Kamis, 31 Desember 2015

Shahifah ash-Shadiqah Abdullah bin Amru

0


BIOGRAFI SINGKAT ABDULLAH BIN AMRU BIN ‘ASH
Abdullah bin Amru bin Ash bin Wail bin Hasyim As-Sahmi. Ayahnya termasuk salah seorang dari tokoh sahabat terkemuka. Ibunya bernama Raithah binti Hajjaj bin Munabbih As-Sahmiyyah.
Abdullah bin Amru dijuluki Abu Muhammad, Abu Abdirrahman, Abu Nushair. Sebagian riwayat mengatakan bahwa nama aslinya adalah Al-Ash kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Abdullah.
Beliau masuk Islam lebih awal sebelum ayahnya, dan pada tahun ke tujuh hijriyah beliau berhijrah kepada Rasulullah di Madinah. Beliau juga termasuk salah seorang sahabat yang diizinkan oleh Rasulullah SAW untuk menulis hadits, dan tingkat hafalan haditsnyapun cukup banyak. Ibnu Atsir menyebutkan bahwa beliau hafal sekitar 1000 hadits.
Beliau wafat pada tahun 65 H di Mesir, pada usianya yang ke 72 tahun.
TENTANG SHAHIFAH
Shahifah ini dinisbatkan kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash (7 Q.H – 65 H pada usia 72 tahun). Beliau memiliki kecintaan yang sangat  besar di dalam menulis dan mencatat. Apa saja yang beliau dengar dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan segera beliau catat. Beliau secara pribadi mendapatkan izin khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Risalah beliau ini terdiri dari sekitar 1000 hadits. Risalah ini tetap dijaga dan dipelihara oleh keluarga beliau dalam waktu yang lama sampai masa cucunya, Amru bin Syu’aib (w.120 H). Amru bin Syu’aib meriwayatkannya sesuai teks aslinya. Semua isi risalah ini dapat ditemukan di dalam Musnad Imam Ahmad Rahimahullah.
PENAMAAN SHAHIFAH
Dinamakan dengan as-Shadiqah lantaran beliau langsung menulisnya dari Rasulullah. Mujahid berkata, “Saya pernah melihat Shahifah as-Shadiqah Abdullah bin Amru bin ‘Ash akupun memintanya iapun menjawab ini adalah as-Shadiqah, di dalamnya terdapat hadits-hadits yang saya tulis langsung dari Rasulullah dan tidak ada perantara satupun antara aku dengannya.
KECINTAAN BELIAU TERHADAP SHAHIFAH
Shahifah ini termasuk sesuatu yang paling dicintai oleh Abdullah bin Amru bin Ash, sampai-sampai beliau mengatakan, “Tidak ada kecintaan yang sangat besar di dunia ini kecuali kecintaanku kepada shadiqah dan waht. Shadiqah adalah lembaran hadits yang kutulis langsung dari Rasulullah saw sedangkan waht adalah sejumlah tanah di Mesir pemberian ayahku.”
Diantara murid Abdullah bin Amru bin ‘Ash adalah Husain bin Syafi bin Mati’ al-Ashbahi beliau telah menukil dari Abdullah sebanyak dua kitab di Mesir salah satunya berisi tentang hadits-hadits Rasulullah secara umum dan yang satunya berisi tentang kejadian-kejadian hari kiamat.
JUMLAH HADITS DALAM SHAHIFAH
Nomor Hadits yang berada di Musnad Ahmad    : 6477-7103
Jumlah hadits yang berada di Musnad Ahmad    : 627
Jumlah keseluruhan                                             : 1000
Jumlah hadits riwayat Amru bin Syu’aib            : 436
-         202 dari 632 di Musnad Imam Ahmad
-         81 dari 232 di Sunan Abu Dawud
-         53 dari 128 di Sunan An-Nasa’i
-         65 dari 117 di Sunan Ibnu Majah
-         35 dari 89 di Sunan Tirmidzi
Jumlah Total Hadits yang berada di dalam musnad Ahmad dan empat kitab sunan mencapai 1198 hadits.

-         Hadits yang disandarkan pada beliau tanpa pengulangan mencapai 700 hadits, 7 hadits disepakati oleh Bukhari Muslim. 8 diantaranya diriwayatkan oleh Bukhari dan 20 oleh Muslim.

