Minggu, 28 Agustus 2016

HUKUM BERGABUNG DENGAN PARLEMEN PEMERINTAH SEKULER

0


­­­Oleh, Wildan Arief
A.    Pendahuluan
Islam adalah agama yang lengkap dan mencakup semua aspek kehidupan.[2] Allah tidak menjadikan urusan agama ini sebagai sebuah etika internal khusus untuk orang-orang yang hanya berada dalam tempat ibadah dan terputus dengan dunia luar, bahkan ayat-ayat al-Qur’an al-Karīm sangat banyak berbicara mengenai aturan hidup manusia dan syarī’at yang harus ditegakkan. Dalam tatanan kepemerintahan Islam haruslah berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tiada hukum yang lebih tinggi dari keduanya. Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi timbangan setiap masalah yang ada. Bukan sebatas indoktrinasi, Islam datang bersama dengan manusia yang akan memberikan contoh riil bagaimana mengaplikasikan hukum Allah di kehidupan dunia, yaitu Rasulullah Saw.
Allah sendiri telah mewajibkan bagi umat Islam untuk berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam setiap perselisihan yang terjadi diantara mereka. Maka kedaulatan yang mutlak milik Allah semata. Tidak ada campur tangan di dalamnya, baik dari kalangan malaikat, para nabi, orang-orang shalih, atau para pemimpin. Baik itu presiden, raja, perdana menteri, atau julukan lain yang dibuat oleh manusia.[3]
Berhukum dengan hukum selain hukum Allah bisa menyebabkan kekafiran. jika seseorang berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah tidak wajib, atau bahkan menghinanya, maka ia telah kafir.[4] Jika seseorang berhukum dengan hukum selain hukum Allah, namun masih meyakini kewajiban berhukum dengan hukum Allah maka itu termasuk kafir ashghar[5]. Masuk ke dalamnya adalah sistem demokrasi yang hari ini banyak dijadikan sistem utama sebuah negara.
Hanya saja, dewasa ini muncul pendapat bahwa boleh masuk ke dalam parlemen pemerintah sekuler. Dengan dalih mashlahat, pengusung pendapat ini membolehkan masuk ke dalam parlemen lantaran dapat memperkecil madharat dari sistem kufur tersebut. Duduknya seorang muslim ke dalam kursi parlemen adalah sebuah upaya untuk meresmikan hukum Allah agar diterima oleh seluruh rakyat sebagai hukum positif. Dengan begitu hukum Allah dapat terealisasikan dan diterima oleh rakyat secara luas[6].
Makalah ini akan membahas polemik seputar masuknya seorang aktivis muslim ke dalam parlemen dengan berlandaskan maslahat. Meskipun tentu saja makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna.
B.    Definisi Parlemen
Parlemen secara etimologis diambil dari akar kata Belanda ”Parlementte” memiliki makna berbicara, berpidato dan berdebat kian kemari.[7] Adapun dalam KBBI, parlemen adalah badan yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang dipilih dan bertanggung jawab atas perundang-undangan pengendalian keuangan negara.[8]
Kepemimpinan sistem demokrasi setidaknya terdiri dari tiga lembaga yang menjadi pilar utama. Pertama, Dewan Legislatif, yaitu dewan yang membuat aturan dan undang-undang umum yang mengikat. Rakyat harus mematuhi dan komitmen. Tidak boleh melanggar undang-undang yang telah disahkan. Peran dewan legislatif adalah pembahasan, diskusi, dan pemilihan kebijakan-kebijakan umum. Tujuan dari lembaga ini adalah untuk memperjuangkan suatu kepentingan dan kebijakan yang menguntungkan dan menghindarkan dari keputusan yang merugikan.
Kedua, Dewan Eksekutif, yaitu dewan yang memiliki hak untuk melaksanakan dan merealisasikan undang-undang yang telah disepakati oleh dewan legislatif.[9] Dewan eksekutif biasanya terdiri dari presiden atau raja beserta seluruh menter-menterinya.
