OLEH: BUDI
I. Pembukaan
Keragaman merupakan sunatullah dalam kehidupan. Allah menciptakan manusia dari jenis laiki-laki dan perempuan. Pada saat yang sama, Allah SWT juga menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan aneka budaya, logat dan bahasa. Hal ini menjadikan keragaman semakin penuh warna. Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal” (QS. Al-Hujurat:13).
Allah SWT juga berfirman, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau mengetahui” (QS. Ar-Rum:22)
Di tengah keragaman inilah, idantitas mutlak diperlukan untuk meneguhkan jati diri. Identitaslah yang menerangkan siapa sejatinya pemilik idantitas tersebut tentang jenis kelamin, bangsa, budaya, bahasa, bahkan yang terpenting idieologi yang dianutnya. Dengan identitas, ia dikenali dan diakui eksistensinya oleh yang lain. Karena itulah, diantara bentuk usaha musuh-musuh Islam dalam menghancurkan umat ini adalah Mereka berusaha menjauhkan generasi muslim dari pedoman hidup mereka yakni Al-Qur’ann dan As-Sunnah sejauh mungkin sehingga, setelah mereka jauh dari aturan Islam yang mulia ini maka, sangat mudah sekali bagi musuh-musuh Islam untuk mengaburkan identitas mulia seorang muslim sehingga mereka mengikuti gaya hidup musuh-musuh mereka.
Diantara pernyataan dari salah seorang orientalis mengenai usahan mereka dalam memerangi Islam datang dari mantan PM Inggris di zaman ratu Victoria, William Ewart Gladstone (1809-1898): “Percuma kita memerangi umat Islam, dan tidak akan mampu menguasasinya selama di dalam dada pemuda-pemuda Islam bertengger Al-Qur’an. Tugas kita sekarang adalah mencabut Al-Qur’an dari hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka.
Dewasa ini, dapat kita rasakan usaha dari musuh-musuh Islam dalam memerangi umat ini yaitu, umat Islam terjajah dari segala lini dimulai dari segi ekonomi, budaya, sosial, polotik, dll. Sehingga praktis kaum muslimin banyak yang membebek kepada musuh-musuh Islam yang mana hari ini mereka diwakili oleh Barat. Bisa kita saksikan pada acara Miss World Muslimah, memang pakaian yang dikenakan oleh para muslimah adalah pakaian syar’I menurut mereka. Namun syar’I saja tidak cukup, dalam acara ini para muslimah diharuskan berpakaian syar’I tapi trendi, sehingga tidak sedikit dari model pakaian yang mereka kenakan ternyata menyerupai orang-orang kafir.
Sebagai kaum yang sedang dijajah maka, ia akan senantiasa mengiikuti kaum yang menang, kira-kira seperti inilah kondisi kaum muslimin sekarang. Hal ini disebabkan banyak dari kaum muslimin hari ini yang terjangkiti penyakit inferiority complex (merasa rendah diri). Meminjam istilah Ibnu Khaldun dalam karya beliau yang fenomenal ‘Muqaddimah’ beliau mengatakan, “ peradaban yang kalah akan senantiasa tergiur untuk meniru peradaban yang menang baik dalam soal jargon, cara berpakaian, pola beragama, maupun dalam kelakuan dan tradiasi mereka.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, penulis dalam karya yang sederhana ini mencoba mengupas bagaimana model pakaian yang diajarkan oleh Islam?, dan bagaimana hukum menyerupai orang kafir dalam hal berpakaian?
