatas, karena hadist riwayat Busr bin Artha’ah lebih khusus
daripada hadist Ubadah, dan lafal yang umum itu dikhususkan. Maka ‘safar’ yang
dimaksud dalam hadist Ubadah adalah safar ketika perang.”[36]
Selain itu, ada juga beberapa atsar yang
menunjukkan praktek dari para sahabat yang tidak menegakkan had bagi para
kriminal baik di wilayah perang, maupun ketika perang itu sendiri.[37]
Padahal sebagaimana yang kita ketahui, para sahabat adalah golongan yang paling
dekat pemahamannya terhadap perkataan rasulullah, serta paling mengerti maksud
beliau.[38]
Lebih lanjut, rinciannya akan dijelaskan pada pembahasan tentang pendapat yang
keempat.
Kemudian, termasuk hal yang menjadi pegangan
para ulama adalah, bahwa hudud diakhirkan jika didalamnya mengandung mashlahat
bagi si pelaku (pelanggar), seperti cuaca dingin atau panas yang sangat, dan
ini merupakan pembatasan terhadap nash yang mutlak. Maka dalam hal ini,
mengakhirkan hudud lebih utama karena mengandung mashlahat yang jauh lebih
besar bagi umat
Islam secara umum. Yakni si pelaku tidak bergabung dengan pihak
musuh atau bahkan murtad dari Islam.[39]
Berkata Ibnu al-Qayyim, “Mengakhirkan had
karena suatu alasan merupakan sesuatu yang diakui syariat, sebagaimana had
tidak ditegakkan bagi wanita yang sedang hamil maupun menyususi, juga ketika si
pelaku sakit, atau saat cuaca sedang sangat panas dan dingin. Kalau demi
mashlahat pribadi si pelaku saja hudud bisa diakhirkan, maka mengakhirkannya
demi kepentingan Islam dan umat secara umum tentunya lebih utama.”[40]
B. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa hukuman
ditiadakan secara mutlak -tidak diakhirkan- di wilayah perang.
Yang berpendapat seperti ini adalah Abu
Hanifah sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qudamah dan Ibnul Qayyim.[41] Dalam kitabnya Ibnu Qudamah mengutip perkataan Imam Abu Hanifah, “Tidak ada had dan qisas di daerah perang,
begitu juga setelah pulang.”[42]
Termasuk juga ketika
peperangan terjadi di negeri Islam.
Ini bisa kita lihat dari dalil yang mereka pakai.
Namun, beberapa ulama hanafiyah seperti Abu
Yusuf,[43]
menyatakan bahwa tidak ditegakkannya had adalah karena tidak adanya khalifah
kaum muslimin di wilayah perang. Bila khalifah (pemimpin) bersama mereka, maka
hukuman itu diberlakukan terhadap si pelaku dan tidak ditangguhkan. Tapi bila
khalifah tidak berada di sana bersama mereka, maka hukuman itu menjadi gugur.[44]
Namun secara umum madzhab hanafi menyatakan
bahwa had gugur di daerah perang dan tidak pula ditegakkan setelah kembali ke
wilayah Islam.[45] Yang
perlu menjadi catatan adalah bahwa madzhab Hanafi sepakat untuk tetap
menegakkan had seandainya peperangan terjadi di wilayah Islam. Diantara
dalil-dalil yang mereka gunakan:
1. Sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
لاتقام الحدود في دار الحرب
“Hukuman
(hudud) tidak diberlakukan di wilayah perang.”[46]
-Namun hadist ini tidak jelas sumbernya-.
Berkata
al-Babarti (salah seorang ulama madzhab Hanafi), “Semua orang tentu maklum
bahwa had tidak mungkin ditegakkan di wilayah perang, karena daerah tersebut bukan
termasuk wilayah kekuasaan imam. Maka tentu yang dimaksud dari hadist di atas adalah bahwa had tidak lagi wajib ditegakkan secara mutlak (jika pelanggarannya dilakukan
di wilayah perang).”[47]
Catatan:
Beberapa koreksi untuk
pendapat ini; Pertama,
kesimpulan hukum yang
diambil dari hadist di atas adalah tidak tepat. Karena lafal hadist tidak menunjukkan bahwa kewajiban
menegakkan had harus disertai dengan kehadiran imam di kamp militer kaum
muslimin, bahkan lafal hadist menunjukkan peniadaan had secara mutlak.
Kedua,
hadist tadi belum
tentu menunjukkan gugurnya penegakan hudud di wilayah perang secara mutlak.
Namun bisa jadi berisi perintah mengakhirkan penegakannya hingga kembali dari
perang. Dan inilah yang secara jelas dipraktekkan oleh para sahabat radhiallahu
anhum.
Ketiga, Hadist yang dijadikan landasan oleh madzhab
Hanafi adalah hadist yang tidak diketahui sumbernya, dan tidak jelas
asal-usulnya. Berkata Ibnu al-Hammam al-Hanafi, “Keberadaanya tidak diketahui.”