Ketiga, Dewan Yudikatif, yaitu dewan atau badan yang menyelesaikan berbagai perselisihan secara damai, baik antar sesama rakyat atau antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan undang-undang yang ada.[10] Maka dari itu badan yudikatif berfungsi mengadili penyelewengan pelaksanakan konstitusi dan undang-undang.[11]
Maka yang disebut dengan parlemen adalah dewan legislatif. Dimana hak perundang-undangan di tangan mereka. Parlemen sendiri memiliki beberapa nama, seperti dewan legislatif, kongres, senat, dll. Ali bin Nayf asy-Syukhud mendefinisikan parlemen dengan lembaga yang menghimpun beberapa orang dari perwakilan rakyat yang merancang undang-undang dan menjabat pada jangka waktu tertentu.[12]
Menurut Budiarjo, Lembaga Legislatif adalah lembaga yang
legislature atau lembaga yang membuat undang-undang. Angota–angotanya dianggap mewakili rakyat.[13]
Dewan legislatif atau parlemen memiliki banyak istilah, tergantung pada negaranya. Di Mesir dan Suriah, dewan ini disebut dengan Dewan Rakyat. Di Lebanon, Tunisia, dan Yaman lembaga ini bernama Majelis Perwakilan. Di Kuwait disebut dengan Dewan Umat.[14] Di Indonesia sendiri, kita mengenalnya dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
C.    Definisi Mashlahat
Secara etimologi, mashlahah (مصلحة) berasal dari kata shalaha (صلح) yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Dapat juga dimaknai dengan kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, dan kepatutan. Kata mashlahah kadang dilawankan dengan mafsadah dan kadang pula dilawankan dengan madharah, yang berarti kerusakan.[15]
Kemudian kata mashlahat diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi maslahat/kemaslahatan. Ia mengandung makna yang sama dengan aslinya, yaitu sesuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna dan bermanfaat atau kepentingan.[16]
Adapun secara terminologi, banyak ulama telah mendefinisikan mashlahat dalam kitab-kitab mereka. Al-Ghazali mengatakan bahwa makna dari maslahat adalah menarik atau mewujudkan kemanfaatan dan menyingkirkan atau menghindarkan kemudharatan. Menurut al-Ghazali, yang dimaksud maslahat secara terminologis syar’i adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (syari’at) yang berupa menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[17]
Abdul Karim Zaidan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maslahat adalah berusaha mewujudkan kebaikan atau manfaat dan menolak mudharat atau kerusakan.[18] Selaras dengan itu pula, Jalaluddin Abdurrahman menjelaskan bahwa maslahat itu berarti memelihara maksud dari syara’, yaitu kebaikan yang mendatangkan manfaat yang diletakkan atas kerangka dan batasan-batasan yang jelas, bukan atas dasar keinginan dan hawa nafsu saja.[19]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Maslahat adalah apa yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Maslahat sendiri dapat dibagi menjadi tiga macam. Pertama, yaitu maslahat yang diperhitungkan oleh Syar’i. Ada petunjuk syar’i yang menunjukkan adanya maslahat yang dijadikan alasan dalam menetapkan hukum. Maslahat ini disebut dengan Mashlahah al-Mu’tabarah. Kedua, yaitu maslahat yang dianggap oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syar’i dan ada petunjuk syar’i yang menolaknya. Ulama sepakat menolak maslahat seperti ini. Maslahat ini disebut dengan Maslahah al-Mulghah. Ketiga, yaitu yang dianggap baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syar’i  dalam menetapkan hukum, hanya saja tidak ada petunjuk dari syar’i, baik menolak atau memerintahkannya. Dalam hal ini, menggunakan maslahat ini sebagai dalil berijtihad menjadi perbincangan para ulama dan perselisihan di antara mereka. Maslahat ini disebut dengan Maslahat al-Mursalah.[20]
D.    Pandangan Ulama Tentang Bergabung Dalam Parlemen
Sebelum kita masuk pembahasan lebih dalam, perlu diketahui bahwa sebenarnya para ulama telah sepakat akan haramnya masuk ke dalam parlemen pemerintah kufur. Pemerintah yang berhukum dengan hukum buatan manusia adalah pemerintah kafir, maka masuk dan bergabung di dalamnya adalah perbuatan kufur.[21] Hanya saja, jka alasan masuknya seseorang di dalamnya lantaran maslahat ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama tetap melarang dan sebagian lain membolehkan bergabung ke dalam parlemen jika hal itu dilakukan lantaran maslahat yang terkandung di dalamnya.
