oleh : Tyo el-Bungry, dkk
Ø Pendahuluan
Setelah terjadi kekacauan yang begitu besar, akhirnya umat Islam
dapat kembali lagi kepada kedamaian. Yaitu ketika pemerintahan Islam dipegang
oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, setelah peristiwa amul jama’ah yang
dilakukan oleh al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib, umat kembali bersatu di dalam
satu pemerintahan. Walaupun ada sebagian kelompok yang tetap tidak setuju jika
Muawiyah yang menjadi pemimpin, seperti Syiah dan Khawarij. Namun, kondisi kali
ini sudah lebih baik daripada sebelumnya. Sehingga pada pembahasan kali ini
kami tidaklah akan membahas berkenaan dengan pemerintahan di masa Muawiyah bin
Abu Sufyan, sebab kami pandang pada masa itu tidaklah ada permasalah yang
begitu penting.
Namun sebelum masuk pembahasan ini, kita perlu untuk mengetahui
bahwa fase pemerintahan di masa Bani Umayyah terbagi menjadi dua fase, yaitu pertama
fase Sufyaniyyah dan kedua fase Marwaniyyah. Fase pertama dimulai dari Muawiyah
bin Abu Sufyan, lalu dilanjutkan anaknya Yazid bin Muawiyah, dan terahir pada
masa Muawiyah bin Yazid atau Muawiyah Tsani.
Adapun fase Marwaniyyah, adalah dimulai pada masa pemerintahan
Marwan bin al-Hakam hingga runtuhnya dinasti Bani Umayyah di Timur dan akan
kembali bangkit di Barat (Andalusia) melalui perantara Elang Quraisy,
Abdurrahman ad-Dakhil.
Adapun pada pembahasan kali ini, kami hanya akan membahas pada dan
mengupas seluk-beluk pada masa pemerintahan Bani Umayyah fase Sufyaniyah.
Itupun hanya di masa pemerintahan Yazid dan Muawiyah Tsani, yang kami
anggap penting untuk diketahui.
Di masa pememerintah Yazid banyak sekali peristiwa yang tejadi,
yang menyebabkan terukirnya goresan noda hitam pada sejarah pemerintahan Yazid.
Dan banyak yang menyalahkan bahkan menganggap buruk kiprah Yazid dalam
memimpin. Namun, perlu diketahui bahwa Yazid adalah manusia biasa yang tidak
luput dari kesalahan dan dosa. Ibnu Katsir sendiri berkomentar tentangnya
sebagaimana berikut, “Yazid memiliki beberapa perangai yang terpuji, seperti
dermawan, pandai menahan amarah, fasih, pandai bersyair, pemberani, dan
berpandangan bagus mengenai kekuasaan. Ia juga rupawan dan pandai bergaul.”
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Yazid bukanlah orang yang dzalim
dan tidak bijaksana dalam memimpin, sehingga disebagian karya tulis menyebutkan
hal-hal yang sangat memojokkan Yazid dan menganggap bahwa kesalahan yang
terjadi adalah mutlak disebabkan oleh Yazid bin Muawiyah.
Apakah hal ini benar? Atau ini adalah doktrin yang dikeluarkan oleh
kelompok Syiah dan Khawarij agar sejarah Yazid terpandang buruk di mata kaum
Muslimin. Untuk lebih lengkapnya silahkan membaca tulisan ini! Semoga
bermanfaat!
Ø Yazid Menjadi Khalifah
Ia adalah Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah
bin Abdusyams bin Abdu Manaf bin Qushai al-Quraisyi al-Umawi. Ayahnya,
Muawiyah, mendidiknya dengan pendidikan Arab dan Islam. Yakni dengan
mengirimnya ke pedalaman, di bawah pengasuhan paman-pamannya dari ibunya, yaitu
Bani Kalb. Muawiyah menginginkan agar Yazid tumbuh di pangkuan fitrah dan
lingkungan yang keras, jantan, dan kesatria. Dan juga agar ia belajar bahasa
Arab yang murni. Pada masa pemerintahan ayahnya, Muawiyah, ia sering ditugasi
untuk menjadi pemimpin pasukan dan pemimpin besar jama’ah haji.
