Kamis, 21 April 2016

HUKUMAN TA’ZIR DALAM KAJIAN FIQIH

0


Oleh : Mukhlis Muhammadi
I.   PENDAHULUAN
Islam datang di muka bumi ini sebagai rahmatanlilalamin, dengan Islam seluruh manusia akan merasakan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karenanya Allah memberikan   manusia dengan keduanya bisa mendapatkan kebahagiaan yang nyata. Maka dari itu untuk mendapatkan semua bentuk kasih sayang-Nya, Allah menurunkan batasan-batasan ataupun aturan dalam kehidupan manusia agar manusia mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat. Namun dalam kenyataannya manusia dalam berinteraksi dengan sesama manusia kadang memunculkan gesekan diantara mereka. Yang mengakibatkan mereka melakukan perbuatan yang menjurus pada tindakan pidana[1] yang dapat memunculkann permusuhan dan juga merugikan diri mereka sendiri ataupun orang lain.
Jika kita perhatikan dunia pada hari ini, maka kita akan banyak menemukan macam-macam berita, mulai dari pecurian, perzinaan, korupsi, pemerkosaan, dan lain sebagainya yang mana tindakan tersebut termasuk pada tindakan pidana. Itu semua terjadi tidak lepas dari rayuan dan bujukan syaitan la’natullah alaihi, karena lemahnya iman dan jauhnya seseorang dari Allah.
Untuk menanggulangani kasus-kasus diatas, Islam telah memberikan peraturan-peraturan berupa sanksi-sanksi bagi pelaku kemaksiatan. Bahwa dalam islam memiliki hukuman sanksi bagi seorang hamba yang melakukan sebuah pelanggaran aturan islam. Maka di dalam islam dikenal dengan  adanya hukuman Hudud, qishas, diyat dan kafarah, yang semuanya adalah hukuman yang memiliki nash syari dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunah.
Lalu bagaimana dengan kasus-kasus yang terjadi sedangkan didalam Al-Qur’an maupun as-Sunah sendiri tidak ada nash yang menjelaskan secara jelas tentang akan hukuman had, qishas, diyat maupun kafarah? Seperti, pencurian yang belum mencapai nisobnya, jasus (mata-mata), pelecehan dan penghinaan pada Allah dan Rasulnya, pelaku lesbian atau homoseksual, seorang laki-laki yang menyurupai wanita, menuduh seseorang yang baik-baik berzina, dan juga peristiwa yang masih hangat yang terjadi di Indonesia mengenai pelaku pelecehan seksual yaitu pelecehan seksual yang dilakukan terhadap anak-anak dibawah umur, yang mana pemerintah menetapkan hukuman kebiri, apakah hukuman tersebut termasuk kedalam hukuman ta’zir atau tidak?
Maka disini penulis akan sedikit mengulas tentang apa yang dimaksud dengan hukuman ta’zir itu sendiri, bentuk-bentuk hukuman ta’zir dan hal-hal yang berkaitan dengan hukuman ta’zir.

II.   DEFINISI TA’ZIR
Ta’zir secara etimologi  adalah dari kata  عزر- يعزر- عزراyang berarti mencegah, melarang, menghalangi.[2] Di antara bentuk penggunaannya ta’zir memiliki arti an-nushrah (membantu, menolong), kerena pihak yang menolong mecegah dan menghalangi pihak musuh dari menyakiti orang yang ditolong. Hukuman yang diberikan selain hukum hudud untuk mencegah pelaku kemaksiatan dari mengulangi kejahatannya dan melindungi dari kemaksiatan.[3]
Ta’zir secara terminologi:
1.      Hanafiyah
Wahbah az-Zuhaili berkata, “Hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak ada ancaman hukuman had dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah maupun kejahatan terhadap hak Adami.[4]
2.      Malikiyah
Muhammad bin Ahmad bin Jazi bekata, “Hukuman yang ditetapkan pada perbuatan kemaksiatan menyerupai hukuman hudud yang kadar hukuman bisa lebih atau kurang dari hukuman hudud itu sendiri yang dilakukan dari hasil ijtihad Imam.”[5]


