Jumat, 22 Januari 2016

Meminta Bantuan dengan Orang Kafir?

1

by: ekhwan 
Pengertian

Secara bahasa al-isti’anah  merupakan bentuk masdar dari ista’aana-yastai’iinu-isti’anatan yang berarti istadharo-yastadzhiru yaitu meminta kekuatan dan pertolongan.[1]
Kemudian digandengkan dengan kata bi al-kuffar sebagai bentuk pengkhususan, karena isti’anah  (meminta bantuan) itu bermacam-macam, diantaranya isti’anah bi al-fasikin, isti’anah bi al-bughot, isti’anah bi al-munafiqin dan isti’anah bi ahli al-kitab yang semuanya memiliki arti dan maksud yang berbeda-beda.
Adapun al-kuffar secara bahasa adalah bentuk jama’ dari kata al-kafir yang berarti orang yang menentang dan ingkar, adapun secara istilah adalah orang yang tidak beriman kepada syariat Allah yang dibawa oleh Rasulullah.
Sehingga arti al-isti’anah bi al-kuffar fi al-jihad yaitu: meminta bantuan dan menyandarkan diri kepada orang-orang yang tidak mau beriman kepada syariat Allah untuk  dalam jihad melawan musuh kaum muslimin dengan ketentuan dan persyaratan yang sudah dijelaskan oleh para ulama.[2]
Dalil- dalil syari’ yang berkaitan dengan meminta bantuan kepada orang kafir
a.      Al-Qur’an
1.      Firman Allah :
 لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِير
Artinya: janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Siapa yang berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya dan hanya Allah tempat kembali. (Al-Imaran :28)
لَا تَرْكَنُوا إَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
Artinya: dan janganlah kamu cenderung kepada orang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak memiliki seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan (Hud : 113)
          Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa kalimat tarkanu dalam ayat ini berarti tunduk dan bersandar serta ridho kepada mereka. Begitu juga menurut Ibnu Juraij bahwa makna  tarkanu yaitu condong dan ridho.[3] 
2.             يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبالاً وَدُّوا ما عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

Artinya : wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang diluar keluargamu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena)mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka megharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dihati mereka lebih jahat. Sungguh, telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat kami jika kamu mengerti (Al-Imran : 118).
Imam Al-Qurtubi mengomentari ayat ini dalam kitabnya, “Sesungguhnya Allah melarang kaum mukminin dengan ayat ini menjadikan orang-orang kafir baik dari Ahli Kitab atau pengikut hawa nafsu sebagi tamu dan sahabat karib, lalu megadukan perkara kepada mereka , meminta bantuan kepada mereka dan menyandarkan seluruh urusannya kepada mereka”[4]
Imam Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan, “Janganlah engkau menjadikan orang-orang non muslim sebagai wali, orang kepercayaan atau orang-orang pilihan, karena mereka tidak segan-segan melakukan apa-apa yang membahayakanmu.”[5]
3.       يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ

artinya: wahai orang-orang yang beriman! janganlah kalian menjadikan pemimipnmu orang-orang orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan,(yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab seblumu, dan orang-orang kafir (orang musyrik)”  (Al-Maidah: 57)


