Oleh: Afin
Muhyiddin bin Muttaqin bin Marwah Mu’ti
I.
PENDAHULUAN
Salah satu kejahatan yang banyak terjadi dan merajalela dalam
kehidupan sosial masyarakat bangsa Indonesia saat ini adalah suap-menyuap. Suap
bagaikan penyakit menular yang sangat ganas, yang sudah menjalar dan menular ke
berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Fakta memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat cenderung
mempraktekkan suap untuk mempermudah segala urusan. Bagi kelompok ini,
seolah-olah tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan lewat suap[2]. Suap
masih dianggap sebagai hal yang wajar, lumrah dan tidak menyalahi aturan. Suap
terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Praktek suap-menyuap salah satu penyakit sosial yang semakin hari
semakin kronis menggejala di Indonesia. Jika kita lihat sejarah, merebaknya
perilaku suap dalam kehidupan masyarakat saat ini sebenarnya bukan merupaka hal
yang baru , akan tetapi sudah mewarnai kehidupan sosial generasi tempo dulu dan
bahkan sudah dikenal pada masa Nabi Sulaiman dan pra kerasulan Muhammad[3].
Meskipun sudah ada sejak lama, undang-undang tindak pidana suap di
Indonesia baru muncul pada tahun 1980. Bermula dari adanya peristiwa penyuapan
di kalangan olahraga (sepak bola) yang ramai dibicarakan masyarakat pada waktu
itu yang kemudian melahirkan UU No.11 tahun 1980 tentang tindak pidana suap(LN
tahun 1980 No.58) yang disahkan dan mulai berlaku pada 27 Oktober 1980[4]. Namun
dalam undang-undang ini terdapat batasan terhadap tindak pidana suap, yaitu
menyangkut kepentingan umum[5],
jadi praktik suap yang bersifat individual tidak dapat dipidana.
Praktek suap yang sudah terjadi sejak lama dan dibiarkan terjadi
secara terus-menerus membuat suap menjadi tindakan yang seolah-olah dibenarkan.
Bahkan masyarakat menganggap suap
sebagai hal yang dibenarkan. Sudah menjadi rahasia umum bila masyarakat pada
masa kini masih beranggapan, untuk menjadi pegawai negeri sipil atau anggota
TNI/Polri selalu harus disertai dengan suap yang bernilai hingga puluhan juta
rupiah. Dengan semakin sempitnya kesediaan lapangan kerja , anggapan ini juga
merambah ke sektor swasta dan menyentuh
kelas masyarakat ekonomi paling bawah. Maka dari itu, bagaimana Islam memandang
masalah suap ini?
II.
DEFINISI
Secara Bahasa "upah” yaitu apa-apa yang yang diberikan untuk
menyelesaikan masalah dan jama’nya adalah رُشًا و رِشًا.[6]
Secara istilah adalah pemberian sesuatu dengan
tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil.[7]
Al-Fayyumi rahimahullah mengatakan
bahwa suap secara terminologi berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada
hakim atau selainnya untuk memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia
inginkan.[8]
Ibnu al-Atsir rahimahullah mengatakan
bahwa suap ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan
cara yang dibuat-buat (tidak semestinya).[9]
Dari beberapa pengertian diatas, bisa kita
simpulkan bahwa suap adalah harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu
kepentingan manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari
kerugian atau bahaya) yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.
Atau bisa juga kita katakan, suap ialah
pemberian apa saja berupa uang atau yang lain kepada penguasa, hakim, atau
pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara
yang batil.
III.
DALIL SUAP
DALAM NASH SYAR’I
Dalam hukum
Islam, berdasarkan beberapa nash al-Qur’an dan sabda Rasulullah mengisyaratkan
dan menegaskan bahwa suap adalah suatu yang diharamkan di dalam syariat, bahkan
termasuk dosa besar. Ada beberapa dalil yang mendasarinya yaitu:
1.
Dari al-Qur’an
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا
مِنْ أَمْوَال النَّاسِ بِالإْثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah
kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah
kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian
daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.”[10]
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ
لِلسُّحْتِ
“Mereka adalah
orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.”[11]
Imam al-Hasan
dan Said bin Zunair mengomentari ayat ini dengan mengatakan bahwa makna “akkaluuna
lissuht” yaitu suap, karena suap identik dengan memakan harta yang
diharamkan.