Karenanya pengambilan hukumnya juga tertolak.[48]
2. Kasus Abu Mihjan ats-Tsaqafi pada perang
Qadisiyah. Sa’ad bin Abi Waqqas membatalkan hukuman-ketika itu had cambuk
karena meminum khamr- dari Abu Mihjan, lalu membebaskannya seraya berkata,
“Demi Allah, hari ini aku tidak akan mencambuk seseorang yang bisa menyebabakan
petaka yang lebih besar terhadap kaum muslimin daripada apa yang tengah menimpa
mereka.” Maka Abu Mihjan menjawab, “seandainya engkau menegakkan had atasku,
maka aku berharap ia akan menyucikanku. Dan seandainya engkau menggugurkannya
dariku, maka aku tidak akan pernah lagi meminumnya selamanya.”[49]
Catatan:
pengambilan kesimpulan
oleh Hanafiyah di atas tidaklah
tepat, karena atsar ini tidak menunjukkan pengguguran hudud secara
keseluruhan. Akan tetapi had digugurkan dari seorang prajurit jika ia memiliki
jasa serta pengaruh besar dalam pasukan, serta nampak darinya tanda taubat yang
sungguh-sungguh-seperti Abu Mihjan-, sebagaimana yang dikatakan oleh Saad bin
Abi Waqqas. Yang mana ketika had ditegakkan padanya petaka yang timbul bagi
pasukan kaum muslimin akan lebih besar.[50]
Sedangkan perbuatan Saad yang meniadakan had secara mutlak dan tidak mengakhirkannya bagi Abu Mihjan di dasari oleh dua hal. Pertama, Karena Saad melihat jasa Abu Mihjan yang sangat besar
bagi Islam secara umum, dan perannya yang vital
di barisan pasukan
kaum muslimin, sehingga
menurut Sa’ad jasa dan kebaikan itu sudah menjadi penebus kesalahan bagi Abu Mihjan.
Kedua,
Meniadakan had secara
mutlak serta tidak mengakhirkanya merupakan ijtihad pribadi dari Sa’ad.[51]
Karena pada prakteknya, sahabat-sahabat yang lain (seperti Umar, Abu Darda’,
dan Hudzaifah) mengakhirkan penegakannya, bukan meniadakannya secara mutlak.
C. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa semua had tetap ditegakkan
dalam keadaan perang, kecuali had potong tangan (dalam kasus pencurian).
Diantara yang berpendapat demikian adalah
al-Auza’i sebagaimana yang dinyatakan oleh as-Syafi’i[52],
juga pendapat al-Qadhi serta as-Syaukani[53].
Dalil yang mereka pakai adalah:
1. Hadist Busr bin Abi Artha’ah dari rasulullah shallahu
alaihi wasallam:
لَا تُقْطَعُ الْأَيْدِي فِي الْغَزْوِ
"Tidak ada potong tangan dalam
peperangan."[54]
Al-Qadhi berkata, “Maksud Rasulullah melarang memotong tangan
ketika perang adalah karena bisa jadi yang dia ambil adalah harta ghanimah
yang dia juga punya bagian mendapatkannya.”[55]
Yang dimaksud adalah karena adanya syubhat kepemilikan.
Riwayat
hadist ini shahih hingga Busr, tapi ia dipersoalkan tentang statusnya sebagai sahabat dan tentang
penyimakannya dari nabi. Ada juga yang mencela keadilannya, namun bukan
kejujurannya. Selain itu hadist ini juga memiliki jalur lain sebagai penguat.[56]
Berkata Imam at-Tirmidzi ketika meriwayatkan hadist ini, “Hadits ini gharib, tapi
ada selainnya yang meriwayatkan dengan sanad seperti hadits ini.”[57]
Hadist ini juga dishahihkan oleh Ibnu Hajar, adz-Dzahabi, dan as-Sa’ati.[58]
Ibnu al-Qayyim berkata tentang hadist ini, “Hukum potong tangan adalah
salah satu dari hukuman yang telah ditentukan Allah. Tapi rasulullah melarang
memberlakukannya dalam kondisi perang karena dikhawatirkan terjadi sesuatu yang
lebih dimurkai oleh Allah-yakni membelotnya si pelaku ke barisan musyrikin-.”[59]
Maka seandainya perang telah berhenti dan pasukan kembali ke wilayah Islam
(wilayah aman), maka penegakkan had kembali sebagaimana semula.
Catatan:
Kelompok yang kedua
ini mengambil kesimpulan hukum hanya dengan melihat zhahir hadist.
Padahal para sahabat radhiallahu anhum adalah orang-orang yang paling
paham terhadap fiqh serta manusia yang paling dalam keilmuanya. Sedangkan
mereka mehamami bahwa yang dimaksud dalam hadist diatas adalah hudud secara
keseluruhan, dan bukan hanya had potong tangan.[60]
Seperti sahabat Sa’ad yang mengakhirkan
penegakan had bagi Abu Mihjan yang meminum khamr ketika perang qadisiyah.