Selasa, 29 Desember 2015

SAIDUT TABI’IN SA’ID BIN AL-MUSAYYIB

0


v Sekilas Biografi Beliau
Beliau adalah Sa’id bin al-Musayyib bin Hazn bin Abu Wahab bin Amru bin ‘Aidz bin Imran bin Makhzum al-Qurasy al-Makhzumi al-Madani[1], mendapat panggilan Abu Muhammad al-Madani dan beliau merupakan salah satu pembesar para tabi’in pada masanya, faham akan hadits, ilmu fikih, dan seorang yang zuhud, taat beribadah, dan sangan wara’ terhadap suatu hal. Beliau bertemu dengan banyak dari sahabat Radhiyallahu ‘anhum  dan banyak mendengar hadits dari mereka, dan juga menemui para istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam lalu mengambil hadits dari mereka, namun  beliau lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu serta menjadi  menantu bagi Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Beliau dilahirkan dua tahun setelah berjalannya kekhilafahan Umar bin al-Khattab, Ibnu Abi Hatim berkata telah bercerita kepadaku Ali bin Hasan dari Ahmad bin Hanbal dari Sufyan dari Yahya, aku mendengar Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Aku dilahirkan dua tahun setelah berjalannya khilafah Umar.”[2]
Sebelum wafat beliau mengalami sakit yang sangat keras, sebagai mana yang disebutkan oleh Abdurrahman bin Harmalah, “Aku menemui Sa’id bin al-Musayyib tatkala beliau sakit keras dan ternyata beliau sedang melaksanakan salat Dzuhur, aku mendengar beliau membaca surah asy-Syams.”
Setelah menjalani masa sakitnya, akhirnya beliau wafat pada tahun 94 Hijriyah di Madinah, tepatnya pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. Ini sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Hakim bin Abdullah bin Abi Farwah, “Aku melihat  Sa’id bin al-Musayyib pada hari wafatnya beliau yakni pada tahun 94, dan tahun diwaktu beliau wafat dinamakan dengan sannah al-fuqaha’ dikarenakan pada tahun itu banyak ahli fiqih yang meninggal dunia.[3]
Adapun umur beliau ketika wafat adalah berumur 79 tahun lebih namun belum mencapai 80 tahun, Ibnu Hajar berpendapat apabila kelahirannya adalah pada tahun kedua setelah berjalannya pemerintahan Umar sedangkan hadits yang menerangkan tentang ini sanadnya adalah sahih, sehingga dapat disimpulkan bahwa umur beliau dapat diperkirakan kurang dari 80 tahun.[4]
v Keilmuannya
Sa’id bin Musayyib adalah tokoh yang terkemuka di Madinah dan termasuk yang sangat dihormati dalam bidang fatwa. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah imam para ulama fiqih.
Qudamah bin Musa berkata, “Ibnu al-Musayyib mengeluarkan fatwa sedangkan para sahabat masih hidup”. Qatadah mengutarakan bahwa apabila al-Hasan mendapat suatu kesulitan maka ia bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib, dan Sa’id merupakan seorang yang sangat bersegera terhadap ilmu dan amal, serta kami mendapati pada beberapa keluarganya hadits-hadits beliau.”[5]
Muhammad bin Yahya bin Habban berkata, “Adalah yang diutamakan fatwanya pada masa beliau adalah Sa’id bin al-Musayyib, dan dikatakan bahwa ia adalah yang paling faqih dari para fuqaha’ .
Ja’far bin Burqan mengatakan bahwa Maimun bin Mihran berkata, “Aku mendatangi Madinah, lalu aku bertanya kepada penduduknya tentang siapakah yang paling faqih di Madinah, lalu aku ditunjukkan kepada Sa’id bin al-Musayyib.”
Ma’n bin Isa dari Malik ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz tidak mau memberikan keputusan suatu hukum sedang ia menjabat sebagai khalifah, sampai ia bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib.”[6]