3.      Syafi’iyah
Umar bin Aly berkata, “Hukuman kepada semua kemaksiatan yang tidak ada hadd dan kafarahnya, termasuk juga wanita yang berakal yang terkena hukuman juga menanggung dari banyak sedikitnya hukuman.”[6]
4.      Hanabilah
Ibnu Qudamah berkata, “Hukuman yang diberikan terhadap suatu bentuk  perbuatan kemaksiatan dan kriminal yang didalamnya tidak ada ancaman dengan hukuman hadd[7] , kafarat[8], qishas[9]dan diyat [10].” [11]
Dari definisi diatas bisa kita tarik kesimpulan pengertian ta’zir ialah bentuk hukuman dalam islam yang didalam nash syar’i tidak ada penjelasan secara jelas tentang hukuman suatu kemaksiatan. Kemudian dijatuhkan melalui kebijakan dan ijtihad Imam kepada seorang pelaku kemaksitan.
Ibnu Qoyim al-Jauzi mengatakan, “Kemaksiatan terbagi menjadi tiga katagori, pertama, perbuatan maksiat yang pelakunya diancam dengan hukuman had tanpa ada kewajiban membayar kafarat. seperti pencurian, meminum minuman keras, zina dan qadaf. Sehingga dengan adanya hukuman had tersebut, maka hukuman ta’zir sudah tidak diperlukan lagi. Kedua, perbuatan maksiat yang pelakunya hanya terkena kewajiban membayar kafarat saja, tidak sampai terkena hakuman had, seperti melakukan hubungan suami-istri disiang hari dibulan Ramadhan.
Ketiga, tindakan kemaksiatan yang pelakunya tidak terkena ancaman hukuman had dan tidak pula terkena kewajiban membayar kafarat, seperti mencium perempuan asing, berduan dengan perempuan asing. Pelaku kemaksiatan yang ketiga ini terkena hukuman ta’zir, dan menurut jumhur ulama’ maka imam harus memberlakukan hukuman ta’zir terhadap pelakukannya, tidak boleh membiarkannya hal tersebut maka diserahkan pada ijtihad imam. Apakah akan diberikan hukuman ta’zir atau tidak. Dan juga kadar dan bentuk hukuman ta’zir yang di jatuhkan kepada pelaku maka di serahkan kepada hasil ijtihad dan kebijakan imam.[12]

III.        MASYRUIYYAH
-          Dalil Al-Qur’an:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”[an-Nisa’: 34]
Ibrahim bin Fahd berkata, “Bahwasanya suatu hukuman memiliki tahapan, karena bisa jadi dalam nash yang lain ada yang penjelasan balasan yang berbeda bagi pebuatan tersebut yang sesuai dengan tarhapan hukuman dari yang ringan kemudian kepada yang lebih berat. Seperti tahapan dari ayat diatas dimulai dari menasehati, meningkat dengan didiamkan, kemudian meningkat pada pemukulan. Dengan adanya tahapan itu maka akan tercapainya tujuan dari suatu hukuman dengan dimulai dari tahapan yang paling ringan. Maka hukuman tidak bisa langsung kepada hukuman yang paling berat.[13]
-          Dalil as-Sunah :
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ نِيَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ لَا يُجْلَدُ أَحَدٌ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ

Dari Abu Burdah bin Niyar, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seseorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali deraan, kecuali di dalam salah satu hukum hudud."[14].
Abdurrahman al-Jaziri berkata, “Maksud dari hadits tersebut adalah hukuman untuk perbuatan maksiat, bukan termasuk pada hukuman had. Maka hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menghukum dengan lebih dari sepuluh deraan kecuali pada perbuatan-perbuatan kemaksiatan yang telah diharamkan oleh Allah. Maka keputusan hukuman ta’zir sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Maka semua jenis kejahatan yang didalamnya tidak ada syari’at had dan kafarah maka hakim menghukum dengan memenjarakan atau dengan pukulan yang dilihat dapat mencegah terhadap perbuatan maksiat. Adapun hukuman  yang dilakukan pada sorang anak kecil disebut dengan ta’dib yaitu sebagai bentuk pendidikan dengan syarat tidak melebihi sepuluh kali deraan .[15]
-          Atsar Sahabat:
 Adl bin Yusuf berkata, “ar-Razi dalam kitabnya al-Mushanaf beliau mengatakan, ‘Bahwasanya Umar memerintahkan untuk membakar sebuah kedai penjual khamr dari pemilik yang bernama Ruwaisyid al-Tsaqofi dan mengatakan: ‘sesungguhnya kamu Fuwaisik laa Ruwaisyid (orang fasik kecil dan bukan orang yang lurus).’ Dan juga Aly bin Abi Thalib pernah menyuruh untuk membakar sebuah desa yang menjual Khamr.[16]

IV.     PEMBAGIAN TA’ZIR
Ta’zir terbagi menjadi dua macam :
1.      Ta’zir Untuk Maksiat
Sebenarnya macam-macam dari hukuman ta’zir bagi pelaku maksiat sendiri begitu banyak, bisa berupa perkataan, perbuatan, cambukan, penjara, pengambilan harta keseluruhan atau sebagian, pembakaran harta benda, pengasingan, calaan, teguran, ancaman atau nasehat.