Lalu ketika Muawiyah bin Abu Sufyan Radhiallahu ‘Anhu menemui
ajalnya pada pertengahan bulan Rajab tahun 60 H. Maka tampuk kepemimpinan pun
dilimpahkan kepada Yazid bin Muawiyah pada saat itu juga. Namun pada saat itu,
Yazid sedang tidak berada di Damaskus. Maka adh-Dhahhak bin Qais mewakilinya
untuk menerima baiat.
Ketika Yazid datang, ia disambut oleh delegasi dari berbagai
negeri, para jenderal, dan tokoh-tokoh terkemuka. Mereka berbela sungkawa atas
wafatnya Muawiyah sekaligus mengucapkan selamat atas pengangkatannya sebagai
khalifah. Lalu Yazid menaiki mimbar dan berpidato,
إن
معاوية كان حَبْلاً من حبال اللّه مده الله ما شاء أن يمده، ثم قطعه حين شاء أن
يقطعه، وكان دون من كان قبله، وخير من بعده، إن يغفر اللّه له فهو أهله، وإن يعذبه
فبذنبه، وقد وليتُ الأمر بعده، ولست أعتذر من جهل، ولا أشتغل بطلب علم، فعلى
رِسْلِكم! فإن اللّه لو أراد شيئاً كان، أذكروا اللهّ واستغفروه
“Muawiyah adalah salah satu tali Allah. Dia mengulurnya jika
berkehendak, lalu memotongnya apabila Ia berkehendak. Ia tidak bisa menandingi
para pendahulunya, tetapi ialah yang terbaik jika dibandingkan dengan
sesudahnya. Jika Allah mengampuninya maka ia memang ahlinya (yang mendapat
ampunan), namun jika Allah menyiksanya maka disebabkan oleh dosanya. Aku diberi
kekuasaan sepeninggalannya, padahal aku tidak lepas dari kebodohan dan tidak
sibuk dari menuntut ilmu. Maka berhati-hatilah! sebab jika Allah menghendaki
sesuatu pastilah akan terjadi. Ingatlah Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya!”[1]
Umat telah bersepakat membaiat Yazid, yang menolak hanyalah
al-Husain bin Ali dan Abdullah bin az-Zubair Radhiallahu ‘Anhuma saja.
Sehingga di kemudian hari kedua tokoh ini berurusan serius dengan Yazid.
Sedangkan para sahabat lainnya membaiat Yazid demi melindungi kekuatan umat,
menjaga persatuan, dan menghindari tragedi. Mereka antara lain adalah Abdullah
bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Bahkan, Abdullah bin Umar tidak cukup hanya
membaiat Yazid tapi juga mewanti-wanti kepada masyarakat agar tidak memberontak
kepadanya, sebagaimana yang akan kami jelaskan insya’a Allah!
Ø Pergolakan-Pergolakan di Zaman Yazid
Terbunuhnya
Husain bin Ali bin Abu Thalib Radhiallahu ‘Anhu
Kejadian yang terjadi pada tahun pertama adalah peristiwa
terbunuhnya Husain bin Ali bin Abu Thalib. Yang menjadi noda hitam sejarah
pemerintahan Yazid.
Setelah kekhilafahan dilimpahkan kaum Muslimin kepada Hasan bin Ali
Radhiallahu ‘Anhu, kemudian ia turun (lengser) dan memberikan kekuasaan
kepada Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu demi memelihara darah kaum Muslimin,
dengan syarat selanjutnya Mu’awiyah sendiri yang akan menyerahkan kembali
kekhilafahan kepada Hasan Radhiallahu ‘Anhu. Akan tetapi Hasan meninggal
dunia sebelum Mu’awiyah meninggal. Maka ketika itu Mu’awiyah memberikan
kekhilafahan kepada anaknya, Yazid. Tatkala Mu’awiyah meninggal, maka Yazid
memegang perintah, dan Husain enggan memba’iatnya, lalu ia keluar dari Madinah
menuju ke Mekkah dan menetap di sana.