v Ibadahnya
Beliau adalah seorang yang rajin dan tidak pernah meninggalkan salat jamaah, Maimun bin Mihran berkata, “Aku mendapati bahwa Sa’id bin al-Musayyib selama empat puluh tahun tidak menghadiri masjid dan mendapati para jamaah telah selesai melaksanakan salat”, dengan kata lain bahwa Sa’id tidak pernah tertinggal salat berjamaah selama empat puluh tahun.
Manna’ al-Qattan menyebutkan bahwa  Sa’id bin al-Musayyib adalah seorang yang tekun beribadah, ia berhaji sebanyak empat puluh kali, dan beliau sangat bersegera menuju masjid guna melaksanakan salat secara berjamaah.[7]
Sa’id sendiri pernah berkata bahwa ia tidak pernah tertinggal dari takbir yang pertama selama lima puluh tahun, dan ia berkata, “Aku memuliakan ibadah dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan aku tidak menghinakannya dengan bermaksiat kepada Allah.”[8]
Ibnu Hiban berkata, “Tidaklah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id sudah berada di dalam masjid.”[9]
Al-‘Attaf bin Khalid dari Abi Harmalah bahwa Ibnu Musayyib berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan salat berjamaah selama empat puluh tahun.”[10]
Sufyan ats-Tsauri dari  Utsman bin Hakim aku mendengar Sa’id berkata, “Tidaklah muadzin mengumandangkan adzan selama tiga puluh tahun, kecuali aku sudah berada di masjid.” Sanad ini kuat.[11]
Hammad bin Zaid dari Yazid bin Hazim berkata, “Sesungguhnya Sa’id senantiasa melakukan shaum.”
Dari Abdurrahman bin Harmalah ia berkata, “Aku mendengar Ibnu al-Musayyib mengatakan, ‘Aku telah berhaji sebanyak empat puluh kali.”[12]

