( Oleh Endri Saputra )
I. Pendahuluan
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta
alam. Shalawat dan Salam senantiasa tetap tercurahkan kepada baginda Nabi dan
RasulNya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam, serta para keluarga,
sahabat, dan kepada para pengikutnya yang senantiasa istiqomah dalam meniti
petunjuknya sampai hari kiamat.
Dinul Islam adalah dinul haq, yang sempurna.
Yang mengatur segala perbuatan manusia dan merupakan pedoman hidup. Din yang
telah Allah sempurnakan dari segala kekurangan untuk mengantarkan manusia pada
kehidupan yang bahagia.
Allah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا
Artinya: Pada hari ini telah ku sempurnakan untuk kalian dien kalian,
dan telah ku cukupkan bagi kalian nikmatku, dan telah ku ridhoi Islam sebagai
dien kalian. (QS. Al Maidah: 3)
Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
والله
لقد تركتكم على مثل البيضاء ليلها ونهارها سواء
Artinya: Demi Allah, telah ku tinggalkan kalian di atas jalan yang putih,
siangnya seperti malamnya. (HR. Ibnu Majah)
Sedemikianlah terangnya dan sempurnanya Dienul Islam ini, sehingga tidak
ada kata lain untuk tidak mengikutinya, kecuali bagi mereka yang memiliki akal
yang tidak digunakan, sehingga kesombongan, keangkuhan belakalah yang
menghalangi untuk tidak mengikutinya.
Namun, sehubungan dengan berkembangnya zaman yang semakin modern, yang mana
teknologi dan informasi ikut berkembang dengan sangat cepat, Semua informasi
semakin mudah untuk diakses oleh semua kalangan masyarakat yang ada di dunia
ini, baik yang ada di perkotaan maupun yang ada di pedesaan,yang mana hal ini
sengat memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Yang paling menonjol dalam hal ini adalah masalah gaya hidup yang mayoritas
masyarakat sekarang ini menjadikan gaya kehidupan barat sebagai timbangan gaya
hidup mereka. Padahal Rasulullah jauh- jauh hari telah melarang umat ini untuk
mengikuti orang- orang kafir dalam gaya hidup yang mereka lakukan. Hal ini yang
disebutkan oleh Rasulullah sebagai bentuk tasyabbuh dengan orang kafir.
Dan yang mesti diketahui oleh kita bahwa masalah tasyabbuh merupakan masalah
prinsipil, karena berkaitan erat dengan aqidah seorang muslim. Mengabaikannya
adalah merupakan bentuk kesalahan dan kefatalan yang besar.
Maka dari itu penulis ingin membahas apa batasan- batasan tasyabuh, apakah
semua yang datang dari barat dari perkara- perkara yang baru kemudian kita
mengikutinya itu merupakan tasyabuh kepada mereka, kalaupun demikian apa rambu-
rambu dari tasyabuh dengan orang kafir itu sendiri.
II. Pengertian Tasyabuh
Secara Bahasa
Berasal dari kata شبه
yang memiliki arti kesamaran atau kemiripan terhadap sesuatu. Dalam kamus lisanul
Arab Ibnu Mandzur memberikan
pengertian bahwa Tasyabbuh berarti “menyerupai “ dan dikatakan
juga “ fitnah” karena ketika menimpah suatu kaum, maka mereka
menganggapnya sebagai suatu kebenaran, sehingga mereka melakukan apa yang tidak
dihalalkan[2]
Secara Istilah
Tasyabbuh adalah suatu keadaan dimana seseorang atau
suatu kelompok orang yang beriman menyerupai, yang dimaksud dalam hal ini
adalah menyerupai orang kafir dalam masalah perkataan, perbuatan maupun
kebiasaan- kebiasaab mereka.[3]
Syikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ Tasyabbuh
meliputi semua tindakan yang dilakukan seseorang terhadap prilaku-prilaku yang
biasa dilakukan oleh orang-orang kafir, sedangkan perilaku- prilaku tersebut
jarang dilakukan oleh seorang muslim. Maka barang siapa yang mengikuti
perbuatan orang- orang kafir dengan niatan untuk mengikuti mereka, maka berarti
ia telah melakukan perbuatan tasyabbuh. Namun jika tanpa disertai niatan
untuk meniru mereka , maka hal ini perlu dilihat lagi dalam menghukuminya, akan
tetapi hal tersebut tetap dilarang untuk menghindari perbuatan tasyabbuh
yang sebenarnya, serta untuk menyelisishi mereka.