Para ulama yang membolehkan bergabung dalam parlemen sering menggunakan dalil maslahat. Misalnya saja, Dr. Umar al-Asyqar, beliau mengatakan, “Orang-orang yang membolehkan masuk ke dalam dewan legislatif berpendapat bahwa kemaslahatan dakwah dan kaum muslimin secara umum bisa dicapai dengan partisipasinya tersebut. Dan nilai kemaslahatan yang didapatkan lebih besar daripada kerusakan yang diakibatkan oleh partisipasinya dalam dewan parlemen, meskipun kemampuan merealisasikan maslahat ini berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain.[22]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya tentang hukum masuknya aktivis dan ulama ke dalam parlemen. Beliau menjawab, “Masuk ke dalam parlemen dan dewan legislatif sangat berbahaya. Akan tetapi barang siapa yang masuk ke dalamnya dengan landasan ilmu dan pijakan yang kuat, bertujuan menegakkan yang haq dan mengarahkan manusia kepada kebaikan serta menghambat kebatilan. Tujuan utamanya bukan untuk kepentingan dunia atau ketamakan terhadap harta. Ia masuk benar-benar hanya untuk menolong agama Allah, memperjuangkan yang haq dan mencegah kebatilan. Dengan niat baik seperti ini, maka saya memandang tidak mengapa melakukan hal itu, bahkan seyogyanya dilakukan, agar dewan dan majelis seperti itu tidak kosong dari kebaikan dan pendukung-pendukungnya.[23]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya hal serupa, beliau menjawab, “Bahwa sudah seharusnya (ada yang) masuk dan turut serta dalam pemerintahan. Dan hendaknya dengan masuknya seseorang ke dalam pemerintahan, ia meniatkannya untuk melakukan perbaikan, bukan untuk menyetujui setiap keputusan yang dikeluarkan. Dan dalam kondisi seperti ini, bila ia menemukan sesuatu yang menyelisihi syari'at maka ia berusaha menolak / membantahnya.”[24]
Syaikh Yusuf al-Qardhawi juga membolehkan seorang muslim bergabung dalam  parlemen. Beliau menggunakan kaidah fikih “Yakhtaru ahwanu as-sarrain aw akhaffu adh-dhararain”.[25] Bergabung dengan parlemen memang mengandung madharat. Hanya saja, jika tidak ada seorang muslim pun yang masuk ke dalamnya maka parlemen tersebut akan dipenuhi dengan orang-orang yang membenci Islam. Mereka akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merugikan umat Islam, dan ini merupakan madharat yang lebh besar.[26]
Syaikh Ahmad ar-Raisuni berpendapat bahwa demokrasi tidak memiliki rukun yang pasti. Tergantung siapa yang msuk ke dalamnya. Demokrasi Kristen ortodoks berbeda dengan demokrasi orang-orang komunis. Maka dari itu, masih memungkinkan demokrasi tersebut diganti esensinya dan dimasukkan beberapa kemaslahatan untuk kaum muslimin.[27]
E.     Analisis Hukum Bergabung Dengan Parlemen
Menegakkan kalimatullah memang perkara yang Qath’i dan tsawabit, jalannya pun juga Qath’i berupa dakwah dan jihad. Hanya saja aplikasi dari dakwah dan jihad itu sendiri adalah masalah ijtihadi dan mutaghayyirat, sehingga masih ada pintu untuk berbeda pendapat di dalamnya. Maka pada penggunaan parlemen sebagai sarana dakwah dan jihad atau sarana mendapatkan maslahat masih masuk dalam ranah ijtihadi.
