Oleh: Muhammad Nur Hadi [1]
A. PENDAHULUAN
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang telah memberikan banyak karunia dan rahmat-Nya kepada umat
manusia. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Shalallahu
‘alahi wa sallam, para keluarga, sahabat dan para pengikut beliau hingga
hari kiamat.
Islam merupakan agama yang paripurna. Dalam
segala aspek kehidupan, Islam telah mengaturnya. Dari perkara-perkara yang
sangat kecil dan remeh hingga perkara-perkara yang besar. Oleh sebab itu,
keamanan dan ketentraman sangat terjamin apabila bernaung dibawah aturan-aturan
agama Islam.
Dalam menjaga hak-hak manusia dan memelihara
mereka dari kedhaliman dan kerusakan, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
mensyari’atkan hukuman yang akan ditegakkan kepada orang-orang yang melanggar
syari’at Islam. Salah satu diantara hukumannya adalah penegakan hudud.
Yang mana hukuman hudud ini merupakan salah satu keistimewaan ajaran
Islam dan merupakan bentuk kesempurnaan rahmat dan kemurahan Allah Subhanahu
wa Ta’ala kepada para makhluk-Nya.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Hudud berasal dari
rahmat untuk makhluk dan kebaikan mereka. Oleh karena itu, seharusnya orang
yang menghukum manusia karena dosa-dosa yang mereka lakukan, bertujuan
melakukannya untuk kebaikan dan rahmat kepada mereka. Sebagaimana tujuan orang
tua dalam mendidik anak-anaknya dan para dokter dalam mengobati orang sakit.”[2]
Namun, dalam melaksanakan hudud
tidaklah sembarangan dan asal-asalan, melainkan ada kaidah-kaidah yang harus
diketahui dan dipahami. Sehingga, pelaksanaan hudud sesuai dengan
syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala serta
dapat memberikan manfaat bagi orang lain.
Oleh sebab itu, penulis ingin membahas permasalahan
ini dengan judul kaidah-kaidah dalam
pelaksanaan hudud. Di dalamnya akan kami cantumkan beberapa kaidah dalam
melaksanakan hudud yang benar. Dengan harapan, semoga tulisan ini dapat
memberikan penjelasan kepada para pembaca dan dicatat sebagai amal shalih di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
B. DEFINISI HUDUD
1. Secara Etimologi
Kata hudud berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk jama’
dari kata had yang berarti al-man’u (larangan). Biasanya juga
digunakan sebagi kata yang bermakna “pembatas antara dua hal” atau “yang
membedakan sesuatu dari selainnya”.[3]
2. Secara Terminologi
Dalam istilah syar’i hudud berarti hukuman-hukuman kejahatan yang
ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang
kedalam kejahatan yang sama.[4]
Ibnul Qayyim al-Jauziyah memeberikan definisi hudud dalam kitabnya
yang berjudul al-Hudud wa at-Ta’zirat, yaitu hukuman yang ditetapkan
karena hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.[5]
Abu Malik kamal bin Sayyid Salim juga memberikan definisi hudud,
yaitu hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syari’at untuk mencegah seseorang
dari perbuatan dosa dan menjaga hak Allah Ta’ala. Maka, hukuman ta’zir
tidak termasuk hukuman hudud, sebab tidak ditetapkan oleh syari’at.
Begitu juga qishahsh tidak termasuk hukuman hudud, sebab ia
merupakan hak murni seorang hamba.[6]
C. DALIL-DALIL DISYARI’ATKANNYA HUDUD
1. Dalil Al-Qur’an
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Maidah: 38)
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي
فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera” (QS. An-Nur: 2)
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً
أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 4)
2. Dalil Sunnah
Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلَا
تَأْخُذْكُمْ فِي اللَّهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ
"Tegakkanlah hukum hudud Allah baik kepada orang dekat maupun orang yang jauh, dan jangan sampai cercaan orang yang mencerca mempengaruhi kalian dijalan Allah." (HR. Ibnu Majah, no.2540)[7]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُونَ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَقَدْ ضَادَّ اللَّهَ
"Barangsiapa syafaatnya (pertolongannya) menghalangi (dilaksanakannya) hukum Allah 'azza wajalla, sungguh ia telah menentang Allah. (HR. Abu Daud, no. 3597)[8]
D. HUKUM MENEGAKKAN HUDUD
Hukum menegakkan hudud adalah wajib
bagi seorang pemimpin atau walinya (penggantinya) terhadap rakyatnya
yang melakukan pelanggaran.[9]
Sebab, dengan ditegakkannya hudud dapat mencegah seseorang dari
perbuatan-perbuatan kejahatan.
Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً
بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Maidah: 38)
Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلَا
تَأْخُذْكُمْ فِي اللَّهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ
"Tegakkanlah hukum hudud Allah baik kepada orang dekat maupun
orang yang jauh, dan jangan sampai cercaan orang yang mencerca mempengaruhi
kalian dijalan Allah." (HR. Ibnu Majah, no.2540)[10]
Seluruh ulama’ juga sepakat bahwa hukum
menegakkan hudud adalah wajib. Tidak ada satupun diantara mereka yang
berselisih.[11]
E. KAIDAH-KAIDAH DALAM MENEGAKKAN HUDUD
Dalam melaksanakan hukuman hudud,
tentunya tidak sembarangan dan asal-asalan tanpa aturan. Namun, disana ada
kaidah-kaidah yang harus diperhatikan. Sebab, pelaksnaan hudud memiliki
tujuan, yang mana tujuan itu tidak bisa diraih tanpa menerapkan
kaidah-kidahnya. Adapun kaidah-kaidahnya adalah sebagai berikut:
1. (الحُدُوْدُ تُدْرَأُ
بِالشُبْهَاتِ)
“Hukuman
hudud digugurkan dengan adanya syubhat”
a. Makna Kaidah
Ketika kadar hukuman hudud yang ditentukan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala sangat keras dan diharuskan untuk dikerjakan, maka itu merupakan
tuntutan yang harus dilaksanakan. Namun, jika terdapat syubhat (perkara yang
tidak jelas), maka hukuman hudud digugurkan atau diringankan. [12]
b. Dalil Kaidah
Dari ‘Aisyah r.a berkata, Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الْإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ
فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ
"Hindarilah hukuman had dari kaum muslimin semampu kalian, jika ia mempunyai jalan keluar maka lepaskanlah ia. Karena sesungguhnya seorang imam salah dalam memaafkan lebih baik daripada salah dalam menjatuhi hukuman." (HR. At-Tirmidzi, no.1424)[13]
c. Contoh Kaidah
Seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, namun ia tidak tahu bahwa
yang dizinai itu adalah istrinya sendiri. Kemudian ia mengakui bahwa itu adalah
istrinya. Maka, kasus yang seperti ini tidak ditegakkan had, sebab ada
subhat di dalamnya. Begitu juga tidak ditegakkan had terhadap
seseorang yang mencuri harta yang masih diragukan kepemilikannya. Apakah itu
millik dia sendiri, ayahnya ataukah saudaranya.
2. (الأَصْلُ تَفْوِيْضُ
الحَدِّ إِلَى الإِمَامِ أَوْ مَنْ يَنُوْبُ عَنْهُ)
“Pada dasarnya yang memiliki wewenang
melaksankan hudud adalah pemimpin atau wakilnya.”