Ibnu Qoyim berkata[17] dalam kitabnya “al Hudud wa at Ta’zir”, beliau mengklasifikasikan hukuman ta’zir bagi pelaku kemaksiatan sebagai berikut:
1.        Hal-hal yang berkaitan dengan badan seperti dengan cambukan dan pembunuhan.
2.        Hal-hal yang berkaitan dengan harta seperti dengan perusakan dan penyitaan.
3.        Hal-hal yang berasal dari keduanya seperti dicambuknya pencuri barang yang tidak terjaga bersama dengan penyitaan atas barang curian tersebut.
4.        Hal-hal yang berkaitan dengan membatasi ruang gerak seperti dengan penahanan dan pengasingan.
5.        Hal-hal yang berkaitan dengan moral seperti penjatuhan harga diri berupa celaan dan pengusiran.
               Dan juga hukuman ta’zir kadang bisa sampai pada hukuman mati. Jika seorang hakim atau wali al Amr melihat pada penjatuhan hukuman mati tersebut ada maslahah umum. Kadang juga hukuman ta’zir bisa berbentuk pengusiran atau pengasingan pada suatu tempat.
               Pada dasarnya hukuman ta’zir tidak memiliki batasan hukuman. Seperti halnya tidak ada batasan dalam perbuatan kriminal dan bentuk hukumannya. Begitu juga tidak semua perbuatan maksiat termasuk pada hukuman had dan qishas pada hukum islam. Maka diperlukan ijtihad seorang Imam atau Qadhi dalam menetapkan suatu hukuman ta’zir. Melihat  adakah maslahah umum serta ada bentuk penjagaan terhadap dasar-dasar hukum islam pada hukuman yang dijatuhkan pada seorang pelaku kejahatan.
            Dan para fuquha’ mereka semua berpendapat bahwasanya hukuman ta’zir bukan sesuatu hukuman yang dibatasi. Maka hukuman ta’zir dikembalikan pada ijtihad imam yang sekiranya dapat mecegah pada perbuatan kemaksiatan.
2.      Ta’zir Untuk Mendidik
Ta’zir yang di lakukan oleh seorang pendidik atau pengasuh yang dilakukan di rumah, atau di madrasah atas dasar pendidikan sangatlah berbeda dengan ta’zir yang dilakukan sebagaimana umumnya, baik dari sifat maupun metodenya.
Melakukan ta’zir atas dasar pendidikan harus dilakukan dengan beberapa tahap:
Pertama, Bergaul dengan anak didik dengan sifat lemah lembut dan kasih sayang. Sebagaimana disebutkan dalam “Adab al-Mufrad” yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah:"عليك بالرفق وإياك والعنف والفخش" “Hendaklah kalian berlembah lembut dan janganlah kalian berbuat kasar"
Kedua, Memperhatikan tabiat seorang anak sebelum menjatuhkan hukuman (ta’zir), karena mereka memilki sifat yang berbeda-beda, ada yang pendiam, sedang-sedang, dan ada yang pemarah. Maka dalam menetapkan hukuman harus berdasarkan karakter masing-masing anak, dan tidak bisa disamakan. Hukuman yang diberikan kepada anak dilakukan ketika dalam keadaan darurat, juga setelah adanya peringatan kepada anak, sebagaimana dilakukan oleh para ulama’ terdahulu seperti Ibnu Sinna, al ‘Abdari, dan Ibnu Khaldun.
Ketiga, Bertahap dalam memberikan hukuman dari yang ringan sampai pada tahap yang berat.
Berikut ini adalah tahapan dalam memberi hukuman kepada seorang anak :
1.    Memberi pengajaran dari kesalahan dengan pengarahan.
2.    Memberi pengajaran dari kesalahan dengan lemah lembut.
3.    Memberi pengajaran dari kesalahan dengan nasehat.
4.    Memberi pengajaran dari kesalahan dengan teguran.
5.    Memberi pengajaran dari kesalahan dengan mendiamkan (hijr).
6.    Memberi pengajaran dari kesalahan dengan pukulan.
7.    Memberi pengajaran dari kesalahan dengan hukuman yang dapat membuat efek jera.
Syarat-syarat hukuman yang dilakukan dengan pukul berdasarkan urutannya:
1)      Pendidik atau pengasuh tidak menghukum dengan pukulan setelah melalui beberapa wasilah yang telah disebutkan diatas.
2)      Tidak melakukan hukuman ketika dalam keadaan marah.
3)      Menghindari tempat-tempat yang berbahaya untuk dipukul seperti, kepala, wajah, dada, dan perut.
4)       Hukuman yang dilakukan pertama kali tidaklah langsung pada tahap berat.
5)      Tidak memberi hukuman pukul sebelum berusia sepuluh tahun.
6)      Jika seorang anak berbuat salah pertama kali,  hendaknya diberikan waktu untuk bertaubat, tanpa memberikan hukuman terlebih dahulu, sehingga tidak mengulangi pada kedua kalinya.
7)      Seorang pendidik  atau pengasuh melakukan hukuman pukul terhadap anaknya sendiri tanpa melakukannya kepada salah satu dari anak sahabatnya.
8)      Jika seorang anak mendekati usia balighnya, dan pendidik melihat tidak ada pengaruh yang membekas padanya, maka boleh baginya untuk menambah hukuman, serta mencegah agar tidak megulanginya, sehingga ia melihat ada perubahan pada seorang anak dan berjalan pada jalan yang lurus.
Dari penjelasan di atas, menerangkan bahwa tarbiyah Islamiyah terkadang harus menggunakan metode lemah lembut dan terkadang juga harus menggunakan metode hukuman. Maka dalam hal ini pendidik atau pengasuh harus mengetahui situasi dan kondisi, kapan si anak harus di hadapi dengan lemah lembut, dan kapan si anak harus di hadapi dengan hukuman, tentunya setelah memenuhi syarat-syarat di atas.[18]