Dalam kitab
tafsir al-Qurtubi, makna surah al-Maidah ayat 42 menyebutkan , setiap daging
dari barang yang haram (ashuht) nerakalah yang paling layak untuknya.Sahabat
bertanya,”Wahai Rasulullah, apa barang haram yang dimaksud itu?Rasulullah
menjawab,”Suap dalam perkara hukum.”
2.
Dari as-Sunnah
Selain itu ada
banyak sekali dalil dari sunnah yang mengharamkan suap dengan ungkapan yang
sharih dan dhahir. Misalnya hadits berikut ini:
لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ - وَفِي رِوَايَةٍ
زِيَادَةُ – وَالرَّائِشَ
“Rasulullah
melaknat penyuap, yang menerima suap, dan perantaranya.[12](H.R
Ahmad)
IV.
BENTUK-BENTUK
SUAP
Para ulama'
membagi bentuk-bentuk suap (risywah)
sebagai berikut:
1.Suap dalam
penegakan hukum:adalah yang paling berbahaya dalam tatanan masyarakat. Karena dengan risywah
ini orang-orang bejat begitu leluasa merampas hak orang lain melalui sidang di
pengadilan. Dan melalui risywah jenis ini tindak kejahatan perampasan hak orang
lain mendapat pengesahan dari badan hukum dan dilindungi oleh negara.
Risywah jenis
ini telah menghancurkan kehidupan umat yahudi sehingga Allah mencela mereka di
dalam al-qur'an:
وَتَرَى كَثِيْرُامِنْهُمْ يُسَارِعُوْنَ
فِيْ الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتُ
"Dan kamu
akan melihat banyak diantara mereka (orang yahudi) berlomba dalam
berbuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram.”[13]
Ibnu jarir ath-thabari menafsirkan ayat
diatas, ia berkata,"Allah telah menjelaskan sifat-sifat orang-orang yahudi
dalam ayat ini, mereka begitu semangat untuk beruat dosa dan menentang Allah. Mereka
bersegera melanggar ketentuan Allah, mereka memakan harta haram melalui sogok
yang mereka terima dalam penegakan hukum, sehingga mereka memutuskan suatu
perkara berbeda dengan hukum Allah.[14]
2.Suap
penerimaan dan pengangkatan calon pegawai
Kepala negara
dan kepala daerah telah diberi amanah oleh rakyat untuk mengemban tugas membawa
masyarakat kepada kemajuan dunia dan akhirat. Para pemimpin ini, tentu tidak
mampu melakukan tugas yang begitu besar sendirian. Dia membutuhkan para
pembantu yaitu para menteri dan setiap menteri dibantu oleh ribuan para staf di
departemen atau di kementeriannya.
Maka menjadi
sebuah kewajiban bagi para pemimpin tersebut untuk mengangkat orang-orang yang
terampil bekerja dan bersifat jujur sebagai pembantu mereka dalam menjalankan
tugas yang telah diamanahkan diatas pundak mereka disetiap jajaran, mulai dari
menteri hingga pegawai golongan terendah.
Bila hal ini
mereka abaikan, mereka mengangkat para pembantunya berdasarkan kekerabatan,
tawaran politik, dan sogok yang diberikan oleh setiap calon pegawai, ini jelas
sebuah pengkhianatan..
Padahal Allah
telah mewajibkan setiap muslim menjalankan amanah yang baik dan menyampaikan
kepada yang berhak. Allah berfirman surat an-nisa' ayat 58:
“Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil.Sungguh Allah sebaik-baik yang memberikan pengajaran
kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar maha melihat.”