a. Makna Kaidah
Sesungguhnya penegakkan hudud dalam syari’at Islam adalah hak
seorang pemimpin, maka hudud tidak ditegakkan kecuali oleh seorang
pemimpin atau wakilnya.[14]
b. Dalil Kaidah
Dalam sebuah kisah seorang buruh yang berzina dengan istri tuannya,
Rasulullah saw bersabda:
)وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا( فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا
“Dan
pergilah Unais Al Aslami ke istri orang ini, jikau dia mengakuinya, maka
rajamilah dia." Unais akhirnya pergi menemui istri orang tersebut, dan dia
mengakuinya, maka ia merajamnya.” (HR. Bukhari: no. 6827 dan Muslim, no. 4435 )[15]
Hadits ini menunjukkan bahwa yang berhak menegakkan hudud adalah
seorang hakim, baik dia sendiri yang malaksanakannya atau memerintahkan kepada
wakilnya.[16]
c. Pengecualian Kaidah
a. Apabila seseorang melihat orang lain menzinai istrinya, dan orang itu telah
menikah, maka ia boleh membunuhnya pada saat itu juga dan tidak ada ta’zir
baginya. Meskipun tanpa meminta pertimbangan dari imam.[17]
b. Seorang majikan boleh menegakkan hudud terhadap budaknya. Ini
pendapat jumhur ulama’. Sedangkan hanafiyah berpendapat tidak diperbolehkan
kecuali dengan izinnya seorang imam. Namun, pendapat jumhur lebih kuat, sebab
dalil yang dijadikan hujjah oleh hanafiyah dha’if.[18]
3. (الحُدُوْدُ تَتَدَاخُلُ)
“Hukuman hudud itu saling tumpang
tindih"
a. Makna Kaidah
Kaidah umum dalam syari’at Islam bahwa hudud itu tumpang tindih
dengan yang lainnya, maka tidak ditegakkan hudud terhadap
pelakunya kecuali sekali had saja apabila ia berulang kali melakukan
kejahatan. Artinya tidak dihukum pada setiap tindakannya. Sebab, maksud dari
penegakkan hudud adalah mencegah dari tindakan kriminal dan dengan
sekali had saja sudah cukup.[19]
b. Dalil Kaidah
Astar Ibnu Mas’ud r.a :
إِذَا جَاءَ القَتْلُ مَحَا كُلَّ سَيْئٍ
“Apabila
terjadi hukuman bunuh, maka ia menghapus seluruh hukuman had.”[20]
c. Pendapat para ulama tentang kaidah ini[21]
Apabila seseorang terkena beberapa macam hukuman hudud, maka tidak akan
lepas dengan tiga hal:
1. Hudud yang murni untuk Allah Ta’ala, dan ini ada dua macam:
a. Apabila seseorang terkena beberapa macam hukuman hudud dan di
dalamnya ada hukuman bunuh. Menurut jumhur ulama’ (hanafiyah, hanabilah dan
malikiyah) bahwa ia cukup dibunuh. Sedangkan menurut syafi’iyah, harus
ditegakkan semua hukuman mulai dari yang paling ringan.
b. Apabila seseorang terkena beberapa macam hukuman hudud dan tidak ada
hukuman bunuh. Para ulama’ sepakat harus ditegakkan seluruhnya.
2. Hudud yang murni untuk manusia seperti qishash atau had qadzaf . dalam hal
ini ada dua pendapat:
a. Malikiyah berpendapat bahwa seluruh had itu masuk pada hukumsn bunuh
kecuali had qadzaf . Maka, ia cukup dikenakan had qadzaf kemudian
dibunuh.
b. Hanabilah, syafi’iyah dan hanafiyah berpendapat bahwa seluruhnya harus ditegakkan
mulai dari yang paling ringan. Sebab, ia berkaitan dengan hak manusia.
3. Bertemunya hudud yang berkaitan dengan hak-hak Allah Ta’ala dan hak-hak
manusia. Dalam hal ini ada tiga macam:
a. Di dalamnya tidak terdapat hukum bunuh. Menurut empat imam madzhab, seluruh
hukuman harus dilaksanakan.
b. Di dalamnya terdapat hukum bunuh. Menurut jumhur ulama, yang berkaitan
dengan hak-hak Allah cukup dengan hukum bunuh. Sedangkan yang berkaitan dengan
hak-hak manusia dilaksankan seluruhnya.
c. Apabila hukuman yang berkaitan dengan hak Allah sama dengan hak manusia,
seperti qishahs dan rajam bagi pezina, maka didahulukan qishash
4. (الأَصْلُ أَنَّ
الحُدُوْدَ لَا تُسْقَطُ بِالتَّوْبَةِ)
“Pada dasarnya hudud tidak bisa
digugurkan dengan taubatnya seseorang”
a. Makna Kaidah
Apabila seseorang bertaubat, kemudian menjauhi maksiat dan kejahatan yang
telah diperbuat, maka sesungguhnya hukuman yang telah ditentukan oleh Allah
Ta’ala kepadanya tidak dapat digugurkan.[22]
b. Dalil Kaidah
Dari Shafwan bin Umayyah, ia berkata:
كُنْتُ نَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ عَلَيَّ خَمِيصَةٌ لِي ثَمَنُ
ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا فَجَاءَ رَجُلٌ فَاخْتَلَسَهَا مِنِّي فَأُخِذَ الرَّجُلُ
فَأُتِيَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهِ
لِيُقْطَعَ قَالَ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَتَقْطَعُهُ مِنْ أَجْلِ ثَلَاثِينَ
دِرْهَمًا أَنَا أَبِيعُهُ وَأُنْسِئُهُ ثَمَنَهَا قَالَ فَهَلَّا كَانَ هَذَا
قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ
"Aku tidur di dalam masjid dengan berselimut kain seharga tiga
puluh dirham. Lalu datang seorang laki-laki dan mencuri kain tersebut dariku.