Hal
ini juga didukung oleh perkataan-perkataan, serta praktek yang para sahabat
lakukan. Karena menurut mereka, illah (sebab) tidak ditegakkannya had
adalah demi meraih mashlahat yang lebih utama dan juga menjaga kaum
muslimin dari munculnya madharat yang lebih besar. Yakni dikhawatirkan bahwa si pelaku akan bergabung dengan musuh-menurut Umar dan Zaid-, atau
mengendorkan semangat kaum muslimin dan menambah motivasi bagi musuh-menurut
Hudzaifah-. Yang intinya adalah menjaga kemashlahatan bagi kaum
muslimin, agar tidak terjadi kerusakan
yang lebih besar.[61]
Maka yang lebih tepat adalah mengakhirkan seluruh bentuk hudud dan bukan hanya
had potong tangan.
Ibnu
al-Qayyim berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk
memotong tangan ketika perang supaya hal tersebut tidak menjadi sebab
bergabungnya si pelaku dengan orang-orang kafir (musuh). Karenanya yang tepat
adalah tidak menegakkan semua hudud selama peperangan.”[62]
D. Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa hukuman tidak
dilaksanakan di wilayah perang, tetapi juga tidak gugur secara keseluruhannya,
melainkan ditangguhkan hingga kembali, atau hingga suasana kondusif.
Ini adalah pendapat Ahmad (Hanabilah)[63],
al-Auza’i-dalam riwayat Tirmidzi- serta Ishaq bin Rahawaih.[64]
Termasuk diantaranya yang berpendapat demikian juga adalah Abu al-Qasim
al-Khiraqi, beliau berkata, “Had tidak ditegakkan terhadap seorang muslim di
daerah musuh (ketika perang).”[65]
Diantara dalil-dalil yang mereka jadikan sebagai argumen adalah:
1. Hadist dari Busr bin Abi Artha’ah yang telah
disebutkan di atas.
2. Atsar bahwa Umar bin al-Khattab pernah mengirim
surat kepada para sahabat yang isinya; “Seorang panglima pasukan, komandan brigade
khusus, atau salah seorang dari kaum muslimin tidak boleh melaksanakan hukuman
(had) ketika perang hingga kembali pulang. Supaya si pelaku tidak dihasut oleh
setan karena dendamnya, lantas bergabung dengan kaum kafir.”[66]
3. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Abu
Darda melarang pelaksanaan hukuman terhadap seorang yang ikut berperang sampai
kembali, karena khawatir orang itu akan dikuasai dendam sehingga bergabung
dengan pasukan kafir.[67]
4. Dalam kitab al-Umm, as-Syafi’i
menyebutkan sebuah riwayat dari sahabat Zaid bin Tsabit, “Hudud tidak
ditegakkan di wilayah perang, karena dikhawatirkan si pelaku akan bergabung
dengan musuh.”[68]
Catatan:
ketiga atsar diatas-no 2, 3 dan 4- jelas menunjukkan bahwa
sebab ditinggalkannya penerapan hudud ketika perang adalah demi menjaga mashlahat
yang lebih besar bagi pasukan kaum muslimin-yakni khawatir si pelaku akan
bergabung dengan musuh serta menambah motivasi bagi barisan musuh-, sehingga
semua had ditangguhkan pelaksanaannya, dan bukan hanya had mencuri sebagaimana
yang dikemukakan pendapat yang ketiga . Dan seperti ini jugalah yang
dipraktekkan oleh para sahabat. Dikuatkan juga oleh perkataan Ibnu al-Qayyim yang
telah kami sebutkan sebelumnya (pada catatan untuk pendapat ketiga).
5.
Diriwayatkan juga oleh Alqamah bin Qais, ia mengatakan, “Ketika kami
sedang bersama suatu pasukan diwilayah romawi, saat itu Hudzaifah bin al-Yaman
bersama kami, sementara kami dipimpin oleh al-Walid bin Uqbah, lalu al-Walid
meminum khamr, lantas kami hendak menghukumnya, maka Hudzaifah berkata,
“Apakah kalian akan menghukum pemimpin kalian, sementara kalian telah dekat
dengan musuh sehingga mereka bisa menyerang kalian!”[69]
Catatan:
jelas bahwa sahabat
Hudzaifah tidak menggugurkan penegakkan had secara mutlak, namun beliau
mengingkari mereka yang tergesa-gesa menerapkannya, padahal dalam kondisi
perang dan berada di wilayah musuh. Disini jelas bahwa alasan beliau adalah
karena dekatnya kaum muslimin dengan musuh, sehingga musuh bertambah semangat
setelah mengetahui apa yang terjadi diantara pasukan kaum muslimin. Maka
hukuman tetap ditegakkan ketika kembali (ke daerah Islam atau wilayah aman).[70]
6. Kisah tentang Saad bin Abi Waqqas yang tidak
menghukum Abu Mihjan-setelah meminum khamr- ketika perang Qadisiyah, sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pendapat terakhir ini yang dipilih oleh beberapa
ulama terkenal, seperti Ibnu Qudamah, Ibnu al-Qayyim, dan Ibnu al-Hammam.