Saat itu, penduduk Irak yang didominasi oleh pengikut Ali
Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada Husain Radhiyallahu 'anhuma meminta
beliau Radhiyallahu 'anhuma pindah ke Irak. Mereka berjanji akan membai'at
Husain Radhiyallahu 'anhuma sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan
Yazîd bin Muâwiyah menduduki jabatan Khalifah. Tidak cukup dengan surat, mereka
terkadang mendatangi Husain Radhiyallahu 'anhuma di Mekah mengajak beliau
Radhiyallahu 'anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan menyediakan pasukan.
Selepas itu, Husain mengutus anak-pamannya (yaitu sepupu Husain),
Muslim bin Aqil, untuk mencari tahu dan mengenal seluk-beluk baiat penduduk
Irak tersebut beserta konsekuensinya. Setibanya di Kufah (Irak), Muslim menjadi
yakin bahwa orang-orang di sana memang menginginkan Husain. Kemudian mereka
berbaiat kepada Husain; kejadian itu berlangsung di kampung Hani bin Urwah.
Namun ternyata kedatangan Muslim bin Uqail tercium oleh Ubaidullah bin Ziyad
(wakil Bani Umayyah di Kufah), kemudian ia membunuh Muslim bin Uqail. Ketika
pembunuhan itu terjadi, kaum Syi’ah Kufah hanya diam seribu bahasa melihat
pembantaian dan tidak memberikan bantuan apa-apa, bahkan mereka mengingkari
janji mereka terhadap Husain Radhiallahu ‘Anhu untuk melindungi dan
membela beliau. Hal itu mereka lakukan karena ‘Ubaidillah bin Ziyad telah
memberikan segepok uang kepada mereka
Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhuma kerap kali
menasehati Husain Radhiyallahu 'anhuma agar tidak memenuhi keinginan mereka,
karena ayah Husain Radhiyallahu 'anhuma, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu,
dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu khawatir mereka membunuh Husain
juga disana. Husain Radhiyallahu 'anhuma mengatakan, "Saya sudah melakukan
istikharah dan akan berangkat kesana".Maka Husain tertipu dengan janji
mereka, dan mengira bahwa mereka akan merealisasikannya untuk memperbaiki
kebijakan yang buruk dan untuk meluruskan penyelisihan yang diawali pada
kekhilafahan Yazid bin Mu’awiyah.
Perbuatan Husain Radhiallahu ‘Anhu untuk bergabung dengan
penduduk Kufah sendiri dinilai salah oleh para penasehatnya. Di antara mereka
adalah Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Abdulloh bin Ja’far Radhiallahu ‘Anhum
dan lainnya. Bahkan ‘Abdulloh bin ‘Umar Radhiallahu ‘Anhu terus mendesak
kepada Husain agar tetap tinggal di Mekkah dan tidak keluar. Namun dengan
dilandasi baik sangka, Husain menyelisihi permusyawarahan mereka dan keluar,
lalu Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘Anhu berkata kepadanya, “Aku menitipkanmu
kepada Alloh dari pembunuhan!”.
Begitu Husain Radhiallahu ‘Anhu keluar, ia menemui Farozdaq
di jalan yang berkata kepadanya, “Berhati-hatilah engkau, mereka bersamamu
namun pedang-pedang mereka bersama Bani Umayyah. Mereka adalah Syi’ah yang
mengirim surat kepadamu, dan mereka menginginkanmu untuk keluar (ke tempat
mereka), tetapi hati-hati mereka tidak bersamamu. Secara hakiki mereka
mencintaimu, akan tetapi pedang-pedang mereka terhunus bersama Bani Umayyah!”