Syaikh Muhammad Shalih a-Munajjid pernah memberikan fatwa yang selaras dengan pernyataan di atas. Beliau ditanya, “Bolehkah kaum muslimin memberikan hak suara mereka kepada kaum kafir yang bahayanya lebih ringan?”
Beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah. Ini merupakan bagian dari masalah fatwa yang mana hukumnya bisa berbeda-beda menurut kondisi waktu, tempat, serta keadaan. Sehingga tidak dapat dikatakan satu hukum mutlak dalam semua gambaran yang terjadi dan yang akan terjadi.”[28]
Dr. Shalah Shawi mengatakan, “Berbagai sistem (manhaj) perubahan yang ditawarkan gerakan Islam kontemporer tidak keluar dari ijtihad manusia yang berbingkai siyasah syar’iyah dan hukum-hukumnya yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan maslahat dan mafsadah. Dengan demikian, tidak ada yang sakral dalam pemikirannya dan tidak ada ishmah (keterpeliharaan) bagi para tokohnya dari kemungkinan salah secara manusiawi. Namun, niat yang ikhlas dan tujuan yang baik membuat nilainya tidak berkurang.”[29]
Yang harus dijadikan landasan berfikir adalah bahwa hak perundang-undangan adalah mutlak milik Allah. Membuat hukum tandingan atau berhukum dengan hukum tandingan termasuk perkara syirik. Padahal syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni allah ta’ala. Banyak sekali nash syar’i yang menunjukkan akan hal tersebut. Bahkan ulama tidak berselisih di dalamnya.
Al-Qur’an banyak sekali menjelaskan bahwa hukum mutlak hanya milik Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ.
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.”[30]
وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
Dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan."[31]
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ.
Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya lah aku kembali.[32]
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ.
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?[33]
ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلاهُمُ الْحَقِّ أَلا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ.
Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.[34]
Ayat-ayat di atas menunjukkan secara pasti bahwa setiap hukum milik Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Meskipun sekutu tersebut merupakan makhluk yang paling dekat dengan Allah, seperti malaikat dan para nabi atau rasul. Apalagi jika hanya individu atau sekelompak manusia biasa.
Diriwayatkan dari Syuraih bin Hani dari ayahnya, Hani, bahwa ketika ia (Hani) menjadi delegasi menghadap Rasulullah. Beliau mendengar orang-orang menggelarinya dengan Abu Al-Hakam. Rasulullah memanggilnya seraya bersabda, “Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam. Kepada-Nya (diserahkan) segala keputusan, lalu mengapa engkau digelari dengan Abu Al-Hakam?” Maka Hani menceritakan penyebabnya. Lantas Rasulullah menggelarinya dengan putra tertuanya, Syuraih. Beliau bersabda, “Mulai sekarang (kamu) Abu Syuraih.[35]
Ibnu al-Atsir mengomentari, “Sesungguhnya Rasulullah tidak menyukai gelar tersebut untuk Hani, supaya ia tidak bersekutu dengan Allah dalam sifatnya.”[36]
Nash-nash syar’i di atas menunjukkan akan kesakralan hak tasyri’ (kontitusi). Maka barang siapa yang menyaingi Allah dalam berhukum, ia telah melakukan perbuatan syirik. Dan syirik adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Allah. Masuk ke dalam parlemen pemerintah sekuler berarti turut serta dalam berhukum dengan hukum selain hukum Allah.