Berkata Ibnu Qudamah
al-Maqdisi, “Dan pendapat ini merupakan ijma’ para sahabat.”[71]
Yang beliau maksud adalah ijma’ sukuti.[72]
Pendapat ini juga dirajihkan juga oleh
Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq dalam Fiqh
Sunnah, juga Bakr Abu Zaid, serta Ibrahim bin Fahd al-Wad’an dalam
disertasinya.
Paling tidak ada tiga alasan kenapa pendapat
ini yang dijadikan sebagai pilihan; pertama, karena dalil-dalil yang
digunakan kuat dan jelas, serta jelas menunjukkan apa yang dimaksud. Kedua, sesuai
dengan pemahaman, perkataan, serta aplikasi dari para sahabat. Ketiga, pendapat
ini sejalan dengan ruh tasyri’ serta lebih sesuai dengan mashlahat.[73]
Dan pendapat ini juga yang dipilih oleh
penulis. Yang intinya mengakhirkan penerapan hudud hingga kembali ke wilayah
aman, atau hingga suasana menjadi kondusif. Karena pada dasarnya penerapan
hudud diakhirkan jika dengannya akan timbul kerusakan atau madharat yang
lebih besar. Sayyid Sabiq berkata,
“Rasulullah telah melarang penegakkan hudud ketika perang, karena dikhawatirkan
akan timbul hal-hal yang lebih buruk.”[74]
IV. APAKAH HUDUD DITEGAKKAN DI WILAYAH YANG
TELAH DIKUASAI OLEH MUJAHIDIN?
Menegakkan hudud merupakan kewajiban bagi
seorang imam yang tidak bisa ditawar lagi. Seandainya tidak ada imam, maka
kewajiban ini dibebankan kepada para ulama, cendekiawan, para pemuka kaum, serta
pemegang kekuasaan di wilayah tersebut. Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Jika
tidak ada seorang sulthan (imam), maka menjadi keharusan bagi para pemuka
(pemimpin) yang memegang kekuasaan sebagai ahlu al-halli wa al-aqdi
untuk menunjuk seorang hakim sebagai penegak hukum.”[75]
Sebagaimana yang telah disebutkan di awal,
bahwa pendapat yang lebih kuat adalah mengakhirkan penerapan hudud ketika
perang bagi pelaku kriminal hingga kembali ke wilayah Islam atau wilayah aman, serta
menunggu hingga suasana menjadi kondusif.
Secara umum, aplikasi dari pembahasan yang ada pada bab III
tadi mampu terealisasi
ketika adanya khilafah
atau negara Islam. Lalu, bagaimana sebenarnya aplikasi penegakkan hudud di wilayah konflik
dalam konteks kekinian-ketika tidak adanya Khilafah Islamiyah-? Apakah
sebuah kelompok atau jama’ah yang telah mampu mengontrol wilayah
tertentu, wajib mengaplikasikan hudud secara mutlak di wilayah
kekuasaannya?-sebagaimana yang terjadi di banyak tempat hari ini, seperti Suriah,
Libya, Yaman, Somalia, dsb-.
Para ulama Suriah yang tergabung dalam Haiah
as-Syam al-Islamiyah ketika ditanya tentang hal ini menyatakan bahwa untuk
sementara ini hudud tidak akan ditegakkan secara keseluruhan di wilayah-wilayah
yang telah dibebaskan oleh para mujahidin di Syam. Fatwa ini didasarkan pada
beberapa alasan:[76]
Pertama, belum tercapainya tamkin secara
sempurna di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan, serta terealisasinya
keamanan mutlak bagi para warga. Karena tamkin (kekuasaan) yang sempurna
inilah yang menjadi syarat wajibnya penegakan hudud. Selain itu, tanpa tamkin
yang sempurna dikhawatirkan penegakan had justru menimbulkan mafsadat
yang lebih besar.
Kedua, keadaan
negri Syam saat ini sedang dalam kondisi perang. Sedangkan pendapat yang
kuat dari para ulama, bahwa hudud tidak ditegakkan dalam suasana perang,
khawatir akan terjadi hal yang lebih buruk muncul setelah penegakannya.
Ketiga, Bahwasanya syari’at memerintahkan kita untuk sebisa
mungkin mencegah penerapan hukuman had bagi saudara sesama muslim.[77]
Dan kondisi masyarakat Syam saat ini menghajatkan hal tersebut. Baik karena
kondisi kehidupan masyarakat yang sangat sulit, maupun keadaan mereka yang
bodoh serta ketidak fahaman akan hukum-hukum syariat.
Berkata Imam Abdurrazak as-Shan’ani dari
Ibrahim an-nakha’i, “Cegahlah penerapan hudud dari kaum muslimin semampu
kalian, jika kalian mendapatkan alasan untuk mereka maka tinggalkanlah! Karena
sesungguhnya seorang hakim yang salah memaafkan, itu lebih baik daripada salah
dalam memberikan hukuman.”[78]
Keempat, Keadaan mayoritas kaum muslimin yang berada
dalam kungkungan kebodohan dalam waktu yang lama. Yang seandainya hudud
ditegakkan khawatir mereka justru akan lari dari Islam. Dikhawatirkan pula hal
ini dijadikan alat bagi musuh agar manusia ragu-ragu kemudian lari dari agamanya.
