Selasa, 26 Januari 2016

Hukum Aborsi Dalam Pandangan Islam

0

by: Rio el-Kuhaku
I.                   Definisi
Di dalam literatur Islam aborsi di kenal dengan istilah Ijhadh yang berasal dari kata ajhadha-yujhidhu yaitu seorang wanita yang melahirkan anaknya secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya.[1] Adapun ulama fiqh, tidak semua dari mereka menyebut aborsi dengan istilah ijhadh, karena sebagiannya lebih memilih menggunakan ungkapan lain seperti isqath, ilqa’,tharh, dan imlash, yang pada dasarnya memiliki satu makna yaitu keguguguran baik disengaja maupun tidak.[2] Istilah yang masyhur digunakan adalah ijhadh dan saqtu atau isqat.
Lembaga penelitian bahasa mengkhususkan bahwa ijhadh digunakan jika janin yang dikeluarkan dari rahim belum memasuki bulan keempat, sedangkan antara bulan keempat dan ketujuh maka disebut dengan isqat. Maka sebenarnya antara ijhad dan isqat memiliki satu makna, yaitu menggugurkan anak sebelum sempurna penciptaan atau sebelum sempurna masa kehamilanna. Baik sebelum ditiupkan ruh atau setelah ditiupkan ruh, baik janin laki-laki maupun perempuan.[3]
Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute For Social and Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi di dalam rahim (uterus), sebelum janin (fetus) mencapai usia 20 minggu.[4]
Di Indonesia sendiri belum ada batasan resmi mengenai pengguguran kandungan, dimana aborsi didefinisikan sebagai terjadinya keguguran janin, dan melakukan aborsi adalah melakukan pengguguran dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu.[5]
Berdasarakan pandangan umum, suatu peristiwa dikatakan sebagai aborsi dengan batas apabila janin keluar dari kandungan sebelum 28 minggu kehamilan dan berat 1000 gram.[6] Untuk lebih memperjelas definisi para ahli kedokteran mengenai aborsi berikut ini penulis kemukakan beberapa pendapat:[7]
a.       Eastman : Aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila fetus itu beratnya terletak antara 400-1000 gram atau kehamilan kurang dari 28 minggu.
b.      Jeffcoat : Aborsi yaitu pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28 minggu, yaitu fetus belum viable in law (belum dikatakan hidup).
c.       Holmer : Aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu ke 16 dimana plasentasi belum selesai.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa aborsi dibagi menjadi dua :
a.       Aborsi spontan (Abortus Spontaneus), yaitu secara tidak sengaja dan berlangsung alami tanpa ada kehendak dari pihak-pihak tertentu. Masyarakat mengenalnya dengan istilah keguguran.
b.      Aborsi buatan (Abortus Provocatus), yaitu aborsi yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan tertentu. Aborsi jenis ini dibagi menjadi dua, jika dilakukan untuk kepentingan medis dan terapi serta pengobatan, maka disebut denan Abortus Provocatus Therapeuticum. Sedangkan jika dilakukan karena alasan yang bukan medis dan melanggar hukum yang berlaku, maka disebut dengan Abortus Provocatus Criminalis.
Demikianlah beberapa definisi aborsi baik menurut istilah syar’i, kedokteran, maupun pengertian umum yang biasa dipahami oleh masyarakat. Adapun yang dimaksudkan di dalam pembahasan ini adalah menggugurkan janin secara paksa yang belum sempurna penciptaannya atas permintaan atau kerelaan ibu yang mengandungnya.
Sejarah Aborsi
Pada akhir abad ke 18 M, berkembanglah di Eropa sebuah pemkiran yang dipelopori oleh pendeta bernama Malicus, ia menulis  sebuah makalah bertajuk “Populasi Penduduk dan Dampaknya Dalam Masadepan Bangsa"  pada tahun 1213 H / 1798M. Ia berpendapat bahwa pertambahan populasi  penduduk yang berjalan begitu pesatnya dari 2,4,8,16,36, dan seterusnya, sedangkan data devisa negara hanya berjalan antara 3,4,5,6,7,8, dan seterusnya.
Oleh karenanya  negara terancam kelaparan bila hal ini terus di lestrikan, maka ia  mengajak kepada pembatasan keturunan dengan jalan memakai gaya hidup rahib (tidak menikah), atau mengahirkan proses perkawinan sampai populasi penduduk tidak bertambah pesat .[8]Akhirnya, teori Malicus ini diikuti oleh masa berikutnya, akan tetapi dengan menggunakan alat-alat pembatas keturunan yang lebih moderen.
Dalam agama yahudi mereka mangharamkan aborsi, mereka menetapkan sanksi yang amat berat bagi suami yang melakukan aborsi dengan unsur kesengajaan. Akan tetapi hukuman tersebut tidak sampai pada hukuman mati. Begitu pula dengan agama Nasrani yang menganggap aborsi sebagai bentuk pembunuhan.[9]
Dalam sejarah perundang-undangan kuno mereka semua mengharamkan Aborsi kecuali bangsa yunani. Undang-undang Persia kuno misalnya, sampai abad ke 18 M mereka menjadikan hukuman bagi orang yang melakukan aborsi dengan mengasingkanya. Tidak ada perbedaan baik ia melakukanya sebelum peniupan ruh ataukah setelahnya.