A.
Hukum Tasyabbuh Kepada Orang-Orang
Kafir.
a.
Dalil-dalil dari Al.Qur’an
Sungguh tasyabbuh kepada orang-orang
kafir, adalah haram hukumnya baik dalam ibadah, pakaian dan kebiasaan-kebiasaan
mereka. Inilah yang di sepakati oleh para ulama’ berdasarkan nash-nash yang ada
di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.[4]
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ
مِنَ الْحَقِّ
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah: 48)
Allah berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ
فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu
syari’at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS.Al.
Jatsiyah: 18)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan ayat ini beliau berkata: “Allah telah
menjadikan Nabi Muhammad berada di atas suatu syari’at, berupa agama yang
disyari’atkan kepada beliau dan di perintahkan agar mengikutinya. Allah
melarang mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan.
Semua orang yang menentang syari’at Allah, tentu masuk kedalam kelompok
orang-orang yang tidak mengetahui. Hawa nafsu mereka adalah apa yang mengusik
hasrat hawa nafsu dan segala apa yang ada pada diri orang-orang musyrik, yaitu
berupa petunjuk-petunjuk yang nampak dalam agama mereka yang bathil serta
tradisi-tradisi mereka. Menyerupai mereka berarti mengikuti apa yang mengusik
hawa nafsu mereka. Maka tidak heran jika orang-orang kafir sangat gembira
dengan penyerupaan orang-orang muslim dalam berbagai urusan mereka. Sekali pun
mereka harus mengeluarkan harta yang cukup besar demi tercapainya cita-cita
itu. Maka tidak diragukan lagi menyelisihi mereka dalam bentuk apapun adalah
jalan untuk mendapatkan keridhoan Allah, karena menyerupai mereka dalam satu
urusan adalah jalan menyerupai mereka dalam urusan-urusan yang lain. Barang
siapa yang mengembala disekitar batas tanah gembalaan, khawatir akan masuk
kedalamnya.”[5]
Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا
وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah katakan
kepada Muhammad “Raa’ina”, tetapi katakanlah “Undzurna”, dan “dengarlah”. Dan
bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al Baqarah: 104)
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata : Ayat ini
merupakan dalil bahwa Allah telah melarang hamba-hambaNya yang beriman, untuk
menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka.[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Ayat ini
menjelaskan tentang sebuah kalimat yaitu “رَاعِنَا”
dilarang oleh Allah bagi orang-orang mukmin untuk mengucapkannya, karena
orang-orang Yahudi juga mengucapkannya. Hal itu disebabkan, karena orang-orang
yahudi mengucapkannya untuk sebuah kejelekan (ejekan) terhadap Rosulullah, yang
berarti “kebodohan”, sedangkan bagi orang-orang mukmin bukan untuk hal itu.
Maka Allah melarang hal itu, karena menyerupai orang-orang kafir adalah jalan
untuk memenuhi keinginan mereka.[7]
b.
Dalil-dalil dari As.Sunnah
Rosulullah bersabda :
مَنْ َتَشَّبَه بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ
Artinya : Dan barang siapa
yang menyerupai suatu kaum, maka berarti dia termasuk golongan mereka.
(HR.Ahmad dan Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : Sanad hadits ini
baik, gambaran yang paling ringan dari hadits adalah pengharaman menyerupai
orang-orang kafir, meskipun dzahir hadits menyebutkan kafirnya orang-orang yang
menyerupai mereka, sebagaimana firman Allah :
“Siapa diantara kalian yang mengambil mereka
sebagai wali, maka dia termasuk golongan mereka”.(QS. Al. Maidah : 55)
Beliau
berkata lagi : Tasyabbuh pada hadits ini bisa difahami tasyabbuh
secara mutlak, meliputi semua perilaku yang dikatagorikan tasyabbuh dan
menyebabkan kafir pelakunya, namun bisa juga difahami bahwa termasuk golongan mereka pada hadits
tersebut, adalah dinilai tergantung bentuk tasyabbuh dia dengan mereka,
apakah itu termasuk tindak kekafiran, sekedar maksiat saja, atau syi’ar
terhadap agama mereka, sehingga hukumnya pun berbeda-beda tergantung tindakan
yang dilakukannya. Namun walau bagaimanapun hadits ini melarang tindakan tasyabbuh
dengan sebab tasyabbuhnya itu sendiri.[8]
Ibnu Katsir berkata : Ini merupakan dalil,
tentang larangan keras serta ancaman atas tasyabbuh terhadap orang-orang kafir,
baik dalam ucapan, perbuatan, pakaian, hari raya dan ibadah-ibadah mereka, dan
selain dari itu berupa urusan-urusan yang tidak disyari’atkan atas kita, dan
kita juga tidak menetapkannya.[9]
B.