Akhirnya, sangat jelas sekali tampaklah pengkhianatan Syi’ah ahli Kufah, walau
mereka sendiri yang mengharapkan kedatangan Husain Radhiallahu ‘Anhu.
Berita tentang terbunuhnya Muslim bin Uqail akhirnya didengar
Husain dari utusan yang dikirim oleh Muslim. Karenanya, Husain memutuskan untuk
kembali ke Mekkah. Akan tetapi, putra-putra Muslim melarangnya. Mereka berkata,
“Jangan kembali dulu sampai kami temukan jenazah ayah kami.” Ternyata Husain
setuju dengan pendapat mereka. Perjalanan pun berlanjut.
Sewaktu Husain dan pengikutnya tiba di Karbala, pasukan Ubaidullah
bin Ziyad datang dengan kekuatan empat ribu orang, di bawah pimpinan Umar bin
Sa’ad. Sedangkan yang bersama Husein hanya sekitar tujuh puluh orang. Maka
peperangan tak dapat dihindari lagi, pada peperangan ini akhirnya Husein bin
Ali bin Abi Thalib cucu rasulullah terbunuh ditangan Syimr bin Dzil Jausyin,
ada riwayat lain yang menyatakan pembunuh Husein adalah Sinan bin Anas
an-Naj’i.
Kepala mulianya terpotong, lalu diambil oleh para wanita dan
anak-anak yang berada di antara pasukan dan diberikan paksa kepada Yazid di
Damaskus. Ketika melihat kepala Husain dibawa ke hadapannya saat itu, Yazid pun
sedih dan menangis. Kemudian para wanita dan anak-anak dikembalikan ke kota,
sedangkan anak laki-laki ikut terbunuh, sehingga tidak tersisa dari anak-anak
(Husain) kecuali Ali Zainul Abidin yang ketika itu masih kecil.
Pemberontakan warga Madinah dan pertempuran al-Harrah (63 H)
Tepat pada tahun 63 H, warga Madinah memberontak terhadap Yazid dan
tidak mau mematuhinya lagi. Kronologi pemberontakan adalah berawal ketika Yazid
mencopot al-Walid bin Utbah bin Abu Sufyan, saudara sepupunya dari jabatannya
sebagai wali kota Madinah. Yazid melakukannya demi memenuhi permintaan Najdah
bin Amir al-Hanaf, pemuka Khawarij yang menuding bahwa al-Walid tidak cakap dan
tidak cerdas dalam memimpin. Sehingga Yazid pun menggantinya dengan Utsman bin
Muhammad bin Abu Sufyan.
Namun hal ini tidaklah mengubah keadaan, warga Madinah tetap
mencoba untuk melakukan pemberontakan dan tidak mau patuh dengan perintahnya
lagi. Ketika ditanya apa alasan pemberontakan, mereka menjawab, “Yazid meminum
khamar, alat musik dimainkan untuknya, ia juga meninggalkan shalat dan
melanggar hukum Al-Quran.”[2]
Seorang yang masih mendukung Yazid menolak akan hal itu, ia adalah
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (Muhammad bin al-Hanafiyah), ia berkata,
“Menurutku apa yang kalian tuduhkan tidaklah benar, aku pernah tinggal di
rumahnya. Aku menyaksikan sendiri Yazid rajin mendirikan shalat, gemar bederma,
bertanya tentang masalah fikih, dan melazimi amalan sesuai As-Sunnah.” Namun
mereka tetap membantah pernyataan tersebut dan meminta agar Ibnu al-Hanafiyah
menjadi pemimpin mereka, namun Ibnu al-Hanafiyah menolak. Lalu mereka meminta
agar Ibnu al-Hanafiyah mengutus kedua anaknya, Abu Qasim dan al-Qasim untuk
ikut bertempur. Ibnu al-Hanafiyah tetap menolak dan tetap tidak mau mengikuti
keinginan mereka walau hanya sekadar menjadi motivator masyarakat untuk