II. Pengertian
a. Tasayabbuh
Secara etimologi berasal dari kata شبه yang bermakna penyerupaan (الشبه و الشبيه) dikatakan والشبه من الجواهر: ما يشبه الذهب. Di dalam kamus al-mu’jam al-wasith disebutkan إِلْحَاق أَمر بِأَمْر لصفة مُشْتَركَة بَينهمَا كتشبيه الرجل بالأسد فِي الشجَاعَة yaitu mengkaitkan sesuatu dikarenakan sifat yang terkandung di antara kedua belah pihak seperti seorang itu menyerupai singa dalam hal keberaniannya
Secara istilah : Menurut Imam Ghazali yaitu ungkapan yang menunjukkan usaha manusia untuk menyerupakan dirinya dengan sesuatu yang diinginkan dirinya serupa dengan sesuatu tersebut, baik sesuatu tersebut berupa tingkah laku, pakaian, atau sifat-sifatnya. Jadi tasyabbuh adalah ungkapan tentang tingkah lak yang diinginkan dan dilakukannya.
b. Pakaian
Yaitu apa-apa yang dipakai ما يلبس منه Secara bahasa yaitu
Adapun secara terminologi yaitu Ibnu Abbas berkata ketika menafsirkan Surat Al A’rof ayat 31:
اللباس وهو ما يواري السوأة وما سوا ذلك من جيد البز و المتاع
” Pakaian adalah sesuatau yang menutupi aurot dan yang selainya berupa kain yang bagus dan perhiasan.”
Dari pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan mengenai pengertian tema dari karya tulis ini yaitu larangan menyerupai tingkah laku orang kafir dalam cara berpakaian mereka.
III. Masyru’iyyah
Seorang muslim tidak diperbolehkan memakai pakaian yang menyerupai orang kafir, baik ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun ‘ajam (Romawi dan Persia). Dalam prinsip agama Islam, kaum muslimin dilarang keras bersikap tasyabuh dengan orang kafir dalam hal ibadah, hari raya, pakaian, bahkan semua perkara, baik ushul maupun ahkam. Cukup banyak dalil-dalil yang melarang tasyabuh. Di antaranya adalah:
a. firman Allah Subhanahu wata’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad), “Raa’ina”, tetapi katakanlah, “Unzhurna”, dan “Dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” ( QS.al-Baqarah: 104)
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata : Ayat ini merupakan dalil bahwa Allah telah melarang hamba-hambaNya yang beriman, untuk menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka.
b. Sabda Rasulullah SAW
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4031 dengan sanad yang hasan
Al-Imam Muhammad bin ‘Amir ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan, siapa pun yang menyerupai orang fasik, orang kafir, atau ahli bid’ah, pada segala sesuatu yang menjadi kekhususan mereka, baik pakaian, kendaraan, maupun penampilan, dia termasuk golongan mereka.”
c. Atsar sahabat
Suatu ketika khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengirim surat kepada salah seorang panglima perang Islam di Azerbaijan bernama ‘Utbah bin Farqad. Di antara isi suratnya,
وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِيَّ أَهْلِ الشِّرْكِ ولبوس الحرير
“Janganlah kalian bermewah-mewah dan waspadailah model pakaian orang musyrik.” (HR.Muslim). Dalam riwayat disebutkan dengan lafadz,
وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِيَّ الْأَعَاجِم
“Janganlah kalian bermewah-wewah dan waspadailah model pakaian orang ‘ajam (Persia dan Romawi).”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengomentari atsar ini, “Hadits ini menunjukan pelarangan bagi kaum muslimin untuk menyerupai segala bentuk model pakaian orang kafir”
IV. Kriteria pakaian seorang muslim
Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Kibai di dalam buku Ahkamul libas waz zinah, memberikan rincian mengenai syarat pakaian seorang muslim, yaitu:
1. Menutup aurat
2. Tidak memperlihatkan bentuk lekukan tubuh
3. Bagi laki-laki tidak menyerupai perempuan dan sebaliknya
4. Tidak menyerupai orang kafir
5. Tidak berupa pakaian kemegahan
6. Tidak berlebih-lebihan
7. Tidak isbal
V. hukum tasyabuhh dalam berpakaian
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang muslim yang mengenakan pakaian khas milik agama lain.