Alasan dilarangnya tasyabbuh dengan orang
kafir
Permasalahan yang pertama kali harus dipahami yaitu hukum-hukum yang
dinyatakan dalam beberapa ketentuan Islam. Bahwa dien (Islam) dibangun
di atas pondasi at-taslim, yakni penyerahan diri secara totalitas kepada
Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan at-taslim sendiri bermakna membenarkan
seluruh yang diberitahukan Allah Ta’ala dan tunduk kepada perintah-perintah-Nya
serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Kemudian membenarkan apa-apa yang
disampaikan Rasul-Nya kemudian tunduk kepada perintah beliau, menjauhi
larangannya dan mengikuti semua petunjuk-petunjuk beliau.[10]
1.
Karena
perbuatan orang kafir pada dasarnya di bangun di atas pondasi kesesatan dan
kerusakan.
Inilah sebenarnya titik tolak perbuatan dan
amalan orang- orang kafir, baik yang Nampak nyata kerusakanya maupun yang
terselubung. Karena yang menjadi dasar semua aktifitas orang kafir adalah sesat
dan menyeleweng dari kebenaran. Adapun
kebaikan yang mereka lakukan itu merupakan sebuah pengecualian saja. karena
perbuatan baik yang mereka lakukan itu tidak akan diterima di sisi Allah dan
tidak memberikan arti apapun berupa kebaikan.[11]
Allah berfirman
وَقَدِمْنَا
إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapi amalan yang
mereka lakukan kemudian kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan” ( QS: al-Furqon: 23)
Mujahid berkata” Maksud dari “haba’an
mantsuro” adalah seperti debu beterbangan yang tidak ada nilainya atau
suatu kebatilan karena mereka beramal
bukan karena Allah Ta’ala melainkan untuk syaetan ataupun yang lainnya [12]
2.
Meniru orang
kafir akan menjadikan seorang muslim sebagai pengikut mereka
Orang muslim yang menjadi
pengikut orang kafir akan menjadi peniru mereka dari sifat-sifat yang dhohir.
Pada dasarnya meniru gaya lahiriah mereka menjadi penyebab munculnya sikap
meniru karakter, tingkah laku yang tercela dan bahkan juga keyakinan-keyakinan
mereka. Pengaruh tersebut terjadi dengan halus tanpa terduga.[13]
Maksud dari pengikut mereka adalah orang tersebut telah menentang dan
menjauh petunjuk Allah dan Rosul-Nya. Dan dia mengikuti jalur orang-orang yang
tidak beriman. Sesungguhnya dalam perkara ini terdapat peringatan yang sangat
keras sekali, sebagaimana Allah berfirman:
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalannya orang-orang yang tidak
beriman, Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan
mengikuti jalan orang-orang kafir, pen.) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam.
Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)
3.
Tasyabbuh
dengan orang kafir akan mewariskan dampak rasa kagum dan membaggakan orang
kafir.
Seorang muslim yang mereka mengikuti orang
kafir dalam urusan dunia maka akan memberikan simpati pada mereka, terlebih
lagi dalam urusan agama, maka hal itu akan sangat bertentangan dengan keimanan
seorang muslim.[14]
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang
shohih dari Abu Musa Al Asy’ari Rodhiallahu’anhu, bahwa ia berkata: “Aku
pernah berkata kepada Umar bin Khothob: “Sesungguhnya saya memiliki seorang
juru tulis beragama Nasrani.” Maka beliau menanggapi: “Untuk apa, celakalah
kamu, tidaklah kamu mendengar firman Allah Ta’ala: (QS. Al Maidah: 51)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Wahai orang yang beriman, janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan
nasrani sebagai pelindung-pelindung (wali-wali) diantara kalian, sebagian
diantaranya menjadi pelindung sebagian yang lain…”? tidaklah engkau ingin agama kamu menjadi lurus? Ia
menjawab: “Wahai Amirul mukminin, aku hanya mengambil kapandaiannya dalam
menulis, sedangkan urusan agamanya itu urusan dia sendiri.” Umar menanggapi:
“Tidak bisa, saya tidak akan memuliakan mereka karena Allah menghinakan mereka.