Dan tindakan tersebut merupakan
penipuan terhadap rakyat yang dipimpinnya. Dan Nabi
mengancam pemimpin yang menipu rakyatnya tidak akan masuk surga. Nabi bersabda:
ما من وال يلى رعيّة من
المسلمين,فيموت وهو غاش لهم,إلاّ حرّم الله عليه الجنّة
"Setiap
pemimpin yang memimpin rakyatnya yang beragama Islam, lalu ia wafat dan dia
menipu rakyatnya niscaya Allah mengharamkan ia masuk jannah.(HR.al-Bukhari)[15]
Dan yang pasti, proses pengangkatan
pegawai yang diwarnai proses sogok-menyogok akan berakibat munculnya para
pekerja yang tidak terampil dalam bekerja. Hal ini termasuk menyerahkan
pekerjaan kepada yang bukan ahlinya. Yang berakhir dengan sebuah kehancuran,
sebagaimana sabda Nabi:
إذا وسّد الأمر إلى غير أهله فانتظر
السّاعة
"Apabila
sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah
menghadapi hari kiamat."(HR.al-Bukhari)[16]
3.
Hadiah dari calon anggota legislatif
saat kampanye.[17]
Seseorang yang
mencalonkan diri dalam pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat ataupun dalam pemilihan kepala Negara
dan kepala daerah sering membagi-bagikan hadiah kepada rakyat yang akan
memilihnya. Hadiah ini termasuk juga suapDalam bentuk apapun hadiah yang
diberikan baik berupa: uang, bahan makanan pokok, baju kaos, atau cendera mata
yang lainnya.
Hakikat suap
bentuk ini adalah kebalikan dari suap yang diberikan calon pegawai kepada
panitia ang akan menerimanya. Yaitu: rakyat yang akan memilihnya adalah sebagai
penerima suap dan calon DPR adalah sebagai pemberi suap dan partai serta tim
sukses pengusung calon tersebut adalah sebagai perantaranya, kesemuanya terkena
laknat dan dosa praktek suap.
V.
DAMPAK DARI SUAP
Suap merusak dan
menghancurkan tatanan masyarakat, menghambat pertumbuhan ekonomi serta kemajuan
sebuah negara. Hak-hak orang lemah, fakir, dan miskin akan tertindas dan
tergilas pada masyarakat yang dipenuhi suap. Tanah warisan yang dimiliki
masyarakat kecil secara turun temurun sering dirampas oleh orang-orang yang
mengerti celah-celah hukum dan menyuap para penegak hukum.Ini jelas kedhaliman
yang besar.
Masyarakat dari
kalangan bawah yang tidak memiliki uang pelicin bila datang ke pusat-pusat
pelayanan masyarakat yang disediakan oleh pemerintah (yang notabene para
pelayan masyarakat tersebut ((aparatur negara)) digaji dari uang rakyat) tidak
akan mendapatkan layanan sebagaimana mestinya.[18]
Sumber daya
manusia yang merupakan aset utama untuk kemajuan suatu negara akan diacuhkan,
karena orang-orang yang memiliki kecakapan tertentu tidak mau atau tidak
memiliki biaya untuk menyuap para panitia penerima calon pegawai negeri maupun
swasta. Maka tidak jarang putra-putra terbaik dari sebuah bangsa pemakan suap
yang dipinggirkan oleh oleh negaranya akibat tidak mampu menyuap, ditarik oleh
negara-negara yang menghargai nilai seorang manusia. Pada saat itu semakin
hancur dan dekatlah kiamat datang di negara pemakan suap karena pekerjaan
diserahkan kepada orang-prang yang bukan ahlinya.[19]
Barang-barang
seluruh kebutuhan di negara pemakan suap sangatlah mahal, karena proses sebuah
barang dari produsen hingga sampai ke tangan penggunanya melewati meja-meja yang
harus diletakkan amplop berisi uang untuk pemakan suap. Jangan dipikir bahwa
suap yang diberikan oleh para pengusaha untuk para pejabat tersebut mereka
bayar dari hasil keringatnya dan merugikan mereka, tidak. Akan tetapi, uang
suap itu mereka masukkan dalam biaya produksi. Dengan demikian, maka yang akan
membayar suap yang diberikan pengusaha tersebut kepada para aparat hakikatnya
adalah rakyat banyak sebagai pengguna akhir sebagai barang yang membayarnya. Kalau
tidak demikian, dapat dipastikan semua pengusaha akan rugi dan itu berbeda
dengan kenyataan.
Hal tersebut tentu turut memberikan andil
menaikkan tingkat inflasi dan menambah jumlah rakyat yang hidup dibawah garis
kemiskinan.