Bergabung dalam perlemen sendiri membawa madharat yang tidak sedikit. Banyak madharat yang muncul dengan masuknya seseorang ke dalam parlemen. Madharat tersebut seperti, pertama, resiko terhadap akidah. Demokrasi sendiri adalah sistem kufur. Bergabung dalam salah satu lembaga di bawahnya berarti secara tidak langsung ia akan ikut serta dalam acara atau kegiatan kufur di dalamnya. Hal tersebut tetap akan mempengaruhi akidah muslim tersebut baik sedikit atau banyak.[37]
Kedua, memperkeruh masalah bagi publik. Dengan masuknya aktivis Islam justru akan menyebarkan kebodohan pada kaum muslimin. Masyarakat umum akan menilai bahwa menempuh jalan demokrasi adalah hal yang sah-sah saja.[38] Setelah itu masyarakat justru semakin ridha dengan demokrasi dan akan semakin sulit membangun masyarakat islami yang madani.
Ketiga, resiko masuk dalam jebakan musuh[39]. Demokrasi adalah permainan diplomasi. Kebenaran dan keburukan hanya stempel. Maka siapa yang diplomasinya paling kuat, dialah yang merancang kebenaran tersebut. Jika seorang muslim bergabung dalam parlemen ditakutkan hanya akan menambah buruk citra Islam karena kuatnya diplomasi musuh Islam dalam memutarbalikan fakta.
Maslahat yang ada dalam bergabungnya seorang muslim dalam parlemen memang baik menurut akal. Selain itu hal tersebut selaras dengan tujuan syar’i dalam menetapkan hukum. Yaitu untuk memperkecil kejahatan dan keburukan yang ditimpakan pada kaum muslimin. Hanya saja, tidak ada nash syar’i—baik dari Al-Qur’an dan as-Sunnah—yang memerintahkan atau menolak hal ini. Sehingga maslahat yang dijadikan landasan sebagian ulama untuk membolehkan bergabung dengan parlemen termasuk ke dalam mashlahah al-mursalah.
Dalam khazanah ilmu maqashid terdapat apa yang disebut dengan mashlahah adh-dharuriyah.[40] Maslahat tersebut adalah perihal menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (dharurat al-khamsah). Yang paling utama dari seluruh maslahat tersebut adalah menjaga agama (hifdzu ad-din). Jika agama hilang maka turut hilang pula seluruh maslahat lainnya.[41]
Ada sebuah kaidah yang berbunyi:
أعظم مصلحة في الوجود لا يجوز تعطيلها و معارضتها بأي مصلحة دونها
“Maslahat terbesar dalam kehidupan ini (menjaga agama/hifdzu ad-din) tidak boleh digugurkan dan dibenturkan dengan maslahat lain di bawahnya.”[42]
Ditinjau dari hal tersebut di atas, maslahat bergabung dengan parlemen adalah mashlahah al-mursalah. Sementara menghindar dan menolak semua lembaga bawahan sistem demokrasi adalah sarana untuk menjaga kemurnian agama agar terhindar dari perbuatan syirik, dan ini merupakan mashlahah al-mu’tabarah, yang mana ulama sepakat untuk  menggunakannya. Karena hal tersebut menjaga kemurnian agama sejalan dengan tujuan syar’i dan ada petunjuk dari nash syar’i yang memerintahkannya. Maka maslahat al-mu’tabarah haruslah diutamakan dari pada maslahat al-mursalah.[43]
Dalam penggunaan mashlahah al-mursalah sendiri harus memperhatikan seluruh dzawabit-nya (rambu-rambu). Sehingga tidak terkesan serampangan dalam menyimpulkan suatu hukum.[44]
Ketika menentukan hukum dari masalah-masalah tertentu, haruslah dikaji secara proporsional. Sehingga akan muncul kesimpulan: maslahat dalam masalah ini lebih besar dari mafsadatnya. Atau mafsadat dalam masalah ini lebih besar dari pada maslahatnya. Tentu hal itu diputuskan setelah adanya kajian dari para pakar di bidangnya masing-masing.[45]