b.      As-Sunnah
1.      Sabda Nabi salAllahu alaihi wasalam:
عن عائشة قالت: خرج النبي صلى الله عليه وآله وسلم قبل بدر فلما كان بحرة الوبرة أدركه رجل قد كان تذكر منه جرأة ونجدة، ففرح به أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم حين رأوه، فلما أدركه قال: جئت لاتبعك فأصيب معك، فقال له رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: تؤمن بالله ورسوله قال: لا، قال: فارجع فلن أستعين بمشرك، قالت: ثم مضى حتى إذا كان بالشجرة أدركه الرجل فقال له كما قال أول مرة، فقال له النبي صلى الله عليه وآله وسلم كما قال أول مرة فقال لا، قال: فارجع فلن استعين بمشرك، قال: فرجع فأدركه بالبيداء فقال له كما قال أول مرة: تؤمن بالله ورسوله؟ قال: نعم، فقال له: فانطلق
Artinya : Dari Aisyah r.a., dia berkata, “Sebelum perang Badar, Rasulullah SAW. Melakukan suatu perjalanan. Sesampainya di Harrah Al-Wabarah_sebuah tempat berjarak 4 mil dari Madinah_ beliau ditemui oleh seorang laki-laki yang disebut-sebut sebagai pemberani. Para sahabat Rasulullah SAW. Terlihat gembira melihat orang tersebut. setelah menemui beliau, laki-laki itu berkata, “Aku datang untuk ikut denganmu, dan bergabung dengan pasukanmu.” Rasulullah SAW. Lantas bertanya, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasulnya?” Dia menjawab, “Tidak”. Belaiu kembali bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena aku tidak mau meminta bantuan kepada seorang yang musyrik.” Laki-laki- itupun pergi, sehinga sesampinya Rasulullah di Syajarah, beliau kembali ditemui oleh laki-laki tersebut. Dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya, dan Nabi SAWpun mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, orang itu menjawab, “Tidak”. Maka Nabipun bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena aku tidak mau meminta bantuan kepada orang musyrik.” Laki-laki itupun pulang, tetapi kemudian menemui Nabi kembali di Baida’, dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya. Lalu Rasulullah bertanya, “Apakakh egkau beriman kepada Allah dan rasulnya?” dia menjawab, “Ya” beliau bersabda lagi kepadanya, “Ikutlah engkau bersama kami,” [6]
2.      Sabda Nabi -Salallahu alaihi wasalam-:
عن خبيب بن عبد الرحمن عن أبيه عن جده قال: أتيت النبي صلى الله عليه وآله وسلم وهو يريد غزوا أنا ورجل من قومي ولم نسلم، فقلنا: إنا نستحي أن يشهد قومنا مشهدا لا نشهده معهم، فقال: أسلمتما؟ فقلنا: لا، فقال: إنا لا نستعين بالمشركين على المشركين،  فأسلمنا وشهدنا معه (رواه أحمد)
Artinya: Imam Ahmad meriwayatkan dari Khubaib Ibnu Abdurrahman, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW pernah menolaknya, dan menolak juga orang yang bersamanya dalam peperangan beliau, karena keduanya belum memeluk islam, beliau bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan meminta bantuan kepada seorang musyrik untuk memerangi orang-orang musyrik,” lalu dia berkata, “Kamipun memeluk islam dan ikut berperang bersama beliau.”[7]
3.      Al-Bukhori meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib, r.a., dia mengatakan ‘seseorang yang bertopeng besi menemui Nabi  SAW. Seraya berkata, “Wahai Rasulullah ! bolehkan aku ikut berperang, atau aku harus memeluk islam terlabih dahulu? beliau menjawab, ‘Masuklah kedalam islam, lalu berperanglah bersama kami,’ orang itupun memeluk islam, lalu ia berperang, dan akhirnya terbunuh. Raulullah lalu bersabda “Orang ini sedikit beramal, tetapi banyak mendapatkan pahala.”[8]
4.      Disebutkan dalam riwayatt Imam Muslim bahwa Nabi pernah meminta bantuan kepada Shofwan bin Umayyah pada perang Hunain padahal ketika itu Shofwan masih dalam kondisi kafir[9]
5.      Al-Zuhri meriwayatkan bahwa Nabi SAW. Pernah meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi dalam perang Khoibar untuk memeragi kaum Yahudi. Kemudian beliaupun membagi jatah harta rampasan perang kepada mereka.[10]
6.      Diriwayatkan bahwa Nabi SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyewa Abullah bin Uraiqit sebagai penunjuk jalan untuk berhijrah ke Madinah[11]