v Sanjungan Ulama’ Terhadapnya
Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tabi’in yang paling utama adalah Sa’id bin al-Musayyib.”
Qatadah juga mengomentari, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang pandai dalam masalah halal dan haram dari beliau.”
Dan juga Yahya bin Sa’id menambahkan, “Beliau adalah manusia yang paling memahami hukum yang disampaikan Umar serta jalan penyelesaiannya, sehingga mendapat julukan Riwayatu Umar.”[13]
Ali bin al-Madani berkata, “Aku tidak menemukan para tabi’in yang lebih luas wawasannya dari Sa’id bin al-Musayyib.”
Ibnu Hiban dalam ats-Tsiqat menyatakan, “Sa’id adalah seorang yang mulia dari para tabi’in, seorang yang faqih, taat beragama, wara’, rajin beribadah dan merupakan seorang yang terkemuka dikalangan penduduk Hijaz.”[14]
v Kewibawaan dan Perjuangannya Membela Kebenaran
Dari Imran bin Abdullah, ia berkata, “Sa’id bin al-Musayyib mempunyai hak atas harta yang ada di baitul mal sebanyak tiga puluh ribu. Lalu ia diundang untuk mengambilnya, akan tetapi ia menolak. Dia berkata, “Aku tidak membutuhkannya, sehingga Allah memberikan keputusan yang adil antara aku dan Bani Marwan.”[15]
Dari Ali bin Zaid berkata, “Seorang pernah berkata kepada Sa’id bin al-Musayyib, ‘Apa pendapatmu tentang al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi yang tidak pernah mengutus seseorang kepada anda dan tidak pula menyakiti anda?’, Sa’id menjawab, “Demi Allah aku tidak mengetahui kecuali aku pernah melihat dia dan ayahnya memasuki masjid, lalu melakukan salat yang tidak sempurna ruku’ dan sujudnya. Lalu aku segera mengambil segenggam kerikil dan melemparkannya, kemudian al-Hajjaj berkata, “Aku merasa telah melakukan salat dengan baik.”[16]
Pada suatu ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengutus pengawalnya untuk menanyakan suatu permasalahan. Kemudian, pengawal tersebut mengundangnya dan mengajak datang ke istana, setelah Sa’id datang Umar bin Abdul Aziz buru-buru berkata, “Utusanku telah melakukan kesalahan, aku hanya ingin menanyakan kepadamu tentang suatu hal permasalahan di majelismu.”[17]
Dari Salamah bin Miskin, dia berkata, “Imran bin Abdullah telah memberitahukan kepada kami, dia berkata, “Aku melihat Sa’id bin al-Musayyib adalah seorang yang lebih ringan untuk berjuang di jalan Allah dari seekor lalat.”
v Guru-guru Beliau
Dikarenakan beliau adalah salah satu dari Kibarut tabi’in, maka tidak heran apabila beliau banyak berguru dengan pembesar-pembesar sahabat dan mendengarkan ilmu darinya, diantara guru-gurunya  adalah: Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Muawiyah bin Abi Shafyan, Abu Darda’, Abu Dzar al-Ghifari, Abu Musa al-Asy’ari, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Musayyib bin Hazn(bapaknya), Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik, Bilal, Zaid bin Tsabit, Sarakah bin Malik, Abi Tsa’labah al-HusniRadhiallahu ‘anhum,  dan masih banyak lagi. Disamping itu beliau juga berguru atau mengambil hadits kepada istri nabi, seperti ‘Aisyah dan Ummu SalamahRadhiallahu ‘anhuma.[18]
v Murid-murid Beliau
Sedangkan untuk murid, beliau memiliki banyak sekali, dan di sini kami hanya akan menyebutkan sebagiannya saja. Diantaranya : Muhammad(anaknya), Salim bin Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Ibrahim, Dawud bin Abi Hind, Zaid bin Aslam, Shafwan bin Salim, Thariq bin Abdurrahman, Basir bin Muharrar, Idris bin Shahib al-Auda, Usamah bin Zaid al-Laisi, Ismail bin Umayah, Abdullah bin Muhammad bin Uqail, Abdullah bin Qayyis at-Tajibi, Shafwan bin Salim, dan masih banyak lagi murid-murid beliau yang tidak kami sebutkan di sini.[19]
v Menikahkan Anaknya
Abu Bakr bin Abu Dawud menyatakan bahwa pada suatu ketika Abdul Malik bin Marwan melamar anaknya Sa’id untuk anaknya Walid, namun ternyata Sa’id enggan dan menolak lamaran tersebut. Sehingga Abdul Malik menjadi marah dan menghukum Sa’id dengan hukuman seratus kali cambuk di hari yang dingin, lalu disiram dengan air, dan dikenakan jubbah yang terbuat dari bulu domba.
Namun sungguh mengherankan dimana dia menolak lamaran dari Abdul Malik yang mana ia adalah seorang khalifah pada waktu itu dan justru mau menikahkan anaknya dengan murid beliau yang notabennya adalah seorang yang sangat miskin dan berperekonomian lemah.
Diceritakan dari Ibnu Abu Wada’ah(menantunya)[20], berkata, “Aku mengikuti majelis ilmu Sa’id bin al-Musayyib, lalu aku tidak menghadirinya beberapa hari, ketika aku hadir ia bertanya kepadaku, “Dari mana saja kamu beberapa hari ini?, aku menjawab, “Istriku meninggal dunia dan aku tersibukkan dengan dia dan urusan keluargaku”, Sa’id bertanya lagi, “Mengapa engkau tidak mengabarkannya kepada kami, sehingga kami dapat hadir dan membantumu?, apakah tidak ada yang menawarimu istri?”, lalu aku menjawab, “Semoga Allah merahmatimu!, siapakah yang mau menikahkan anaknya denganku, seorang yang miskin yang tidak memiliki apa-apa kecuali hanya dua atau tiga buah keping dinar?”, ia menjawab, “Akulah orangnya”, aku bertanya, “Sungguh engkau ingin melakukannya?”, ia menjawab, “Tentu”, lalu ia mengucapkan tahmid serta bersalawat kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan menikahkan aku dengan anaknya dengan mahar dua atau tiga keping dinar.”[21]
Wallahu A’lam Bisshowab


DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, Imam. 1990. Siar A’lam an-Nubala’. Beirut: Muasasah ar-Risalah
Hajar, Ibnu al-Asqalani. 1984. Tahdzibut Tahdzib. Beirut: Daar Al-Fikr
As-Suyuthi, Imam. 1983. Thabaqatil Huffadz. Beirut: Daar al-Kutub al-‘Alamiyah
Al-qatthan, Manna’. 1997. Tarikh at-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Muasasah ar-Risalah















