Oleh: Izzah Aroby
I. Pendahuluan
Alhamdulillah, puji-syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala
yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dari
seluruh makhluk-Nya. Segala puji bagi-Nya yang telah menyempurnakan dien
ini dan me-ridhai Islam sebagai agama kita. Shalawat dan salam semoga
tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
keluarga beliau dan para shahabat beserta orang-orang yang menempuh jalan
beliau hingga hari kebangkitan kelak.
Islam adalah
agama yang sempurna dan merupakan rahmat bagi seluruh alam semesta.
Kesempurnaan Islam menjadikannya sebagai agama yang terbaik dalam mengatur
segenap aspek kehidupan manusia, baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.
Syari’at Islam datang untuk kemaslahatan ummat manusia dan menghindarkan dari
segala hal yang dapat menghilangkan hak-hak mereka.
Aurat
merupakan bagian tubuh yang wajib ditutup; baik bagi laki-laki maupun wanita,
terkhusus bagi para wanita yang mana seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali
wajah dan telapak tangan.
Pada hari
ini kita sudah sangat banyak menyaksikan pelanggaran terhadap syari’at,
kerusakan terjadi di mana-mana, apalagi perzinahan yang semakin meraja lela.
Hal itu tidak akan terjadi jika tidak ada peremehan terhadap syari’at Islam.
Pelanggaran yang kerugiannya akan ditanggung oleh pelakunya sendiri tanpa
mereka sadari. Para wanita sudah berani menampakkan perhiasan mereka kepada
setiap orang, tidak peduli siapa mereka, dan apakah mereka berhak melihatnya.
Apalagi
muncul statement bahwa menutup seluruh badan bagi wanita adalah tradisi orang
arab, dan aurat itu berasal dari rasa malu, padahal malu itu bersifat relatif,
dan berbagai macam pernyataan yang dapat memberikan kepada para wanita celah
dan alasan mengapa mereka melakukannya.
Pada tahun
1990 Masehi, dunia Islam dikagetkan dengan sebuah kitab yang tersebar di
seluruh penjuru dan menghabiskan lembaran-lembaran yang tersedia di media
cetak. Kitab tersebut berjudul “Al-Kitâb wa al-Qur`ân
Qirâ`ah al-Mu’âshirah” yang ditulis
oleh seorang pemikir liberal asal Siria bernama Muhammad Syahrur, dimana ia
menyatakan bahwa Qur’an surat an-Nur ayat 30 dan 31 adalah ayat yang
menjelasakan tentang batas minimal aurat laki-laki dan wanita.
II. Aurat Wanita
a.
Definisi aurat
Aurat
berasal dari kata أعور يعور إعوارا, di dalam
kamus disebutkan bahwa kata tersebut memiliki beberapa arti, yaitu celah yang
ditakutkan musuh masuk melaluinya, setiap tempat yang tersembunyi, segala
sesuatu yang membuat seseorang merasa malu darinya, dan bagian tubuh yang ditutupi
oleh manusia karena harga diri dan rasa malu.[1]
Aurat juga diartikan sebagai pakaian, cacat atau aib.[2]
Maka dari sini dapat difahami bahwa aurat adalah aib atau sesuatu yang membuat
seseorang malu ketika bagian tersebut terlihat dan merupakan bagian yang wajib
ditutupi.
b.
Masyru’iyyah
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل
لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن
جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59)
Ayat di
atas merupakan ayat hijab yang mana Allah memerintahkan nabi-Nya untuk
menyampaikan kepada para wanita akan kewajiban menutup aurat, di mulai dari
istri-istri dan anak-anak beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena
seseorang harus memulai dari keluarganya dulu sebelum kepada orang lain. [3]
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wanita adalah aurat.” (HR. Tirmidzi,
Ibnu Khuzaimah, dan ath-Thabrani).
c.