Maslahat yang didapat seseorang dari bergabungnya ia ke dalam perlemen tidak lebih besar dari pada kerusakan atau madharat yang terkandung di dalamnya. Pasalnya, jika maslahat lebih kecil atau seimbang dengan madharat yang terkandung di dalam suatu perkara, berlaku kaidah fikih “Dar’u al-mafasid aula min jalbi al-mashalih.” Yang berarti “Mencegah suatu kerusakan itu lebih diutamakan dari pada mencari sebuah maslahat.”[46]
Syaikh Abu Muhammad al-Maqdisy dengan tegas menyatakan, “Apa yang telah disyaratkan kepadanya, yaitu lembaga-lembaga yang didirikan oleh para thaghut, seperti parlemen (MPR/DPR/DPRD), majelis-majelis umat (MPR), dan yang serupa dengannya. Supaya di dalamnya mereka mengumpulkan lawan-lawan mereka dari kalangan para aktivis dan yang lainnya. Mereka duduk bersama-sama, berdampingan, serta berbaur dengannya. Sehingga mereka memandulkan permasalahan itu di antara mereka. Akhirnya masalah itu tidak lagi terjadi masalah baru dari mereka, atau mengkufurkan UU dan UUD mereka, atau mencabut diri dari kebatilan mereka seluruhnya. Namun yang terjadi adalah ta’awun, saling bergandeng tangan, saling menasehati, duduk di meja rapat dalam rangka kepentingan negeri, ekonomi, keamanan, dan demi kepentingan tanah air yang dikendalikan oleh thaghut dan diatur berdasarkan keinginan-keinginan dan kekafiran-kekafirannya.[47]
Syaikh Nashiruddin al-Bani pernah dimintai fatwa tentang masuknya seseorang ke dalam parlemen. Beliau menjawab, “Yang saya yakini, bahwa setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara jelas dan juga tidak mengamalkan hukum-hukum Allah tersebut, maka tidak boleh bagi seorang muslim ikut serta menjadi anggota pada majelis negara tersebut ataupun parlemennya. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa tidak ada manfaat bagi kaum muslimin untuk ikut serta dalam hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, terutama untuk masa depan mereka yang panjang. Karena dampak keikutsertaan ini tidak memberikan manfaat secara konkrit.”[48]
Madharat bergabung dalam parlemen pemerintah kufur, secara realita lebih besar dari pada maslahat yang didapatkan. Sementara menyimpulkan hukum dengan landasan maslahat saja tentu saja tidak cukup menguatkan pendapat tersebut.[49]
Berdasarkan hal tersebut, pendapat yang rajih adalah pendapat yang melarang. Pun tujuan seorang aktivis adalah menegakkan kalimatullah. Tujuan yang begitu mulia bagaimana mungkin ditempuh melalui jalan yang bukan saja tidak dicontohkan Rasulullah, tapi juga banyak menabrak prinsip-prinsip Islam.
Sayyid Quthb mengatakan, “Sangat sulit atas saya untuk menggambarkan bagaimana kita bisa sampai kepada tujuan yang  baik dengan menggunakan cara yang kotor? Sesunguhnya tujuan yang baik tidak hidup kecuali dalam hati yang baik, maka bagaimana mungkin bagi hati itu untuk tahan menggunakan cara yang kotor, bahkan bisa ia mendapatkan jalan untuk menggunakan wasilah (cara) ini.”[50]
F.     Kesimpulan
Bergabungnya seorang muslim ke dalam parlemen pemerintah sekuler memang mambawa maslahat yang tidak kecil. Masuknya seorang muslim ke dalamnya dapat meminimalisir kejahatan dan keburukan orang-orang yang memusuhi Islam. Ia juga dapat mencegah kebijakan yang merugikan Islam dan membuat kebijakan yang menguntungkan Islam.
