Oleh : Ari ar-Rasyid
I.
PENDAHULUAN
Para sahabat dahulu menafsirkan Al-Quran
dengan Al-Qur'an dan as-Sunnah, jika tidak didapatkan pada keduanya maka mereka
berijtihad, karena mereka adalah Ahlul ijtihad dan istinbat.
Ketika ilmu ini semakin berkembang pesat,
pembukuannya semakin sempurna, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pun
terus meningkat. Permasalahan kalam semakin memanas, fanatisme madzhab pun
semakin serius, dan ilmu-ilmu filsafat bercampur aduk dengan ilmu-ilmu naqli,
serta setiap golongan hanya membela kepentingan madzhabnya masing-masing. Dari
situlah berkembang metode penafsiran yang berbeda-beda, maka kita dapatkan
disana rujukan-rujukan baru dan metode-metode yang menyimpang. Tumbuhlah
Aqidah-aqidah yang menyimpang seperti Syi'ah, Mu'tzilah, khowarij, dan
kelompok- kelompok yang lainnya, dari setiap kelompok itulah tumbuh penafsiran
yang berbeda rujukan dan metodenya.
Terlebih dimasa sekarang ini, dimana kelompok-kelompok sesat
tersebut telah ber-metamorfosis menjadi kelompok-kelompok liberal yang
bebas dalam berfikir dan menafsirkan al-Qur’an. Metode yang mereka gunakan
sangatlah serampangan, terutama dalam menafsirkan ayat yang berkaitan dengan
perkembangan zaman dan modernisasi. Dengan merubah metode tafsir al-Qur’an yang
dasar-dasarnya telah diletakkan oleh para ulama, mereka bermaksud merobohkan
sendi-sendi bangunan Islam. Semisal tafsir dengan metode ‘Hermeunetika’, yang
mana metode ini asalnya dipakai orang liberal di barat untuk menafsirkan Bible,
sehingga rusaklah agama Nashrani. Demikian juga dengan Islam, mereka hendak
menerapkannya pada al-Qur’an yang telah terjaga baik lafal maupun maknanya. Maka dengan hal ini penulis berusaha mencari
bagaimana metode tafsiran menurut ahlussunnah. Semoga bermanfaat.
II.
DEFINISI
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “Taf’il” artinya
menjelaskan, menyingkap, dan menerangkan makna-makna rasional (yang tidak
logis). Kata kerjanya mengikuti wazan “Dharaba-yadhribu” dan
“Nashara-yanshuru”. Dikatakan: “Fasara asy-syai’a- yafsiru” dan
“Yafsuru,fasran” dan “Fassarahu”. Artinya “Abanahu”(Menjelaskannya).
Kata at-Tafsir dan al-Fasr mempunyai arti menjelaskan dan
menyingkap yang tertutup.[1]
Dalam lisanul ‘Arab dinyatakan: kata al-Fasr berarti
menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata at-Tafsir berarti
menyingkapkan maksud sustu lafadz yang tidak jelas. Sebagian Ulama’
berpendapat, kata tafsir adalah kata kerja yang terbalik, berasal dari
kata safara yang juga memiliki makna menyingkap (al-Kasyf), dikatakan:
Safarat al-Mar’atu sufura, apabila perempuan itu menyingkap cadar dari
wajahnya. Dan kata asfara ash-Shubhu artinya menyinari dan terang.
Pembentukan kata al-Fasr menjadi bentuk taf’il (yakni, tafsir)
untuk menunjukkan arti taktsir (banyak, sering berbuat).[2]
Menurut ar-Raghib kata al-Fasr dan as-Safr adalah dua
kata yang berdekatan makna dan lafadznya. Tetapi yang pertama untuk menunjukkan
arti menampakkan makna yang abstrak, sedang yang kedua untuk menampakkan benda
kepada penglihatan mata. Maka dikatakanlah, “Safarat al-Mar’atu sufura” (Perempuan
itu menampakkan mukanya).[3]
Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai, “Ilmu yang membahas
tentang tata cara pengucpan lafadz-lafadz Al-Qur’an, indikator-indikatornya[4],
masalah-masalah hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang
lain, serta tentang makna-makna yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz
yang melengkapinya.”[5]
Menurut az-Zarkasyi, “Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menerangkan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[6]
III.
SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA
1. Bentuk Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Nabi memahami Al-Quran dengan sempurna baik
secara global dan merinci. Dan adalah tugasnya menerangkannya kepada para
sahabat, “Dan kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan.”[7]
Para sahabat juga dapat memahami Al-Quran karena Al-Quran diturunkan dalam
bahasa mereka, sekalipun mereka tidak memahami detail-detailnya. Ibnu Khaldun
dalam Muqaddimah-nya menjelaskan, “Al-Quran diturunkan dalan bahasa Arab
sesuai dengan tata bahasa mereka. Karena itu semua orang Arab memahaminya dan
mengetahui makna-maknanya baik dalam kosa kata maupun dalam struktur
kalimatnya.” Namun demikian mereka berbeda-beda dalam tingkat pemahamannya,
sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi
diketahui oleh yang lain.[8]
Diriwayatkan oleh Abu Ubaidah melalui Mujahid
dari Ibnu Abbas ia berkata, “Dulu saya tidak tahu apa makna fathirus
samawati wal ardh, sampai datang kepadaku dua orang dusun yang bertengkar
tentang sumur. Salah seorang mereka barkata, “Ana fathartuha” maksudnya “Ana
ibtada’tuha” (Akulah yang pertama kali membuatnya).[9]
Atas dasar itu Ibnu Qutaibah berkata, “orang
Arab itu tidak sama pengetahuannya tentang kata-kata yang tidak bias difahami
dan mutasyabih dalam Al-Quran. Tetapi
dalam hal ini sebagian mereka mempunyai kelebihan atas yang lain.”[10]
Para sahabat dalam menafsirkan Al-Quran pada masa ini berpegang
pada:
1.
Al-Quran
al-Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat di jelaskan
secara terperinci ditempat yang ain terkadang pula sebuah ayat dating dalam
bentuk mutlak atau umum namun kemudian disusul oleh ayat yang lain yang
membatasi atau menkhususkannya. Inilah yang dinamakan Tafsir Al-Quran dengan
Al-Quran. Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya. Misalnya, “Dihalalkan
bagimu binatang ternak kecuali yang akan dibacakan kepadamu…[11]”
dan, “Diharamkan bagimu bangkai…[12]”
2.
Nabi
Saw, beliaulah pemberi penjelasan Al-Quran. Ketika para sahabat mendapatkan
kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka merujuk kepada Nabi.
3.
Pemahaman
dan ijtihad. Adalah para sahabat apabila tidak mendapatkan tafsir dalam
Al-Quran dan sunnah Rasulullah, mereka melakukan ijtihad. Ini mengingat mereka
adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya
dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-Balaghah-an yang ada
didalamnya.
Sebagian ulama’ mewajibkan untuk mengambil tafsir yang datang dari
sahabat, karena merekalah yang paling ahli bahasa arab dan menyaksikan langsung
konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka. Az-Zarkasyi
dalam kitabnya al-Burhan berkata, “Ketahuilah Al-Quran itu ada dua bagian. Satu
bagian penafsirannya datang berdasarkan naql(riwayat) dan bagian yang lain
tidak dengan naql. Yang pertama, penafsiran itu adakalanya dari Nabi, sahabat,
atau tokoh tabi’in. jika berasal dari Nabi, hanya perlu dicari keshahihan
sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka
menafsirkan dari segi bahasa? Jika demikian maka mereka adalah yang paling
mengeti tentang bahasa arab. Karena itu pendapatnya dapat dijadikan pegangan,
tanpa diragukan lagi. Atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbabun nuzul
atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal ini tidak diragukan
lagi.”[13]
2. Bentuk tafsir pada masa Tabi’in
Dalam menafsirkan, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang
ada pada masa para pendahulunya disamping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka
sendiri. Menurut adz-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah para mufassir dari
kalangan tabi’in berpegang pada Al-Quran. Keterangan yang mereka riwayatkan
dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah. Penafsiran para sahabat. Ada
juga yang mengambil dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka.