V.           SYARAT-SYARAT WAJIB HUKUMAN TA’ZIR
Syarat hukum ta’zir dapat di lakukan pada suatu tempat yang pertama adanya seorang pemimpin atau Qadhi dengan kriteria yaitu laki-laki, merdeka, mujtahid, mempunyai pengaruh, memiliki angota badan yang berfungsi normal dari pendengaran, penglihatan, dan dapat berbicara, serta memutuskan perkara melihat dari maslahah dunia dan agama.[19]
Kedua supaya hukuman ta’zir bisa dijatuhkan atau bisa dilaksanakan adalah hanya dengan satu syarat yaitu berakal saja. Maka hukuman ta’zir hanya dijatuhkan kepada orang yang berakal yang melakukan suatu kejahatan yang tidak memiliki ancaman had dan kafarat. Baik itu laki-laki maupun perempuan, muslim atau kafir, baligh atau anak kecil (muamayiz). Karena mereka semua selain anak kecil mereka memiliki kelayakan untuk mendapat hukuman. Adapun anak kecil yang sudah mumayiz, maka ia di ta’zir, namun bukan sebagai ta’zir namun sebagai bentuk mendidik dan memberikan pelajaran (ta’dib).
Patokan dan kriteria hukuman ta’zir adalah setiap orang yang melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak (tanpa alasan yang dibenarkan) baik dengan ucapan, perbuatan ataupun isyarat, baik itu korbannya itu seorang muslim atau kafir.[20]
Orang Yang Berhak Dalam Memberikan Ta’zir:
Ta’zir sama seperti halnya hudud, maka dalam pelaksanaan hukuman ta’zir mengikuti kebijakan imam dan tidak ada yang berhak menta’zir selain Imam. Namun  ada pengecualian pada tiga orang yang berhak memberikan hukuman ta’zir, yaitu seorang ayah, suami, dan seorang hakim atau seorang tuan.
Pertama, Seorang ayah atau seorang yang semakna dengannya dalam hal mendidik seorang anak kecil. seperti seorang pengajar atau guru maka dia berhak menghukum seorang anak didiknya yang meninggalkan sholat dan shaum. Dan memberikan hukuman ta’zir tersebut bertujuan memberi pelajaran atau mengajarkan akhlak yang baik dan mencegah dari kemaksiatan. Maka dalam masalah pengasuhan anak seorang ibu juga sama seperti ayah. Dan itu sesuai dengan syari’at bahwa seorang ayah, kakek, atau guru memiliki hak dalam hal mendidik seorang anak..
Kedua, Seorang suami berhak memberikan hukuman ta’zir kepada istrinya ketika istri membangkangan pada dirinya, atau pada hak Allah. Seperti dalam masalah pelaksanaan shalat dan shaum Ramadhan. Jika hukuman ta’zir tersebut dilihat dapat memberikan perbaikan pada istrinya. Karena semuanya dalam bertujuan dan dalam rangka memerintahkan pada kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Kaetiga, seorang hakim atau seorang tuan atau seorang yang memliki kuasa pada seorang budak. Maka ia berhak memberikan hukuman ta’zir kepada budaknya dalam perkara yang menyangkut hak Adami dan hak Allah.[21]