I.                   Dalam hal apa saja kaum Muslimin meminta bantuan kepada orang kafir ?
Dalam perakteknya, tidak dalam semua hal kaum Muslimin meminta bantuan kepada orang kafir meskipun itu dalam kondisi lemah, karena hal itu tidak dibutuhkan, adapun perkara-perkara yang sering terjadi didalamnya keikutsertaan kaum kafir atas permintaan kaum Muslimin itu sebagai berikut:[12]
Pertama: Dalam urusan Jihad, dalam jihad biasanya kaum Muslimin sering melibatkan orang kafir bersama mereka, tentu hal ini karena kondisi yang mendesak, baik itu kurangnya kekuatan, jumlah personil atau  persenjataan dari kaum Muslimin, sehingga ketika kaum Muslimin meminta bantuan dari orang kafir itu tidak lebih dari persenjataaan, pendapat dan personil.
Kedua: Dalam urusan Mengumpulkan zakat dan membangun masjid, dalam perakteknya ternyata dalam kondisi tertentu kaum Muslimin masih menggunakan orang kafir dalam urusan pengelolaan zakat kaum muslilim, meskipun hal ini diperselisihkan oleh para ulama akan kebolehannya, tapi yang pasti kaum Muslimin dalam hal ini terkadang meminta bantuan kepada mereka.
Ketiga: Dalam urusan pendidikan, tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang orang-orang kafir lebih unggul dalam beberapa bidang ilmu daripada kaum Muslimin, tidak hanya ilmu duniawi saja, bahkan ilmu diin sekalipun banyak diantara mereka yang lebih unggul dari sebagian kaum Muslimin, sehingga hal ini menyebabkan kaum Muslimin belajar kepada mereka, dalam hal ini para ulama sudah menjelaskan dengan panjang lebar dan tidak kami cantumkan disini karena tidak termasuk kedalam pembahasan.
Keempat: Menjadikan mereka sebagi mata-mata, ini pernah terjadi pada masa Rasulullah ketika beliau keluar bersama 1000 sahabatnya pada tahun Hudaibiyah, ketika beliau sampai di Dzul Hulaifah beliau mengikatkan hewan kurbannya dan bersyair kemudian berihram, lalu beliau mengutus mata-mata dari Khuza’ah[13].

II.               Pandangan Imam Madzhab Terhadap Masalah Ini
          karena permasalahan ini termasuk yang diperselisihkan oleh para ulama, maka sangat tepat sekali jika kita melihat bagaimana para ulama terkhusus kalangan empat Imam Madzhab yang sudah masyhur memandang permasalahan ini, kita melihat bagaimana mereka memandang masalah ini dengan hujah-hujah yang mereka  miliki, apakah terjadi kesepakatan atau justru malah kontradiksi yang sangat keras diantara mereka, untuk lebih jelasnya kami paparkan masing-masing pendapat mereka sebagai berikut:
1.        Hanafiyah: diriwayatkan dalam kitab Al-bahr dari Al-Atrah dan Imam Abu Hanifah bahwa mereka membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir. Mereka berhujjah dengan hadits Nabi Salallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi Salallahu Alaihi wasallam pernah meminta bantuan kepada Shofwan bin Umayyah pada perang Hunain sedangkan ia ketika itu masih dalam keadaan musyrik[14]
Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Dzu Al-Mukhbir bahwa Nabi SAW bersabda:
 عن ذي مخبر رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ستصالحون الروم صلحا آمنا فتغزون أنتم وهم عدوا من ورائكم فتنصرون وتغنمون وتسلمون ثم ترجعون حتى تنزلوا بمرج ذي تلول فيرفع رجل من أهل النصرانية الصليب فيقول غلب الصليب فيغضب رجل من المسلمين فيدقه فعند ذلك تغدر الروم وتجمع للملحمة
Dari Dzu Mihbar, seorang laki-laki dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wasallam, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wasallam bersabda : “Kalian pasti akan melakukan perdamaian dengan Romawi dengan aman. Kalian bersama mereka akan memerangi satu musuh dikemudian hari. Kemudian kalian akan ditolong dan berhasil mendapatkan ghanimah (memenagkan pertempuran) serta selamat. Kemudian kalian kembali pulang hingga kalian singgah di sebuah daerah yang tinggi. Tiba-tiba seorang laki-laki dari kaum Nashrani mengangkat salib seraya berkata : “Telah menang salib”. Hingga marahlah seorang dari kaum muslimin dan mendorongnya. Maka ketika itu mulailah tentara Romawi berkhianat serta menyiapkan pasukannya untuk pertempuran besar” [15]