Kemudian pada abad 18 M undang-undang tersebut direvisi dan ditetapkanlah hukuman untuk orang yang melakukanya dengan pidana kurungan selama 20 tahun. Kemudian diperbolehkan bagi seorang wanita untuk melakukan pada bayinya, baru setelah itu  diperboloehkan  secara mutlak bila dilakukan pada sepuluh minggu pertama (masa kehamilan ). Adapun negara yang pertama kali membolehkan aborsi adalah Unisoviet.[10]

II.                Hukum Aborsi
Di dalam nash-nash syar’i memang tidak ada penyebutan secara khusus mengenai hukum aborsi, namun di sana banyak nash yang menyebutkan larangan membunuh jiwa orang lain tanpa alasan yang dibenarkan syar’i. Allah berfirman :
( وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا  عَظِيمًا)
Artinya : “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam, dan dia kekal di dalamnya, dan Allah, murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nisa’ : 93)
            Rasulullah di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bersabda :
"إِنَ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ"
Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga, berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh, serta menuliskan baginya empat perkara, yaitu penentuan rezeki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka maupun bahagia. (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka, pembahasan mengenai hukum aborsi dibagi menjadi dua bagian sebagaimana berikut :
A.    Pengguguran janin pra peniupan ruh
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda berkenan dengan aborsi sebelum ditiupkannya nyawa pada janin. Perbedaan tersebut bisa diklasifikasikan ke dalam tiga golongan. Pertama, pendapat yang mengharamkan praktek tersebut. Kedua, pendapat yang membolehkan. Ketiga, pendapat yang memakruhkan.
Pendapat yang mengharamkan
Tahap penciptaan manusia dimulai setelah cairan sperma masuk di dalam rahim wanita dan bertemu dengan ovum atau sel telur. Dimana persatuan antara sel telur dengan ovum tersebut kemudian mengalami perkembangan. Sejalan dengan proses fisiologi tersebut janin mulai berjalan menuju kehidupan. Karenanya cairan tersebut harus dijaga, tidak boleh dianiaya maupun digugurkan.
Al-Ghazali memberikan pernyataan yang senada dengan pendapat di atas, bahwa pertumbuhan janin melalui tahap yang bertingkat-tingkat. Tahap awal bermula dari bertemunya sperma dan ovum, yang maklum dikenal dengan istilah nutfah, kemudian ketahap alaqah, dan seterusnya hingga menjadi jabang bayi yang terlahir di dunia.
Merusak pertumbuhan janin pada tahap awal ini adalah suatu kejahatan dan mengarah kepada perbuatan yang keji. Maka, perbuatan seperti ini adalah dilarang secara syar’i. Begitupula bila janin telah masuk dalam tahap ‘alaqah maupun mudghah, maka tingkat larangannya lebih kuat lagi. Puncak kekejiannya adalah pembunuhan yang dilakukan ketika anak telah lahir dalam keadaan hidup.[11]
Ahmad Ad-Dardir dari kalangan Malikiyah mengharamkan melakukan aborsi walaupun janin belum mencapai umur 40 hari. Ini tersirat dari pernyataan beliau yang tidak membolehkan mengeluarkan air mani yang telah tertanam di dalam rahim. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Ad-Daisuqi.
Pendapat yang membolehkan
Di dalam Fatawa Lajnah Daimah disebutkan bahwa, hukum asal bagi seorang wanita yang hamil adalah tidak boleh untuk menggugurkan kandungan pada seluruh fasenya, meskipun janin baru berumur 40 hari atau bahkan kurang dari itu. Akan tetapi, jika dalam pengguguran janin yang belum memasuki usia 40 hari tersebut didapati maslahat syar’i bagi ibu, atau menghindarkannya dari bahaya yang bisa menghilangkan nyawa, maka aborsi boleh dilakukan.
Berbeda halnya jika usia janin telah lebih dari 40 hari, maka tidak boleh dilakukan aborsi karena telah berupa alaqah yang merupakan cikal bakal manusia. Kecuali jika telah bisa dipastikan bahwa, jika janin tetap dipertahankan di dalam kandungan maka akan membahayakan jiwa ibu.
Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan aborsi sebelum janin ditiupkan ruh secara mutlak. Abu Ishaq Al-Marwazi dari kalangan Syafi’iyah juga berpendapat yang sama, begitupula Ar-Ramali yang menegaskan tentang kebolehan aborsi pada fase teresebut.[12] Kalangan Hanabilah juga senada dengan pendapat di atas, dimana mereka membolehkan aborsi pada fase awal kehamilan. Yaitu boleh bagi wanita meminum obat untuk menggurkan nuthfah di dalam rahimnya, selama belum berbentuk ‘alaqah.