Saya tidak akan mengangkat derajat mereka, karena Allah telah merendahkan
mereka. Saya juga tidak akan mendekati mereka, karena Allah telah menjauhi
mereka.” [15]
4.
Meniru orang kafir akan menimbulkan rasa
kasih sayang, kecintaan, dan loyal kepada mereka.
Tasyabuh dalam perkara Azh Zhohir itu akan menuju kepada
tingkatan yang berikutnya yaitu tasyabuh dalam perkara batin. Yang mana
itu adalah sebuah tingkatan lebih tinggi. Rasa suka dalam hati akan mewariskan
untuk menyerupai dalam perkara yang dhahir, jenis menyelisihi orang kafir dan
meninggalkan tasyabuh terhadap mereka adalah perkara yang disyariatkan
oleh Allah Ta’ala. Tasyabuh dalam perkara yang dhahir adalah
wasilah untuk menyesuaikan dalam hati dan juga amal perbuatan.[16]
Kalaulah meniru dalam urusan
dunia saja dapat dapat menimbulkan rasa cinta, kasih sayang, dan loyal,
terlebih lagi dalam urusan agama. Maka itu akan semakin besar pengaruhnya.
Allah telah melarang kaum muslimin utnuk menjadikan orang yahudi dan nasrani
sebagai wali bagi mereka, karena hal itu akan mengantarkan seorang muslim untuk
cinta dan loyal pada mereka.
Allah berfirman
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Wahai orang yang beriman,
janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan nasrani sebagai
pelindung-pelindung (wali-wali) diantara kalian, sebagian diantaranya menjadi
pelindung sebagian yang lain…” (QS. Al Maidah: 51) [17]
Dalam ayat tersebut terdapat
beberapa bentuk dari keloyalan seorang muslim terhadap orang kafir, yaitu
sebagai berikut:
Pertama, Ridho terhadap kekafiran orang kafir atau meniadakan,
ragu terhadap kekafiran mereka atau bahkan membenarkan kekafiran mereka.
Kedua, tasyabuh terhadap Adat, akhlak, atau bahkan ibadah
mereka.
Ketiga, isti’anah, muawanah atau menolong mereka.
Keempat, bersafar ke tempat mereka tanpa ada kepentingan dan
memintakan ampun untuk mereka, dan sebagainya.[18]
C.
Macam- macam tasyabbuh dengan orang kafir
a.
Tasyabuh yang diharamkan
Penyerupaan yang diharamkan adalah sebuah
prilaku yang merupakan ciri-ciri khusus agama orang kafir dimana ia telah
mengetahuinya dan tidak ada dalam agama islam, hal ini diharamkan dan bisa
menjadi sebuah dosa besar. Bahkan sebagian bisa mengarahkan pelakunya kepada
kekufuran sesuai dengan dalilnya. Apakah itu dilakukan oleh seseorang sesuai
dengan orang kafir atau karena syahwat atau syubhat dalam pandangannya yang
mana itu akan berakibat pada akhiratnya.[19]
b.
Tasyabuh yang diperbolehkan
menyerupai yang diperbolehkan adalah suatu perilaku yang
asalnya tidak diambil dari orang kafir, serta itu merupakan perkara dunia serta
tidak menimbulkan kerusakan,[20] hanya
saja orang kafir melakukanya juga. Hal ini tidak dilarang menyerupainya, namun
boleh jadi ia tidak dapat manfaat dari menyelisi orang kafir.[21]
Dan hal itu juga
D.
Larangan bertasyabbuh dalam beberapa hal yang bersifat
umum
Karena sedikitnya ilmu yang meliputi tentang
hukum akhir zaman, maka banyak orang yang terjerumus kepada kebid’ahan ataupun
bertasyabbuh pada orang kafir, baik dalam perkara yang merupakan adat kebiasaan
mereka. Hal ini merupakan perkara yang sangat dilarang, sebagaimana rasulullah
bersabda dalam sebuah haditsnya yang berbunyi:
لتَتَبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
a.
Dalam aqidah dan hal ibadah
Larangan untuk menyerupai ahli kitab dan
perintah untuk membedakan diri dari ahli kitab mencakup beberapa hal, yaitu:
Pertama, amalan yang disyari’atkan dalam syari’at islam sekarang
dan syari’at umat terdahulu. Contohnya, puasa asyura. Kedua, perbuatan
yang awalnya disyari’atkan, kemudian dihapus secara total, contohnya, mencari
rizki di hari sabtu. Ketiga, persoalan-persoalan baru yang berkaitan
dengan masalah ibadah, yang mereka ada-adakan, seperti perkara bid’ah[23]
b.