2.      Malikiyah:  mereka berpendapat bahwa tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan, kecuali orang kafir itu hanya sebagai pengikut dan pembantu, bukan sebagai pengatur atau atasan yang memberikan komando secara utuh  bagi akum Muslimin, adapun jika mereka ditempatkan pada posisi yang mungkin untuk mengatur urusan kaum Muslimin, maka menurut pendapat ini tidak diperbolehkan meminta bantuan kepada mereka, karena ini menjadi syarat dibolehkannya meminta bantuan kepada kaum kafir.[16]
3.      Syafi’iyah: disebutkan dalam sebuah riwayat dari Imam As-Syafi’i bahwa belaiu tidak membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir, karena itu sama saja dengan menjadikan jalan bagi  mereka, sedangkan Allah Ta’ala melarang yang demikian dalam firmannya. Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang sudah disebutkan di atas, diantaranya :
Firman Allah:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبالاً وَدُّوا ما عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya : : wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang diluar keluargamu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena)mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka megharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dihati mereka lebih jahat. Sungguh, telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat kami jika kamu mengerti (al-imran : 118).
                   Akan tetapi dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa imam syafi’i membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir asalkan orang kafir tersebut memiliki pandangan bagus terhadap kaum muslimin.[17]
4.        Hanabilah: disebutkan dalam Al-mughni bahwa Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi beliau membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir  dengan beberapa ketentun , diantarnya: orang kafir yang dimintai bantuan harus memiliki perangai yang baik terhadap kaum Muslimin, tidak pernah dikenal melakukan penipuan dan merugikan  terhadap mereka, jika ini tidak terpenuhi maka tidak disahkan untuk meminta bantuan kepda mereka.[18]
Dalil yang mereka gunakan sangat banyak sekali, diantaranya hadits-hadits Nabi Salallahu alaihi wasalam  yang sudah disebutkan diatas, misalanya yang disebutkan dalam riwayat Imam Muslim bahwa Nabi pernah meminta bantuan kepada Shofwan bin Umayyah pada perang Hunain padahal ketika itu Shofwan masih dalam kondisi kafir[19].
Al-Zuhri juga  meriwayatkan bahwa Nabi SAW. Pernah meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi dalam perang Khoibar untuk memeragi kaum Yahudi. Kemudian beliaupun membagi jatah harta rampasan perang kepada mereka.[20]

III.            Tarjih Tehadap Permasalahan
    Setelah meneliti pendapat para ulama terhadap masalah ini beserta dalil-dalilnya ternyata mereka berbenda pendapat, dan masing-masing pendapat yang mereka pegang berlandaskan kepada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, lantas pendapat siapa yang harus dipilih?
Dalam permasalahan ini -dengan melihat dalil-dalil yang ada- kami tidak merojihkan salasatu dari pendapat yang disebutkan diatas, karena dalil-dalil yang menjelaskan tentang perkara ini  semuanya bisa digunakan sebagi hujjah, pendapat yang melarang meminta bantuan kepada orang kafir itu memiliki landasan yang sohih, artinya dalil-dalil yang digunakan adalah al-qur’an dan hadits sohih atau hasan, misalnya hadits aisyah yang menunjukan bolehnya meminta bantuan kepada orang kafir, itu adalah hadits shohih yang diriwayakan oleh imam muslim, begitu juga dengan hadits abu hamid as-saidi, itu adalah hadis yang dihasankan oleh syaikh nasirudin al-albani dalam kitabnya.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan oleh kelompok yang mengharamkan meminta bantuan kepada orang kafir itu kebanyakan dhoif, namun ada satu hadis dengan  derajat hasan yang masih boleh dijadikan sebagai hujjah, yaitu hadits Dzu-Mikhbar yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya.
Dari sinilah kami tidak mengambil langkah tarjih dari beberapa pendapat diatas, sebagaimana para ulama kontemporer juga tidak merojihkan salah satunya, akan tetapi kami menggunakan metode pertama yang ditempuh dalam menanggapi dalil-dalil -yang secara dzohir bertentangan- yaitu metode torikotul jam’i (metode menggabungkan dalil) dengan berlandaskan kepada sebuah kaidah dalam ushul fikih Al-jam’u aula mina at-tarjih[21]  (menggabungkan dalil-dalil yang ada itu lebih utama dari pada merojihkan yang satu dan membuang yang lainnnya) sebagai metode pertama yang harus digunakan dalam menyimpulkan hukmm dari nash-nash syar’i, karena jika dalil-dalil yang ada masih memungkinkan untuk digabung maka itu lebih utama daripada ditarjih dan ini cara yang benar.[22]
Demikian ini sebagaimana yang dilakukan oleh ulama kontemporer seperti Yusuf Qordhowi[23] dan Robi’ Ath-Thuraiqi[24], mereka mengambil jalan keluar untuk permasalahan ini dengan cara menggabungkan dalil-dalil yang ada, sehingga hasilnya adalah boleh meminta bantuan kepada orang kafir tetapi dengan beberapa syarat dan ketentuan, tidak dalam semua situasi dan kondisi, adapun syarat yang mereka sebutkan adalah:
1.    Adanya kebutuhan yang mendesak untuk melakukan hal itu, karena jika tidak ada kebutuhan untuk melakukan hal ini seperti banyaknya jumlah pasukan dan kekuatan yang dimiliki oleh kaum musllimin, yang dengannya diperkirakan akan mampu mengalahkan musuh,_tentunya dengan sunnatullah dan sebab-sebabnya_ maka tidak dibolehkan meminta bantuan kepada mereka.[25]
2.      Adanya rasa tenang pada diri kaum Muslimin terhadap orang yang akan dimintai pertolongan _orang kafir_. Karena tabiatnya orang kafir itu adalah pendusta dan tidak bisa dipercaya, mereka juga punya keinginan untuk menghancurkan kaum Musliminm, sehingga jika tidak ada kejelasan yang nyata tentang orang kafir yang dimintai pertolongan, maka ini tidak dibolehkan sebagai bentuk kehati-hatian, akan tetapi jika orang kafirnya sudah jelas keperibadiannya bahwa dia bisa dipercaya maka ini tidak mengapa.[26]
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi terhadap Shofwan bin Umayah, Karena Nabi mengetahui bahwa pada diri Shofwan terdapat loyal yang lebih kuat terhadap suku daripada watsaniyah (teman menyembah patung), sehingga Nabi tidak ragu lagi untuk meminta bantuan kepada beliau.[27] [28]
3.      Orang kafir yang dimintai pertolongan tidak boleh memiliki misi dakwah, mengajak kaum Muslimin kedalam agamanya, karena hal ini bisa merusak akal dan membingungkan kaum Muslimin, padahal mereka sangat membutuhkan kepada kuatnya keimanan, keyakinan dan bersatunya barisan, sehingga jika tampak seruan dari orang kafir kepada kuam Muslimin untuk mengikuti agamanya, maka orang kafir tersebut harus segera disingkirkan dari barisan dan dijauhkan dari kam Muslimin, hal ini berlandaskan kepada sebuah kaidah “daru al-mafsadah mukoddam ala jalbi al-masholih” [29] [30](mencegah kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil mashlahat)
4.      Orang kafir yang dimintai pertolongan tidak boleh menduduki posisi tertinggi sehingga bisa mengatur seluruh gerak kaum Muslimin dengan sekehendaknya.
5.    Dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disebutkan diatas, seyogyanya bagi kaum Muslimin untuk membatasi diri dari meminta bantuan kepada orang akfir hanya pada kondisi terdesak saja sebagai bentuk kehati-hatian terhadap mereka, karena Allah berfirman: “wahai orang-orang yang berimn berhati-hatilah kalian” (an-nisa’), dan karena orang kafir itu tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang muslim berupa keimanan dan loyalitas, sehingga hal ini tidak bisa diremehkan, artinya kaum muslimin harus selalu berhati-hati dari kejahatan mereka baik sedikit ataupun banyak.