Hasil produksi
tanaman, perkebunan, dan pertanian di negara pemakan suap kalah bersaing dari
negara yang bersih dari para pemakan suap, karena para eksportir di negara para
pemakan suap harus membayar uang pelicin yang mereka masukkan ke dalam nilai
jual hasil pertanian tersebut sehingga harga barang ekspor menjadi naik dan
kalah bersaing dengan negara yang bersih.[20] Dan
terhambatnya proses ekspor hasil pertanian dari dalam negara pemakan suap tentu
akan berdampak kepada kehancuran harga
hasil pertanian pada saat musim panen raya karena hasil panen melebihi
kebutuhan domestik. Dan itu tentu akan merugikan para petani kecil.
Banyak beredar
makanan dan obat-obatan yang tidak memenuhi standart kesehatan, kadaluwarsa dan
tidak layak dikonsumsi di negara para pemakan suap. Ini dikarenakan para
pedagang atau importir tahu celah untuk
mengakali pihak pengawas dan penyidik, cukup dengan salam tempel barang
dagangan mereka dapat diperjual belikan dinegara secara bebas.
Harga nyawa
seorang anak manusia terlalu murah dinegara pemakan suap. Orang tua yang
membesarkan anaknya denga penuh cinta, kasih, dan biaya yang tidak sedikit.,
lalu karena hal yang sepele nyawa anaknya melayang dibunuh orang. Setelah
pembunuhnya tertangkap (yang seharusnya
nyawa dibalas dengan nyawa) pembunuh tersebut dipenjarakan beberapa puluh
tahun.Akan tetapi baru berselang beberapa bulan pembunuh tersebut telah
menghirup udara bebas, karena keluarganya tahu bahwa ia hidup di negara pemakan
suap hanya dengan uang ( yang jauh tidak sebanding dengan biaya makan korban
yang dibunuh dari masa bayi sampai pada waktu ia terbunuh) pembunuh tersebut bebas. Dan sangat banyak
lagi dampak-dampak negatif suap terhadap
pribadi, masyarakat, dan Negara.
Oleh karena
itu, Islam sebagai agama yang menjadi
rahmat bagi alam semesta telah mengharamkan suap dan memasukkan
perbuatan ini kedalam dosa besar serta mengutuk setiap individu yang terlibat
dengan suap, pemberi, perantara, dan penerima. Allah telah melarang tegas
perbuatan menyogok dan memakan suap
serta perantaranya Allah berfirman al-baqarah ayat 188
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا
مِنْ أَمْوَال النَّاسِ بِالإْثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah
kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah
kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian
daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.”
Dalam ayat
tersebut Allah melarang tegas memberikan suap kepada penegak hukum agar pemberi
souap dimenangkan dalam perkara dan mendapatkan harta orang lain. Dengan
demikian dia memakan harta orang lain dengan cara yang batil dan cara berdosa[21]. Dan
Rasulullah
mengutuk, mendoakan agar orang-orang yang yang terlibat dalam proses suap
dijauhkan dari rahmat Allah.Nabi bersabda dalam riwayat ahmad
لعن النبي صلّى الله عليه وسلّم
الرّاشي والمرتشي والرائش
"Nabi
mengutuk orang yang memberikan suap, orang yang menerima suap, dan orang yang
menjadi perantara dalam proses suap-menyuap."[22]
Karena
suap-menyuap jelas merupakan perbuatan dzalim(baghy) dan melanggar hak orang
lain yang tidak membayar suap, maka pelaku suap-menyuap diancam dengan azab
Allah didunia dan di akhirat mendapat siksa yang lebih berat.
Diriwayatkan
dari Abi bakrah bahwa Nabi bersabda
ما من ذنب أجدر أن يعجّل الله تعالى
لصاحبه العقوبة في الدنيا مع ما يدّخر له في الأخرة مثل البغي وقطيعة الرحم
"Tidak ada
dosa yang lebih pantas disegerakan Allah menurunkan azabNya terhadap pelaku
dosa di dunia di samping azab yang disediakan Allah di akhirat, selain dosa
baghy( menzalimi serta melanggar hak orang lain) dan memutus hubungan
kekerbatan."HR.Abu daud
Maka tak
menampik kemungkinan, bahwa bencana yang silih berganti menimpa negara pamakan
suap diakibatkan oleh tindakan para penduduk negeri itu yang telah menganggap
kejahatan suap-menyuap sebagai perbuatan halal dan suap-menyuap merupakan bagian administrasi yang harus dijalankan.