Disamping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana
yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.[14]
3. Tafsir Masa Mu’ashir (Kontemporer)
Masa pembukuan di mulai pada akhir dinasti
bani Umayyah dan di awal dinasti Abbasiyah. Periode ini pembukuan hadits mendapat prioritas utama dengan mencakup berbagai bab.
Tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya.
Pada masa ini tafsir hanya memuat tafsir Al-Quran surat demi surat dan ayat
demi ayat dari awal sampai akhir, dan belum dipisahkan secara khusus dari
bab-bab hadits.
Perhatian
segolongan ulama’ terhadap periwayatan tafsir yang dinisbatkan kepada Nabi,
sahabat atau tabi’in sangat besar di samping perhatian terhadap pengumpulan
hadits. Tokoh terkemuka ialah Yazid bin
Harun as-Sulami, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan lainnya. Tafsir periode ini sedikitpun tidak ada yang sampai kepada kita.
Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan.
Kemudian datang generasi berikutnya yang
menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai
disiplin ilmu yang berdiri sendiri terpisah dari hadits. Mereka adalah Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu abi Hatim dan lain
sebagainya. Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada
Rasulullah, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Dan terkadang disertai
pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan melakukan
kesimpilan sebuah hukum serta penjelasan kedudukan i’rabnya jika diperlukan.
Sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari.
Disamping tafsir dengan corak tersebut juga
banyak tafsir yang menitikberatkan pada pembahasan ilmu nahwu, sharaf dan
balaghah. Dengan demikian, tafsir bir-Ra’yi menang atas tafsir bil-ma’tsur.
Penulisan tafsir pada masa selanjutnya masih mengikuti pola di atas, yaitu
golongan mutaakhirin hanya mampu mengambil penafsiran golongan mutaqaddimin
dengan cara meringkasnya di satu sisi dan memberinya komentar di sisi lain.
Keadaan demikian terus berlanjut sampai lahirnya pola baru dalam tafsir modern,
di mana sebagian mufassir memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kontemporer di
samping upaya menyingkap dasar-dasar kehidupan sosial, prinsip-prinsip tasyri’
dan teori-teori ilmu pengetahuan dari kandungan Al-Quran sebagaimana terlihat
dalam tafsir al-Jawahir, al-Manar, dan az-Zilal (maksudnya Fi Zilal al-Quran
karya Sayyid Quthub).[15]
IV.
SYARAT DAN ADAB MUFASSIR[16]
Para ulama’ telah menyebutkan syarat-syarat
yang harus dimiliki setiap mufassir.
1. Aqidah yang benar.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Yang pertama, memulai menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran: karena
sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan
sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di
tempat lain.
4.
Mencari
penafsiran dari As-Sunnah: karena ia berfungsi sebagai penjelas Al-Quran.
5. Apabila penafsiran tidak didapatkan didalam As-Sunnah hendaklah
melihat bagaimana pendapat para sahabat. Karena mereka lebih mengetahui tentang
tafsir Al-Quran, mereka terlibat langsung ketika Al-Quran diturunkan, dan
mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang
shalih.
6. Apabila penafsiran tidak ditemukan juga dalam Al-Quran, As-Sunnah,
dan pandangan para sahabat. Maka sebagian besar ulama dalam hal ini
mengembalikan kepada pendapat tabi’in. Seperti: Mujahid bin Jabr, Sa’id bin
Jubair, Ikrimah maula(budak) Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan
al-Bashri, Masruq bin Ajda’, Sa’id bin Musayyib, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah,
Adh-Dhahak bin Muzahim dan tabi’in lainnya.