[1] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib (Beirut : Daar Fikr, 1984),  juz. 4, hlm.74
[2] Ibid. hlm. 77
[3] Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam (Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1990), juz. 4, hlm.245
[4]Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib (Beirut : Daar Fikr, 1984), juz. 4, hlm. 76
[5] Lihat Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam(Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1990), juz. 4, hlm. 219
[6]Ibid, hlm. 224
[7]Manna’ al-Qattan, Tarikh Tasyri’ (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1997), hlm. 238
[8]Ibid.
[9] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib (Beirut : Daar Fikr, 1984), juz. 4, hlm. 77
[10]Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam (Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1990), juz. 4, hlm. 221
[11] Ibid.
[12] Ibid, hlm. 222
[13]Imam as-Suyuthi, Thabaqatil Huffadz (Bairut : Daar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1983), hlm. 25
[14]Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib(Beirut : Daar Fikr, 1984), juz. 4, hlm. 76-77
[15]Lihat Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam(Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1990), juz. 4, hlm.226
[16]Ibid.
[17]Ibid, hlm. 224
[18] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib (Beirut : Daar Fikr, 1984), juz. 4, hlm. 75
[19] Ibid.
[20] Beliau adalah Katsir bin al-Muthalib bin Abu Wada’ah, muridnya Sa’id yang sangat miskin
[21]Lihat Manna’ al-Qattan,Tarikh Tasyri’(Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1997), hlm. 239  dan Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam (Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1990), juz. 4, hlm. 233-234

Imam al-Bukhari Imamnya Muhaditsin

0


AMIRUL MUKMININ DALAM BIDANG HADITS[1]
Siapakah Ia?
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ja’fi al-Bukhari. Lahir di Bukhara selepas shalat Jum’at, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H. Mulai menuntut ilmu sejak kanak-kanak dan pada umur 16 tahun sudah hafal buku-buku karangan Ibnul Mubarak, Waki’, serta mengetahui ungkapan-ungkapan ash-Habur Ra’i.
Abu Ja’far Muhammad bin Abu Hatim al-Warraq berkata, “Aku bertanya kepada Muhammad bin Ismail, ‘Kapan engkau memulai menggeluti hadits?’ ia menjawab, ‘Aku mulai berkecimpung dalam menghafal hadits sejak aku berada di dalam madrasah kuttab’, lalu aku bertanya, ‘Umur berapakah anda saat itu?’, ia menjawab, ‘Sepuluh tahun atau kurang dari itu’.[2]
Lalu pada tahun 210 H ia melakukan haji bersama dengan ibu dan sodaranya serta menetap di Madinah al-Munawarah, dan di sinilah beliau mengarang buku at-Tarikh al-Kabir.
Beliau wafat pada tanggal 30 Ramadhan 256 H di umurnya yang ke-62 tahun kurang 13 hari,[3] tepatnya pada waktu shalat Isya’ malam Sabtu atau malam hari raya Idul Fithri, lalu beliau dimakamkan di Khartank[4] pada hari raya Idul Fithri selepas shalat Dzhuhur.[5]
Bentuk Fisik Beliau
Imam al-Bukhari memiliki badan yang kurus dan berpostur tubuh sedang, ini sebagaimana yang dicantumkan oleh Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi dari Hasan bin Husain al-Bazzaz, bahwan ia berkata, “Aku melihat Muhammad bin Ismail adalah seorang yang berbadan kurus, tidak tinggi dan tidak (juga) pendek”.[6]
Sanjungan Ulama’ Terhadap Beliau
Ibnu Jauzi berkata, “Keutamaan Imam al-Bukhari sangatlah banyak, hafalannya akan hadits sangatlah banyak, serta telah banyak pembesar yang telah mengakui beliau, sampai-sampai Ahmad bin Hanbal berkata, ‘Sepertinya Khurasan tidak akan melahirkan kembali yang semisal dengan Muhammad bin Ismail”.[7]
Abu Mush’ab berkata, “Muhammad bin Ismail adalah orang yang paling fakih di antara kami dan lebih kuat bashirahnya dibanding Ibnu Hanbal”, Shalih bin Muhammad al-Asadi berkata, “Muhammad bin Ismail adalah orang yang paling mengetahui masalah hadits”, Muhammad bin Salam juga berkomentar, “Ia adalah orang yang tidak ada tandingannya”. [8]
Muhammad berkata, “Aku mendengar Mahmud bin an-Nadhr Abu Sahl asy-Syafi’i berkata, ‘Aku memasuki kota Bashrah, Syam, Hijaz, dan Kufah. Dan aku tidak melihat para ulama’nya ketika disebutkan nama Muhammad bin Ismail, mereka pasti menyanjungnya."[9]
Guru-guru Beliau
Imam al-Bukhari Rahimahullah menimba ilmu bersama lebih dari seribu guru, mulai dari guru yang berasal dari negeri tanah kelahirannya, Makkah, Madinah, Mesir, Syam, Kufah, dan lainnya.
Di Bukhara beliau menimba ilmu dari Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far bin al-Yamani al-Ju’fa al-Musnadi dan Muhammad bin Salam al-Bikandi, di kota Balkh bersama Mukay bin Ibrahim, di Maru bersama Abdan bin Utsman, Ali bin al-Hasan bin Syaqiq, dan Shadaqah bin al-Fadhl, di Naisaburi bersama Yahya bin Yahya, di Makkah bersama Abu Abdurrahman al-Muqra’i, Khallad bin Yahya, Hassan bin Hassan al-Bashri, dan selainnya, di Madinah bersama Abdul Aziz al-Uwaisi, Ayyub bin Sulaiman bin Bilal, dan Ismail bin Abi Uwais, di Mesir bersama Sa’id bin Abi Maryam, Ahmad bin Isykab, dan Abdullah bin Yusuf, di Syam bersama Adam bin Abu Iyyas, Ali bin Ayyasy, Bisyr bin Syu’aib, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, dan selainnya, di kota ar-Ray bersama Ibrahim bin Musa, di Baghdad bersama Muhammad bin Isa bin ath-Thabba’, Suraij bin an-Nu’man, Muhammad bin Sabiq, dan Affan, di Bashrah bersama Abu ‘Ashim an-Nabil, al-Anshari, Abdurrahman bin Hammad asy-Syu’aitsi, dan Muhammad bin ‘Ar’arah, di Kuffah bersama Ubaidillah bin Musa, Abu Nu’aim, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannam, dan masih banyak lagi.[10]
Murid-murid Beliau
Untuk murid beliau sudah barang tentu sangatlah banyak sekali, di antaranya adalah Abu Isa at-Tirmidzi, Abu Hatim, Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, Abu Bakr bin Abi ad-Dunnya, Abu Bakr Ahmad bin Amru bin Abi ‘Ashim, Shalih bin Muhammad Jazarah, Muhammad bin Abdullah al-Hadhrami, Ibrahim bin Ma’qil an-Nasafi, Abdullah bin Najiyyah, Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Umar bin Muhammad bin Bujair, Abdullah bin Muhammad bin al-Asyqar, Muhammad bin Sulaiman bin Faris, dan masih banyak lagi.[11]