laki-laki itu tertangkap dan dibawa ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam. Beliau lantas memerintahkan untuk memotong tangannya. Aku mendatangi
beliau dan bertanya, "Apakah engkau akan memotongnya hanya karena tiga puluh
dirham? Padahal bisa saja aku jual kain itu dan pembayarannya
ditangguhkan?" Beliau bersabda: "kenapa hal tersebut tidak kamu
lakukan sebelum kamu membawanya kepadaku?"[23]
c. Pendapat para ulama tentang kaidah ini
Para ulama bersepakat bahwa jika ada seorang perampok telah tertangkap
sebelum bertaubat, maka tetap ditegakkan had atasnya dan imam tidak
boleh memberikan maaf. Begitu juga wali dari korban. Namun, jika perampok
tersebut telah bertaubat sebelum tertangkap, tidak ada perbedaan ulama dalam
hal ini bahwa imam memaafkannya.[24]
Akan tetapi, jika berkaitan dengan hak manusia, maka para ulama berbeda
pendapat. Menurut jumhur ulama, ia tidak dimaafkan dan harus dipenuhi
hak-haknya. Sedangkan menurut Imam Malik, seluruh hak telah gugur. Hanya saja,
jika didapati ada harta orang muslim pada dirinya, maka harus dikembalikan
kepada pemiliknya.[25]
5. (حُقُوْقُ اللهِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُسَامَحَةِ وَحُقُوْقُ العِبَادِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُشَاحَةِ)
“Hak-hak Allah itu dibangun atas dasar toleransi, sedangkan hak-hak hamba itu dibangun atas dasar tuntutan”
a. Makna Kaidah
Sesungguhnya hak-hak Allah itu dibangun atas dasar kemudahan, sedangkan
hak-hak hamba itu dibangun atas dasar tuntutan. Maka hak seorang hamba tidak
dapat digugurkan kecuali dangan seizinnya.[26]
b. Dalil Kaidah
Allah Ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
c. Contoh Kaidah
Apabila ada seorang laki-laki mengaku bahwa ia telah berbuat zina. Kemudian
ia menarik pengakuannya sebelum ditegakkan hukuman had. Maka, pengakuan
yang pertama tidak dianggap dan tidak ditegakkan hukuman kepadanya. Sebab, had
zina merupakan hak-hak Allah Ta’ala.
Apabila kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan hak manusia seperti
pembunuhan yang mewajibkan qishash, maka harus ditegakkan had. Kecuali apabila
wali yang menjadi korban memaafkannya.
6. (لَا تُقَامُ الحُدُوْدُ عَلَى الجَانِي فِيْ أَمَاكِنَ وَأَوْقَاتٍ
مُعَيِّنَةٍ)
“Hudud tidak ditegakkan terhadap pelaku
kejahatan pada tempat dan waktu tertentu.”
a. Makna Kaidah
Merupakan sebuah toleransi syari’at, bahwa dalam melaksanakan hukuman
hudud, syari’at sangat memperhatikan waktu dan tempatnya. Maka, tidak
ditegakkan had apabila dalam kondisi sakit atau dalam keadaan hamil.
Sebab, itu akan menimbulkan madharat yang lebih besar.
b. Dalil Kaidah
Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تُقَامُ الْحُدُودُ فِي الْمَسَاجِدَ
"Tidak boleh melakukan hudud di Masjid " (HR. Ibnu Majah, no. 2599)[27]
c. Beberapa hal yang berkaitan dengan kaidah ini
1. Dilarang melaksanakan hukuman had di dalam Masjid. Sebagaimana
sabda Rasulullah yang telah kami cantumkan diatas. Sebab, Masjid dibangun bukan untuk hal
ini. Namun, untuk megerjakan shalat, membaca al-Qur’an atau berdzikir kepada
Allah Ta’ala.[28]
2.