Dalam perayaan hari- hari besar
Larangan dalam mengikuti hari raya atau hari
besar adalah:
Dalil dari al- Qur’an
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا
بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak
memberikan persaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang)
yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja
dengan menjaga kehormatan dirinya” (Q.S Al Furqon: 72)
c.
Dalam Dalam tradisi, akhlaq, dan tingkah laku
Tasyabuh dalam permasalahan ini mencangkup seperti
pakaian, misalnya. Ini dinamakan sebagai petunjuk lahiriah, dan petunjuk lahir
tersebut diamati dari rupa, bentuk, pola tingkah laku, dan akhlak. Telah
dinyatakan pula secara nyata dan jelas tentang keharaman bertasyabbuh dalam
beberapa perkara, baik secara keseluruhan maupun secara sebagian sebagian;
Seperti larangan mencukur jenggot, memakai bejana atau piring dari emas,
memakai pakaian yang merupakan syi’arnya orang-orang kafir, bertabarruj (menampakkan
perhiasan tubuh pada lelaki yang bukan mahram), ikhtilath (bergaul
campur antar lawan jenis yang bukan mahram), laki-laki yang menyerupai
perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki, dan segala bentuk tradisi
kafir lainnya.[24]
III.
Dhawabith Tasyabbuh
Dari pemaparan di atas mengenai masalah tasyabbuh, maka
perlu diperhatikan batasan ataupun rambu- rambu yang berkaitan tentang
tasyabbuh itu sendiri. Umat islam diperintahkan unutk menyelisihi orang kafir
dalam perilaku lahiriah maupun batiniah yang mana, perkara tasyabuh ini
memiliki batasan-batasan ataupun rambu-rambu khusus yang harus diperhatikan
agar kita tidak masuk dalam perkara tasyabbuh.
1. Hendaknya hal ini bukan termasuk kebiasan
dan syiar yang membedakan mereka dengan orang muslim.
Tasyabuh dalam perkara ini misalnya dengan menggunakan
atau memakai kalung salib atau baju- baju seragam para pastur dan pendeta.begitu
juga dengan memajang lambang-lambang maupun gambar- gambar kufur, seperti
salaib, bintang david, lambang mata satu(dajjal),gambar yesus, dan sebagainya.
Atau dengan mengekpresikan gerakan yang mana itu merupakan symbol- symbol
khusus mereka, seperti tangan metal, menutup mata satu, atau dengan tarian dan
olahraga yang disusupu dengan gerakan yang menunjukkan symbol kekufuran. Hal ini
berdasarkan perkataan Umar bin Khatab
وقال عمر بن
الخطاب رضي الله عنه إياكم ورطانة الأعاجم، وأن تدخلوا على المشركين في كنائسهم
“Hendaklah kalian
berhati-hati dari logat khusus orang-orang non muslim, dan jangan kalian masuk
bersama musyrikin di gereja mereka.”[25]
Adapun perbuatan yang mana
itu awalnya merupakan ciri khusus bagi orang kafir namun jika sudah tersebar
dan dilakukan oleh semua lapisan golomgan masyarakat, maka hal itu sudah tidak
menjadi kekhususan bagi mereka dan kaum muslimin boleh melakukanya. Selama
dalam perbuatan tersebut tidak ada unsur keharaman yang khusus bagi hal
tersebut serta perbuatan tersebut hanya dalam hal adat istiadat, bukan dalam
ibadah keagamaan yang senantiasa bersifat khusus.Contohny adalah seorang laki-
laki yang memakai pakaian dari sutra, yang mana diharamkan bukan karena bertasyabbuh
melaikan ha tersebut diharamkan karena faktor lain yang merupakan hal khusus
dalam perkara tersebut.
Hal ini berdasarkan sebuah
qaidah
اذا زال المانع عاد الممنوع
“Apabila penghalang
suatu perkara telah hilang, maka perkara yang dilarang tersebut menjadi boleh
dilakukan” [26]
2. Hal itu bukan termasuk dari ajaran mereka
Yaitu apa yang telah diberitakan Allah kepada kita dalam
kitab-Nya atau lewat lisan Rasul-Nya. Karena semua perbuatan mereka baik itu
yang berupa ajaran aqidah maupun ibadah semua itu dibangun di atas pondasi
kesesatan dan menyeleweng dari kebenaran, sehingga efek dari perbuatan yang
mereka lakukan hanya akan mengantarkan pada kerugian. Bahkan kebaikan yang
mereka lakukan tidak akan diterima oleh Allah.