Hanya saja madharat yang terkandung di dalamnya tidak kalah besar. Maka tetap tidak boleh bergabung dalam parlemen pemerintah sekuler meskipun dengan dalil maslahat. Namun permasalahan ini termasuk perkara yang ijtihadi sehingga tetap harus menghormati adanya pendapat yang membolehkan
G.   Daftar Pustaka
1.      Muhammad Syakir asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah Sekuler, Alih Bahasa: Sarwedi Hasibuan, (Solo: Jazeera, 2013).
2.      Abū Muḥammad al-Maqdisīy, Millah Ibrāhim Dakwah Para Nabi dan Rasul, (Tangerang: Ar-Rahmah Media, 2007).
3.      Ali bin Nayif asy-Syukhud, Masyru’iyah Musyarakah fi al-Majalis at-Tasyri’iyah wa at-Tanfidziyyah al-Mu’ashirah. (Versi Syamilah).
4.      Abu Muhammad Ashim al-Maqdisi, al-Qaulu an-Nafis fi at-Tahdzir min Khadi’ah al-Iblis, (Mimbar at-Tauhid wa al-Jihad).
5.      Yusuf Qardhawi, Fiqh ad-Daulah fi al-Islam, (Kairo: Dar Asy-Syuruq).
6.      Ahmad ar-Raisuni, al-Ummah Hiya al-Ashlu, (Beirut: Syabkah al-Arabiyah li al-Abhats wa an-Nasyr, 2012).
7.      Dr. Shalah Shawi, Ats-Tsawabit Wal Mutaghayyirat, Alih Bahasa: Arwani Amin, (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011)
8.      Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) edisi III.
9.      S. Wojowasito, Kamus Belanda-Indonesia, (Jakarta: IBVH, 1996).
10.  Ibnu Mandzur al-Ifriqi, Lisan al-Arab, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub) vol. II.
11.  Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2000) vol. IX.
12.  Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Adhwa’ al-Bayan fi Idhahi Al-Qur’an bi Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995) vol. III.
13.  Raini R. Moediarta, Pkn: Harmoni Berkebangsaan, (Bogor: Quadra, 2007).
14.  Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)
15.  Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1997) vol. I.
16.  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014) vol. II.
17.  Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Baghdad: Dar al-Arabiyah li at-Tiba’ah).
18.  Jalaluddin Abd. Rahman, al-Mashalih al-Mursalah wa Makanatuha fi Tasyri’, (Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah).
19.  Muhammad Shidqi al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyat, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996).
20.  Imam as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadha’ir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990).
21.  Abdul Aziz bin Abd Ar-Rahman, Ilmu Maqashid asy-Syari’, (Riyadh: Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, 2002).




[1] Disampaikan di Ma’had Aly An-Nuur, dalam Munadzarah Ilmiyah, pada: Selasa, 26 April 2016.
[2] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2000) vol. IX, hlm. 516
[3] Muhammad Syakir asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah Sekuler, Alih Bahasa: Sarwedi Hasibuan, (Solo: Jazeera, 2013) hlm. 26
[4] Abdul Aziz bin Muhammad, Nawaqidh al-Iman al-Qauliyah Wa al-Amaliyah, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1414 H) hlm. 311
[5] Kafir ashghar adalah kafir yang tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam, hanya saja mengurangi pahala amal dan bahkan membatalkannya jika dilakukan secara terus menerus. Lihat: Ibid, hlm. 336
[6] Ahmad ar-Raisuni, al-Ummah hiya al-Ashlu, (Beirut: Syabkah al-Arabiyah li al-Abhats wa an-Nasyr, 2012) hlm. 31-32
[7] S. Wojowasito, Kamus Belanda-Indonesia, (Jakarta: IBVH, 1996) hlm. 486
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) hlm. 831
[9] Raini R. Moediarta, Pkn: Harmoni Berkebangsaan, (Bogor: Quadra, 2007) hlm. 41
[10] Muhammad Syakir asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah Sekuler, hlm. 21
[11] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 295
[12] Ali bin Nayif asy-Syukhud, Masyru’iyah Musyarakah fi al-Majalis at-Tasyri’iyah wa at-Tanfidziyyah al-Mu’ashirah, (Versi Syamilah), hlm. 3
[13] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…, hlm. 173
[14] Muhammad Syakir asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah Sekuler, hlm. 39
[15] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub) vol. II, hlm. 348
[16] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, hlm. 720
[17] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, (Kairo: Dar al-Hadits, 2011) vol. I, hlm. 538
[18] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Baghdad: Dar al-Arabiyah li at-Tiba’ah) hlm. 236.