Prihal Buku Shahih al-Bukhari
            Imam al-Bukhari adalah ulama’ yang produktif, banyak karangan beliau yang sampai hari ini masih dapat kita jumpai. Di antaranya adalah buku hadits yang dijadikan rujukan seluruh umat Islam di dunia, buku yang terjamin kualitas keshahihannya, yaitu buku al-Jami’ ash-Shahih.
            Imam al-Bukhari mulai berkeinginan untuk mengumpulkan hadits dalam bukunya adalah setelah mendapatkan nasihat dari gurunya yang bernama Ishaq bin Rahawaih. Sebagaimana yang diutarakan Ibrahim bin Ma’qal ats-Tsaqafi, bahwa ia mendengar Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Ketika aku berada di majlisnya Ishaq bin Rahawaih, ia berkata kepada sebagian dari kami, ‘Alangkah baiknya jika salah satu dari kalian ada yang membuat buku ringkasan berkenaan dengan Sunnah Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam’, maka ucapannya tersebut tertanam di dalam hatiku dan aku mulai mengumpulkan buku ini yakni al-Jami’ ash-Shahih.”[12]
             Dalam membuat buku ini beliau memerlukan waktu 16 tahun, dan ia hafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih yang beliau dengar dari gurunya yang berjumlah lebih dari 70.000 orang.[13] Buku al-Jami’ ash-Shahih adalah kumpulan hadits yang berhasil beliau saring dari hadits-hadits yang berjumlah kurang lebih 600.000 hadits. Ini sebagaimana yang diutarakan as-Sa’di, ia berkata, “Aku mendengar sebagian dari kami berkata, ‘Muhammad bin Ismail berkata, ‘Aku berhasil mengeluarkan buku ini (ash-Shahih) dari kira-kira 600.000 hadits.”[14]
Syarh-syarh Buku Shahih al-Bukhari
              Muncul para ulama’ yang telah mensyarh buku Shahih Bukhari, baik ulama’ dahulu atau ulama’ setelahnya, di antaranya adalah A’lamus Sunnah milik Hamd bin Muhammad al-Khaththabi wafat tahun 386 H, Syarh Shahih al-Bukhari milik Abu Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik yang masyhur dengan sebutan Ibnu Baththal al-Qurthubi al-Maliki wafat tahun 449 H, Syarh Musykil al-Bukhari milik Muhammad bin Sa’id bin Yahya bin ad-Dabitsi al-Wasithi wafat tahun 637 H, Syarhul Bukhari milik Imam an-Nawawi Yahya bin Syarf wafat tahun 676 H, al-Kaukabus Sari milik Ali bin Husain bin Urwah al-Musyrifi al-Maushuli al-Hanbali wafat tahun 837 H, Irsyadus Sari Syarh Shahihul Bukhari milik Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Khatib al-Qasthalani al-Misri asy-Syafi’i wafat tahun 923 H, dan masih banyak lagi.[15]
Jumlah Hadits al-Jami’ ash-Shahih
            Menurut Syaikh Taqiyuddin Ibnu ash-Shalah di dalam Ulumul Hadits, “Jumlah hadits dalam Shahih al-Bukhari adalah 7.275 hadits dengan pengulangan, lalu ia menyebutkan apabila tanpa pengulangan berjumlah kira-kira 4.000 hadits.”[16]
            Sedangkan menurut al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, jumlah haditsnya adalah 9.082 hadits dengan pengulangan[17], dan 2.761 hadits tanpa pengulangan.[18]
