I.
Definisi
Di dalam literatur Islam aborsi di kenal
dengan istilah Ijhadh yang berasal dari kata ajhadha-yujhidhu yaitu
seorang wanita yang melahirkan anaknya secara paksa dalam keadaan belum
sempurna penciptaannya.[1] Adapun
ulama fiqh, tidak semua dari mereka menyebut aborsi dengan istilah ijhadh,
karena sebagiannya lebih memilih menggunakan ungkapan lain seperti isqath,
ilqa’,tharh, dan imlash, yang pada dasarnya
memiliki satu makna yaitu keguguguran baik disengaja maupun tidak.[2] Istilah yang masyhur digunakan adalah ijhadh dan saqtu atau
isqat.
Lembaga penelitian bahasa mengkhususkan bahwa ijhadh
digunakan jika janin yang dikeluarkan dari rahim belum memasuki bulan
keempat, sedangkan antara bulan keempat dan ketujuh maka disebut dengan isqat.
Maka sebenarnya antara ijhad dan isqat memiliki satu makna, yaitu
menggugurkan anak sebelum sempurna penciptaan atau sebelum sempurna masa
kehamilanna. Baik sebelum ditiupkan ruh atau
setelah ditiupkan ruh, baik janin laki-laki maupun perempuan.[3]
Menurut Fact Abortion, Info Kit
on Women’s Health oleh Institute For Social and Action, Maret 1991,
dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan
setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi di dalam rahim (uterus),
sebelum janin (fetus) mencapai usia 20 minggu.[4]
Di Indonesia sendiri belum ada batasan resmi mengenai pengguguran kandungan, dimana
aborsi didefinisikan sebagai terjadinya keguguran janin, dan melakukan aborsi
adalah melakukan pengguguran dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal
bayi yang dikandung itu.[5]
Berdasarakan pandangan umum, suatu
peristiwa dikatakan sebagai aborsi dengan batas apabila janin keluar dari
kandungan sebelum 28 minggu kehamilan dan berat 1000 gram.[6] Untuk
lebih memperjelas definisi para ahli kedokteran mengenai aborsi berikut ini
penulis kemukakan beberapa pendapat:[7]
a.
Eastman : Aborsi adalah
keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum sanggup berdiri
sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila fetus itu
beratnya terletak antara 400-1000 gram atau kehamilan kurang dari 28 minggu.
b.
Jeffcoat : Aborsi yaitu
pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28 minggu, yaitu fetus belum viable
in law (belum dikatakan hidup).
c.
Holmer : Aborsi yaitu
terputusnya kehamilan sebelum minggu ke 16 dimana plasentasi belum selesai.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa aborsi dibagi
menjadi dua :
a.
Aborsi spontan (Abortus Spontaneus), yaitu secara tidak
sengaja dan berlangsung alami tanpa ada kehendak dari pihak-pihak tertentu.
Masyarakat mengenalnya dengan istilah keguguran.
b.
Aborsi buatan (Abortus Provocatus), yaitu aborsi yang
dilakukan secara sengaja dengan tujuan tertentu. Aborsi jenis ini dibagi
menjadi dua, jika dilakukan untuk kepentingan medis dan terapi serta
pengobatan, maka disebut denan Abortus Provocatus Therapeuticum.
Sedangkan jika dilakukan karena alasan yang bukan medis dan melanggar hukum
yang berlaku, maka disebut dengan Abortus Provocatus Criminalis.
Demikianlah beberapa definisi aborsi
baik menurut istilah syar’i, kedokteran, maupun pengertian umum yang biasa
dipahami oleh masyarakat. Adapun yang dimaksudkan di dalam pembahasan ini
adalah menggugurkan janin secara paksa yang belum sempurna penciptaannya atas
permintaan atau kerelaan ibu yang mengandungnya.
Sejarah Aborsi
Pada akhir abad ke 18 M, berkembanglah di
Eropa sebuah pemkiran yang dipelopori oleh pendeta bernama Malicus, ia
menulis sebuah makalah bertajuk “Populasi
Penduduk dan Dampaknya Dalam Masadepan Bangsa" pada tahun 1213 H / 1798M. Ia berpendapat
bahwa pertambahan populasi penduduk yang
berjalan begitu pesatnya dari 2,4,8,16,36, dan seterusnya, sedangkan data
devisa negara hanya berjalan antara 3,4,5,6,7,8, dan seterusnya.