berperang. Sehingga mereka menyatakan, “Kalau begitu kami tidak menyukai
engkau.” Lalu Ibnu al-Hanafiyah menjawab, “Jika seperti, aku akan menyuruh
masyarakat agar bertakwa kepada Allah, agar mereka tidak mencari keridhaan
makhluk dengan bermaksiat kepada Khalik.” Dan pada akhirnya Ibnu al-Hanafiyah
pergi meninggalkan Madinah menuju Makkah.”[3]
Pemberontakan ini dipimpin oleh Abdullah bin Hanzhalah al-Anshari
sebagai pemimpin kaum Anshar dan Abdullah bin Muthi’ al-Adawi sebagai pemimpin
Quraisy. Ketika niat kaum pemberontak sudah bulat dan mereka hendak memecah
belah persatuan umat, maka para sahabat senior di Madinah menjadi resah dan
cemas. Sehingga Abdullah bin Umar pergi untuk menemui Ibnu Muthi’, melihat Ibnu
Umar datang Ibnu Muthi’ langsung menyambutnya dengan hangat. Namun tujuan Ibnu
Umar bukanlah untuk bersantai-santai, ia datang untuk menyampaikan sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan,
niscaya ia akan menghadap Allah pada Hari Kiamat tanpa memiliki pembela
baginya, barangsiapa mati tanpa memiliki baiat pada pundaknya, berarti ketika
ia mati matinya adalah mati jahiliyah.”
Tidak cukup hanya itu, Ibnu Umar juga berupaya memotivasi
masyarakat agar masyarakat tidak bergabung dalam pemberontakan. Ia juga
mencegah agar jangan sampai ada dari anggota keluarganya dan anak cucunya
terlibat dalam pemberontakan ini. Sampai-sampai ia mengetakan, “... Siapa saja
di antara kalian yang mencabut baiatnya dalam masalah ini, maka tindakannya
adalah pemisah antara aku dengannya.”
Ketika berita pemberontakan sampai ke telinga Yazid, ia mengutus
an-Nu’man bin Basyir al-Anshari untuk menemui para pemberontak guna mengajak
mereka agar kembali taat, bersatu, dan tidak menyulut perpecahan umat. Namun
sangat disayangkan, mereka tetap menolaknya dan malah sengaja mengusir wali
kota Madinah beserta seluruh Bani Umayyah dari Madinah. Sehingga Yazid tidak
memiliki pilihan lain selain menghadapi para pemberontak secara militer. Yazid
mengirim pasukan besar yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah al-Murri, namun
sebelum pasukan berangkat, Yazid berpesan agar pasukan menghimbau orang-orang
terlebih dahulu sebanyak tiga kali. Namun, jika tetap tidak mau kembali taat
maka perangilah.
Setibanya pasukan Yazid di Madinah, tidak lupa untuk melakukan
pesan Yazid untuk menghimbau masyarakat terlebih dahulu sebanyak tiga kali.
Namun, mereka menolaknya. Sehingga peperangan merupakan jalan terakhir untuk
menyelasaikan masalah ini. Kaum pemberontak Madinah dalam peperangan yang
disebut dengan pertempuran al-Harrah akhirnya dapat ditumpas, Abdullah bin
Hanzhalah serta banyak dari pemuka kelompoknya tewas terbunuh. Peristiwa ini
terjadi pada tanggal 27 Dzul Hijjah 63 H.
Namun sangat disayangkan, dalam peristiwa ini terdapat noda hitam
yang tidak bisa dihilangkan. Yaitu peristiwa ibahatu al-Madinah (memperbolehkan
pasukan melakukan apa saja di Madinah) yang dilakukan oleh Muslim bin Uqbah.
Sehingga peristiwa ini menambah noda hitam bagi sejarah pemerintahan Yazid.