Dilarang
melaksanakan hudud kepada wanita yang sedang hamil sampai ia melahirkan. Ini
merupakan kesepakatan para ulama. Ibnu Mudzir berkata:
أَجْمَعَ
أَهْلُ العِلْمِ عَلَى أَنَّ الحَامِلَ لَا تُرْجَمُ حَتَّى تَضَعَ
3.
Apabial kondisi cuaca sangat panas atau sangat
dingin, atau dalam kondisi sakit, maka hukuman tidak dilasanakan sampai kondisi
cuaca normal atau badan sudah sehat. Sebab, apabila hukuman had dilaksanakan
pada kondisi yang seperti ini akan membahayakan nyawanya.[30]
4.
Dilarang melaksanakan hukuman had saat musim
paceklik (kemarau panjang). Sebagaimana perkataan Umar bin khattab:
لَا
يُقْطَاعُ فِيْ عِذْقٍ وَلَا عَامِ السَّنَةِ
“Jangan memotong tangan pada saat darurat dan musim
paceklik.”[31]
5.
Melaksanakan
hudud dalam kondisi perang, para ulama’ berbeda pendapat. Ulama syafi’iyah
berpendapat bahwa seluruh had boleh dilaksanakan di negara musuh kecuali had
potong tangan. Menurut hanafiyah hudud tidak ditegakkan di negara musuh dan
tidak pula ketika sudah kembali ke negara muslim. Menurut jumhur had ditegakkan
dimana saja. Di negeara kafir maupun di negara muslim. Menurut hanabilah had
tidak ditegakkan di negara musuh sampai ia kembali ke negaranya. [32]
F. KESIMPULAN
Menegakkan hukuman hudud adalah sebuah
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin bagi para rakyatnya
yang melanggar syari’at Islam. Sebab, dengan ditegakkannya hukuman hudud dapat
mencegah seseorang dari kejahatan yang akan merusak moral manusia.
Dalam melaksanakan hukuman hudud, tentunya
tidak sembarangan dan tanpa aturan. Namun, disana terdapat kaidah-kaidah yang
harus diperhatikan dan dilaksanakan dengan benar. Sebab, pelaksanaan hudud
memiliki tujuan, yang mana tujuan itu tidak dapat diraih kecuali dengan menerapkan
kaidah-kaidahnya dengan benar. Sehingga, pelaksanaan hudud tersebut memberikan manfaat
dan maslahat bagi masyarakat.
G. DAFTAR PUSTAKA
1. Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawa’id wa Dhawabith ‘Uqubat
al-Hudud wa at-Ta’azir, (Riyadh: 2007), Sebuah Desertasi
2. Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Kairo:
al-Maktabah at-Taufiqiyah, 2003)
3. Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan, al-Mulakhas al-Fiqhi, (Riyadh:
Dar al-‘Ashimah, 1423H) versi Maktabah Syamilah
4. Imam as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha’ir, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1403H), versi maktabah syamilah
5. Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Hajr, 1992)
6. Imam al-Kasani, Bada’i’ ash-Shana’i’, (Kairo: Dar al-Hadits, 2005)
7. Ibnul Qayyim al-Jauziyah, al-Hudud wa
at-Ta’zirat, (Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1415H)
8. Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, versi maktabah syamilah
9. Ash-Shan’ani, al-Mushannaf, versi maktabah syamilah
10. Sa’ud bin Abdil ‘Ali al-Barudi al-‘Atibi, al-Mausu’ah al-Jina’iyah
al-Islamiyah, (Riyadh: 1427H), versi maktabah syamilah
11. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), Edisi
III, cet. III
12. Imam al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Riyadh: Daer as-Salam, 1997)
13. Imam Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh: Dar as-Salam, 1998)
14. Imam Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1998)
15. Imam at-Tirmidzi, Jami’ at-Tirmidzi, (Riyadh: Dar as-Salam, 1999)
16. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Riyadh: Dar as-Salam, 1999)
17. Imam an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, (Riyadh: Dar as-Salam, 1999)