            Pendapat yang memakruhkan
Ulama Malikiyah memandang makruh hukumnya menggugurkan kandungan pada taham nutfah, dan haram hukumnya ketika janin telah memasuki fase ‘alaqah dan mudghah.
B.     Pengguguran janin pasca peniupan ruh
Secara umum ulama telah bersepakat atas keharaman melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah janin berumur 4 bulan di dalam perut ibunya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibnul Jauzi, Ibnu ‘Uqail, Ibnu Qudamah, dan sebagainya bahwa bagi sesiapa yang menyebabkan janin seorang wanita keguguran  maka baginya kafarah dan ghurrah (memerdekakan budak pilihan).[13]
Menggugurkan kandungan setelah janin diberi nyawa tanpa ada alasan atau indikasi medis yang dibenarkan dalam agama, dipandang sebagai tindakan pidana yang disamakan dengan pembunuhan terhadap manusia setelah sempurna wujudnya. Maka pantas bagi pelaku untuk mendapatkan hukuman yang berat atas kejahatannya.[14]  Inilah tindakan pengguguran yang dikenal dengan istilah abortus provocatus criminalis.        
Ibnu Hazm berpendapat bahwa tindakan aborsi setelah janin berusia 120 hari adalah tindakan kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang mewajibkan pelakunya membayar kafarah maupun ghurrah.[15]
Imam Ar-Ramali dari kalangan madzhab Syafi’i berpendapat bahwa melakukan aborsi bagi janin yang telah berusia 120 hari haram hukumnya.[16] Karena diperkirakan bahwa janin sudah bernyawa. Bagi yang melakukannya maka wajib memberikan ghurrah, yakni diyat yang harus dipenuhi oleh orang yang melakukan pembunuhan janin, berupa seorang budak pilihan baik laki-laki atau perempuan kepada keluarga ahli waris janin, atau kafarat senilai seperdua puluh diyat biasa, yaitu lima ekor unta.
            Ibnu Qudamah menyatakan bahwa jika janin mati akibat suatu pemukulan pada perut ibunya, maka pelaku tindakan tersebut diberi ganjaran dengan diyat dan ghurrah.[17] Namun, dalam kondisi tertentu seorang wanita terkadang dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit, menyelamatkan jiwanya atau menggugurkan kandungannya. Hal itu diketahui  atas dasar pemeriksaan medis yang menunjukkan bahwa keselamatan jiwa sang ibu akan terancam jika janin masih dipertahankan.
Dalam menghukumi hal ini ulama berbeda pendapat, sebagian menghalalkan dan sebagiannya mengharamkan.
 Pertama, sebagian ulama seperti Ibnu Najib dan Ibnu Abidin menyatakan bahwa pengguguran janin setelah ditiupkannya ruh adalah sesuatu yang diharamkan syari’at, baik hal itu akan membahayakan jiwa sang ibu ataupun tidak. Kecuali jika memang janin telah mati di dalam rahim. Mereka berdalil dengan firman Allah
       ) (وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِ
 Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Israa’: 33)
            Kelompok ini mengatakan bahwa kematian ibu hanya berupa keraguan dan belum benar-benar dipastikan akan terjadi jika janin dipertahankan. Sedangkan keberadaan janin merupakan hal yang pasti dan yakin. Maka, ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah “Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yang masih meragukan.” Sehingga tidak boleh membunuh janin yang telah ditiupkan ruh atasnya hanya karena khawatir dengan kematian ibunya yang masih berupa dugaan saja.
Selain itu jumhur ulama juga berpendapat bahwa membunuh orang lain dalam keadaan terpaksa merupakan hal yang diharamkan dan harus diqisash. Mereka memberikan permisalan, jika sebuah kapal akan tenggelam karena muatan yang berlebih, dan jalan satu-satunya agar bisa selamat adalah dengan melemparkan sebagian penumpang ke laut, maka hal ini tidak boleh dilakukan. Menyelamatkan sebagian orang dengan mengorbankan jiwa orang lain adalah sesuatu yang dilarang.
            Kedua, membolehkan melakukan aborsi jika memang usaha di dalam mempertahankannya akan membahayakan hidup sang ibu. Maka hal itu menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa ibu dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibu lebih diutamakan dari pada menjaga kehidupan janin, apalagi jika kehidupan ibu telah benar-benar nyata sedangkan bakal bayi belum bisa diyakinkan akan hidup setelah dilahirkan.
            Pembolehan aborsi dalam rangka menyelamatkan jiwa sang ibu didasarkan atas kaidah ushul fiqh yang berbunyi  “"الضرار يزال atau “Suatu bahaya sedapat mungkin harus dihilangkan.” Juga kaidah lain yang berbunyi
 "اذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما" [18]
artinya “Apabila bertemu antara dua mafsadah, maka sedapat mungkin untuk menghindari madaratnya yang lebih besar dengan melakukan perbuatan yang madaratnya lebih kecil.”