Abdullah bin az-Zubbair
Ia adalah Abdullah bin az-Zubbair bin al-Awwam bin Khuwailid
al-Asadi, ibunya adalah Asma’ binti Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia dilahirkan pada
tahun 1 H dan merupakan bayi Muslim pertama yang dilahirkan di kota Madinah
sejak kaum Muslimin hijrah ke kota itu.
Ia merupakan sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, adz-Dzahabi
berkata, “Ia termasuk dalam kategori shighar ash-shahabah (sahabat
junior), adapun keilmuan, kemuliaan, jihad, dan ibadahnya sangat dalam.” Dan
ketika peristiwa pengepungan di kediaman Utsman bin Affan (35 H) terjadi,
Abdullah bin az-Zubair turut dalam barisan pembela Utsman.
Ketika Muawiyah menjadi khalifah, mereka berdua melakukan hubungan
dengan baik. Hubungan ini berlangsung sampai Muawiyah mengangkat puteranya
Yazid menjadi khalifah. Abdullah bin az-Zubair sangat menentang hal ini dan
ketika Yazid mengutus seseorang untuk menemui al-Walid bin Utbah selaku wali
kota Madinah untuk menerima baiat dari Abdullah bin az-Zubair, akan tetapi Ibnu
az-Zubair justru menolak untuk melakukan baiat dan pergi menuju Makkah.
Yazid bin Muawiyah sangat marah, dan bersumpah hanya mau menerima
baiat Abdullah jika ia sendiri yang datang ke Masjid Jami’ di negeri Syam.
Yazid memerintahkan wali kota Makkah Amru bin Said bin al-Ash untuk mengirim
orang guna menjemput paksa Ibnu az-Zubair untuk pergi ke negeri Syam. Lantas
Amru mengutus Amr bin az-Zubair, adik kandung Abdullah bin az-Zubair. Namun
Abdullah bin az-Zubair berhasil memporak-porandakan pasukan itu, dan Amr bin
az-Zubair sendiri terbunuh.
Sehingga Yazid memerintahkan Muslim bin Uqbah untuk menyerang Ibnu
az-Zubair, yaitu setelah menumpas pemberontakan warga Madinah. Namun di
pertengahan jalan, Muslim bin Uqbah meninggal dunia, sehingga kepemimpinan
digantikan oleh al-Hushainbin Numair as-Sakuni.
Setelah tiba di Makkah pada tanggal 26 Muharram 64 H, pasukan
mengepung Ibnu az-Zubair selama 64 hari, selama itu terjadi saling serang
antara kedua pasukan dan melempari Masjid dengan manjanik yang menyebabkan
kebakaran di Masjid al-Haram.[4]
Sementara kedua belah pihak masih saling menyerang. Khalifah Yazid
menjemput ajalnya pada tanggal 14 Rabi’ul Awal 64 H. Wafat di Hawarain, sebuah
perkampungan di Homs, negeri Syam, di usianya ke-38 atau ke-39. Mendengar kabar
tersebut, Ibnu az-Zubair berteriak, “Untuk siapa kalian berperang? Pemimpin
kalian sudah meninggal.”
Lalu ketika jenderal pasukan Syam, al-Hushainbin Numair berdialog
dengan Ibnu az-Zubair, “Jika Yazid telah tiada maka engkaulah yang paling
berhak menjadi khalifah. Kemarilah! Kami akan membaiatmu, setelah itu
berangkatlah bersama kami menuju Syam...”
Namun Ibnu az-Zubair tidak mau menerima tawaran ini, padahal
seandainya ia mau menerima tawaran ini, maka permasalahan akan selasai. Ibnu
az-Zubair malah bersuara lantang, “Aku merelakan darah mereka? Demi Allah,
walaupun satu nyawa dibayar dengan sepuluh nyawa kalian, aku tetap tidak rela.”