7. Pengetahuan bahasa Arab yang baik.
8. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan
Al-Quran. Seperti ilmu qiraat, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui
bagaimana cara mengucapkan Al-Quran dan dapat memilih mana yang lebih kuat
diantara berbagai ragam bacaan yang diperkenankan, ilmu tauhid –dengan ini
diharapkan mufassir tidak mena’wilkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hak dan
sifat-sifat Allah secara serampangan sehingga melampaui hak-Nya, mengetahui
ilmu ushul terutama Ushul at-Tafsir dan mendalami kaidah-kaidah yang
dapat memperjelas suatu makna maksud-maksud Al-Quran, seperti pengetahuan
tentang asbab an-Nuzul, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.
9. Pemahaman yang cermat.
Adab Mufassir :
1.
Berniat
baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu tergantung pada niat.
2.
Berakhlaq mulia, karena mufassir bagai seorang
pendidik.
3.
Taat
dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang
mengamalkannya daripada yang hanya hebat dalam teori dan konsep.
4.
Jujur
dan teliti dalam penukilan.
5.
Tawadhu’
dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan satu dinding kokoh yang
dapat menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6.
Berjiwa
mulia.
7.
Berani
menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah menyampaikan kalimat
yang haq dihadapan penguasa lalim.
8.
Berpenampilan
simpatik yang dapat menjadikan Mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua
penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan. Namun
sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.
9.
Bersikap
tenang.
10. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya.
11. Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran,
seperti memulai dengan menyebutkan asbabun
nuzul, arti kosa kata, menerangkan struktur kalimat, menjelaskan segi-segi balaghah, dan I’rab yang padanya bergantung penentuan makna. Kemudian menjelaskan
makna umum dan menghubungkannya dengan konteks kehidupan umum yang sedang
dialami, kemudian mengambil kesimpulan dan penetapan hukum.
V.
METODE TAFSIR MENURUT AHLUS SUNNAH
Bahwasannya
sumber tafsiran itu ada dua macam:
1.
Tafsir
bil Ma’tsur
2.
Tafsir
bir Ra’yi
Pertama, Tafsir
bil Ma’tsur
Tafsir
yang berdasarkan pada Al-Quran atau riwayat yang shahih. Yaitu menafsirkan
Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan as-Sunnah, perkataan sahabat karena
merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat para
tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka umumnya menerima dari para sahabat.[17]
Sumber Tafsir
bil Ma’tsur:
1.
Al-Quran
Sebab apa yang dikemukakan secara
global di satu tempat di jelaskan secara terperinci ditempat yang ain terkadang
pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlak atau umum namun kemudian disusul
oleh ayat yang lain yang membatasi atau menkhususkannya. Inilah yang dinamakan
Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran. [18]Penafsiran
seperti ini cukup banyak contohnya. Misalnya,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ
الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ
إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu . Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.[19]”
ditafsirkan di ayat yang lain,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul...[20]”[21]
2.
As-Sunnah
Beliaulah pemberi penjelasan
Al-Quran. Ketika para sahabat mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat,
mereka merujuk kepada Nabi.[22]
Dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan ia
berkata, “Ketika turun ayat ini,
الَّذِينَ
آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ
وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan
iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”[23]
sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah
siapakah di antara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?” beliau
menjawab, “Kezaliman disini bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidaklah kamu
mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang shaleh(Luqman),
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar.[24]”
kezaliman disini yang dimaksud adalah syirik.[25]
3.