Dalam hal ini, kematian ibu dianggap merupakan bahaya yang lebih besar ketimbang kematian janin, selain kehormatan ibu yang memang lebih tinggi dari kehormatan janin. Oleh sebab itu, dalam keadaan yang sangat mendesak, aborsi boleh dilakukan agar jiwa sang ibu bisa selamat.
Meski demikian, perlu diperhatikan batasan-batasan dharurat yang telah disebutkan oleh para ulama, agar nantinya tidak terjadi kesalahan di dalam memutuskan suatu perkara. Diantara syarat dharurat adalah sebagai berikut :
a.       Hal tersebut dikhawatirkan membahayakan jiwa
b.      Sudah jelas (tetap) bagi yang tertimpa mudharat untuk menyalahi perintah dan larangan syara’
c.       Tindakan tersebut harus dilakukan dan tidak dapat ditunda lagi
d.      Tidak menyelisihi pokok syari’at Islam, seperti zina, pembunuhan, dan sebagainya.
e.       Pelaksanaan dharurat hanya terbatas pada batasan minimal, karena pembolehan sesuatu yang haram karena darurat adalah menurut kadarnya saja
f.       Tindakan tersebut merupakan rekomendasi dari seorang dokter spesialis yang baik agama dan ilmunya.
g.      Bahaya yang dikhawatirkan berkaitan dengan wujud kehamilan, artinya bahwa tidak bisa diperlakukan dengan cara lain.[19]

III.             Kesimpulan
Aborsi merupakan fenomena yang telah lama berkembang di masyarakat, dan pada umumnya praktek tersebut dilaksanakan secara tertutup. Sehingga tidak berlebihan jika aborsi dikatakan sebagai fenomena “terselubung”. Ketertutupan tersebut lantaran dipengaruhi beberapa faktor, seperti hukum formal, nilai-nilai budaya, moral, dan agama.
Di dalam hukum Islam aborsi atau ijhadh dikategorikan menjadi dua bagian. Pertama, aborsi yang dilakukan sebelum ditiupkan ruh, yaitu ketika janin belum mencapai usia 4 bulan atau 120 hari (jumhur ulama berpendapat bahwa janin mulai ditiupkan ruh saat umurnya mencapai 120 hari). Kedua, aborsi yang dilakukan setelah janin ditiupkan ruh.
            Para ulama sepakat bahwa hukum aborsi yang dilakukan setelah ruh ditiupkan kepada janin tanpa alasan yang dibenarkan syar’i adalah haram. Sebab, praktek tersebut termasuk dalam kategori membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah. Namun, ada sebagian ulama yang membolehkannya jika hal itu mengandung maslahat dan menolak madharat. Seperti selamatnya jiwa sang ibu jika dilakukan aborsi, dan atau meninggalnya ibu jika janin masih dipertahankan, menurut diagnosa dari dokter yang ahli dan berilmu.
Sedangkan aborsi yang dilakukan sebelum janin ditiupkan ruh, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengharamkan aborsi, baik sebelum maupun sesudah ditiupkannya ruh. Yang lain berpendapat bahwa hukumnya boleh jika didalam usaha mempertahankan janin tersebut, nyawa sang ibu terancam. Maka, kondisi darurat dan praduga yang kuat akan adanya maslahat menjadikan praktek tersebut legal. Wallahu a’lam.
IV.            Daftar Pustaka
1.      Syihabuddin al-Ramali, Nihayat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, 1984 M, Beirut:Daar al-Fikr.
2.      Dr. Ibrahim bin Muhammad Qasim, Ahkamu al-Ijhadh fi Fiqh al-Islami, 2002 M, Britania:Silsilatu ‘an Majalati al-Hikmah
3.      Dr. Muhammad Sidqi bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Kuliyah, 1996 M, Beirut:Muasasatu ar-Risalah.
4.      Ibnu Qudamah, al-Mughni, 1968 M, Riyadh:Maktabatu Qahirah.
5.      Al-Ghazali, Ihya’ Ulumu ad-Din, tt, Beirut:Daar al-Ma’rifah.
6.      Zainuddin bin Ibrahim, al-Bahru ar-Raiq, tt, Beirut:Daar al-Kitab al-Islami.
7.      Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, tt, Beirut:Daar al-Ilmiyah.
8.      Wahbah al-Zuhaili, Nadhariyat Darurah asy-Syari’at, 1985 M, Beirut:Muasasatu ar-Risalah.
9.      Dr. Muhammad Abdu al-Sami’ Sya’lan, Nidhamu al-Usrah baina al-Masihiyah wa al-Islam, 1983 M, Riyadh:Daar al-Ulum.
10.  Ahmad bin Ali al-Himawi, al-Mishbah al-Munir fi Gharibi Syarh al-Kabir, tt, Beirut:Maktabah al-Ilmiyah.
11.  Js. Badudu, Sultan Muhammad Zair, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1996, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.