1. Kafir
Madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah sepakat bahwa seorang muslim yang sudah tahu aturan ini dan secara sengaja mengenakan kostum khas pemeluk agama lain tanpa alasan yang syar’i hukumnya kafir. Dasarnya adalah hadits di atas yang secara tegas menyebutkan kekafiran dengan kalimat : dia adalah bagian dari mereka. Selain itu karena pakaian khas orang kafir adalah tanda kekufuran. Dan tidak ada orang yang mengenakannya kecuali memang dia tahu resiko akan dianggap sebagai orang kafir.
Seorang yang secara sengaja mengenakan topi khas pemeluk agama Majusi di atas kepalanya, hukumnya kafir secara zhahir. Kecuali bila dia mengenakannya karena ada unsur kedharuratan, atau karena terpaksa dimana saat itu tidak ada lagi pakaian selain pakaian khas orang kafir, sementara keadaan sangat dingin, atau sangat panas.
Dan juga bukan karena sebuah strategi dalam peperangan, dimana prinsipnya perang itu adalah tipu daya, maka hukumnya boleh.
Rasulullah SAW bersabda :
الحَرْبُ خُدْعَة
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya perang itu adalah tipu daya”. (HR. Ahmad )
2. Haram
Sedangkan mazhab Hanabilah tidak mengkafirkan seorang muslim yang mengenakan pakaian khas orang kafir, mereka hanya mengharamkan saja.
Al-Buhty berkata bahwa bila seorang muslim mengenakan pakaian yang menjadi ciri khas agama tertentu, misalnya dia mengenakan kalung salib, maka hukumnya haram, namun dia sendiri tidak bisa dikatakan kafir.
Dan sebagian dari mazhab Al-Hanafiyah dalam salah satu qaul juga tidak mengkafirkan orang yang mengenakan pakaian khas orang kafir, tetapi hatinya masih tetap bertauhid dan lisannya masih tetap mengaku muslim.
Al-Imam Abu Hanifah sendiri mengatakan bahwa seseorang tidak akan keluar dari agama Islam kecuali melalui pintu masuknya. Ketika seorang masuk Islam harus melewati pintu mengucapkan dua kalimat syahadat, maka untuk bisa dikatakan kafir dia harus mencabut pernyataannya itu. Kalau baru sekedar memakai pakaian khas orang kafir, belum sampai mengeluarkannya dari agama Islam.
• Kapan dikatakan tasyabbuh?
Tidak semua pakaian yang mengandung nilai kesamaan dengan pakaian orang kafir lantas menjadi haram atau kufur pelakunya. Para ulama telah membuat batasan yang jelas tentang masalah ini, agar kita tidak begitu saja menjatuhkan vonis kafir kepada sembarang orang.
1. Negara Islam
Al-Imam Ar-Ramli menegaskan bahwa seorang muslim akan menjadi kafir ketika mengenakan pakaian khas orang kafir di dalam negeri Islam. Sedangkan bila dia mengenakannya di dalam negeri kafir, tidak dihukumi haram atau kafir. Hal itu mengingat bahwa boleh jadi pakaian yang tersedia di negeri kafir itu memang hanya tersedia yang seperti itu.
Imam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa bila seseorang yang tinggal di sebuah negeri kafir, baik darul kufri harbi atau darul kufri ghairul harbi, mengenakan pakaian yang menjadi ciri khas penduduk negeri itu, dengan niat dan tujuan untuk dapat melakukan pendekatan diri kepada penduduknya dalam rangka proses menyampaikan dakwah Islam, maka hukumnya tidak haram.
2. Darurat
Seseorang menjadi kafir atau berdosa besar tatkala ia mengenakan pakaian khas orang kafir, bila tidak ada alasan darurat. Sedangkan bila dia mengenakannya karena dalam keadaan darurat, maka hal itu dibolehkan. Di antara bentuk keadaan darurat antara lain karena perang, cuaca, terpaksa atau pun karena kemiskinan.