Padahal al-Hushain berbicara kepada Ibnu az-Zubair dengan suara pelan, tapi
justru Ibnu az-Zubair menjawab dengan suara lantang. Maka al-Hushainberkata,
“Semoga Allah menjelekkan orang yang menilaimu cerdas atau fasih setelah
kejadian ini! Aku telah menganggap bahwa engkau memiliki kecerdasan, aku telah
berbicara dengan suara pelan, namun engkau menjawabnya dengan suara lantang.
Aku menawarimu untuk menjadi khalifah, namun engkau malah memilih peperangan
dan kehancuran.[5]
Dari kejadian ini sangat nampak bahwa Ibnu az-Zubair bukanlah
negarawan sejati, sebab jika ia memiliki jiwa negarawan, ia akan memilih untuk
menerima tawaran tersebut.
Ø
Khalifah Mu’awiyah bin Yazid
(Mu’awiyah ats-Tsani)
Panglima al-Hushain bin
Numair dari Syria yang bertugas menaklukkan pasukan Abdullah bin Zubair di
Makkah, menemukan jalan buntu. Karena tak mampu menembus pertahanan lawan dan
mendengar berita wafatnya Khalifah Yazid bin Muawiyah, al-Hushainmenyerukan
gencatan senjata. Abdullah bin Zubair tidak keberatan.
Masa damai itu membuat
kedua pasukan membaur satu sama lain, seolah tak terjadi permusuhan. Anggota
pasukan dari Syria dengan bebas melaksanakan umrah, thawaf di sekitar Ka’bah,
dan sa’i antara Shafa dan Marwah.
Ketika thawaf itulah, Panglima al-Hushain bin Numair berpapasan dengan Abdullah bin Zubair. Sambil memegang lengan Abdullah, al-Hushain berbisik, “Apakah anda mau berangkat bersamaku ke Syria? Saya akan berupaya supaya orang banyak mengangkat anda sebagai khalifah.”
Abdullah bin Zubair menarik lengannya seraya menjawab, “Bagiku tak ada pilihan lain kecuali perang. Bagi setiap satu korban di tanah Hijaz, harus ditebus dengan sepuluh korban di Syria.”
Ketika thawaf itulah, Panglima al-Hushain bin Numair berpapasan dengan Abdullah bin Zubair. Sambil memegang lengan Abdullah, al-Hushain berbisik, “Apakah anda mau berangkat bersamaku ke Syria? Saya akan berupaya supaya orang banyak mengangkat anda sebagai khalifah.”
Abdullah bin Zubair menarik lengannya seraya menjawab, “Bagiku tak ada pilihan lain kecuali perang. Bagi setiap satu korban di tanah Hijaz, harus ditebus dengan sepuluh korban di Syria.”
Panglima al-Hushain menjawab
dengan kata-kata yang cukup terkenal dalam sejarah, “Bohong orang yang
menganggap anda sebagai cendekiawan Arab. Saya bicara dengan berbisik, tetapi
anda menjawab dengan berteriak.”[6]
Tidak lama setelah itu, Al-Hushaindan
pasukannya kembali ke Syria. Boleh jadi, tawarannya bukan basa-basi. Sebab, di
Syria sendiri sedang terjadi kemelut yang cukup mengkhawatirkan. Sepeninggal
Yazid bin Muawiyah, ditunjuklah putranya, Muawiyah bin Yazid sebagai khalifah
pada tanggal 14, bulan Rabiul Awwal, tahun 64 H, yang kala itu ia berusia 23
tahun.[7]
Berbeda dengan ayahnya,
Muawiyah bin Yazid lebih mengutamakan ibadah ketimbang urusan duniawi.