[1] Ahmad bin Ali al-Himawi, al-Mishbah al-Munir fi Gharibi Syarh al-Kabir, (Beirut:Maktabah al-Ilmiyah, tt), vol.1, hlm.113
[2] Zainuddin bin Ibrahim, al-Bahru ar-Raiq, (Daar al-Kitab al-Islami, tt), vol.8, hlm.389
[3] Dr. Ibrahim bin Muhammad Qasim, Ahkamul Ijhadh fi Fiqh al-Islami,(Britania:Silsilatu ‘an Majalati al-Hikmah, 2002 M), hlm.77
[4] http:www.lbh-apik.or.id/ Aborsi dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan, tanggal 10 Desember 2015
[5] Js. Badudu dan Sultan Mohamad Zair, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm.15
[6] Manopo Abas, Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah dalam Simposium Aborsi di Surabaya, (Jakarta:Departemen Kesehatan RI, 1974), hlm.20
[7] Rustam Mochtar, Sinopsis Obstetri, (Jakarta:Penerbit EGC, 2009), hlm.209
[8] Muhammad al-Barr, Siasah wa Wasail Tahdidi an-Nasl, hlm.39
[9] Dr. Muhammad Abdu al-Sami’ Sya’lan, Nidhamu al-Usrah baina al-Masihiyah wa al-Islam, (Riyadh:Daar al-Ulum, 1983 M) vol.2, hlm.649-650
[10] Dr. Ibrahim bin Muhammad Qasim, Ahkamu al-Ijhadh fi Fiqh al-Islami, (Britania:Silsilatu ‘an Majalati al-Hikmah, 2002 M) hlm. 99
[11] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumu al-Din, (Beirut:Daar al-Ma’rifah, tt), vol.2, hlm.51-53
[12] Syihabuddin al-Ramali, Nihayat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, (Beirut:Daar al-Fikr, 1984 M), vol.8, hlm.443
[13] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyadh:Maktabah al-Qahirah, 1968 M), vol.8, hlm.418
[14] Yusuf Qardhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut:Maktab al-Islami, 1978 M), hlm.195
[15] Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al-Muhalla, (Beirut:Daar al-Fikr,tt), vol.11, hlm.241
[16] Syihabuddin al-Ramali, Nihayat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, (Beirut:Daar al-Fikr, 1984 M), vol.8, hlm.443
[17]Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyadh:Maktabatu Qahirah,1968 M), vol.8, hlm.404-409
[18] Dr. Muhammad Sidqi bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Kuliyah, (Beirut:Muasasatu ar-Risalah, 1996 M), hlm.256-260
[19] Wahbah al-Zuhaili, Nadhariyat Darurah asy-Syar’iyat, (Beirut:ar-Risalah, 1985 M), hlm.68

Minggu, 24 Januari 2016

Toleransi Dalam Tinjauan Syar'i

0


       PENGERTIAN TOLERANSI
       a.  Bahasa  
      Berasal dari kataسَمَحَ  dengan wazn تفاعَل  menjadi تسامح yang berarti  تساهل فيه (murah hati, bersikap mudah/toleransi).[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “Toleran” artinya membiarkan,mendiamkan dan sikap lapang dada dalam pergaulan. Sedangkan menurut WJS. Poerwadarminta, adalah sikap kelapangdadaan dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang lain berpendapat dan berpendirian lain tak mau menggangu kebebasan berfikir dan keyakinan orang lain.[2]  Adapun toleransi dalam Bahasa Inggris berasal dari kata “ Toleration” atau “Tolerance” artinya membiarkan suatu perbuatan yang dikerjakan orang lain, meskipun pada dasarnya kita tidak senang dengan perbuatan itu.[3]
Sedangkan menurut Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali makna toleransi adalah:
1.    Kerelaan hati dan kedemawanan
2.    Kelapangan dada kerenan kebersihan dan ketaqwaan
3.    Kelamahlembutan karena kemudahan
4.    Muka ceria karena kegembiraan
5.    Rendah diri di hadapan kaum Muslmin bukan karena kehinaan
6.    Mudah dalam berhubungan sosial tanpa penipuan dan kelalaian
7.    Menggampangkan dalam berdakwah ke jalan Allah tanpa basa-basi
8.    Terikat dan tunduk kepada agama Allah tanpa rasa keberatan
9.    Merupakan inti Islam
10.  Iman yang paling utama
11.  Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq)[4]
b.      Menurut Syar’i
Toleransi dalam Islam dikenal dengan as-Samahah, istilah ini berasal dari hadits Ubadah bin Shamit dalam Musnad Imam Ahmad:
عن عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ يَقُولُ إِنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَتَصْدِيقٌ بِهِ وَجِهَادٌ فِي سَبِيلِهِ قَالَ أُرِيدُ أَهْوَنَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ السَّمَاحَةُ وَالصَّبْرُ قَالَ أُرِيدُ أَهْوَنَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا تَتَّهِمِ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي شَيْءٍ قَضَى لَكَ بِهِ