Pendapat para Ulama’ tentang batasan aurat wanita
Para
Ulama’ telah bersepakat bahwa seorang wanita wajib menutup seluruh tubuhnya,
akan tetapi terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) mengenai wajah dan
telapak tangannya.[4]
Imam
asy-Syafi’i[5] dan Imam
Malik[6]
rahimahumallah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat
kecuali wajah dan telapak tangannya. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah
aurat kecuali wajahnya.[7]
Sedangkan Abu Hanifah rahimahullah berpendapat bahwa kedua telapak kaki
wanita bukanlah aurat.[8]
III. Aurat Wanita Menurut
Muhammad Syahrur
a.
Biografi
Muhammad
Syahrur bin Deib adalah seorang pemikir liberal, lahir di Damaskus, Syiria pada
tanggal 11 April 1938 M.[9]
Ayahnya bernama Deib bin Deib Syahrur dan ibunya adalah Siddiqah binti Salih
Filyun. Istrinya bernama Azizah dan dikaruniai lima orang anak, yaitu Thariq,
Lays, Basil, Ma’sun dan Rima. Syahrur memiliki dua orang cucu bernama Muhammad
dan Kinan.[10]
Syahrur
memulai pendidikannya di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas di lembaga
pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi yang terletak di pinggiran kota sebelah
selatan Damaskus, dan selesai pada tahun 1957 dalam usianya yang ke-19 tahun.
Kemudian ia melanjutkan studinya di
bidang Teknik Sipil di Moskow, Uni Soviet dengan beasiswa dari
pemerintahan Syiria dan berhasil meraih gelar Diploma dalam teknik sipil pada
tahun 1964.[11]
Tahun
1965, Syahrur diangkat sebagai asisten dosen di Fakultas Teknik Sipil
Universitas Damaskus. Kemudian ia dikirim oleh pihak Universitas ke Irlandia
untuk melanjutkan pendidikan Magister dan Doktoral di Universitas College,
Dublin, Irlandia dengan spesialisasi bidang Mekanika Tanah dan Teknik Fondasi.
Gelar Magister (Master of Science) diperoleh pada tahun 1969 dan gelar
Doktor pada 1972.[12]
Ketika
kembali ke Syiria, Dr. Ir. Muhammad Syahrur diangkat sebagai Professor Jurusan
Teknik Sipil di Universitas Damaskus mulai tahun 1972 sampai 1999 dan mengajar
di sana dalam bidang Mekanika Pertahanan dan Geologi. Selain itu, pada tahun
1982 sampai 1983, Syahrur dikirim kembali oleh pihak Universitas Damaskus untuk
menjadi tenaga ahli pada Al-Sa’ud Consult Arab Saudi. Bersama beberapa
rekannya di Fakultas Teknik ia membuka Biro Konsultasi Teknik Dar
al-Isytisyarat al-Handasiyyah (En-Genering Consultancy) di Damaskus.[13]
Disamping menguasai bidang teknik, Syahrur secara otodidak menekuni filsafat,
khususnya humanisme, dan linguistik arab.[14]
Secara
global, persoalan mendasar yang memunculkan kegelisahan Syahrur untuk melakukan
kajian keislaman dapat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu aliran
skripturalis-literalis adalah mereka yang berpegang teguh kepada arti literal
dan tradisi. Apa yang cocok bagi orang-orang beriman pada zaman Nabi juga cocok
untuk orang-orang beriman pada zaman apapun dan kapanpun. Yang kedua adalah
mereka yang cenderung untuk menyerukan sekularisme dan modernitas, menolak
semua warisan Islam termasuk Al-Qur’an.