VI.         KAIDAH DAN DHAWABIT TA’ZIR
Dalam pelaksanakan hukuman ta’zir harus diperhatikan beberapa ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaannya, tidak bisa ta’zir diterapkan kepada seseorang secara langsung dan sama rata dengan yang lainnya. Akan tetapi ada kaidah-kaidah atau rambu-rambu dalam penetapan hukuman ta’zir kepada seseorang. Maka hukuman ta’zir itu sendiri memiliki beberapa kaidah yang dipakai dalam penerapannya itu sendiri. diantaranya yang kami intisarikan dari  Qawaid wa Dhawabit al Uqubat al Hudud wa at Ta’azir milik Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al Wad’an[22]:
1.      Hukuman ta’zir sesuai dengan kadar perbutan dosa yang dilakukan.
Yaitu  bahwa sebuah hukuman harus sesuai dengan perbuatan dosa yang dikerjakan. Dengan syarat perbuatan kejahatan itu mewajibkan dilaksankannya hukuman. Dan maksud dari hukuman tersebut terlaksana yaitu memberi efek jera bagi pelaku maksiat serta adanya tindakan preventif untuk kemaslahatan masyarakat.
2.      Hukuman sesuai dengan kondisi pelaku kejahatan.
Bahwa seorang hakim dalam memutuskan suatu hukuman harus melihat dari kondisi pelaku kemaksiatan. Dan hukuman yang dijatuhkan harus sesuai dengan kondisi pelaku maksiat apakah dia seorang budak atau seorang yang merdeka ataupun selainnya. karena setiap orang berbeda-beda kondisinya ketika melakukan kemaksiatan tersebut.
3.      Adanya tahapan dalam menghukumi.
Bahwa dalam memutuskan hukuman kepada pelaku maksiat maka harus memperhatikan tahapan-tahapan dalam penegakkan hukuman ta’zir yang akan di jatuhkan kepada pelaku maksiat. Beliau mengatakan, “ Bahwa Mawardi berkata: ‘Tingkatan manusia berada pada derajatnya, maka dalam masalah ketentuan hudud  manusia semua sama tidak ada yang membedakan, akan tetapi dalam masalah ta’zir maka harus dilihat dari kemampuannya dalam menerima hukuman ta’zir.’” [23]
4.      Pertimbangan dalam ta’zir harus dilihat dari sisi tujuan maslahah.
Seorang pemimpin adalah wali bagi rakyatnya berkaitan dengan maslahah umum dan ketatanegaraan. Maka segala kebijakan seorang pemimpin harus melihat keselarasanya dengan kemaslahatan umum.
5.      Semua jenis kemaksiatan yang tidak ada ukuran hukumannya masuk kedalam hukum ta’zir.
Perbuatan maksiat telah ditetapkan oleh Allah untuknya hukuman yang berkaitan dengannya seperti had perbuatan zina, murtad, pencurian dan lain sebagainya. Maka itu termasuk dalam hak-hak Allah, dan hukuman yang tidak memiliki kadar hukuman had dan kafarahanya maka perbuatan tersebut masuk kepada hukum ta’zir.
6.      Pertimbangan dari penjagaan kehormatan manusia.
Bukti keluasan syariat islam ialah dalam melindungi kehormatan seorang manusia dan penjagannya. Dimana Allah sendiri memuliakan manusia dan mengakat derajat mereka dari makhluk-makhluknya.
7.      Pertimbangan hukuman ta’zir  harus ditinjau nash syari’iyah dan kaidahnya. 
Bahwa hukuman yang telah ditetapkan tidak bisa dijadikan atau dianggap sebagai hukuman bagi pelaku maksiat kecuali ia bersandarkan pada kitab Allah dan sunah atau dikuatkan oleh ijtihad para ulama’ muslimin dan mereka mengerti kaidah syariat islam. Artinya semua hukuman ta’zir yang akan di jatuhkan harus sesuai dengan apa yang telah Allah turunkan di dalam Al-Qur’an dan as-Sunah maupun ijtihad para ulama’.
8.      Metode penghukuman yang adil dan sesuai.
Bahwa adanya persamaan disetiap sisi, adil dalam menempatkan hukum, dan tidak membedakan antara manusia maka disemua hadapan hukum itu sama semua. Dan tidak ada pilih kasih dalam hukum ta’zir antara satu dengan yang lainnya baik itu seorang muslim atau non muslim.

VII.     SIFAT-SIFAT TA’ZIR
Hukum ta’zir memiliki sejumlah sifat. Diantaranya, hukuman ta’zir menurut ulama’ Malikiyah dan ulama Hanabilah adalah hak Allah yang wajib dipenuhi apabila imam melihat hukuman tersebut perlu dijatuhkan. Oleh karena itu, secara garis besar, hakim tidak bisa menggurkan hukuman ta’zir, kerena itu adalah hukuman untuk memberi efek jera yang diberlakukan untuk memenuhi hak Allah. Kerena itu, wajib ditegakkan seperti hukuman had.
Sedang menurut ulama’ Syafi’iyah, hukuman ta’zir sifatnya wajib. Oleh karena itu, hakim bisa saja tidak melaksanakannya selama kasusnya tidak menyangkut hak Adami. Dalam hal ini, berarti ulama’ Syafi’iyah sependapat dengan ulama’ Hanafiyah.[24] Hal ini berdasarkan hadis nabi,
maafkanlah kesalahan-kesalahan orang yang memeliki perbuatan baik, kecuali kesalahan-kesalahan yang mengharuskan hukuman had.”(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Maka apabila kasus kemaksiatan menyangkut hak Allah seperti kasus kejahatan yang melanggar kewajiban-kewajiban agama, maka tidak harus dan tidak wajib dilaksanakan. Adapun jika kasusnya menyangkut hak Adami dan pihak korban yang haknya dilanggar tidak memberi maaf, maka hukuman ta’zir, terhadap pelaku wajib dan harus dilaksanakan.
 Maka dalam hal ini Ibnu Qoyim membagi ta’zir menjadi dua macam, pertama, bentuk dan macamnya sudah ditentukan oleh nas al-Qur’an dan hadits tetapi hukumnnya deserahkan kepada manusia. Kedua, bentuk dan macamnya  begitu pula hukumnanya ditentukan oleh manusia. Syara’ hanya memberikan ketentuan-yang bersifat umum saja.[25]