VI.
SUAP YANG
DIPERBOLEHKAN
Seorang muslim
yang hidup ditengah masyarakat pemakan suap, sangat susah baginya mendapatkan
hak-haknya bila tidak memberikan suap. Para ulama berbeda dalam hal
ini:Pendapat pertama tetap berdosa sebagaimana hadits-hadits yang mengharamkan
suap yang dengan demikian dalam kondisi apapun haram hukumnya memberikan suap.[23]
Pendapat kedua ulama
memperbolehkan penyuapan yang dilakukan oleh seseorang untuk memdapatkan
haknya, karena dia dalam kondisi yang benar dan mencegah kedzaliman terhadap
orang lain. Dalam hal seperti itu, dosanya tetap
ditanggung oleh orang yang menerima suap.[24]
Ibnu Abidin(ulama bermadzhab hanafi) berkata,”Suap ada empat bentuk[25]….bentuk
yang keempat:suap yang diberikan untuk menolak kedzaliman pada diri dan
hartanya dari orang penerima suap, suap jenis ini halal bagi pemberi dan tetap
haram bagi penerima.”[26]
Ar-Ramli(ulama bermadzhab syafii)berkata,”Adapun orang yang mengetahui
bahwa hartanya akan diambil dengan cara yang batil kecuali ia memberikan suap,
maka ia tidak berdosa memberikan suap.”[27]
Ibnu Qudamah(ulama bermadzhab hanbali)berkata,”Jika seseorang memberikan
suap untuk menolak kedzaliman terhadap dirinya…diriwayatkan dari beberapa
tabi’in, seperti Atha’ dan Hasan al-Bashri bahwa hal tersebut diperbolehkan.”[28]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,”Tentang memberikan uang suap,
jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangka perkaranya padahal dia
bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan
realita,maka memberi suap hukumnya
haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah
haram sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.”[29]
VII.
PERBEDAAN SUAP
DENGAN HADIAH
Apabila dilihat
dari segi isensi risywah atau suap yaitu pemberian dalam Bahasa arab
disebut athiyyah. Dalam Islam ada beberapa istilah yang memiliki
keserupaan “risywah dengan athiyyah” diantara hal-hal tersebut adalah:
·
Hadiah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang sebagai
penghargaan atau”ala sabilil ikram.” Perbedaannya dengan suap ialah jika
suap diberikan dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, sedangkan
hadiah diberikan dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa kasih sayang. Dalil
tentang hadiah sabda Rasulullah yang berarti,”Saling memberi hadiahlah kalian,
niscaya kalian akan saling mencintai.(H.R Bukhari)[30]
Perbedaan suap
dan hadiah lainnya:
1.
Suap adalah pemberian yang
diharamkan syariat, sedangkan hadiah merupakan yang dianjurkan syariat.
2.
Suap diberikan dengan satu syarat
yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung, sedang hadiah diberikan
secara ikhlas tanpa syarat.
3.
Suap diberikan untuk mencari muka
dan mempermudah hal yang bathil, sedang hadiah untuk silaturrahim dan kasih
sayang.
4.
Suap dilakukan secara sembunyi-sembunyi
berdasarkan tuntut-menuntut, biasanya diberikan dengan dengan berat hati,
sedang hadiah diberikan atas sifat kedermawanan.
5.
Biasanya suap diberikan sebelum
suatu pekerjaan, sedang hadiah setelahnya.
·
Hibah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa
mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu. Dan jika
menghibahkan suatu barang kepada saudaranya muslim dengan cara umra’[31]
atau ruqba[32],
maka barang itu menjadi milik orang yang diberi, kemudian untuk ahli warisnya
setelah kematiannya. Adapun perbedaannya dengan suap ialah bahwa pemberi suap
memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu, sedangkan
pemberi hibah memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu.