Oleh karenanya
negara terancam kelaparan bila hal ini terus di lestrikan, maka ia mengajak kepada pembatasan keturunan dengan
jalan memakai gaya hidup rahib (tidak menikah), atau mengahirkan proses
perkawinan sampai populasi penduduk tidak bertambah pesat .[8]Akhirnya, teori Malicus ini diikuti oleh masa
berikutnya, akan tetapi dengan menggunakan alat-alat pembatas keturunan yang
lebih moderen.
Dalam agama yahudi mereka
mangharamkan aborsi, mereka menetapkan sanksi yang amat berat bagi suami yang
melakukan aborsi dengan unsur kesengajaan. Akan tetapi hukuman tersebut tidak
sampai pada hukuman mati. Begitu pula
dengan agama Nasrani yang menganggap aborsi
sebagai bentuk pembunuhan.[9]
Dalam sejarah perundang-undangan
kuno mereka semua mengharamkan Aborsi kecuali bangsa yunani. Undang-undang Persia
kuno misalnya, sampai abad ke 18 M mereka menjadikan hukuman bagi orang yang
melakukan aborsi dengan mengasingkanya. Tidak ada perbedaan baik ia melakukanya sebelum peniupan ruh ataukah
setelahnya.
Kemudian pada abad 18 M undang-undang tersebut direvisi dan ditetapkanlah hukuman
untuk orang yang melakukanya dengan pidana kurungan selama 20 tahun.
Kemudian diperbolehkan bagi seorang wanita untuk melakukan pada bayinya, baru
setelah itu diperboloehkan secara mutlak bila dilakukan pada sepuluh
minggu pertama (masa kehamilan ). Adapun negara yang pertama kali membolehkan
aborsi adalah Unisoviet.[10]
II.
Hukum Aborsi
Di dalam nash-nash syar’i memang tidak ada
penyebutan secara khusus mengenai hukum aborsi, namun di sana banyak nash yang
menyebutkan larangan membunuh jiwa orang lain tanpa alasan yang dibenarkan
syar’i. Allah berfirman :
( وَمَن يَقْتُلْ
مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ
عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا)
Artinya
: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya adalah neraka Jahanam, dan dia kekal di dalamnya, dan Allah, murka
kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya adzab yang besar.” (QS.
An-Nisa’ : 93)
Rasulullah
di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bersabda :
"إِنَ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ
أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ
ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ
ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ
كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ"
“Sesungguhnya
seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama
empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal
darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga, berubahlah menjadi segumpal
daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh, serta menuliskan
baginya empat perkara, yaitu penentuan rezeki, waktu kematian, amal, serta
nasibnya, baik yang celaka maupun bahagia. (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka,
pembahasan mengenai hukum aborsi dibagi menjadi dua bagian sebagaimana berikut :
A. Pengguguran janin pra peniupan ruh
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda berkenan dengan
aborsi sebelum ditiupkannya nyawa pada janin. Perbedaan tersebut bisa diklasifikasikan ke dalam tiga golongan. Pertama, pendapat
yang mengharamkan praktek tersebut. Kedua, pendapat yang membolehkan. Ketiga,
pendapat yang memakruhkan.
Pendapat yang mengharamkan
Tahap penciptaan manusia dimulai
setelah cairan sperma masuk di dalam rahim wanita dan bertemu dengan ovum atau
sel telur. Dimana persatuan antara sel telur dengan ovum tersebut kemudian mengalami perkembangan. Sejalan dengan proses fisiologi tersebut janin mulai berjalan menuju kehidupan. Karenanya cairan tersebut harus dijaga, tidak
boleh dianiaya maupun digugurkan.
Al-Ghazali memberikan pernyataan
yang senada dengan pendapat di atas, bahwa pertumbuhan janin melalui tahap yang
bertingkat-tingkat. Tahap awal bermula dari bertemunya sperma dan ovum, yang
maklum dikenal dengan istilah nutfah, kemudian ketahap alaqah, dan seterusnya hingga menjadi jabang bayi yang
terlahir di dunia.
Merusak pertumbuhan janin pada tahap
awal ini adalah suatu kejahatan dan mengarah kepada perbuatan yang keji. Maka, perbuatan seperti ini adalah dilarang
secara syar’i. Begitupula bila janin telah masuk dalam tahap ‘alaqah maupun
mudghah, maka tingkat larangannya lebih kuat lagi. Puncak kekejiannya adalah
pembunuhan yang dilakukan ketika anak telah lahir dalam keadaan hidup.[11]
Ahmad Ad-Dardir dari kalangan
Malikiyah mengharamkan melakukan aborsi walaupun janin belum mencapai umur 40
hari. Ini tersirat dari pernyataan beliau yang tidak membolehkan mengeluarkan
air mani yang telah tertanam di dalam rahim. Pendapat ini juga dibenarkan oleh
Ad-Daisuqi.
