Senin, 18 Januari 2016

Gencatan Senjata Dalam Pandangan Islam

1

Oleh : Hasri

I.                  Pengertian Gencatan Senjata
Secara bahasa, وهادنه مهادنة: أي صالحه، والاسم: الهدنة، ويقال للصلح بعد القتال
Artinya melakukan perjanjian atau perjanjian setelah berperang. Atau biasa diistilahkan al-Hudnah, ash-Sulhu al-Muaqqat, al-Muwada’ah.
Secara istilah para ulama memiliki berbagai macam pengertian namun artinya tidak jauh berbeda. Yaitu mengadakan kesepakatan dengan kafir harbi untuk tidak melakukan perang dalam waktu tertentu dengan disertai  pengganti ataupun yang lainnya, baik diantara kafir harbi itu ada yang masuk islam atau tidak, dan mereka masih tetap tidak berada dalam kekuasaan pemerintahan islam.[1]
Ibnu Qudamah menyebutkan di dalam kitab Al-Mughni makna al-hudnah Adalah
 مَعْنَى الْهُدْنَةِ، أَنْ يَعْقِدَ لِأَهْلِ الْحَرْبِ عَقْدًا عَلَى تَرْكِ الْقِتَالِ مُدَّةً، بِعِوَضٍ وَبِغَيْرِ عِوَضٍ. وَتُسَمَّى مُهَادَنَةً وَمُوَادَعَةً وَمُعَاهَدَةً
Seorang imam (pemimpin kaum muslimin) mengadakan perjanjian dengan pihak musuh untuk menghentikan peperangan selama jangka waktu tertentu, baik dengan kompensasi maupun tanpa kompensasi.[2]
Gencatan senjata adalah penghentian perang atau konflik bersenjata apapun untuk sementara di mana kedua belah pihak yang terlibat setuju untuk menghentikan tindakan agresif masing-masing.[3]


Disyariatkannya Gencatan Senjata
Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa hukum Gencatan senjata yang pada saat itu imam mengadakan perjanjian dengan pihak musuh untuk menghentikan perang selama jangka waktu tertentu, baik dengan kompensasi maupun tanpa kompensasi adalah dibolehkan. Berdasarkan firman Allah.
{بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ}
Artinya : “(Inilah pernyataan) pemututusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang telah kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka)” (QS At-Taubah 9:1).
{وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا}
Artinya : “Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian maka terimalah dan bertakwalah kepada Allah sungguh Dia Maha Mendengar Maha Mengetahui” (QS Al-Anfal 8:61).
Juga diriwayatkan oleh Marwan dan Al-Musawwir bin Al-Makhramah bahwa nabi berdamai dengan Suhail bin Amr (wakil dari kaum musyrik Quraisy) di Al-Hudaibiyah untuk  menghindari perang selama sepuluh tahun.[4]
Contoh lain perjanjian gencatan senjata yang dilakukan Rasulullah dengan pihak lain adalah kesepakatan antara Rasulullah dengan kaum yahudi setelah beliau hijrah ke Madinah. Inilah yang tercatat dalam shahifah (lembaran sejarah) yang terkenal. Ditetapkan hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi kedua belah pihak, baik dalam kondisi damai maupun perang, yaitu membentuk koalisi pertahanan dan keamanan secara bersama terutama saat ada serangan musuh ke Madinah.
Ijma  Para Ulama telah bersepakat tentang bolehnya Hudnah dengan berikut syarat-syaratnya.[5]
II.              Syarat-Syarat Gencatan Senjata
Agar gencatan senjata yang dilakukan pihak kaum muslimin sesuai yang dicontohkan Rasulullah maka harus terpenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1.      Perjanjian harus dilakukan oleh imam atau wakilnya tidak boleh selainnya. Ini pendapat jumhur ulama. Hudnah tidak akan sah jika dilakukan oleh selain imam atau wakilnya. Dengan alasan Rasulullah sendiri yang mengadakan perjanjian dengan Bani Quraidhah dan Quraisy[6].
2.      Harus ada kemaslahatan bagi Kaum Muslimin yang jelas. Seperti kondisi Kaum Muslimin dalam keadaan lemah untuk berperang dan pihak kafir kuat.
3.      Massa Hudnah harus dibatasi. Imam yang menentukan batas waktunya setelah berijtihad. Akad hudnah tidak dilaksakan secara mutlak,sebab jika Hudnah dlakukan secara mutlak tanpa ada batasa akan menjadikan jihad ditingalkan. Ini adalah pendapat jumhur[7]
4.      Tidak ada syarat yang fasid (yang tidak dibenarkan oleh syara’). Seperti, Kaum Kafir mensyaratkan untuk tidak melepaskan tawanan perang.[8]