·
Shadaqah ialah pemberian yang diberikan kepada seseorang karena
mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah, seperti halnya dengna zakat dan
infak. Perbedaannya dengan suap ialah bahwa seseorang yang bershadaqah, ia
memberikan sesuatu hanya karena mengharapkan pahala dan keridhaan Allah semata,
sedangkan suap ada unsur kepentingan dan tujuan
dibalik pemberian itu.
VIII.
SOLUSI UNTUK
MENCEGAH TERJADINYA SUAP
Terapi Islam
dalam mengatasi kejahatan suap bertumpu pada himpunan langkah persuasive
sebagai berikut:
1.
Penanaman dan penumbuhan nilai-nilai
keimanan, diantaranya peraaan selalu diawasi oleh Allah.
2.
Penempatan nilai-nilai moral yang
bertumpu pada perasaan bahwa kerja adalah ibadah,kepercayaan, tanggung jawab,
kemuliaan,kehormatan, dan keluhuran.[33]
3.
Penguatan komitmen untuk berperilaku
lurus dan benar.Dan manifestasi hal tersebut adalah tolong-menolong dalam
kebajikan dan ketakwaan, empati terhadap sesama manusia, serta komitmen bahwa
sesame muslim adalah bersaudara sehingga ia tidak boleh mendzaliminya.[34]
4.
Pembangunan sistem pengawasan aktif
untuk memantau kerja pelayanan publik dan untuk memastikan bahwa setiap orang
telah menjalankan pekerjaannya sesuai syariat Allah dan undang-undang sipil
yang parallel dengan syariat Allah, dan sistem hisbah dalam Islam
merupakan salah satu model pengawasan birokrasi pemerintahan yang patut
dicontoh.
5.
Penerapan sistem reward dan punishment
yang mengacu pada rasa keadilan dan persamaan perlakuan, tanpa membeda-bedakan
antara seorang menteri dengan menteri lainnya, juga antara orang kaya dan
miskin.Semua orang harus didudukkan sama dihadapan hukum(terlebih syariat
Allah).
6.
Prosedur pengurusan jangan sampai
terlalu birokratis dan rumit, melainkan harus simpel dan mudah, sebab urusan
yang terlalu lama dan rumit akan menciptakan dan menyuburkan iklim
suap-menyuap.
7.
Panutan yang baik.
8.
Sikap terhadap dunia dan harta,
dalam kitab al-Qur’an dijelaskan bahwa kehidupan dunia hanya bersifat
sementara, yang kekal abadi adalah
akhirat.Kehidupan dunia hanyalah perantara bagi kehidupan akhirat. Meskipun
demikian, Allah tidak menganjurkan manusia untuk sama sekali meninggalkan
kehidupan dunia.[35]
9.
Larangan bersikap serakah dan
berlebih-lebihan.[36]
IX.
KESIMPULAN
Sebagai seorang muslim yang mengaku
tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah dan Rasulullah maka sepatutnyalah
kita membenci praktek suap-menyuap (risywah) yang telah meracuni pikiran
kaum muslimin sehingga mereka tidak lagi percaya kepada qadha’ dan qadar dari
Allah, dengan akhirnya mereka menempuh jalan pintas untuk kemudian
memutar-balikkan kebenaran, merubah yang batil menjadi haq. Tidak hanya itu,
laknat dari Rasulullah seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi orang-orang
yang akan membudayakan praktek suap-menyuap tersebut.