Pendapat yang membolehkan
Di dalam Fatawa Lajnah Daimah disebutkan
bahwa, hukum asal bagi seorang wanita yang hamil adalah tidak boleh untuk
menggugurkan kandungan pada seluruh fasenya, meskipun janin baru berumur 40
hari atau bahkan kurang dari itu. Akan tetapi, jika dalam pengguguran janin
yang belum memasuki usia 40 hari tersebut didapati maslahat syar’i bagi ibu,
atau menghindarkannya dari bahaya yang bisa menghilangkan nyawa, maka aborsi
boleh dilakukan.
Berbeda halnya jika usia janin telah lebih
dari 40 hari, maka tidak boleh dilakukan aborsi karena telah berupa alaqah yang
merupakan cikal bakal manusia. Kecuali jika
telah bisa dipastikan bahwa, jika janin tetap dipertahankan di dalam kandungan
maka akan membahayakan jiwa ibu.
Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan aborsi
sebelum janin ditiupkan ruh secara mutlak. Abu Ishaq Al-Marwazi dari kalangan Syafi’iyah
juga berpendapat yang sama, begitupula Ar-Ramali yang menegaskan tentang kebolehan
aborsi pada fase teresebut.[12]
Kalangan Hanabilah juga senada dengan pendapat di atas, dimana mereka membolehkan aborsi
pada fase awal kehamilan. Yaitu boleh bagi wanita meminum obat untuk menggurkan
nuthfah di dalam rahimnya, selama belum berbentuk ‘alaqah.
Pendapat
yang memakruhkan
Ulama Malikiyah memandang makruh hukumnya
menggugurkan kandungan pada taham nutfah, dan haram hukumnya ketika janin telah
memasuki fase ‘alaqah dan mudghah.
B. Pengguguran janin pasca peniupan ruh
Secara umum ulama telah bersepakat atas keharaman melakukan aborsi
setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah
janin berumur 4 bulan di dalam perut ibunya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibnul Jauzi, Ibnu ‘Uqail,
Ibnu Qudamah, dan sebagainya bahwa bagi sesiapa yang menyebabkan janin seorang
wanita keguguran maka baginya kafarah dan ghurrah (memerdekakan budak pilihan).[13]
Menggugurkan kandungan setelah janin diberi
nyawa tanpa ada alasan atau indikasi medis yang dibenarkan dalam agama,
dipandang sebagai tindakan pidana yang disamakan dengan pembunuhan terhadap manusia
setelah sempurna wujudnya. Maka pantas
bagi pelaku untuk mendapatkan hukuman yang berat atas kejahatannya.[14] Inilah tindakan pengguguran
yang dikenal dengan istilah abortus provocatus criminalis.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa tindakan aborsi
setelah janin berusia 120 hari adalah tindakan kejahatan pembunuhan dengan
sengaja yang mewajibkan pelakunya membayar kafarah maupun ghurrah.[15]
Imam
Ar-Ramali dari kalangan madzhab Syafi’i berpendapat bahwa melakukan aborsi bagi
janin yang telah berusia 120 hari haram hukumnya.[16]
Karena diperkirakan bahwa janin sudah bernyawa. Bagi yang melakukannya maka
wajib memberikan ghurrah, yakni diyat yang harus dipenuhi oleh orang yang
melakukan pembunuhan janin, berupa seorang budak pilihan baik laki-laki atau perempuan kepada keluarga ahli waris janin, atau kafarat senilai
seperdua puluh diyat biasa, yaitu lima ekor unta.
Ibnu Qudamah menyatakan bahwa jika
janin mati akibat suatu pemukulan pada perut ibunya, maka pelaku tindakan
tersebut diberi ganjaran dengan diyat dan ghurrah.[17]
Namun, dalam kondisi tertentu seorang wanita
terkadang dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit, menyelamatkan jiwanya atau
menggugurkan kandungannya. Hal itu diketahui atas dasar pemeriksaan medis yang menunjukkan
bahwa keselamatan jiwa sang ibu akan terancam jika janin masih dipertahankan.
Dalam menghukumi hal ini ulama
berbeda pendapat, sebagian menghalalkan dan sebagiannya mengharamkan.