Hikmah hukuman ta’zir
      Sepertihalnya hikmah dari pensyari’atan hukuman hudud bahwa syari’at ialah melarang atau mencegah terjadinya perbuatan maksiat. Dan  juga melarang atau mencegah dari perbuatan meninggalkan suatu kewajiban, pada hakekatnya tujuan hukuman tersebut adalah untuk membersihkan dan memperbaiki bagi pelaku kemaksiatan dan bentuk perlindungan bagi masyarakat.

VIII.    KESIMPULAN
Dari uraian yang telah disampaikan, maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu:
1.      Bahwa hukuman ta’zir dapat diberlakukan pada suatu kekuasaan atau suatu  komunitas yang memiliki seorang pemimpin yang sah. Yang mana pemimpin atau qadhi tersebut sebagai perwakilan rakyat atau perwakilan suatu komunitas melalui ijtihadnya, bahwa kebijakan hukuman ta’zir dapat memberi efek jera pada pelaku kemaksiatan.
2.      Setiap hukuman ta’zir tidak bisa dijatuhkan langsung kepada pelaku kemaksiatan. Kerena dalam hukuman ta’zir yang di jatuhkan Qadhi atau pemimpin kepada pelaku kemaksiatan memiliki rambu-rabu atau kaidah-kaidah dalam penetapan hukuman ta’zir yang perlu diperhatikan dalam penetapannya. Karena penetapan ta’zir harus melihat pada pencapaian maslahah umum atau tidak.
3.      Dari pengertian ta’zir itu sendiri maka ta’zir hanya berlaku kepada semua perbuatan dosa yang mana tidak memiliki kadar had dan kafarahnya. Maka dari itu keputusan hukuman ta’zir diserahkan kepada pemimpin atau Qadhi serta ijtihad para ulama’ kaum muslimin dalam sebuah negara atau sebuah kekuasaan.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011 M).
2.      Ibnu Mandzur, Lisanul ‘arab, (Berut: Daru as Shadr)
3.      Ibnu Qudamah, al-Mughni, Tahqiq : Abdullah bin muhsin dan Abdul fatah (Kairo: Hijr, 1992 M)
4.      Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Riyad: Darussalam, 1999 M)
5.      Adl bin yusuf Al-Azizi, Tamamu minah fi fiqih kitab shahih Sunah, (Iskandariyah: darul Aqidah, 2009 M)
6.      Fahd bin Ibrahim wadi’an,  At-Tasyri’u al-Jani al-Islami, Riyad, 2007. sebuah desertasi.
7.      Ibnu Jauzi, A’laamu Muwaaqi’n, (Berut: Darul Jail,)
8.      Abdul Qodir Audah, Atasyri’ al-Jana’I al-Islami,( Berut: Muasasah al Risalah, 1992.)
9.      Mawardi, Ahkamu Sulthaniyah, ,tahqiq: Ahmad Jaad (Kairo: Darul Hadits, 2006)
10.  Muhammad bin Ahmad bin Jazi al-Gartani, Qowanin Fiqhiyah, juz 1(versi maktabah syamilah)
11.  Ibnu Mulqin Umar bin Aly bin Ahmad bin Muhammad al-Misry as-Syafi’i, Tadzqirah fi al-Fiqh As-Syafi’i, (Berut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2006)
12.  Bakr bin Abdullah Abu Zaid, al-Hudud wa at-Ta’zirat ‘Inda Ibnu Qoyim, (Riyad: Dar as-Shimah, 1415 H)
13.    Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ‘Ala Madzahibi al-Arba’ah, (Berut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,1990)
14.  Jadwi Hatim, Jaraim at-Ta’zir fi at-Tasyri’ al-Islami, (Sukrah: Jami’ah Khaidhir, 2013/2014)
15.    ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Jeddah: Dar as-Salam, th.1412 H) Vol.1