[19] Jalaluddin Abd. Rahman, al-Mashalih al-Mursalah wa Makanatuha fi Tasyri’, (Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah) hlm. 13.
[20] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul…, hlm. 536-537
[21] Abdul Aziz bin Muhammad, Nawaqidh al-Iman al-Qauliyah Wa al-Amaliyah…, hlm. 294

[22] Umar al-Asyqar, Hukmu al-Musyarakah fi al-Wizarah wa al-Majalis an-Niyabiyah, hlm. 108-110
[23] Fatwa ini dimuat dalam majalah Al-Ishlah edisi 242, 27 Dzulhijjah 1413 H/23 Juni 1993 M.
[24] Fatwa ini dimuat dalam majalah Al Furqan edisi 42-Rabi' Ats Tsani 1414 H/Oktober 1993 M. Adapun terjemahan ini diambil dari buku Ash Shulhu Khair terbitan Jama'ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan.
[25] Muhammad Shidqi al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyat, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996) hlm. 260
[26] Yusuf Qardhawi, Fiqh ad-Daulah fi al-Islam, (Kairo: Dar Asy-Syuruq) hlm. 181
[27] Ahmad ar-Raisuni, al-Ummah hiya al-Ashlu…, hlm. 44
[28] Muhammad Syakir asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah Sekuler, hlm. 149.
[29] Dr. Shalah Shawi, Ats-Tsawabit Wal Mutaghayyirat, (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011) terj: Arwani Amin, hlm. 305.
[30] QS. Yusuf: 40
[31] QS. Al-Kahfi: 26
[32] QS. Asy-Syura: 10
[33] QS. Al-Maidah: 50
[34] Al-An’am: 62.
[35] HR An-Nasa’i, kitab Adab al-Qudhah.
[36] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (I/950)
[37] Muhammad Syakir asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah Sekuler, hlm. 64
[38] Ibid, hlm. 66
[39] Ibid, hlm. 67
[40] Yaitu sesuatu yang memang harus ada demi tegaknya kemaslahatan agama dan dunia. Sehingga tanpa adanya hal tersebut, kemaslahatan dunia tidak akan berjalan lurus dan kemaslahatan akhirat tidak akan mendapat keselamatan.
[41] Abdul Aziz bin Abd Ar-Rahman, Ilmu Maqashid asy-Syari’, (Riyadh: Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, 2002) hlm. 130
[42] Abu Muhammad Ashim al-Maqdisi, al-Qaulu an-Nafis fi at-Tahdzir min Khadi’ah al-Iblis, (Mimbar at-Tauhid wa al-Jihad) hlm. 34
[43] Ibid, hlm. 35-36
[44] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014) vol. II, hlm. 379
[45] Muhammad Syakir asy-Syarif, Pro-Kontra Menjadi Anggota Parlemen dan Pegawai Pemerintah Sekuler, hlm. 121
[46] Imam as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadha’ir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990) hlm. 87
[47] Abū Muḥammad al-Maqdisīy, Millah Ibrāhim Dakwah Para Nabi dan Rasul, (Tangerang: Ar-Rahmah Media, 2007) hlm. 154.
[48] Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Al-Bani, hal 111-116, Penerjemah Adni Kurniawan, Pustaka At-Tauhid.
[49] Abu Muhammad Ashim al-Maqdisi, al-Qaulu an-Nafis fi at-Tahdzir min Khadi’ah al-Iblis, hlm. 23
[50] Ibid, hlm. 52
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net