Dalam perang yang berkecamuk dengan dahsyat, terkadang dibutuhkan sebuah tipu daya untuk mengelabuhi musuh. Misalnya dalam operasi penyelamatan sandera dengan cara mengendap-endap masuk ke wilayah musuh, dalam hal ini dibolehkan seorang tentara muslim mengenakan pakaian khas milik orang kafir. Atau dalam operasi penyusupan yang membutuhkan penyamaran, maka hukumnya dibolehkan bila memakai pakaian khas orang kafir.
Sedangkan contoh karena penyebab cuaca misalnya negeri sub-tropis dengan suhu yang ekstrim, penduduk yang tinggal di negeri itu harus mengenakan pakaian yang bisa untuk bertahan terhadap cuaca dingin yang mengigit atau cuaca panas yang menyengat. Bila saat itu yang ada hanya pakaian khas milik orang kafir, hukumnya diperbolehkan untuk dipakai karena darurat.
3. Khas Pakaian Agama
Yang diharamkan untuk dipakai oleh kaum muslimin adalah pakaian khas milik agama tertentu, dimana selain pemeluk agama itu tidak akan mengenakannya. Muhammad Abu Hasan dalam kitab beliau, mirqatul Mafatih Syarh misykatul Mashabih menukil perkataan Imam At-tibi mengenai hadits من تشبه بقوم فهو منهم :
قَالَ الطِّيبِيُّ: هَذَا عَامٌّ فِي الْخَلْقِ وَالْخُلُقِ وَالشِّعَارِ، وَلِمَا كَانَ الشِّعَارُ أَظْهَرُ فِي التَّشَبُّهِ ذُكِرَ فِي هَذَا الْبَابِ .
Dan mode pakaian suatu agama pun terkadang mengalami perubahan yang signifikan. Maka keharamannya hanya sebagai ketika suatu jenis pakaian sedang dijadikan pakaian khas suatu agama.
Sehingga boleh jadi, ketika zaman berganti, dan suatu agama mengubah pakaian khas mereka, maka pakaian yang lama yang sudah tidak jadi ciri khas agama itu sudah tidak lagi haram untuk dipakai oleh seorang muslim.
4. Ciri khas mereka
Termasuk kriteria menyerupai orang kafir adalah melakukan hal yang menjadi ciri khas orang kafir sehingga siapa saja yang melihatnya akan mengira bahwa orang yang dilihat adalah orang kafir.
Adapun sesuatu yang telah tersebar luas di tengah-tengah orang Islam dan orang kafir maka melakukannya itu diperbolehkan meski pada asalnya budaya tersebut berasal dari orang kafir tentu dengan syarat hal tersebut bukanlah terlarang secara khusus dalam syariat semisal pakaian sutra
Hal ini telah ditegaskan oleh imam Ibnu Hajar di dalam fathul Bari 10/272, “Sebagian ulama salaf melarang memakai burnus (jubah yang ada tutup kepalanya) dengan alasan pakaian tersebut adalah pakaian para pendeta. Namun Imam Malik pernah ditanya tentang hukum memakai burnus, jawaban beliau, “Tidak mengapa”. Ada yang menyanggah, “Bukankah itu pakaian para pendeta?” Jawaban beliau, “Pakaian tersebut dikenakan oleh kaum muslimin di sini”….
Contoh pakaian yang dilarang dalam islam
1. Mengenakan pakaian pendek, tipis dan ketat.
Di antara peran yang dilancarkan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam pada zaman ini adalah dengan mode pakaian. Mereka menciptakan beberapa mode pakaian lalu diperagakan dan dipasarkan di tengah-tengah kaum muslimin. Ironisnya, pakaian -pakaian tersebut tidak menutup aurat karena amat pendek, tipis dan ketat. Bahkan sebagian besar tidak dibenarkan dipakai oleh wanita.
2. Berbahan sutra (bagi laki-laki)
3. Setiap Pakaian Yang Menampakkan Aurat.
Diantara hikmah Allah menurunkan dan menciptakan pakaian adalah menutup aurat kita.