وأتبعناهم
في هذه الدنيا لعنة ويوم القيامة هم من المقبوحين
“Dan kami
ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini, dan pada hari kiamat mereka
termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahamat Allah)”[37]
Demikianlah jika Allah dan Rasul-Nya
telah melaknat seseorang maka laknat itu akan melekat pada dirinya di dunia
hingga di akhirat. Na’udzubillahi min dzalik. Mudah-mudahan kita
termasuk orang-orang yang kembali kepada jalan yang benar
DAFTAR PUSTAKA
·
Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Jami’u
at-Tirmidzi (Riyadh: Daru as-Salam, 1999)
·
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats
as-Sajtani, Sunan Abi Dawud (Bairut: Daru Ibnu Hazm, 1998)
·
Abi Husain bin Muslim, Shahih
Muslim, (Riyadh: Daru as-Salam, 1998)
·
Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin
Hambal, (Riyadh: Daru al-Afkar, 1998)
·
Muhammad bin Yazid ar-Rib’i Ibnu
Majah, Sunan Ibnu Majah (Riyadh: Daru as-Salam, 1999)
·
Ali bin Sinan an-Nasa’i, Sunan
an-Nasa’i ( Riyadh: Daru as-Salam, 1999)
·
Ibnu Qudamah al-Maqdisi,
al-Mughni(Beirut, Darul fikr, 1405 H)
·
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad
al-husni ad-dimisq, Kifayatul akhyar (Damaskus, Darul Basyair, 1422 H)
·
Dr.Musthafa D al-Bagha, Mukhtashar Shahih al-Bukhari(Damaskus,
al-Yamamah, 1420 H)
·
Syekh Dr.Muhammad Shidqi bin Ahmad
al-Buruni, al-Wajiz fii idhahiqawaid al-Fiqh al-Kuliyya (Beirut,
Muassastu ar-Risalah, 1416 H)
·
Abul Farj Abdurrahman bin Ahmad Rajab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wal
hikam(Beirut, Darul Ma’rifah, 1408 H)
·
Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhajul
Muslim (Solo, Pustaka Arafah, 2014)
·
Abu Syuja’ al-Ashfahani, Fikih
praktis madzhab syafii (Solo, Media Zikir, 2014)
·
Imam adz-Dzahabi, Dosa-dosa
besar(Solo, Ummul qura’ Aqwam)
·
Dr.Erwandi Tarmizi MA, Harta haram
muamalah kontemporer(Bogor, P.T Berkat mulia insani, 2015)
·
Dr.Husain Syahatah, Suap dan korupsi
dalam perspektif syar’i, Amzah:Jakarta 2008
·
Jurnalis salam, Skripsi
Suap dan pencegahannya didalam al-Qur’an(Yogjakarta, Fakultas
ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2014)
·
https://abufawaz.wordpress.com/2012/10/05/suap-menyuap-yang-halal-dan-yang-haram-dalam-agama-islam/
·
http://cabangmargaasih.blogspot.co.id/2013/03/fiqh-risywah-hadiah.html
[1]Disampaikan
dalam munadharah hari ahad tanggal 20 Maret 2016 di MA an-Nuur, Solo
[2] Suyitno,
Menyingkap Makna Hadits Tentang Risywah,(Yogyakarta: Gama Media, 2006), hlm.87
[3] Abu Abdul
Halim Ahmad S, Suap, Dampak, & Bahayanya Bagi Masyarakat:Tinjauan Syar’I
Dan Sosial (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), hlm.93
[4] K. Wantjik
Saleh, Tindak Pidana Korupsi & Suap (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),
hlm.79
[5] Ibid, hlm.80
[10] Q.S
al-Baqarah: 188
[11] Q.S al-Maidah:
42
[12] Muhammad bin
Isa at-tirmidzi, Jami’u at-Tirmidzi,
kitab hukum-hukum,bab hukum orang yang menyuap dan menerima suapan, no 1337
(ar-Riyad: Daru as-Salam, 1999) hlm. 323. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, kitab
hukum-hukum, bab kejamnya kedzaliman dalam suap-menyuap, no 2313 (ar-Riyadh:
Daru as-Salam, 1999) hlm. 331. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, kitab
perkara-perkara pengadilan,bab karahiyah-nya suap-menyuap, no 3580 (Bairut:
Daru Ibnu Hazm, 1998) hlm. 551. Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal,
kitab Musnad al-Mukatsirun, bab Musnad
Abdullah in Amru bin al- ‘Ash, no 6532, 6778, 6830 dan 6984 (Riyadh: Daru
al-Afkar, 1998). Hlm 494.