Allah berfirman
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا
عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapi amalan yang mereka lakukan
kemudian kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan” ( QS: al-Furqon: 23)
Mujahid berkata” Maksud dari “ هَبَاءً مَنْثُورًا ” adalah seperti debu beterbangan yang tidak
ada nilainya atau suatu kebatilan karena
mereka beramal bukan karena Allah Ta’ala melainkan untuk syaetan ataupun
yang lainnya [27]
3. Penyerupaan atau perbedaan ini tidak
menjurus ke masalah syariat
Tasyabuh meliputi semua tindakan yang dilakukan seseorang
terhadap perkara- perkara yang itu merupakan parsial, yang meliputi perkara
Aqidah dan Ibadah yang biasa dilakukan oleh orang- orang kafir. Namun perkara
itu jarang dilakukan oleh orang- orang islam. Maka bang siapa yang meniru
perbuatan mereka dengan niat meniru mereka, maka dia telah terjerumus pada
perkara tasyabbuh.[28]
Tasyabuh dalam masalah aqidah dan ibadah tidak
memiliki batasan kecuali ucapan kekufuran dalam kondisi terpaksa. Meskipun
dengan niat tidak bertasyabbuh namun, jika itu dalam hal aqidah dan ibadah maka
sama saja dianggap sebagai bentuk tasyabbuh. Karena bertasyabbuh dalam
masalah aqidah dan ibadah tidak ada rukhsah kecuali hanya ucapan kekufuran
dalam kondisi terpaksa. Hal ini sebagaimanan firman Allah
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ
أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah ia beriman (dia mendapan kemurkaan
Allah Ta’ala), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa)” (Q.S An Nahl: 106)
4. Penyerupaan yang dilakukan tidak pada
perayaan hari raya mereka.
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah mengharamkan kepada orang
yang berserikat kepada orang kafir untuk merayakan hari besar orang kafir. [29]
sebagaimana firman
Allah.
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا
بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan
persaksian palsu[30]
dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga
kehormatan dirinya” (Q.S Al Furqon: 72)
Ibnu Zaid, Ibnu Abbas dan Dhohak menafsirkan ayat ini
dengan: menghadiri hari rayanya orang-orang musyrik Sya’aanii (Hari
besar yang diperingati oleh orang Kristen dalam rangka mengenang kembali
masuknya Al Masih (Isa) ke Baitul Maqdis).[31]
Adapun menurut Ibnu Katsir maksud dari syahadutu zur
adalah ia berbuat dusta secara sengaja kepada orang lain[32].
Demikian juga dari
mujahid bahwa ia menyatakan tidak menghadiri hari-hari raya musyrik.[33]
Bentuk seperti ini adalah sama dengan condong
dan meniru apa yang dilakukan orang kafir. Apalagi umat islam mengambil suatu
hukum dari orang-orang kafir, padahal orang muslim dan orang kafir tidaklah
menjadi satu jalan atau satu ajaran. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman
janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari
orang-orang mukmin apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas, bagi Allah
(untuk menghukummu)?” (Q.S An Nisa’: 144)
Abu Ja’far Ath Thobari berkata: “Allah Ta’ala melarang orang yang beriman
untuk meniru akhlaq orang-orang munafik, dan menjadikan orang-orang kafir
sebagai wali mereka dengan meninggalkan orang yang beriman. Maka, orang
beriman akan mengikuti apa-apa yang mereka
lakukan dan berwali kepada mereka (orang kafir).[34]
5. Penyerupaan sesuai dengan keperluan yang
diinginkan dan mashlahat yang ada.[35]
Kemaslahatan
diperbolehkannya untuk menyerupai orang kafir adalah terkhusus pada perkara
tasyabuh dalam hal lahiriyah (perkara yang nampak) atau akhlaq apabila terdapat
kondisi yang mendesak. Adapun mengenai perkara Aqidah dan ibadah tidak adanya
rukhshoh untuk mengikuti orang kafir kecuali ucapan kekufuran dalam kondisi