Pertama, sebagian ulama
seperti Ibnu Najib dan Ibnu Abidin menyatakan bahwa pengguguran janin setelah ditiupkannya ruh adalah sesuatu
yang diharamkan syari’at, baik hal itu akan membahayakan jiwa sang ibu ataupun
tidak. Kecuali jika memang janin telah
mati di dalam rahim. Mereka berdalil dengan firman Allah
) (وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang
benar.” (QS. Al-Israa’: 33)
Kelompok ini mengatakan bahwa
kematian ibu hanya berupa keraguan dan belum benar-benar dipastikan akan
terjadi jika janin dipertahankan. Sedangkan keberadaan janin merupakan hal yang
pasti dan yakin. Maka, ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah “Sesuatu yang yakin
tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yang masih meragukan.” Sehingga tidak
boleh membunuh janin yang telah ditiupkan ruh atasnya hanya karena khawatir
dengan kematian ibunya yang masih berupa dugaan saja.
Selain
itu jumhur ulama juga berpendapat bahwa membunuh orang lain dalam keadaan
terpaksa merupakan hal yang diharamkan dan harus diqisash. Mereka memberikan
permisalan, jika sebuah kapal akan tenggelam karena muatan yang berlebih, dan
jalan satu-satunya agar bisa selamat adalah dengan melemparkan sebagian
penumpang ke laut, maka hal ini tidak boleh dilakukan. Menyelamatkan sebagian
orang dengan mengorbankan jiwa orang lain adalah sesuatu yang dilarang.
Kedua,
membolehkan melakukan aborsi jika memang usaha di dalam mempertahankannya akan
membahayakan hidup sang ibu. Maka hal itu menjadi satu-satunya cara untuk
menyelamatkan nyawa ibu dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibu lebih
diutamakan dari pada menjaga kehidupan janin, apalagi jika kehidupan ibu telah
benar-benar nyata sedangkan bakal bayi belum bisa diyakinkan akan hidup setelah
dilahirkan.
Pembolehan
aborsi dalam rangka menyelamatkan jiwa sang ibu didasarkan atas kaidah ushul
fiqh yang berbunyi “"الضرار يزال atau “Suatu bahaya sedapat mungkin harus
dihilangkan.” Juga kaidah lain yang berbunyi
artinya “Apabila
bertemu antara dua mafsadah, maka sedapat mungkin untuk menghindari madaratnya yang
lebih besar dengan melakukan perbuatan yang madaratnya lebih kecil.”
Dalam
hal ini, kematian ibu dianggap merupakan
bahaya yang lebih besar ketimbang kematian janin, selain kehormatan ibu yang
memang lebih tinggi dari kehormatan janin. Oleh sebab itu, dalam keadaan yang
sangat mendesak, aborsi boleh dilakukan agar jiwa sang ibu bisa selamat.
Meski demikian,
perlu diperhatikan batasan-batasan dharurat yang telah disebutkan oleh para
ulama, agar nantinya tidak terjadi kesalahan di dalam memutuskan suatu perkara.
Diantara syarat dharurat adalah sebagai berikut :
a.
Hal tersebut dikhawatirkan
membahayakan jiwa
b.
Sudah jelas (tetap) bagi
yang tertimpa mudharat untuk menyalahi perintah dan larangan syara’
c.
Tindakan tersebut harus
dilakukan dan tidak dapat ditunda lagi
d.
Tidak menyelisihi pokok syari’at
Islam, seperti zina, pembunuhan, dan sebagainya.
e.
Pelaksanaan dharurat hanya
terbatas pada batasan minimal, karena pembolehan sesuatu yang haram karena
darurat adalah menurut kadarnya saja
f.
Tindakan tersebut merupakan
rekomendasi dari seorang dokter spesialis yang baik agama dan ilmunya.
g.
Bahaya yang dikhawatirkan
berkaitan dengan wujud kehamilan, artinya bahwa tidak bisa diperlakukan dengan
cara lain.[19]
III.
Kesimpulan
Aborsi merupakan fenomena yang telah
lama berkembang di masyarakat, dan pada umumnya praktek tersebut dilaksanakan
secara tertutup. Sehingga tidak berlebihan jika aborsi dikatakan sebagai
fenomena “terselubung”. Ketertutupan tersebut lantaran dipengaruhi beberapa
faktor, seperti hukum formal, nilai-nilai budaya, moral, dan agama.
Di dalam hukum Islam aborsi atau ijhadh
dikategorikan menjadi dua bagian. Pertama, aborsi yang dilakukan sebelum
ditiupkan ruh, yaitu ketika janin belum mencapai usia 4 bulan atau 120 hari
(jumhur ulama berpendapat bahwa janin mulai ditiupkan ruh saat umurnya mencapai
120 hari). Kedua, aborsi yang dilakukan setelah janin ditiupkan ruh.