Artinya:  “ Dari 'Ubadah bin Ash Shamit berkata: Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam dan berkata: Wahai Nabi Allah amalan apa yang paling utama? Rasulullah menjawab: "Beriman kepada Allah dan membenarkannya dan berjihad dijalanNya." Orang itu berkata: Saya ingin yang lebih mudah dari itu wahai Rasulullah! Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Berlapang dada dan bersabar." orang itu berkata lagi: Saya ingin yang lebih mudah dari itu wahai Rasulullah?. Maka, Rasulullah berkata: "Janganlah kamu berprasangka buruk kepada Allah dalam suatu yang telah diputuskan untukmu."  Disebutkan juga dalam riwayat Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah menyukai agama yang hanifiyyah dan as-samhatu.[5]
Tidak ada definisi khusus memang  tentang  masalah toleransi yang tersebut dalam nash. Hanya saja kita bisa memahaminya melalui banyak ayat dalam al-Qur’an, hadits, serta melalui perkataan para ulama. Sebagai berikut: 
a.      Perintah Berbuat Kebaikan
Dalam surat an-Nahl: 90 Allah berfirman: “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
b.      Perintah Untuk Melapangkan Dan Menghilangkan Kesulitan
Firman Allah dalam Al-A’raf: 199, An-Nuur:22, al-Baqarah 237, Al-Imran :134, al-Hijr: 85, az-Zukhruf: 89, as-Syura: 43
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (al-A’raf:199)
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”( an-Nuur:22)
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan” (al-Baqarah:237)
“Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (al-Imran:134)
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (al-Hijr:85)
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: "Salam (selamat tinggal)". Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk)” (az-Zukhruf:89)
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan” (as-Syura:43)
c.       Membalas Keburukan Dengan Kebaikan
 “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)” (ar-Ra’d:22)
Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan” (al-Mukminun:96)
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (Fushilat: 34)
d.      Mengangkat Kesusahan
 “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”  (Al-Hajj:78)         
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”(al-Baqarah:185)
 “Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung (al-A’raf:157)
            Jika kita perhatikan secara teliti, ayat-ayat diatas semuanya berbicara pada konteks mu’alamah bukan pada konteks aqidah, sehingga tidak ayat ini tidak bisa digunakan melegalkan toleransi yang berkaitan dengan masalah aqidah, semisal ikut merayakan hari raya orang kafir atau sekedar mengucapkan selamat saja. Karena pada perkara ini para ulama sudah bersepakat haram hukumnya. Karena hari raya adalah bagian dari syari’at dan bernilai ibadah dalam agama mereka, sedangkan umat Islam diperintahkan oleh Rasulullah untuk menyelisihi mereka[6]
e.       Kaidah Fiqih
Dalam kaidah fiqih kita mengenal kaidahالمشقة تجلب التيسير" " salah satu hadits yang menjadi landasan kaidah ini adalah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah dalam musnadnya  "...بعثت بالحنفية والسمحة ..." artinya “ …sesungguhnya Aku (Nabi Muhammad) di utus untuk agama yang lurus dan toleransi...”[7]
Rasulullah diutus Allah dengan membawa Islam, jadi logikanya agama dimana Rasulullah diutus itulah yang disifati dalam hadits diatas, dan sudah tentu agama itu adalah agama islam karena Islam adalah agama yang dibawa Rasululullah. Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala macam urusan, baik urusan dunia atau urusan akhirat, urusan sesama agama maupun urusan dengan orang yang beda agama. Kita tidak akan mendapatkan hal ini secara spesifik pada agama diluar Islam. Kaidah fiqih ini adalah salah satu contoh bahwa Islam itu sebenarnya menginginkan hubungan yang baik terhadap sesama manusia. Bahkan, pada perintah jihad sekalipun. Karena jihad bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah. Maksudnya adalah kalimat tauhid, sedangkan syari’at Islam merupakan pengejawantahan dari kalimat tersebut.

       BATASAN-BATASAN TOLERANSI TERHADAP NON-MUSLIM
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, agama Islam adalah agama yang paling toleran, namun bukan toleransi tanpa batas yang sering didengungkan kaum Sekularis dan Liberalis. Islam mempunyai prinsip ushul (pokok) dan furu’ (cabang). Ummat Islam dalam perkara ushuliyyah menolak toleransi antar agama, karena perkara ini berkaitan dengan masalah i’tiqadi (perkara keyakinan), menerima toleransi pada ranah ini berimplikasi pada rusaknya aqidah. Sedangkan masalah furu’iyah kaitannya dengan permasalahan fiqih yang masih mengandung perbedaan pendapat dikalangan ulama. Perkaranya bisa pada masalah tatacara pelaksanaan ibadah, muamalah dan semua perkara yang yang masuk dalam ranah ijtihad. Pada hal ini Islam memberikan ruang pada toleransi.