[13]Q.S al-Maidah: 62
[15]Dr.Musthafa D al-Bagha, Mukhtashar Shahih Bukhari, kitab hukum hlm.725
[17]Dr.Erwandi
Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm.202
[18]Dr.Erwandi
Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, , hlm.197
[19] ibid
[21]Abu Abdulah
Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimy ar-Razi, Tafsir
ar-Razy, jilid 05, hlm.280
[22] Muhammad bin
Isa at-tirmidzi, Jami’u at-Tirmidzi,
kitab hukum-hukum,bab hukum orang yang menyuap dan menerima suapan, no 1337
(ar-Riyad: Daru as-Salam, 1999) hlm. 323. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, kitab
hukum-hukum, bab kejamnya kedzaliman dalam suap-menyuap, no 2313 (ar-Riyadh:
Daru as-Salam, 1999) hlm. 331. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, kitab
perkara-perkara pengadilan,bab karahiyah-nya suap-menyuap, no 3580 (Bairut:
Daru Ibnu Hazm, 1998) hlm. 551. Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal,
kitab Musnad al-Mukatsirun, bab Musnad
Abdullah in Amru bin al- ‘Ash, no 6532, 6778, 6830 dan 6984 (Riyadh: Daru
al-Afkar, 1998). Hlm 494.
[23] Dr.Abdullah
ath-Thuraiqi, jarimatur risywah fisy syariah Islamiyah, hlm.71
[24]Abu Abdullah
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshary al-Khazraji Syamsuddin al-Qurtuby,
Tafsir Al- Qurthuby 6/183, Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad bin
Hamzah Syihabuddin ar-Ramli,
Nihayatul Muhtaj 8/243,Ibnu Hazm, Al-Muhalla 8/118, dalam bab-bab yang
membahas tentang suap dan memakan harta haram.
[25] Ibn Abidin, dengan menguti kitab al-Fath,
mengemukakan empat macam bentuk suap, yaitu:
1.
Suap yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah
untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
2.Suap
terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar,
karena dia mesti melakukan hal itu.
3.Suap
untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemudaratan dan
mengambil mamfaat. Suap ini haram bagi yang mengambilnya saja. Sebagai helah
risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan dengan pemerintah.
Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal
ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang. Akan tetapi
dari satu sisi haram, karena substansinya adalah kazaliman. Oleh karena itu
haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk menahan kezaliman
dan sebagai upah dalam menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun bila
tidak disyaratkan, sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah
yang diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa (la
ba`sa). Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula
karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun
makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud.
4.Suap
untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan
haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak
kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta
untuk melakukan yang wajib.
[27]Syamsuddin
Muhammad bin Abil Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin ar-Ramli, Nihayatul
muhtaj, jilid 08, hlm.243
[28]Abu Muhammad
Abdulllah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi , Al-Mughni, jilid 09, hlm.78
[31]Umra’ yaitu pemberian harta kepada seseorang dengan
ketentuan apabila yang diberi(itu)meninggal dunia lebih dahulu daripada yang
memberi, maka barang tersebut harus harus dikembalikan kepada pihak yang
memberi.Sebaliknya apabila pihak yang memberi itu meninggal dunia lebih dahulu
daripada yang diberi , maka barang tersebut tetap menjadi milik pihak yang
diberi, hingga pada saat meninggalnya, dan untuk kemudian diserahkan kembali
kepada ahli waris siPemberi.Tetapi, bila akadnya diucapkan atau dimaksudkan
untuk diberikan kepada siPenerima dan ahi warisnya, maka ahli waris sipenerima
harta itu pun berhak melanjutkan kepemilikan atas harta itu.
[32]Ruqba yaitu pemberian harta kepada seseorang hanya
untuk selama hidup yang memberi dan yang diberi.Sehingga, dengan meninggalnya
salah seorang dari keduanya maka akad itupun dianggap selesai.Dan harta itu pun
kembali kepada siPemberi dan ahli waris si pemberi.Tetapi, bila akadnya
diucapkan atau dimaksudkan untuk diberikan kepada si Penerima dan ahli
warisnya, maka ahli waris si penerima harta itu pun berhak melanjutkan
kepemilikan atas harta itu.
[33] Dr.Husain Syahatah, Suap dan korupsi dalam perspektif syar’i,
Amzah:Jakarta 2008
[34] Ibid
[35] Jurnalis
salam, Suap dan pencegahannya didalam al-Qur’an(Yogjakarta, Fakultas ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga, 2014)hlm.125
[36] Ibid
[37] Q.S
Al-Qashash:42
0 komentar:
Posting Komentar