Karena ini pulalah, dahulu rasulullah tidak
menegakkan had bagi orang-orang munafik yang secara lahir terlihat baik.
Seandainya beliau menegakkan had atas setiap munafik, niscaya banyak Bangsa
Arab yang akan lari dari Islam.[79]
Kelima, Pada dasarnya penegakkan hudud wajib untuk
disegerakan. Namun, ia boleh diakhirkan jika dilihat akan muncul kerusakan (mafsadat)
setelah pelaksanaanya, dan hal ini bukan termasuk dari perbuatan menolak
syari’at.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jika setelah
ditegakkannya hudud muncul kerusakan yang lebih besar dari pada mashlahat
yang ingin diraih, maka hudud tidak dilaksanakan. Beliau berkata, “bahwa hudud
ditegakkan sesuai dengan kemampuan... jika tidak mampu melaksanakannya, maka
dilihat pilihan mana yang akan lebih menghasilkan kebaikan, dan mana yang lebih
bisa mencegah keburukan.”[80]
Secara umum, apa yang diutarakan oleh Haiah as-Syam
al-Islamiyah di atas bisa dijadikan sebagai pedoman serta pertimbangan bagi
penegakan hudud di berbagai daerah konflik yang ada hari ini, yakni di
wilayah-wilayah yang telah terkuasai oleh mujahidin atau berada di bawah aturan
Islam. Maka, apabila suasana dirasa telah kondusif dan tidak ada lagi
kekhawatiran akan munculnya madharat dan kerusakan yang lebih besar,
lebih utama untuk menyegerakan penegakan hudud. Sebagai bentuk realisasi dari perintah Allah yang terdapat pada nash-nash syar’i berkenaan tentang kewajiban menegakkan hudud.
V. KESIMPULAN
Pada
dasarnya, penegakkan hudud ketika perang dengan di wilayah perang adalah sama,
meski sekarang tidak ada yang dinamakan daerah Islam (Darul Islam) dan daerah
perang (Darul Harb). Karena subtansi dari pelaksanaan antara keduanya adalah
sama. Maka hari ini, yang disebut wilayah Islam adalah wilayah yang berada pada
kontrol kaum muslimin, sedangkan wilayah perang adalah wilayah musuh.
Diantara banyak pendapat para ulama berkenaan
tentang penegakan hudud ketika perang atau di wilayah perang, pendapat yang
lebih kuat adalah yang menyatakan pelaksanaan hudud ketika perang ditunda
hingga kembali ke daerah aman ataupun wilayah Islam. Adapun melaksanakan hudud
diwilayah yang telah terkuasai oleh kelompok Islam atau sudah berada di bawah
paying aturan Islam-namun masih dalam kondisi perang-, maka penegakkan hudud
didalamnya dikembalikan kepada tinjauan mashlahat
dan madharat. Yakni apakah mashlahat atau justru madharat
yang akan timbul setelah pelaksanaanya.
Syaikh Sulaiman al-Ulwan-seorang ulama
kontemporer masa kini- berkata, “Penegakkannya dikembalikan kepada pandangan imam atau
pemimpin kepada mashlahat dan mafsadat yang akan timbul. Jika
dilihat lebih baik untuk mengakhirkannya, maka diakhirkan penegakannya. Adapun
jika pemimpin melihat adanya mashlahat yang besar jika hudud tetap
ditegakkan, maka ia tetap ditegakkan.”[81]
DAFTAR PUSTAKA
- Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud
wa at-Ta’zirat ‘inda Ibnul Qayyim (Dar ‘Ashimah li an-Nasyr wa
at-Tauzi’, 1415 H)
- Ibrahim bin Fahd al-Wad’an, Qawaid wa
Dhawabith Uqubat al-Hudud wa at-Ta’zir (Riyadh: Universitas Naif Arab,
1428 H, Sebuah Disertasi)
- Abdul Aziz bin
Abdurrahman, ‘Ilmu Maqashid as-Syari’ (Riyadh, cet 1, 2002M)
- Taqiyuddin Abu
Bakr ad-Dimasyqi, Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar
(Damaskus: Dar al-Basyair, 2001 M
- Al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait: Dar as-Salasil, 1427 H)
- Ibrahim Musthafa dkk, al-Mu’jam al-Wasith (Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyyah)
- Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka,
2003 M)
- Sayyid Sabiq, Fiqh
as-Sunnah (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1392 H)
- Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud
wa at-Ta’zirat ‘inda Ibnul Qayyim (Dar ‘Ashimah li an-Nasyr wa
at-Tauzi’, 1415 H)
- Abu Malik Kamal, Shahih
Fiqh Sunnah (Mesir: al-Maktab at-Tauqifiyyah)
- Ibnu Mandzur, Lisan
al-Arab (Beirut: Dar Shadir)
- Moh Kasim Bakri, Hukum Pidana Dalam
Islam (Solo: CV Ramadhani, 1986 M)
- Al-Jurjani, Mu’jam
at-Ta’rifat (Kairo: Dar al-Fadhilah)
- DR Wahbah
az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr,
1405 H)
- Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad, alih
bahasa: Irfan Maulana dkk. (Bandung: Mizan Pustaka, 2010 M)
- Adil bin Yusuf
al-Azzazi, Tamam al-Minnah fi Fiqh al-Kitab wa Shahih as-Sunnah
(Iskandariyah: Dar al-Aqidah, 2009 M)
- Abu Daud