terpaksa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: apabila seorang muslim berada di
darul harbi atau daru kufri ghairul harbi, maka tidak diperintahkan untuk
menyelisihi mereka (orang kafir) dalam tingkah laku yang nampak, adapun ketika
dia berada dalam kondisi bahaya dan dia menjadi orang yang disukai dikalangan
mereka (orang kafir) atau diharuskan untuk menaruh simpati kepada mereka, maka
harus bertingkah lakulah seperti mereka dalam perkara yang nampak. Apabila
kondisi tersebut terdapat kemaslahatan bagi dienul islam. Akan tetapi jika umat
islam berada dalam Darul Islam, maka Allah memuliakan Islam, dan menjadikan
orang kafir hina. Maka disyariatkan kepada umat islam untuk tidak menyerupai
mereka (Tasyabuh).[36]
Golongan Hanafiyyah
berpendapat, begitu juga malikiyyah berdasarkan madzhab mereka, dan juga Jumhur
Syafiiyyah bahwa barang siapa bertasyabbuh dengan orang kafir dalam
hal pakaian yang merupakan syi’ar mereka -yang dengannya mereka membedakan
diri dari kaum muslimin– dihukumi kafir secara dzahir; yakni dalam hukum-hukum
dunia. Maka barang siapa memakai kopiah majusi di kepalanya dihukumi kafir,
kecuali jika ia melaksanakannya karena darurat (berupa keterpaksaan), atau
untuk melindungi dari panas atau dingin. Begitu juga dengan memakai sabuk
nasrani, kecuali jika ia melaksanakannya untuk kamuflase dalam perang, dan
menjadi mata-mata bagi kaum Muslimin, dan sebagainya, berdasarkan hadist; “Barang
siapa menyerupai kaum maka ia termasuk golongan mereka”. Karena pakaian
yang khusus bagi kaum kafir adalah alamat kufur, dan tidak mengenakannya
kecuali orang yang menetapi kekufuran. Sedang istidlal dengan alamat dan
berhukum dengan apa yang ditunjukkannya ditetapkan oleh akal dan syara’. Maka
jikalau diketahui bahwa ia mengikat sabuk nasrani tidak karena meyakini hakikat
kekufuran, tapi untuk masuk negara musuh guna membebaskan tawanan -misalnya-
maka tidak dihukumi kafir.[37]
Hukum tasyabbuh akan hilang jika dalam keadaan dharurah atau hajat
kepentingan dan kehormatan agama, yang mana hal ini berdasarkan atas keumuman
bahwa manusia diperintahkan untuk bertaqwa semampunya dan jika ia terpaksa maka
ia boleh melakukanya[38]
IV.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas secara umum bisa disimpulkan bahwa perbuatan
tasyabbuh kepada orang kafir merupakan perbuatan yang menyerupai orang kafir
dalam segala hal, baik itu perkataan, perbuatan, maupun kebiasaan mereka dan
hal ini dilarang dan diharamkan oleh syari’at islam.
Namun di beberapa keadaan, perbuatan tasyabbuh yang awalnya adalah dilarang
dan diharamkan, pada kondisi tertentu bisa diperbolahkan selama itu tidak dalam
perkara aqidah dan ibadah mereka. Diantara rambu- rambbu tersebut adalah;
1.
Hal itu bukan termasuk kebiasan dan syiar yang
membedakan mereka dengan orang muslim.
2.
Hal itu bukan termasuk dari ajaran mereka
3.
Penyerupaan atau perbedaan ini tidak menjurus
ke dalam masalah syariat
4.
Penyerupaan yang dilakukan tidak pada perayaan
hari raya mereka.
5.
Penyerupaan sesuai dengan keperluan yang
diinginkan dan mashlahat yang ada.
Hal ini karena semakin sulitnya kaum muslimin untuk terhindar dari perkara
tersebut. Dan tentunya pembolehan dalam hal tasyabuh ini mengunakan beberapa
rambu- rambu atau dhawabith yang telah dijelaskan oleh para ulama’ berdasarkan
al-Qur’an dan as-Sunnah.
Wallahu a’lam bish Shawab
[2] Ibnu Manzhur, lisan al- ‘Arab (Beirut: Dar Sadir, 1990) vol.
XIII. hlm 504
[3] Dirangkum dari beberapa pengertian dalam beberapa kitab (Iqtidho’, Al
Wala’ Wal Bara’, Al Masa’ilul Allati Kholafaha Rasulullah).
[4]. Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah,
cet. I Tahun. 2006) hal 82.