Allah berfirman :
يبنى ءادم قد أنزلنا عليكم لباسا يوارى سوءاتكم وريشا ولباس التقوى ذلك خير ذلك من ءايت الله لعلهم يذكرون
Artinya : “ Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik. Yang demikian itu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat. ( QS Al. A’rof : 26 )
4. Pakaian sebagian wanita yang memiliki sobekan panjang dari bawah ke atas, atau yang ada lubang di beberapa bagiannya, sehingga tampak auratnya
5. Pakaian yang terdapat gambar orang kafir
Pakaian jenis ini merupakan pakaian yang cukup berbahaya bagi aqidah seorang muslim.
Dari Anas bin Malik mengisahkan : “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rosulullah, kapankah hari kiamat itu ya Rosululah ?… Rosulullah bertanya kepada orang tersebut : “ Apa yang telah kamu persiapkan untuknya ? “ Lelaki itu menjawab : Aku tidak mempersiapkan untuknya dengan banyak sholat, puasa dan tidak pula banyak shadaqah. Tetapi aku mencintai Allah dan RosulNya. Maka beliau bersabda : “Kamu akan dibangkitkan bersama siapa yang kamu cintai “. ( HR. Muslim ).
Syaikh Abul Ula Muhammad bin Abdurrohman Al. Mubarokfury berkata : “ Seseorang akan dibangkitan bersama siapa yang ia cintai dan akan menjadi temannya, apakah yang dicintainya itu orang sholih atau orang tholih (jahat). Dan di dalam riwayat Muslim dari Anas bin Malik : “ Walaupun ia belum (tidak) mengikuti perbuatan mereka.
Dari sini jelaslah mencintai seseorang atau mencintai suatu kaum, apakah ia sholih, tholih (jahat) atau kafir, maka kita akan dibangkitkan bersama mereka pada hari kiamat, walaupun kita tidak melaksanakan perbuatan mereka. Maka bagaimana pula, bila kita mencintai orang-orang kafir kemudian kita mengikuti (mencontoh) perbuatan-perbuatan mereka dari pakaian, penampilan, gaya hidup dan lain-lainnya, maka ini lebih buruk kagi.
VI. Kesimpulan
Bagi seorang muslim, Islam merupakan identitas kebesaran yang harus dijaga dan dipegang erat-erat. Ia harus menjadi seorang muslim yang utuh dalam segala hal. Jangan sampai dalam beberapa hal ia berpegang teguh kepada ajaran Islam namun, di sisi lain ia mengekor kepada budaya kafir yang jelas-jelas dilarang oleh syariat. Maka, guna menjaga keutuhan identitas ini Islam melarang pemeluknya menyerupai orang-orang kafir dalam hal yang yang menjadi ciri khas atau agama mereka.
VII. DAFTAR PUSTAKA
1. Ibnu Faris, Mujmal Al-Lughoh muassah arrisalah: Beirut. 1986
2. Dewan Bahasa Mesir. Mu’jamul Washith, Dar ad-dakwah. tt
3. Ibnu Manzur Lisanul arab, Beirut:Darul fikr. tt
4. Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qu’an Al-Adhim, Mesir:Maktabah Taufikiyah.tt
5. Sulaiaman bin ‘Asy’ats As-Sijistani. Sunan Abi Dawud, Beirut: Maktabah Asriyah
6. Muhammad bin ‘Amir ash-Shan’ani Subulus Salam 4/321 cet. I, Darul Fikr Beirut, 1992M/1411 H
7. Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Kibai. Ahkamu libas wa zinah fil islam
8. Kasysyaf Al-Qinaa’ Mansur bin Yunusbin Idris Al-Buhui. Asna Al-Mathalib, Beirut: Alimul Kutub. tt
9. Al-Fatawa Al-Bazzaziyah bil Hamisy Al-Fatawa Al-Hindiyah
10. Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, Kairo:Dar al-Aqidah, 2006
11. Muhammad Abu Hasan. mirqatul Mafatih Syarh misykatul Mashabih
12. Ibnu Hajar al-Asqalani. fathul Bari Bisyarhi Shahihul Bukhari, Beirut: Darul Fikr, 2000
0 komentar:
Posting Komentar