Hari-harinya dipenuhi dengan keshalihan dan ketaatan. Jabatan sebagai khalifah
bukanlah keinginannya, tetapi warisan dari sang ayah.[8]
Muawiyah bin Yazid
bukanlah seorang negarawan, tetapi seorang ahli agama. Ia sendiri merasa tidak
layak menduduki jabatan khilafah. Ia merasa tak sanggup menghadapi urusan
pemerintahan dan kenegaraan. Apalagi sepeninggal ayahnya, Yazid bin Muawiyah,
bumi Syria terus dilanda kemelut. Didukung lagi oleh pengaruh Abdullah bin
Zubair di tanah Hijaz yang semakin meluas.[9]
Dengan segala
pertimbangan itu, akhirnya khalifah ketiga Bani Umayyah ini menyatakan mundur
dari jabatan khalifah setelah kira-kira hanya tiga bulan memerintah. Di hadapan
para tokoh istana, ia menyerahkan jabatannya. Para pemuka istana dan tokoh
keluarga Bani Umayyah memintanya untuk menunjuk seorang pengganti.
Namun, cucu pendiri
Daulah Umayyah itu dengan tegas menjawab, “Aku bukan seperti Abu Bakar yang
mampu menunjuk seorang pengganti. Aku belum menemukan seorang pun di antara
kalian yang mempunyai keutamaan seperti Umar bin Al-Khathab. Aku juga bukan
seperti Umar yang bisa menunjuk Ahli Syura. Kalian lebih tahu dan pilihlah
orang yang kalian kehendaki.”[10]
Sejak saat itu, Muawiyah
bin Yazid menyerahkan hidupnya hanya untuk beribadah dengan uzlah
(mengasingkan diri). Menjelang pengujung tahun 64 H/684 Masehi, ia meninggal
dunia dalam usia masih belia, 23 tahun. Ada yang mengatakan kematiannya tidak
wajar, ia dibunuh dengan diracun atau dal;am riwayat lain ditikam secara
diam-diam. Dalam sebuah riwayat ia hanya memimpin kekhalifahan selama 4o hari,
ada juga yang mengatakan 20 hari, atau 2 bulan atau 3 bulan lebih 20 hari atau
4 bulan. Wallahu a’lamu bisshawab.[11]
Referensi
1.
Al-Mas’udi, Murawwij
adz-Dzahab, vol.1, hlm. 376 versi Syamilah
2.
Ibnu al-Atsir, al-Kamil
fi at-Tarikh (Bairut : Daar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1987)
3.
Abul Fida’
Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, al-Bidayah wan Nihayah
(Beirut, Daru Ihyait Turats al-Arabi: 1998 M) cet. 1, hal. 260, versi Syamilah.
4.
Izzuddin Ibnul
Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, (Beirut, Darul Kutub al-Arabi: 1997M),
cet. 1, vol. 10, hal. 226, versi Syamilah
5.
Abdussyafi
Muhammad Abdul Lathif, 2014, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah,
alih bahasa, Masturi Irham dan Malik Supar, Jakarta Timur, PUSTAKA AL-KAUSAR
[1] Al-Mas’udi, Murawwij
adz-Dzahab, vol.1, hlm. 376 versi Syamilah
[2] Lihat Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, vol.8, hlm. 233
[3] Ibid.
[4] Lihat Ibnu
al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh (Bairut : Daar al-Kutub al-‘Alamiyah,
1987), vol. 3, hlm. 464
[5] Lihat
selengkapnya di al-Kamil fi at-Tarikh, vol.3, hlm. 367-368
[6] Izzuddin Ibnul
Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, (Beirut, Darul Kutub al-Arabi: 1997M),
cet. 1, vol. 10, hal. 226, versi Syamilah
[7] Abul Fida’
Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, al-Bidayah wan Nihayah
(Beirut, Daru Ihyait Turats al-Arabi: 1998 M) cet. 1, hal. 260, versi Syamilah.
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Abul Fida’
Imaduddin Ismail bin Ali al-Muayyid, al-Mukhtashar fi Akhbaril Basyar, (Mesir,
Mathba’ah al-Husainiyyah, tt) cet. 1, vol. 4, hal. 193, versi Syamilah.
[11] Abul Fida’
Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, al-Bidayah wan Nihayah
(Beirut, Daru Ihyait Turats al-Arabi: 1998 M) cet. 1, hal. 260, versi Syamilah.
0 komentar:
Posting Komentar