III.          Masa Gencatan Senjata
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha mengenai masa Hudnah, ada empat pendapat :
1. Pendapat Imam Syafi’i.
-Jika Kaum Muslimin Kuat tidak boleh lebih dari empat bulan dan jika ada hajah/keperluan boleh lebih sampai satu tahun.  Dalilnya Surat At-Taubah: 2

-Jika Kaum Muslimin lemah boleh sampai sepuluh tahun. Dalilnya adalah perjanjian Hudaibiyah Rasulullah dengan Quraisyi.
2.Tidak boleh lebih dari sepuluh tahun baik Kaum muslimin dalam keadaan lemah atau kuat. Dalilnya adalah perjanjian Hudaibiyah Rasulullah dengan Quraisy. Adapun jika waktunya telah berakhir maka boleh untuk mengadakan perjanjian kembali dengan melihat maslahat dalam perjanjian baru itu. Sebab perjanjian yang dilaksanakan secara mutlak akan menjadikan jihad ditinggalkan secara total[9]
3. Perjanjian boleh dilaksanakan lama atau cepat dengan waktu yang ditentukan walaupun lebih dari sepuluh tahun.
4.Boleh dengan jangka waktu cepat atau lambat yang terbatas juga boleh secara mutlak selama ada maslahat yang jelas. Hudnah yang mutlak boleh tapi bukan wajib. Ini pendapat sebagian Hanabilah salah satunya adalah Ibnu Taimiyah, beliau berkata Bolehnya akad Hudnah mutlak ataupun muaqqat(terbatas). Dan jika muaqqat ia menjadi tetap dengan dua pilihan. wajib untuk menepati janji selama musuh tidak membatalkan dan tidak membatalkan jika (hanya)takut adanya penghianatan menurut pendapat ulama. Adapun yang mutlak adalah akad yang boleh dilakukan imam dengan (menimbang) adanya maslahat.
Mengenai batasan waktu yang dibolehkan bagi Kaum Muslimin untuk melakukan gencatan senjata dengan pihak musuh telah disebutkan empat pendapat diatas. Penulis lebih cenderung dengan pendapat yang keempat dengan melihat adanya kemaslahatan selama berlakunya gencatan senjata.
Apabila suatu kemaslahatan berlawanan dengan suatu kemaslahatan yang lain, atau upay mencegah potensi kerusakan bertentangan dengan potensi kerusakan yang lain atau kedua kepentingan ini (maslahat dan kerusakan) berbenturan satu sama lain yang kita prioritaskan adalah fiqih keseimbangan (Fiqih Al-Muwazanat). Yakni dengan menetapkan sejumlah kriteria sebagai pedoman dan tolok ukurnya. Misalnya, mengabaikan kemaslahatan yang lebih rendah untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar, mengambil resiko paling ringan demi menghindari resiko yang paling berat, menanggung kerugian yang lebih kecil untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Selain itu mengedapkan pula prinsip-prinsip, menghindarkan kerusakan lebih utama daripada meraih kemaslahatan, mengorbankan kemaslahatan simbolik demi meraih kemaslahata substansial. Serta prinsip yang tidak kalah penting dari itu adalah mengutamakan manfaat yang bersifat langgeng ketimbang manfaat yang bersifat hanya sementara dan mengesampingkan kemaslahatan yang dikhususkan bagi segelintir orang untuk mencapai kemaslahatan yang dapat dinikmati oleh sebanya-banyak orang dan sebagainya.[10]

IV.          Perbedaan antara Gencatan Senjata dengan Pemberian Keamanan
1.      Gencatan senjata adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara yang berperang untuk menghentikan perang dan mewujudkan perdamaian, adapun pemberian jaminan keamanan adalah kesepakatan antara negara dengan sekelompok tertentu dari pihak musuh dengan menjamin keamanan salah satu wilayah atau bagian dari sebuah negara.
2.      Gencatan senjata adalah jalan untuk mengakhiri perang antara umat islam dengan musuh, sedangkan jaminan keamanan adalah jaminan keamanaan kepada sekelompok orang meskipun perang sedang berkecamuk.
3.      Memenuhi permohonan jaminan keamanan adalah wajib sedangkan permohonan gencatan senjata hukumnya mubah tidak wajib, dengan mempertimbangkan maslahat bagi kaum muslimin.
4.      Apabila akad al-aman seorang laki-laki batal atau gugur, akad al-aman bagi istri dan anak-anaknya masih terus berlangsung sedangkan perjanjian gencatan senjata tercabut batal maka tercabutlah keamanaan bagi semua pihak musuh.