IV.           Kesimpulan
            Setelah melihat penjelasan diatas baik pendapt para ulama mutakoddimin ataupun mutaakhirin kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pada asalnya meminta bantuan kepada orang kafir itu diharamkan secara mutlak dalam kondisi apapun, akan tetapi hal ini bisa diperbolehkan dalam kondisi tertentu dan dengan syarat-syarat yang sudah disebutkan diatas.
            Sebagai penutup kami kutipkan keterangan Ibnu Hajar dalam masalah ini, beliau berkata, “Dipadukan antara keduanya – yaitu hadits ‘Aisyah yang mengandung pelarangan dan hadits Shafwan bin Umayyah yang mengandung pembolehan serta hadits mursal Az-Zuhri – dengan beberapa bentuk pemaduan, Diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baihaqi dari pernyataan Asy-Syafi’i bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berharap di balik penolakan tersebut agar orang tersebut mau masuk Islam. Dan ternyata perkiraan beliau tersebut adalah benar. Diantara bentuk pemaduan yang beliau sebutkan pula adalah : Bahwasannya penentuan perkara tersebut adalah kembali pada kebijakan imam/penguasa. Bentuk pemaduan yang ketiga adalah : Bahwasannya Al-Isti’anah (meminta pertolongan kepada orang musyrik/kafir) pada awalnya dilarang, kemudian akhirnya diijinkan. Kemungkinan (yang terakhir) inilah yang saya (Ibnu Hajar) dukung, dan atas pendapat inilah Asy-Syafi’i menegaskan” [At-Talkhiisul-Habiir juz 4 no. 1856].