Para ulama sepakat bahwa hukum
aborsi yang dilakukan setelah ruh ditiupkan kepada janin tanpa alasan yang
dibenarkan syar’i adalah haram. Sebab, praktek tersebut termasuk dalam kategori
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah. Namun, ada sebagian ulama yang membolehkannya
jika hal itu mengandung maslahat dan menolak madharat. Seperti selamatnya jiwa sang ibu jika dilakukan aborsi, dan atau meninggalnya ibu jika janin masih dipertahankan,
menurut diagnosa dari dokter yang ahli dan berilmu.
Sedangkan aborsi yang dilakukan sebelum janin
ditiupkan ruh, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengharamkan aborsi,
baik sebelum maupun sesudah ditiupkannya ruh. Yang lain berpendapat bahwa hukumnya
boleh jika didalam usaha mempertahankan janin tersebut, nyawa sang ibu
terancam. Maka, kondisi darurat dan praduga yang kuat akan
adanya maslahat menjadikan praktek tersebut legal. Wallahu a’lam.
IV.
Daftar Pustaka
1. Syihabuddin al-Ramali, Nihayat al-Muhtaj
Syarh al-Minhaj, 1984 M, Beirut:Daar al-Fikr.
2. Dr. Ibrahim bin Muhammad Qasim, Ahkamu al-Ijhadh fi Fiqh
al-Islami, 2002 M,
Britania:Silsilatu ‘an Majalati al-Hikmah
3. Dr. Muhammad Sidqi bin Ahmad, al-Wajiz fi
Idhahi Qawa’id al-Kuliyah, 1996 M, Beirut:Muasasatu ar-Risalah.
4. Ibnu Qudamah, al-Mughni, 1968 M,
Riyadh:Maktabatu Qahirah.
5. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumu ad-Din, tt,
Beirut:Daar al-Ma’rifah.
6. Zainuddin bin Ibrahim, al-Bahru ar-Raiq,
tt, Beirut:Daar al-Kitab al-Islami.
7. Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, tt,
Beirut:Daar al-Ilmiyah.
8. Wahbah al-Zuhaili, Nadhariyat Darurah
asy-Syari’at, 1985 M, Beirut:Muasasatu ar-Risalah.
9. Dr. Muhammad Abdu al-Sami’ Sya’lan, Nidhamu al-Usrah baina al-Masihiyah
wa al-Islam, 1983 M, Riyadh:Daar al-Ulum.
10. Ahmad bin Ali al-Himawi, al-Mishbah
al-Munir fi Gharibi Syarh al-Kabir, tt, Beirut:Maktabah al-Ilmiyah.
11. Js. Badudu, Sultan Muhammad Zair, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, 1996, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.
[1] Ahmad bin Ali al-Himawi, al-Mishbah al-Munir fi Gharibi Syarh
al-Kabir, (Beirut:Maktabah al-Ilmiyah, tt), vol.1, hlm.113
[3] Dr. Ibrahim bin Muhammad Qasim, Ahkamul Ijhadh fi Fiqh al-Islami,(Britania:Silsilatu ‘an Majalati al-Hikmah, 2002 M), hlm.77
[5] Js. Badudu dan Sultan Mohamad Zair, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pustaka
Sinar Harapan, 1996), hlm.15
[6] Manopo Abas, Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah dalam Simposium Aborsi
di Surabaya, (Jakarta:Departemen Kesehatan RI, 1974), hlm.20
[9] Dr. Muhammad Abdu al-Sami’ Sya’lan, Nidhamu al-Usrah
baina al-Masihiyah wa al-Islam, (Riyadh:Daar al-Ulum, 1983 M) vol.2,
hlm.649-650
[10] Dr. Ibrahim bin Muhammad Qasim, Ahkamu al-Ijhadh fi Fiqh al-Islami, (Britania:Silsilatu ‘an Majalati al-Hikmah, 2002 M) hlm. 99
[12] Syihabuddin al-Ramali, Nihayat al-Muhtaj Syarh
al-Minhaj, (Beirut:Daar al-Fikr, 1984 M), vol.8, hlm.443
[15] Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al-Muhalla,
(Beirut:Daar al-Fikr,tt), vol.11,
hlm.241
[16] Syihabuddin al-Ramali, Nihayat al-Muhtaj Syarh
al-Minhaj, (Beirut:Daar al-Fikr, 1984 M), vol.8, hlm.443
[17]Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyadh:Maktabatu
Qahirah,1968 M), vol.8, hlm.404-409
[18] Dr. Muhammad Sidqi bin Ahmad, al-Wajiz fi
Idhahi Qawa’id al-Kuliyah, (Beirut:Muasasatu ar-Risalah, 1996 M),
hlm.256-260