[1] Perkara kejahatan (kriminal)
[2] Ibnu mandzur, Lisanul ‘arab. (Berut: Dar as Shadr), Jlid 4,hal. 561
[3] Ibid.
[4] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011 M) hlm.523
[5] Muhammad bin Ahmad bin Jazi al-Gartani, Qowanin Fiqhiyah, juz 1(versi maktabah syamilah)
[6] Ibnu Mulqin Umar bin Aly bin Ahmad bin Muhammad al-Misry as-Syafi’i, Tadzqirah fi al-Fiqh As-Syafi’i, (Berut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2006) hlm.132
[7] Istilah hukum yang telah ditentukan bentuk dan kadarnya oleh Allah.
[8] Denda yang harus di bayar karena melanggar larangan Allah atau melanggar janji, atau persembahan keapad Allah sebagi tanda mohon pengampunan (karena telah melanggar hukunya.).
[9] Hukuman bagi pelaku kejahatan pembunuhan atau kekerasan fisik baerupa pemotongan anggpta tubuhatau melukai yang dilakukan secara sengaja, dengan bentuk hukuman yang sama seperti yang ia perbuat terhadap koban.
[10] Kompensasi berupa harta yang wajib dibayarkan sebagai ganti rugi jiwa
[11] Ibnu qudmah, al-Mughni, Tahqiq : Abdullah bin muhsin dan Abdul fatah(Kairo: Hijr, 1992 M), Juz 12, hal.523,
[12] Ibnu al-Jauziyah, I’laamu Muwaqqi’iin, (Berut: Darul Jail), Juz 2, hlm.118
[13] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wa’dan, Qawaid wa Dhawabit al Uqubat al Hudud wa at Ta’azir, (Riyad: 1428 H/2007 M.) Dalam desertasi.
[14] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, , (Riyad: Darussalam, 1999 M.) hlm.373 no.2601
[15] Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ‘Ala Madzahibi al-Arba’ah, (Berut, Dar al-Kutub al-Ilmiah,1990) vol.5 hlm.352
[16] ‘Adl bin Yusuf al-Azazi, Tamamu al-Minah fi al-Kitab al-Fiqh wa Shahihi as-Sunah, (Iskandariyah: Dar al-‘Aqidah, 2005), hlm.555
[17] Bakr bin Abdullah Abu Zaid, al-Hudud wa at-Ta’zirat ‘Inda Ibnu Qoyim, (Riyad: Dar as-Shimah, 1415 H) hlm. 484.
[18] ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Jeddah: Dar as-Salam, th.1412 H) Vol.1, hlm.719-728
[19] Ibnu Mulqin Umar bin Aly bin Ahmad bin Muhammad al-Misry as-Syafi’i, Tadzqirah fi al-Fiqh As-Syafi’i, (Berut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2006) hlm.132
[20] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2011 M) hlm.531
[21] Jadwi Hatim, Jaraim at-Ta’zir fi at-Tasyri’ al-Islami, ( Universitas Khidir, 2013/2014)
[22] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al Wadi’an,  Qawaid wa Dhawabit al Uqubat al Hudud wa at Ta’azir, (Riyad: 1428 H/2007 M.) sebuah desertasi.
[23] Mawardi, Al-Ahkamu al-Sulthaniyah,  (Kairo: Darul Hadits, 2006), hlm.344
[24] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta, Gema Insani, 2011 M) hlm.533
[25] Ibnu Qoyim, A’lamu Muwaqi’in, (Berut: Dar Jail), hlm.117

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net