Perkataan
para Sahabat dan Tabi’in
Perkataan Ibnu Mas’ud tentang firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ
مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ
"Dan di antara
manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna"[26] demi Allah itu adalah lagu. Demi Allah yang tidak ada
Ilah kecuali Dia. Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Demikian pula yang
dikatakan oleh Ibnu Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Mak-hul,
Amr bin Syu’aib dan Ali bin Badzimah.[27]
Hukum Tafsir bil Ma’tsur
Tafsir bil Ma’tsur adalah metode penafsiran
yang harus diikuti dan dijadikan pedoman dalam menafsirkan Al-Quran, karena ia
merupakan cara yang paling aman dalam memahami kitab Allah. Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas, tafsir itu ada empat macam yaitu tafsir yang diketahui oleh orang
arab melalui bahasa mereka, tafsir yang diketahui oleh setiap orang, tafsir
yang hanya bisa diketahui oleh para ulama’, tafsir yang sama sekali tidak
mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah.
Kedua, Tafsir bir Ra’yi
Tafsir yang didalam menjelaskan maknanya
mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan pun
didasarkan pada logikanya semata. Kategori penafsiran seperti ini dalam
memahami Al-Quran tidak sesuai dengan ruh syariat yang di dasarkan pada
nash-nashnya. Nalar semata yang tidak disertai bukti-bukti akan berakibat pada
penyimpangan terhadap kitabullah.
Tafsir bir
Ra’yi dibagi menjadi dua:
1.
Tafsir
bir Ra’yi al-Mahmud (yang terpuji)
Tafsir yang bersandar dari Al-Quran dan
sunnah. Hendaknya ia orang yang ahli dalam bahasa arab, pakar didalam
kaedah-kaedahnya. Serta mengetahui kaedah-kaedah syar’i dan ushulnya.
Hukumnya:
Sebagian
ulama’ membolehkan menafsirkan dengan akal yang bersandar kepada bahasa arab
dan nash-nash syar’i. Dalilnya:
1.
Firman Allah :
وَلَقَدْ
يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
“Dan
sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quraan untuk pelajaran, maka adakah orang
yang mengambil pelajaran?”[28]
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
كِتَابٌ
أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ
أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
“Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran.”[30]
2.
Rasulullah pernah berdo’a untuk Ibnu Abbas.
Do’a itu berbunyi:
اللهم فقهه فى الدين وعلمه التأويل
Maksudnya: “Ya Allah, ajarkanlah Ibnu Abbas
ini dalam urusan agama. Dan ajarkanlah dia Ta’wil.”
Seandainya cakupan ta’wil hanya mendengar dan
menuqil riwayat saja, tentunya pengkhususan do’a di atas untuk Ibnu Abbas tidak
bermakna apa-apa. Dengan demikian, maka ta’wil yang dimaksud dalam do’a itu
adalah diluar penuqilan, yaitu pemikiran dan ijtihad.
3.
Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat
mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan
Al-Qur’an dengan ijtihadnya.
Maka dengan hal ini Tafsir bir Ra’yi al-Mahmud boleh digunakan. Ibnu Taimiyah berkata, “Barang siapa
yang berbicara tafsir tanpa mengetahui dari segi bahasa dan syar’i, maka dia
tidak berdosa”[31]
2.
Tafsir
bir Ra’yi al-Madzmum (yang tercela)
Tafsir yang murni dengan pikiran dan hawa nafsu.
Tafsir ini tidak bersandar kepada nash-nash syar’i.[32]
Dan kebanyakan orang yang melakukan penafsiran demikian adalah ahli bid’ah dan
penganut madzhab yang bathil.[33]
Hukumnya:
Menafsirkan Al-Quran dengan Tafsir bir Ra’yi al-Madzmum tanpa ada dasar yang shahih adalah haram dan tidak boleh
dilakukan.[34]
Dalilnya:
1.
Firman Allah:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.”[35] Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi
berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dan berfirman:
وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan
(mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.”[37]
2.