as-Sijistani, Sunan Abu Daud, tahqiq: Muhammad Muhyiddin Abdul
Hamid (Beirut: Dar al-Fikr)
- Muslim bin
Hajjaj, Shahih Muslim, Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut:
Dar Ihya at-Turats al-Arabi)
- Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh
‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1410 H)
- Ibnu Qudamah, al-Mughni (Kairo:
Hajr li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi wa al-I’lam, 1413 H)
- Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra
(Makkah: Maktabah Dar al-Baz)
- Ibnu Qudamah, al-Syarh
al-Kabir (Dar al-Kutub al-Arabi li an-Nasyr wa at-Tauzi’)
- Asy-Syafi’i, al-Umm (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1393 H)
- Al-Albani, as-Silsilah as-Shahihah (Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif) versi Syamilah
- Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Nail al-Authar (Mesir:
Dar al-Hadist, 1413 H)
- Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat
al-Ahwadzi (Kairo: Dar al-Hadist, 1421 H)
- Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, tahqiq:
Thaha Abdu ar-Rauf Sa’ad (Beirut: Dar al-Jail)
- Kamaluddin as-Siwasi, Syarh Fath
al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) versi Syamilah
- ‘Alauddin al-Kasani, Badai’ as-Shanai’ (Beirut: Dar
al-Kitab al-Arabi, 1982 M)
- Akmaluddin
Muhammad al-Babarti, al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, versi Syamilah
- Ali bin Nayef
asy-Syuhud, al-Mufashal fi ar-Radd ‘ala Syubhat A’da al-Islam,
versi Syamilah
- Said bin Manshur, Sunan Said bin
Manshur (India: ad-Dar as-Salafiyah, 1403 H)
- Muhammad al-Abadi, ‘Aun al-Ma’bud
Syarh Sunan Abu Daud (Beirut: Dar al-Fikr, 1979 M)
- Abu Isa at-Tirmidzi, Jami’ at-Tirmidzi
(Riyadh: Dar as-Salam li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1420 H)
- Musthafa Syalbi, Ta’lil al-Ahkam
(cet al-Azhar, 1937 H)
- Abu al-Qasim al-Khiraqi, Mukhtashar
al-Khiraqi (Damaskus: al-Maktab al-Islami, 1384 H)
- Ibnu Abi Syaibah, al-Kitab fi
al-Mushannaf fi al-Ahadist wa al-Atsar (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd,
1409 H)
- Ibnu at-Turkmani, al-Jauhar an-Naqi, versi Syamilah
- Ibnu Qudamah, Raudhah an-Nazhir wa
Jannah al-Manazhir (Riyadh: Universitas Imam Muhammad bin Su’ud, 1399
H)
- Ibnu Hajar
al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj (Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah)
- Abdurrazak as-Shan’ani, al-Mushannaf
(India: al-Majlis al-Ilmi, 1403 H)
- Ibnu Taimiyyah, as-Sharim al-Maslul
‘ala Syatim ar-Rasul (Beirut: Dar Kitab al-‘Arabi, 1996 M)
- Ibnu Taimiyah, al-Istiqamah, tahqiq:
DR. Muhammad Rasyad Salim (Madinah: Universitas Imam Muhammad bin Su’ud,
1403 H)
- http://islamicsham.org/fatawa/1423
- https://www.youtube.com/watch?v=OxhbFr74Tco
- Wikipedia
Ensiklopedi Bebas Bahasa Indonesia Offline KIWIX
[2] Ibrahim bin Fahd al-Wad’an, Qawaid wa Dhawabith Uqubat al-Hudud
wa at-Ta’zir (Riyadh: Universitas Naif Arab, 1428 H, Sebuah Disertasi) hlm
123
[3] Taqiyuddin Abu Bakr ad-Dimasyqi, Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat
al-Ikhtishar (Damaskus: Dar al-Basyair, 2001 M) cet 9 hlm 562
[6] Ibrahim
Musthafa dkk, al-Mu’jam
al-Wasith (Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyyah) vol 1 hlm 160. Lihat juga: Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Arabi, 1392 H) cet 2 vol 2 hlm 355. Lihat juga: Bakr bin Abdullah Abu
Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat ‘inda Ibnul Qayyim (Dar ‘Ashimah li
an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1415 H) hlm 21
[13] Silahkan
lihat: ‘Alauddin al-Kasani, Badai’ as-Shanai’ (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1982 M) vol 7 hlm 56
[14] DR Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Damaskus: Dar
al-Fikr, 1405 H) cet 2 vol 6 hlm 12
[16] Yusuf
Qardhawi, Fiqih Jihad, alih bahasa: Irfan Maulana dkk. (Bandung: Mizan
Pustaka, 2010 M) hlm IXXVII
[18] Ahmad bin Muhammad al-Muqri’, al-Misbah al-Munir Mu’jam ‘Arabi (Beirut:
Maktabah Lubnan, 1987) hlm 49
[21] Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh … vol 4 hlm 5. Lihat juga: Adil bin
Yusuf al-‘Azzazi, Tamam al-Minnah fi Fiqh al-Kitab wa Shahih as-Sunnah
(Iskandariyah: Dar al-Aqidah, 2009 M) cet 2 vol 4 hlm 490
[24] Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abu Daud, tahqiq: Muhammad Muhyiddin
Abdul Hamid (Beirut: Dar al-Fikr) vol 2 hlm 329 hadist no 3597, shahih.