 Imam al-Badzdawi[8] berkata dalam sebuah pernyataan yang dinukil oleh Syaikh at-Thuraiqi ,“...pada dasarnya berhak atas orang kafir hukum-hukum Islam (dalam darul Islam), namun hal itu bukan dimaksudkan agar Allah mengampuninya. Hanya saja itu berlaku hanya sebatas masalah sosial dunia saja. Bukan sebagaimana pada kaum muslimin, bagi mereka perkara itu juga berpengaruh pada perkara akhiratnya (ampunan Allah).”[9] Maknanya al-Badzdawi hanya membatasi pada masalah yang sifatnya sosial saja, tidak untuk perkara yang berkaitan dengan masalah akhirat.
Syaikh Mahmas al-Jal’ud membagi hubungan dengan orang kafir dalam dua bagian. Pertama, hubungan kaum muslimin dengan orang kafir yang netral, artinya tidak memerangi kaum muslimin. Beliau membolehkannya, dengan landasan ayat:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموظة الحسنة وجادلهم بالتى هي أحسن....
Artinya: “ dan serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, peringatan yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik…” (an-Nahl: 125).
Pada saat orang-orang kafir itu ingin mengadakan hubungan sosial dengan kaum muslimin dan kedua belah pihak mendapatkan manfaat maka dalam hal ini tidak dilarang. Kedua, hubungan dengan kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin), maka sebagaimana para ulama yang lain beliau mewajibkan memerangi mereka. Beliau mengklasifikasikan kafir yang wajib diperangi pada tiga golongan; (kaum kafir penyembah berhala, kafir dari kalangan Yahudi dan kafir dari kalangan Nashrani). Setiap golongan dari mereka ada kaidah-kaidah berbeda yang diterapkan ketika memerangi mereka.[10]
Namun ada satu celah yang harus dipahami, celah ini bisa digunakan untuk melegalkan ide toleransi ala Pluralis dan Liberalis. Masalahnya terdapat pada penafsiran pada  kalimat    "لا اكراه فى الدين"  dalam surat al-Baqarah: 226. Jika ditinjau dari makna secara tekstual memang benar makna kalimat itu adalah “…tidak ada paksaaan dalam beragama…” yang secara tidak langsung ayat ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agamanya sendiri dan tidak boleh ada klaim kebenaran pada masing-masing agama, karena Allah tidak pernah memaksa hambaNya memililih agama tertentu. Pendapat ini berimplikasi pada ide toleransi bebas tanpa aturan. Ini jelas tidak benar, karena landasannya hanya berdasar logika saja. Tentunya untuk memahami tafsir ayat itu kita harus merujuk kepada tafsir para ulama mufassirin yang telah mendapat rekomendasi ummat Islam. Namun terkadang mereka menolak tafsiran para ulama Islam dan lebih mengacu pada tafsiran metode Orientalis. Karena pada dasarnya mereka ingin memutus mata rantai syari’at dengan mengkaburkan seluruh tafsir para ulama yang mereka anggap tidak sesuai meskipun telah diakui umat Islam seluruh dunia.
Mengenai ayat diatas, Ibnu Katsir berkata,” Tidak ada paksaan dan tidak boleh memaksa seseorang untuk masuk ke dalam Islam. Hanya mereka yang mendapat hidayah saja yang masuk kedalam Islam. Barangsiapa telah Allah tutup dan butakan mata hatinya serta telah Allah tulikan kedua telinganya. Maka tidak perlu memaksa orang ini untuk masuk kedalan Islam”[11].Imam at-Thabari berpendapat ayat ini diperuntukkan bagi mereka yang membayar jizyah di negara Islam.[12] Sedangkan Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa sebenarnya ayat ini telah dimansukh dengan ayat perintah untuk berjihad  (at-Tahrim:9)
 " يآيّهاالنبي جاهد الكفار والمنافقين...." artinya “Wahai Nabi, berjihadlah kalian terhadap  orang-orang kafir dan Munafik…”[13]
Sebenarnya ketiga penafsiran diatas tidak bertentangan, pada awal ayat ini turun maknanya sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir, kemudian ayat itu dimansukh sebagaimana penjelasan al-Qurthubi, kemudian berlaku seperti pada pendapat at-Thabari. Jelas sudah ayat ini tidak berkaitan dengan masalah kebebasan memilih agama tertentu.
Adapun sikap kaum Muslimin sudah jelas sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Kafirun:6   لكم دينكم ولي الدين " ( bagimu agamamu dan bagiku agamaku ). Toleransi itu membiarkan bukan mengikut, logikanya seperti itu. Menurut para ulama mufassirun, kekafiran adalah suatu millah (agama) apapun bentuknya, ini merupakan esensi yang terkandung pada ayat ini. Toleransi yang diinginkan orang kafir pada hari ini sebenarnya kaum muslimin dipaksa harus mempercayai keyakinan mereka, sedangkan toleransi hanyalah sebuah kedok yang digunakan sebagai alat untuk memuluskan rencana mereka.