[1] Hukum yang telah ditentukan bentuk dan kadarnya oleh Allah Shubhanahu wa
Ta’ala, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[2] Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan, al-Mulakhas al-Fiqhi, (Riyadh:
Dar al-‘Ashimah, 1423H), cet. I, vol. II, hlm. 521, Versi Maktabah Syamilah
[3] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Kairo:
al-Maktabah at-Taufiqiyah, 2003), vol. VI, hlm. 4
[4] Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan, al-Mulakhas al-Fiqhi, (Riyadh:
Dar al-‘Ashimah, 1423H), cet. I, vol. II, hlm. 521, Versi Maktabah Syamilah
[5] Ibnul Qayyim al-Jauziyah, al-Hudud wa at-Ta’zirat, (Riyadh: Dar
al-‘Ashimah, 1415H), hlm. 23
[6] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Kairo:
al-Maktabah at-Taufiqiyah, 2003), vol. VI, hlm. 4
[8] Sunan Abi Daud, Kitab al-Aqdhiyah, Bab Fiman yu’aiyinu ‘ala Khushumah
min Ghairi an ya’lama amraha, no. 3597
[9] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Kairo:
al-Maktabah at-Taufiqiyah, 2003), vol. VI, hlm. 5
[10] Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Hudud, Bab Iqamah al-Hudud, no. 2540
[11] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Kairo:
al-Maktabah at-Taufiqiyah, 2003), vol. VI, hlm. 6
[12] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawa’id wa Dhawabith ‘Uqubat
al-Hudud wa at-Ta’azir, (Riyadh: 2007), hlm. 84, Sebuah Desertasi
[14] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawa’id wa Dhawabith ‘Uqubat
al-Hudud wa at-Ta’azir, (Riyadh: 2007), hlm. 89, Sebuah Desertasi
[15] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Hudud, Bab al-I’tiraf bi az-Zina, no. 6827.
Shahih Muslim, Kitab al-Hudud, Bab Man I’tarafa ‘ala Nafsihi bi az-Zina, no.
4435
[16] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawa’id wa Dhawabith ‘Uqubat
al-Hudud wa at-Ta’azir, (Riyadh: 2007), hlm. 89, Sebuah Desertasi
[17] Imam as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha’ir, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1403H), hlm. 489, versi maktabah syamilah
[18] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawa’id wa Dhawabith ‘Uqubat
al-Hudud wa at-Ta’azir, (Riyadh: 2007), hlm. 90, Sebuah Desertasi
[19] Sa’ud bin Abdil ‘Ali al-Barudi al-‘Atibi, al-Mausu’ah al-Jina’iyah
al-Islamiyah, (Riyadh: 1427H), cet II, hlm.351, versi maktabah syamilah
[20] Ash-Shan’ani, al-Mushannaf, vol. XXI, hlm. 34, versi maktabah
syamilah
[21] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawa’id wa Dhawabith ‘Uqubat
al-Hudud wa at-Ta’azir, (Riyadh: 2007), hlm. 96, Sebuah Desertasi
[22] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawa’id wa Dhawabith ‘Uqubat
al-Hudud wa at-Ta’azir, (Riyadh: 2007), hlm. 100, Sebuah Desertasi
[23] Sunan Abi Daud, Kitab al-Hudud, Bab Man Saraqa min Harzin, no. 4394.
Sunan an-Nasa’i, Kitab Qath’us Sariq, Bab Ma Yakunu Harzan wa Ma La Yakunu, no.
4887
[24] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Hajr, 1992), cet. II, vol. XII,
hlm. 483. Imam al-Kasani, Bada’i’ ash-Shana’i’, (Kairo: Dar al-Hadits,
2005), vol. IX, hlm. 333
[25] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawa’id wa Dhawabith ‘Uqubat
al-Hudud wa at-Ta’azir, (Riyadh: 2007), hlm. 102, Sebuah Desertasi
[26] Ibid, hlm.111
[27] Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Hudud, Bab an-Nahyu ‘an Iqamah al-Hudud fi
al-Masjid, no. 2599
[32] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawa’id wa Dhawabith ‘Uqubat
al-Hudud wa at-Ta’azir, (Riyadh: 2007), hlm. 128, Sebuah Desertasi
0 komentar:
Posting Komentar