[25] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul
Baqi (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi) vol 3 hlm 1311 hadist no 1688
[27] Ibid hlm 21.
Para ulama masih berselisih pendapat tentang
pelanggaran apa saja yang masuk dalam kategori hudud, dan mana yang
tidak. Lebih lengkapnya silahkan lihat Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh
‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1410 H) vol 5
hlm 12-13
[28] Ibrahim bin
Fahd al-Wad’an, Qawaid wa Dhawabith Uqubat al-Hudud wa at-Ta’zir (Riyadh:
Universitas Naif Arab, 1428 H, Sebuah Disertasi) hlm 128-132 (dengan sedikit
perubahan pada urutan pendapat oleh penulis). Juga: Abu Malik Kamal, Shahih
Fiqh… vol 4 hlm 17-19
[29] Ibnu Qudamah,
al-Mughni (Kairo: Hajr li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi wa al-I’lam,
1413 H) vol 13 hlm 173. Juga: Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah…
vol 20 hlm 209
[30] Asy-Syafi’i, al-Umm
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H) vol 7 hlm 248. Ini adalah pendapat
madzhab Syafi’i secara umum, meskipun ada beberapa ulama Syafi’iyah yang
menyatakan bahwa hudud tetap ditegakkan di daerah perang apabila imam atau
pemimpin wilayah tersebut menyertai pasukan. Adapun jika tidak, maka hudud
diakhirkan penegakannya hingga kedatangan imam. Hudud juga bisa diakhirkan jika
kaum muslimin memutuhkan si pelanggar (mahdud ) lihat: Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa
at-Ta’zirat... hlm 67
[31] Al-Baihaqi, Sunan
al-Baihaqi al-Kubra (Makkah: Maktabah Dar al-Baz) vol 9 hlm 103
[32] Bakr bin
Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat... hlm 67
[33] Ibnu Qudamah, al-Mughni... vol 13 hlm
173. Lihat juga: Ibnu
Qudamah, al-Syarh al-Kabir (Dar al-Kutub al-Arabi li an-Nasyr wa
at-Tauzi’) vol 10 hlm 151
[34] Asy-Syafi’i, al-Umm...
vol 7 hlm 274
[35] HR Ahmad no
21641, 21713, dan 21730 dishahihkan oleh al-Albani. Lihat: al-Albani,
as-Silsilah as-Shahihah (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif) vol 4 hlm 620
hadist no 1972 (versi Syamilah)
[36] Muhammad bin
Ali ay-Syaukani, Nail al-Authar (Mesir: Dar al-Hadist, 1413 H) vol 7 hlm
164. Juga: Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi (Kairo:
Dar al-Hadist, 1421 H) vol 4 hlm 378
[37] Diantarany
adalah Umar bin al-Khattab, Abu Darda’, Hudzaifah bin al-Yaman, Sa’ad bin Abi
Waqqas, dan Busr bin Abi Artha’ah radhiallahu ‘anhum ajma’in.
[39] Ibrahim bin
Fahd al-Wad’an, Qawaid wa Dhawabith.. hlm 130
[40] Ibnu
al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, tahqiq: Thaha Abdu ar-Rauf Sa’ad
(Beirut: Dar al-Jail) vol 3 hlm 7
[41] Ibid
[42] Ibnu Qudamah,
al-Mughni... vol 13 hlm 173
[43] Asy-Syafi’i, al-Umm...