[6]. Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an Al Adhim (Dar Ath Thoyibah, cet. II
tahun 1999 M) Vol. I hal: 148.
[7]. Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal: 151.
[8] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah,
cet. I Tahun. 2006), hal : 83.
[10] Ibnu Taimiyah, Al Iman (Aman: maktab Islami, cet. V, 1996) Vol. I
hlm. 211
[11] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah,
cet. I Tahun. 2006) hlm. 69
[12] Abu Ja’far ath Thobari, Jami’ul
Bayan fi Ta’wilul Qur’an (Beirut: yayasan ar Risalah, cet. I, 2000 M), Vol.
XIX hlm. 257
[13] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah,
cet. I Tahun. 2006) hlm. 265
[15]
Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam kitab Musnadnya.
[16] Abu
Faishol al Badrani, Al Wala’ wal Bara’ fil Islam, (maktabah syamilah)
Vol. I hlm. 61
[18]
Abdullah bin Sholih Al Fauzan, husulu al Ma’mur bi Syarhi tsalastatul Usul, (Kairo:
maktabah ar Rusyd, tt) hlm. 41
[19] Hasan Suhail, As- sunan wal atsar fin Nahyi an at-Tasyabbuh bil Kuffar,hal
58-59 , Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al
Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hlm. 267-268
[20] Dr. Wail adh-Dhowahir Salamah, At-Tasyabbuh Qawaiduhu wa Dhawabithuhu
wa Ba’dhu Tathbiquhu al-Mu’ashirah. (al- ajhar: skripsi, jami’ah syari’ah
al-Ajhar. Tahun 2000) hal 27
[21] Ibid.
[22] Diriwayatkan oleh Al Bukhori dalam kitab “Al I’tishom bil Kitab wa
Sunah” bab. Perkataan Nabi sholallahu'alaihi wa salam hadits No.
(7320) Vol. IX hlm. 103
[23] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah,
cet. I Tahun. 2006) hal. 221-223
[25]
Abdurohman bin Abi Bakr, Jalaludin As Syuyuthi, Haqiqotus Sunnah wal bid’ah,
(Mesir: Muthobi’ur Rosyid, 1409 H) hlm. 124
[26] Ali Ahmad an- Nadwiy, al- Qawaid wa ad- Dhawabith al- Fiqhiyah al-
Hakimiyah fi Mu’amat al- Maliyah, (1419 H/ 1999 M ) hlm 478.
[27] Abu Ja’far ath Thobari, Jami’ul
Bayan fi Ta’wilul Qur’an (Beirut: yayasan ar Risalah, cet. I, 2000 M), Vol.
XIX hlm. 257
[29] Ibid. hal. 224-234
[30] Demikianlah dalam terjemahan depag. Sebenarnya penerjemahan seperti ini
berbeda dengan pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap ayat itu sendiri. Karena yang
benar menurut beliau, bukan meberikan persaksian palsu, yakni persaksian dusta,
melainkan: “menyaksikan kepalsuan/kedustaa/ kemaksiatan.
[31] Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam Al Qur’an (Dar Al Kutub: Kairo, cet. II
tahun. 1964 M) vol. XIII hlm. 79
[32] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adhim (Dar Ath Thoyibah, cet. II tahun
1999 M) Vol. VI hlm. 130
[33] Ibid, Vol. III hlm. 328-329
[34] Abu Ja’far Ath Thobari, Jami’ul bayan fi Ta’wilil Qur’an (Kairo:
Muasasatu risalah, cet. I, 2000) vol. 9 hlm 336
[35] Suhail Hasan, As-Sunan Wal Atsar Fin Nahyi
An AtTasyabbuh Bil Kuffar, ( versi
maktabah Syamilah) hal. 58-59.
[36] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim
(Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal. 418, Ali Ahmad an-Nadwi,
al-Qawaid wa ad-Dhawabith al Fiqhiyah al hakimiyah fi Mu'amalati Maliyah,
hal 478
[37] Wazarotul Auqof dan Syu’unul Islam, Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah
(Kuwait: Dar Salasil, cet. II, 1404-1427 H) Vol. 12 hlm. 5
[38] Dr. Wail adh-Dhowahir Salamah, At-Tasyabbuh Qawaiduhu wa Dhawabithuhu
wa Ba’dhu Tathbiquhu al-Mu’ashirah. (al- ajhar: skripsi, jami’ah syari’ah
al-Ajhar. Tahun 2000) hal 24.
0 komentar:
Posting Komentar