            Imam an-Nawawi berkata, “Telah kami riwayatkan dengan sanad yang shahih dari al-Hamwi Rahimahullah, bahwa ia berkata, ‘Jumlah hadits Shahih al-Bukhari adalah 5 hadits bad’ul wahyu, 50 hadits iman, 75 hadits ilmu, 109 hadits wudhu, 43 hadits ghaslul janabah, 37 hadits haid, 15 hadits tayamum, 2 hadits fardhu shalat, 39 hadits ash-shalah fiets tsiab, 13 hadits kiblat, 76 hadits masjid, 30 hadits sutrah shalat, 75 hadits waktu shalat, 28 hadits adzan, 40 hadits keutamaan shalat jama’ah, 40 hadits imamah, 18 hadits meluruskan shaf, 28 hadits iftitah shalat, 30 hadits qira’ah, 52 hadits ruku’, sujud, dan tasyahud, 17 hadits mengqadha’ shalat, 5 hadits menjauhi memakan bawang, 15 hadits shalatnya wanita dan anak-anak, 65 hadits shalat Jum’ah, 6 hadits shalat khauf, 40 hadits ‘idain, 15 hadits witir, 35 hadits istisqa’, 25 hadits kusuf (gerhana), 14 hadits sujud tilawah, 36 hadits qashar, 8 hadits istikharah, 41 hadits anjuran shalat malam, 18 hadits nafilah, 9 hadits shalat di Makkah, 26 hadits perbuatan dalam shalat, 14 hadits sujud sahwi, 154 hadits janaiz, 113 hadits zakat, 10 hadits zakat fithri, 24 hadits haji, 32 hadits umrah, 40 hadits pengepungan, 40 hadits berburu, 32 hadits ihram dan yang mengikutinya, 24 hadits keutamaan Madinah, 36 hadits shaum, 10 hadits malam qadar, 6 hadits tarawih, 20 hadits i’tikaf, 191 hadits buyu’ (jual-beli), 19 hadits as-salam (memesan), 3 hadits Syuf’ah, 24 hadits ijarah, 30 hadits hawalah, 8 hadits kafalah, 13 hadits isykhash, 2 hadits mulazamah, 15 hadits luqatoh, 41 hadits mendzalimi dan ghashab, 73 hadits syirkah, 9 hadits rahn, 34 hadits pemerdekaan, 6 hadits mukatabah, 69 hadits hadiah, 58 hadits persaksian, 22 hadits shulhu, 24 hadits syarat, 41 hadits wasiat dan wakaf, 255 hadits jihad dan sariyah, 42 hadits sisa jihad, 58 hadits shalat fardhu yang lima, 63 hadits jizyah dan muwada’ah, 202 hadits permulaan penciptaan, 428 hadits para nabi dan peperangan, 138 hadits yang lain dari masalah peperangan, 540 hadits tafsir, 81 hadits keutamaan Al-Quran, 244 hadits nikah dan talak, 22 hadits nafkah, 70 hadits makanan, 11 hadits aqiqah, 90 hadits berburu, sesembelihan, dan selainnya, 30 hadits sesembelihan dan udhhiyyah, 65 hadits minuman, 79 hadits pengobatan, 120 hadits pakaian, 41 hadits sakit, 100 hadits baju, 256 hadits adab, 77 hadits ijin, 76 hadits dakwah, 30 hadits dari perdakwahan, 100 hadits tanah, 16 hadits haudh, 57 hadits Nar dan Jannah, 28 hadits qadar, 31 hadits sumpah dan nadzar, 15 hadits kafarah sumpah, 45 hadits ilmu faraid, 30 hadits hudud, 52 hadits melarikan diri, 54 hadits diyat, 20 hadits murtad, 13 hadits ikrah, 23 hadits meninggalkan kekuatan, 60 hadits ta’bir, 80 hadits fitan, 82 hadits hukum, 22 hadits tumna, 19 hadits ijazah kabar indifidual, 96 hadits i’tisham, 170 hadits tauhid, pengagungan Rab Ta’ala, dan selainnya sampai akhir.[19]
Sehingga memperoleh total dari semua penjabaran di atas adalah kurang lebih 6.528 hadits.
Sedangkan menurut yang kami dapat dari Buku Aslinya menunjukkan jumlah 7.563 hadits.
Karya-karya Beliau
            Beliau adalah ulama’ yang produktif, semasa hidupnya beliau telah banyak menghasilkan karya yang luar biasa, di antaranya adalah kitab Al-Jami’ ash-Shahih (Shahih al-Bukhari), Al-Adab al-Mufrad, Raf’ul Yadain fiesh Shalah, Al-Qiraah Khalful Imam, Birrul Walidain, At-Tarikh al-Kabir, At-Tarikh al-Ausath, At-Tarikh ash-Shagir, Khalqu Af’alil Ibad, Kitab adh-Dhu’afa’, Al-Jami’ al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, At-Tafsir al-Kabir, Kitabul Asyrabah, Kitabul Hibbah, Asamiyyush Shahabah, Kitabul Mabsuth, Kitabul ‘Ilal, Kitabul Kunni, dan Kitabul Fawaid.[20]
Wallahu ‘Alam Bish Shawab