V.              Hukum  yang Timbul Karena Adanya Gencatan Senjata
Dengan adanya gencatan senjata maka peperangan harus dihentikan antara kedua belah pihak. Jiwa musuh, harta, kaum wanita,dan anak-anak mereka harus dilindungi sebab gencatan senjata termasuk akad al-aman juga, karena itu harus menahan diri dan juga kafir dzimmi dari mengganggu pihak musuh kecuali jika mereka melanggar janji yang sudah disepakati. Pihak muslimin juga harus memenuhi syarat yang telah disepakati jika syarat tersebut tidak bertentangan dengan syara’(umpama pihak musuh mensyaratkan pihak muslim harus menyerahkan kaum wanitanya kepada musuh).[11]

VI.          Hal–Hal yang Menyebabkan Gencatan Senjata Berakhir
Menurut pendapat mazhab hanafi mengatakan bahwa gencatan senjata berakhir apabila waktu yang telah ditetapkan telah berakhir tanpa perlu ada pemberitahuan kepadap pihak musuh. Jika perjanjian ditetapkan secara mutlak (tidak disertai masa berakhirnya) maka penetapan masa berakhir atau batalnya perjanjian dikembalikan kepada kebijakan imam dan adanya pengkhianatan dari pihak musuh.
Sedangkan menurut pendapat jumhur ulama gencatan senjata berakhir jika pihak musuh membatalkan perjanjian itu, misalnya musuh memerangi umat islam, membantu musuh islam yang lain,  mereka membunuh seorang muslim,mengambil harta seorang muslim, menghina Allah,Rasulullah atau Al-Qur’an dan yang lainnya.
Dalilnya ialah :
فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
Artinya :Maka selama mereka berlaku jujur terhadapmu, hendaknya kamu berlaku jujur (pula) terhadap mereka” (QS At-Taubah 9:7).
إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ  
 Artinya :“ kecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kamu dan mereka sedikit pun tidak mengurangi (isi  perjanjian) dan tidak pula mereka membantu seorangpun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilan janji sampai batas waktunya.” (QS At-Taubah 9:4).

VII.      Kesimpulan
Dari pemaparan makalah diatas dapat diambil kesimpuan bahwa gencatan senjata bagi kaum muslimin dibolehkan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagaimana yang sebutkan. Gencatan senjata pula tidak semata-mata dibolehkan secara bebas tapi ada batasan waktu yang diberikan. Melihat banyak perbedaan pendapat mengenai batasan waktu yang diberikan penulis lebih memilih pendapat yang ditinjau dari kemaslahatan yang didapat kaum muslimin sejauh mana gencatan senjata itu memiliki maslahat yang besar dari mafsadat maka itu boleh tetapi gencatan senjata tidak boleh dilakukan secara mutlak selamanya. Sebab dengan mengadakan gencatan senjata selamanya akan menjadikan jihad ditinggalkan oleh kaum muslimin.
Dengan adanya gencatan senjata maka peperangan harus dihentikan antara kedua belah pihak. Jiwa musuh, harta, kaum wanita,dan anak-anak mereka harus dilindungi. Gencatan senjata gencatan senjata berakhir jika pihak musuh membatalkan perjanjian itu, misalnya musuh memerangi umat islam, membantu musuh islam yang lain,  mereka membunuh seorang muslim,mengambil harta seorang muslim, menghina Allah, Rasulullah atau Al-Qur’an dan yang lainnya.



VIII.  Daftar Pustaka
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu,  )Beirut, Darul Fikri, 1999)
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Kairo, Hijr, 1410 H)
Yusuf Qardhawi, Fiqih jihad, (Bandung, Mizan 2010/1431 H)
Al-Kasani, Badaiu as-Shanai’, (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiah, 1406 H)

Ad-Dusuqi al-Maliki, Hasyiatu ad-Dusuqi ala as-Syarh al-Kabir (Beirut, Darul Fikr)

Ibnu Humam, Fathu Qodir, (Beirut, Darul Fikr)
Ibnu Taimiyah, Fatawa Kubra, vol. IV
Wikipedia




[1] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu,  )Beirut, Darul Fikri, 1999), vol. VIII, hlm. 50
[2] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Kairo, Hijr, 1410 H), vol: XIII, hlm. 155
[3] Wikipedia
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Kairo, Hijr, 1410 H), vol: XIII, hlm. 155
[5] Al-Kasani, Badaiu as-Shanai’, (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiah, 1406 H), vol. VII, hlm. 108
[6] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Kairo, Hijr, 1410 H), vol: IV, hlm. 260
[7] Ibid, Ad-Dusuqi al-Maliki, Hasyiatu ad-Dusuqi ala as-Syarh al-Kabir (Beirut, Darul Fikr), vol. III, hlm. 206
[8] Ibnu Humam, Fathu Qodir, (Beirut, Darul Fikr), vol. VI, hlm. 108
[9] Ibnu Taimiyah, Fatawa Kubra, vol. IV, hlm. 612
[10] Yusuf Qardhawi, Fiqih jihad, (Bandung, Mizan 2010/1431 H), hlm. 645
[11] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam..., vol. VIII, hlm. 52

1 komentar:

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net