V.           Daftar pustaka
1.      Abdullah bin Ibrahim bin Ali ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri al-Muslimin fi al-Fiqhi al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu Al-Buhuts wa Al-Iftaa  wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1409 H) Cet. I
2.      Yusuf Kordowi, Fikih Jihad, (Qohiroh: Maktabah Wahbah 1436 H, 2009 M). Cet. I
3.      Robi’ bin Hadi Umair al-Madkholi, Shoddu Udwanu al-Muslimin Wa Hukmu Isti’anatu Ala Qitalihim Bi Ghoiri al-Muslimin, (Riyadh: Al-Furqon 1411 H).
4.      Imam As-Syaukani, Fathu al-Qodir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmi 1415 H), Cet. I
5.      Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li ahkami al-Qur’an, (Dar Kutub al-Mishriyah 1384 H).
6.      Abu Amru, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Multako Ahlu al-Hadits)
7.      Muhamad bin Qudamah, Al-Mughni (Qohiroh: Hajaro)
8.      Imam Nawawi, Minhaj ath-Tholibin wa Umdatu l-Muftin (Beirut: Dar Al-Ma’rifah)
9.      Ibnu Hazm, Al-Muhalaa, (Bairut-libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2010 M), Cet, I
10.  Imam Nawawi, Raudhatu ath-tholibin (Bairut-libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1427 H, 2006 M), Cet, III
11.  Abu Al-Harits al-Ghozzi, al-Wajiz fi idhohi qowaidi al-Fiqhi al-Kuliyati (beirut: Musasatu ar-Risalah 1416 H, 1996 M), Cet, V
12.  Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (Damaskus-Suriyah: Dar al-Fikr 1419 H, 1999 M) Cet, I




[1] Abu Amru, Al-Mausu’ah Al-fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Multako Ahlu Al-Hadits,
[2] Kamus al-arabi.
[3] Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an, (Dar Kutub Al-Mishriyah 1384 H) vol. 9 hal. 108
[4] Ibid.
[5] Imam Al-Baghowi, Ma’alim At-Tanzil Fi Tafsir Al-Qur’an ( Beirut: dar at-thoyibah li an-nasyri wa at-tauzi’, 1417 H, 1997 M), vol. II hal. 95
[6] HR Muslim (1817) dalam kitab Al-Jihad Wa Al-Sair, Ahmad (24386) dalam Al-Musnad, Abu Daud (2732) dalam kitab Al-Jihad, Al-Tirmidzi (1558) dalam kitab Al-Sair, dan Ibnu Majah (2832) dalam kitab Al-Jihad, dari Aisyah r.a.
[7] HR Ahmad (17563) dalam Al-Musnad, para perawi hadits ini mengatakan bahwa sanadnya dhaif, kecuali kalimat, “sesungguhnya kami tidak akan meminta bantuan kepada seorang musyrik untuk memerangi orang-orang musyrik” riwayat ini bersetatus hasan lighoirihi. Diriwayatkan pula oleh Abi Syaibah (33831) dalam kitab Al-Sair, At-Thabrani dalam Al-Kabir (4/223), dan Al-Hakim (2/121) dalam kitab Al-Jihad. Al-Hakim menshahihkan sanadnya, tetapi Adz-Dzahabi tidak mengomentarinya tentang hal tersebut, diriwayatkan pula oleh Abu Nu’man dalam Hilyah Auliya (1/364) dan Al-Baihaki dalam Al-Kurba (9/37) dalam kitab Al-Sair, dari Khubaib Ibnu Isaf, dalam Majma’ Az-Zawaid (5/550), Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dengan perawi-perawi yang tsiqqoh.
[8] HR Bukhori dan Muslim dari Al-Bara’ bin Azib r.a.
[9] Sohih Muslim
[10] HR. Riwayat Ibnu Mansur (2/284) dalam bab Ma Jaa’a fi Sahman Al-Nisaa dan Ibnu Abi Syaibah (33835) dalam kitab Al-Sair, Awwamah mengatkan bahwa riwayat ini berasal dari Maroosil Al-Zuhri, sedagkan ia bagaikan angin dalam pandangan Yahya Al-Qoththon. Diriwayatkan pula oleh Abu Daud dalam maraasil (270) dan Al-Baihaki dalam Al-Kubra ((9/53) dalam kitab al-sair, dikatakan bahwa hadits ini mungkoti’ dari Al-Zuhri.
[11] H.R Al-Bukhori , keutamaan Anshor, hadits (3905).
[12] Abdullah bin Ibrahim bin Ali Ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri Al-Muslimin fi Al-Fiqhi Al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu Al-Buhuts wa Al-Iftaa  wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1407 H), hal. 274
[13] Kitab Al-Maghozi bab 35,
[14] Shohih Muslim.
[15] HR. Abu Dawud no. 4292; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2767].
[16] Al-Khorsi 3/14
[17] Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi didalam Syarah Shohih Muslim :
وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَآخَرُونَ : إِنْ كَانَ الْكَافِر حَسَن الرَّأْي فِي الْمُسْلِمِينَ , وَدَعَتْ الْحَاجَة إِلَى الِاسْتِعَانَة بِهِ اُسْتُعِينَ بِهِ , وَإِلَّا فَيُكْرَه