vol 7 hlm 354
[44] Abu Malik
Kamal, Shahih Fiqh… vol 4 hlm 17
[45] ‘Alauddin
al-Kasani, Badai’ as-Shanai’... vol 7 hlm 131. Juga:
Kamaluddin as-Siwasi, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) vol 5
hlm 266 (versi Syamilah)
[46] Hadist ini
tidak jelas asal-usulnya. Ibnu al-Hammam al-Hanafi berkata, “Keberadaanya tidak
diketahui.” Lihat Kamaluddin as-Siwasi, Syarh Fath al-Qadir... vol 5 hlm
266 (versi Syamilah)
[48] Bakr bin
Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat... hlm 62-63
[49] Shahih. Lihat:
Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf fi al-Ahadist wa al-Atsar (Riyadh:
Maktabah ar-Rusyd, 1409 H, cet 1) vol 6 hlm 550 no 33746. Juga: Said bin
Manshur, Sunan Said bin Manshur (India: ad-Dar as-Salafiyah, 1403 H, cet
1) vol 2 hlm 235 no 2502
[50] Bakr bin
Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat... hlm 60-61
[51] Ali bin Nayef asy-Syuhud, al-Mufashal fi ar-Radd ‘ala Syubhat A’da
al-Islam vol 3 hlm 262 (versi Syamilah)
[52] Asy-Syafi’i, al-Umm...
vol 7 hlm 354
[53] Muhammad
al-Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud (Beirut: Dar al-Fikr, 1979
M) vol 12 hlm 83. Juga: Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat
al-Ahwadzi... vol 4 hlm 378
[54] HR Tirmidzi no
1450, ad-Darimi no 2488. Diriwayatkan juga oleh Abu Daud (no 4408) dan Nasa’i
(no 4994) dengan lafal (في سفر).
[55] Muhammad
Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi... vol 4 hlm 378
[56] Lebih
lengkapnya silahkan lihat: Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa
at-Ta’zirat... hlm 47-52
[57] Abu Isa
at-Tirmidzi, Jami’ at-Tirmidzi (Riyadh: Dar as-Salam li an-Nasyr wa
at-Tauzi’, 1420 H) cet 1 hlm 352
[58] Ibrahim bin
Fahd al-Wad’an, Qawaid wa Dhawabith.. hlm 132
[59] Ibnu
al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in... vol 3 hlm 5
[61] Musthafa
Syalbi, Ta’lil al-Ahkam (cet al-Azhar, 1937 H) hlm 37
[63] Al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah… vol 20 hlm 209-210
[64] Bakr bin
Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat... hlm 40. Juga: Ibnu
al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in... vol 3 hlm 5. Lihat juga: Muhammad
Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi (Kairo: Dar al-Hadist,
1421 H) vol 4 hlm 377. Juga: Kamaluddin as-Siwasi, Syarh Fath al-Qadir... vol
5 hlm 267 (versi Syamilah)
[65] Abu al-Qasim
al-Khiraqi, Mukhtashar al-Khiraqi (Damaskus: al-Maktab al-Islami, 1384
H) hlm 305. Lihat juga: Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in... vol 3 hlm
6
[66] Hasan karena
diriwayatkan dari beberapa jalur. Dikeluarkan: Sa’id bin Manshur, Sunan
Sa’id bin Manshur (India: ad-Dar as-Salafiyah, 1403 H) vol 2 hlm 235 no
2500. Juga: Ibnu Abi Syaibah, al-Kitab fi al-Mushannaf fi al-Ahadist wa
al-Atsar (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1409 H) vol 5 hlm 549 no 28861.
[67] Sanadnya
Dha’if. Dikeluarkan: Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id bin Manshur... vol 2
hlm 234
[68] Asy-Syafi’i, al-Umm...
vol 7 hlm 354
[69] Shahih.
Dikeluarkan: Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id bin Manshur... vol 2 hlm
235. Juga: Ibnu Abi Syaibah, al-Kitab fi al-Mushannaf fi al-Ahadist wa
al-Atsar... vol 5 hlm 549. Lihat juga: Ibnu at-Turkmani, al-Jauhar
an-Naqi, vol 9 hlm 105
[70] Bakr bin
Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat... hlm 56
[71] Ibnu Qudamah,
al-Mughni... vol 13 hlm 173
[72] Ijma’ Sukuti: Yakni sebagian mujtahid mengemukakan
pendapatnya tentang hukum dari sesuatu, sedangkan yang lain hanya diam dan
tidak berkomentar yang mana hal ini menunjukkan persetujuan mereka. Lihat: Ibnu Qudamah, Raudhah
an-Nazhir wa Jannah al-Manazhir (Riyadh: Universitas Imam Muhammad bin
Su’ud, 1399 H) hlm 151
[76] http://islamicsham.org/fatawa/1423
[77] Sebagaimana sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (HR
Tirmidzi no 1344):
ادْرَءُوا
الْحُدُودَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا
سَبِيلَهُ
[78] Abdurrazak
as-Shan’ani, al-Mushannaf (India: al-Majlis al-Ilmi, 1403 H) cet 2 vol
10 hlm 166 no 18698
[79] Ibnu
Taimiyyah, as-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul (Beirut: Dar Kitab
al-‘Arabi, 1996 M) cet 1 hlm 369
[80] Ibnu Taimiyah,
al-Istiqamah, tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim (Madinah: Universitas
Imam Muhammad bin Su’ud, 1403 H) vol 2 hlm 168
[81]
https://www.youtube.com/watch?v=OxhbFr74Tco
0 komentar:
Posting Komentar