[1] Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam, jus. 12, hlm. 391, Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib, jus. 9, hlm. 41, Ibnu Jauzi, Sifatush Shafwah, jus. 4, hlm. 168
[2] Ibnu Jauzi, Sifatush shafwah, jus. 4, hlm. 168
[3] Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, jus. 1, hlm. 11
[4] Desa yang berjarak tiga farsakh (3 X 8 km) dari Samarkandi.
[5] Ibnu Jauzi, Sifatush shafwah jus. 4, hlm. 171
[6] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, At-Tausyih Syarhul Jami’ ash-Shahih, jus.1, hlm. 13
[7] Ibid.
[8] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib, jus. 9, hlm. 43-44
[9] Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam, jus. 12, hlm. 422
[10] Ibid. hlm. 394-395
[11] Ibid. hlm. 397
[12] Tahdzibut Tahdzib jus. 9, hlm. 42 dan Shifatush Shafwah jus. 4, hlm. 170
[13] Ulumul Hadits milik Subhi ash-Shalih hlm. 396
[14] Shifatush Shafwah jus. 4, hlm. 169
[15] At-Tausyih Syarh al-Jami’ ash-Shahih jus. 1, hlm. 24-27
[16] Hadyus Sari Muqaddimatu Fathil Bari hlm. 648
[17] Ibid. hlm. 653
[18] Ibid. hlm. 661
[19] at-Tausyih Syarh al-Jami’ ash-Shahih jus. 1, hlm. 14-15
[20] Hadyus Sari Muqaddimatu Fathil Bari hlm.679
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net