Dari sunnah:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Barangsiapa berkata tentang Al-Quran menurut
pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia
menempati tempat duduknya di dalam neraka.”[38]
Dan hadits:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ
أَخْطَأَ
“Barangsiapa berkata tentang Al-Quran dengan
akalnya walaupun ternyata benar, maka ia telah melakukan kesalahan.”[39]
VI.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Metode penafsiran menurut ahlussunnah yaitu menafsirkan al-Quran
dengan al-Quran, al-Quran dengan as-Sunnah. Jika tidak ada dari keduanya maka
dengan menggunakan ijtihadnya para sahabat dan tabi’in.
Ibnu taimiyah mengatakan ; ketika kita tidak menemukan tafsir
(suatu ayat) dalam al-Qur’an, tidak pula dalam as-sunnah, maka kami me-ruju’-nya
kepada perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Merekalah orang yang
paling mengetahui tentang tafsir, karena mereka menyaksikan (bagaimana)
al-Qur’an turun, dan kondisi-kondisi yang mengkhususkan ayat-ayat tersebut, karena
itulah mereka memiliki pemahaman yang purna, ilmu yang shahih, dan amal yang
shalih.[40]
Jika tidak ada juga maka dengan perkataan para Tabi’in, karena
mereka mengambil tafsir dari para sahabat yang mereka menyaksikan turunnya
al-Qur’an. Maka mereka orang yang paling mengetahui tafsir daripada orang-orang
setelahnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo)
2.
Dr.
Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa
Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah)
3.
DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin
Ishaq, Tafsir Ibnu Katsir (Pustaka Imam Syafi’i)
4.
Jalaluddin
as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (al-Hai`ah al-Mishriyah, 1974)
5.
Dr.
Muhammad Sayyid Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1398 H)
6.
Muhammad
bin Shalih bin Muhammad al-‘Utsaimin, Syarh Muqaddimah at-Tafsir Ibn
Taimiyah, (Riyadh : Dar al-Wathan, 1995)
7.
Ibnu
Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1419 H)
8. Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, dalam bab Fi Bayani
Ahsani Thuruqi at-Tafsir, (Dar al-Wafa`: 2005)
[1]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo),
hlm: 323
[2]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm: 324, Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii
Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 7
[3]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm: 324, Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii
Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 7
[4]
Indikator adalah sesuatu yang mendapatkan petunjuk atau keterangan
[5]
Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa
Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 8, Manna’ Al-Qaththan, Mabahits
fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 324
[6]Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm:
324, Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa
Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 8
[7]Qs. An-Nahl: 44
[8]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm: 334
[9] Al itqan
[10] Tafsir
wal mufasirun
[11]
Qs. Al-Maidah: 1
[12]
Qs. Al-Maidah: 3
[13]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm: 337, al-itqan
[14]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm: 338
[15]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm: 342
[16]Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm:
329-332
[17]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm:
[18]
Ibid, hlm:
[19]
Qs. Al-Maidah: 1
[20]
Qs. Al-Maidah: 3
[21]
Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa
Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 74
[22]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm:
[23]
Qs. Al-An’am: 82
[24]
Qs. Luqman: 13
[25]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm: , Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul
Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 76
[27] DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman
bin Ishaq, Tafsir Ibnu Katsir (Pustaka Imam Syafi’i) hlm: 395
[28] Qs. Al-Qamar: 17
[29] Qs. Muhammad: 24
[30] Qs. Shaad: 29
[31]
Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa
Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 79-80
[32] Ibid, hlm: 80
[33]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm:
[34] Ibid, hlm: , Dr. Fahri Abdurrahman
bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah
at-Taubah), hlm: 81
[35] Qs al-Isra’: 36
[36] Qs al-Baqarah: 169
[37] Qs an-Nahl: 44
[38] HR. At-Tirmidzi hadits ini hasan
[39]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah:
Kairo), hlm:
[40]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, dalam bab Fi Bayani Ahsani Thuruqi
at-Tafsir, (Dar al-Wafa`: 2005), vol. 13, hlm. 364
0 komentar:
Posting Komentar