C.    KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung toleransi, namun toleransi dalam batas tertentu selama tidak berkaitan dalam perkara i’tiqadiyat (keyakinan). Jika toleransi yang dimaksud sampai melanggar batas ini, maka hal ini tidak bisa dikatakan sebagai toleransi dan menyalahi syari’at Islam.
Wallahu a’lam bis-Shawwab

DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Imam al-Hafidz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyq, Tafsir al-Qur’anul adzim, (Qahirah: Darul Aqidah, 1429 H/2008 M)
2.      Al-Imam Ibnu Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayân ‘an Aayil Qur’an, (Beirut: Darul Fikr, 1421 H/2001 M)
3.      Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi’ fi Ahkâmil Qur’an, (ttp: tp, tt)
4.      Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (ttp: ar-Risalah,tt)
5.      Abdullah bin Ibrahim bin Ali at-Thuraiqi, al-Isti’ânah bi-Ghari al-Muslimin fi Fiqhi al-Islâmi, (Saudi Arabia: Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, 1407 H)
6.      Mahmas bin Abdullah bin Muhammad al-Jal’ud, al-Muwâlah wal Mu’âdah fî as-Syarî’ah al-Islâmiyah, (ttp: Maktabah Ibnul Jauzi, 1410 H/1989 M)
7.      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ Shirâtal Mustaqîm Mukhalafâtu Ashâbul Jahîm, (ttp: Maktabah Riyadh, tt)
8.      Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu, al-Wajîz fî Idhâhi Qawa’id  al-Fiqhi al-Kulliyyât, (Beirut: Muassasah ar-Risalah,1416 H)
9.      Bilal Shafiyuddin, Mafhum at-Tasâmuh fî al-Islâm wa Shilatuhu bi Mafhumi al-Wajîb, Risalah milik universitas Damaskus Fakultas Syari’ah tahun 1430 H
10.  Louis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughâh wal I’lâm, (Beirut: al-Muthaba’ah al-Katsulikiyah, 1980 M)
11.  Ibnu Mandhur, Lisânul Arab, versi Maktabah Syamilah
12.  (http:// groups.yahoo.com/group/assunnah)
13.  Pendidikan dan Penelitian TOLERANSI DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA.html




[1] Louis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughâh wal I’lâm, huruf sa’, (Beirut: al-Muthaba’ah al-Katsulikiyah, 1980 hlm. 349, makna semisal disebutkan oleh Ibnu Mandhur dalam Lisanul Arab, Maktabah Syamilah
[2] Pendidikan dan Penelitian TOLERANSI DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA.html, diposkan oleh Bang Yus, 5 Desember 2011
[3] Bilal Shafiyuddin, Mafhum at-Tasâmuh fi al-Islâm wa Shilatuhu bi Mafhumi al-Wajîb, disampaikan dalam “Mu’tamar at-Tasâmuh ad-Dîni fî as-Syari’ah al-Islamiyah, di Univ. Damaskus, Fak. Syari’ah pada tanggal 19-20 Rajab 1430 H
[4] Diambil dari arsip mailinglist As-Sunnah (http:// groups.yahoo.com/group/assunnah), merujuk pada kitab: Salim bin ‘Ied al-Hilali, Toleransi dalam pandangan al-Qur’an dan as-Sunnah, alih bahasa: Abu Abdillah Mohammad afiduddin as-Sidawi terbitan Maktabah Salafy Press, di unggah pada 15 Maret 2003
[5] Dalam musnad Ahmad (ar-Risalah 4/17, no. 2107)
[6] Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ Shirâtal Mustaqim Mukhâlafatu Ashâbul Jahîm, (ttp: Maktabah Riyadh, tt), hlm. 179
[7] Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu, al-Wâjiz fî Idhâhi Qawa’id al-Fiqhi al-Kulliyyât, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1416H/1996M), hlm. 219
[8] Beliau adalah Ali bin Muhammad bin Abdul Karim al-Hanafi panggilannya Abu Hasan, beliau seorang ulama yang faqih, ahli dalam masalah Ushul, seorang Mufassir dan mempunyai banyak tulisan dalam berbagai bidang ilmu (Siyar A’lam Nubala’)
[9] Abdullah bin Ibrahim bin Ali at-Thuraiqi, al-Isti’ânah bi-Ghari al-Muslimin fî Fiqhi al-Islâmi, (Saudi Arabia: Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, 1407 H), hlm. 86
[10] Mahmas bin Abdullah bin Muhammad al-Jal’ud, al-Muwâlah wal Mu’âdah fî as-Syarî’ah al-Islâmiyah, (ttp: Maktabah Ibnul Jauzi, 1410H/1989M), hlm. 620-627, vol.II
[11] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul adzim, (Qahirah: Darul Aqidah, 1429H/2008M), hlm. 470, vol. I
[12] at-Thabari, Jamî’ul Bayân ‘an Aayil Qur’an, (Beirut: Darul Fikr, 1421H/2001M), hlm. 23, vol. III
[13] al-Qurthubi, al-Jâmi’ fî Ahkâmil Qur’an, (ttp: tp, tt), hlm. 280, vol. III
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net