”Asy-Syafi’i dan yang lainnya telah berkata : ’Apabila orang kafir tersebut mempunyai pandangan bagus terhadap kaum muslimin (bisa dipercaya) dan kondisi sangat membutuhkan pada pertolongan orang kafir tersebut, maka diperbolehkan meminta pertolongan kepadanya. Jika tidak, maka hal itu dibenci”

[18] Yusuf Qordowi, Fikih jihad, (Qohiroh: Maktabah Wahbah  ).vol 1 hal. 806
[19] Sohih Muslim
[20] HR. Riwayat Ibnu Mansur (2/284) dalam bab Ma Jaa’a Fi Sahman Al-Nisaa dan Ibnu Abi Syaibah (33835) dalam kitab Al-Sair, Awwamah mengatkan bahwa riwayat ini berasal dari maroosil Al-Zuhri, sedagkan ia bagaikan angin dalam pandangan Yahya Al-Qoththon. Diriwayatkan pula oleh Abu Daud dalam maraasil (270) dan Al-Baihaki dalam Al-Kubra ((9/53) dalam kitab Al-Sair, dikatakan bahwa hadita ini mungkoti’ dari Al-Zuhri.
[21] Muhamad Sulaiman Al-Asyqor, al-Wadih fi ushul al-Fiqhi li al-Mubtadiin, (Urdun: Dar An-Nafais). Vol. 1 Hal. 270. Wahbah zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, (Damaskus, suriah : Dar Al-Fikr ) hal, 245
[22] Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar:
 ويجمع بينه وبين الذي قبله بأوجه ذكرها المصنف منها وذكره البيهقي عن نص الشافعي أن النبي صلى الله عليه وسلم تفرس فيه الرغبة في الإسلام فرده رجاء أن يسلم فصدق ظنه وفيه نظر من جهة التنكير في سياق النفي ومنها أن الأمر فيه إلى رأي الإمام وفيه النظر بعينه ومنها أن الاستعانة كانت ممنوعة ثم رخص فيها وهذا أقربها وعليه نص الشافعي
[23] Yusuf Kordhowi, Fikih jihad, (Qohiroh: Maktabah Wahbah).vol 1 hal. 806
[24] Abdullah bin Ibrahim bin Ali Ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri Al-Muslimin Fi Al-Fiqhi Al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu Al-Buhuts Wa Al-Iftaa  wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1407 H) hlm. 270
[25] Ibid, hal. 112
[26]Imam Nawawi, Minhaj Ath-Tholibin wa Umdatu Al-Muftin (Beirut: Dar Al-Ma’rifah) vol.4 hal. 221
[27] Lafadz yang menunjukan loyalnya Shofwan kepada Rasulullah adalah:
 “لأن يربني رجل من قريش – يعني محمد –خير من أن يربني رجل من هوازن"
H.R Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/388), Ibnu Hiban dalam As-Sair (11/95), Al-Arnaut mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan, dan diriwayatkan juga oleh Al-Baihaki dalam kitab pembagian fai’ dan ghonimah (6/370) dari jalur Jabir bin Abdillah.
[28] Syarat seperti ini juga dijselaskan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (13/98).
[29] Muhamad Sulaiman al-Asyqor, Al-Wadih Fi Ushul Fiqih Li al-Mubtadiin, (Qohiroh: Dar al-Salam) hal. 270
[30] Abi Al-Harits al-Ghozi, al-Wajiz fi Idhohi Qowaidi al-Fiqhi al-Kulliyah, (Bairut: Musasatu Ar-Risalah) hal. 265

1 komentar:

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net