Menurut
Syahrur, kedua kelompok di atas telah gagal dalam menyediakan modernitas kepada
masyarakatnya. Pada akhirnya muncullah kelompok ketiga dimana Syahrur mengklaim
dirinya berdiri di dalam kelompok ini. Mereka menyerukan kembali kepada at-Tanzil,
yaitu teks asli yang diwahyukan kepada Nabi namun dengan paradigma baru.[15]
Pemikiran Syahrur dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase:
Fase
pertama antara
(1970-1980), ketika mengambil jenjang Magister dan Doktor dalam bidang teknik
sipil di Universitas Nasional Irlandia (Dublin). Fase ini disebut sebagai
peletakan dasar pemahamannya dari istilah-istilah dasar dalam Al-Qur’an;
Fase
kedua (1980-1986), yaitu ketika bertemu dengan teman lamanya, Dr. Ja’far
yang mendalami studi bahasa di Universitas Uni Sofiet antara 1958-1964. Syahrur
menyampaikan perhatian besarnya terhadap studi bahasa, filsafat dan pemahaman
terhadap Al-Qur’an. Beliau banyak belajar darinya tentang linguistik termasuk
filologi. Sejak saat itulah Syahrur berpendapat bahwa setiap kata memiliki
makna masing-masing dan bahasa Arab adalah bahasa yang di dalamnya tidak
terdapat sinonim. Sehingga menurutnya selama ini terdapat kesalahpahaman dalam
pengajaran bahasa Arab di berbagai Madrasah dan Universitas. Kemudian beliau
mulai menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an dengan paradigma baru, dan pada 1984 ia
mulai menulis pokok-pokok pikirannya bersama Ja’far yang digali dari Al-Kitab.
Fase
ketiga (1986-1990), Syahrur mulai berinisiatif menyusun pemikirannya dalam
topik-topik tertentu. Pada tahun 1986 akhir dan 1987 ia menyelesaikan bab
pertama dari bukunya, al-Kitab wa al-Qur’an.[16]
Syahrur
adalah seorang pemikir produktif dan buku-buku yang ditawarkannya merupakan
hasil pemikiran yang mendalam. Buku-bukunya dapat dikategorikan pada dua bidang
keilmuan, yaitu bidang teknik fondasi dengan bukunya Handasat al-Asasat
(Teknik Fondasi Bangunan) dan Handasat al-Turbat (Teknik Pertahanan).
Dalam
bidang pemikiran keagamaan ia menulis Al-Kitâb
wa al-Qur`ân Qirâ`ah al-Mu’âshirah
(1990); Dirâsât Islamiyyah Mu’âshirah fi al-Daulah wa al-Mujtamâ’
(1994); Al-Islâm wa al-Imân: Manzhûmah al-Qiyâm (1996); Nahwa Ushul
Jadîdah li al-Fiqh al-Mar`ah (2000); Masyrû Mitsâq al-‘Amal al-Islâmî
(1999); Al-Harakah al-Libaraliyyah Rafadhat al-Fiqh wa al-Tasyrî’âtihâ wa
lakinnahâ Lâ Tarfudh al-Islâm ka-Tawhid wa Risâlah Samâwiyyah (2000); Al-Harakah
al-Islâmiyyah Lân Tafûz bi al-Syar’iyyah illa idza Tharahat Nazhariyyah
Islâmiyyah Mu’âshirah fî al-Daulah wa al-Mujtamâ’ (2000) ; Islam and The
1995 Beijing World Conference on Women (1998).[17]
b.
Pandangan muhammad syahrur tentang aurat wanita
1.
Definisi aurat menurut muhammad syahrur
Muhammad
Syahrur mengartikan bahwa aurat adalah berangkat dari rasa malu,
dan rasa malu itu bersifat relatif (tergantung siapa yang
melihat) serta tidak mutlak dan mengikuti adat kebiasaan.[18]
2.
Dalil-dalil yang digunakan
Muhammad Syahrur dalam menentukan
batasan aurat, terutama aurat wanita, berargumen dengan tiga surah dalam
Al-Qur’an. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Pertama, Qs. An-Nur: 30-31
Muhammad Syahrur menyatakan bahwa ada
titik kesamaan perintah kepada lelaki dan wanita yang ditunjukkan oleh ayat
ini, yaitu sebagai berikut:
Pertama: menundukkan pandangan
Muhammad Syahrur kemudian mengemukakan
lafazh ayat:
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
“Hendaklah mereka menahan
pandanganya.” (Qs. An-Nur: 30)
Di sini ada harfu jer yang
bermakna sebagai pembagian atau penyisihan dari keseluruhan, maka Allah Ta’ala
memerintahkan kita untuk menundukkan dari pandangan. Di sini juga tidak
terdapat maf’ulun bih (obyek) baik itu laki-laki atau wanita, atau dapat
dikatakan menundukkan pandangan dari apa?
Muhammad Syahrur kemudian menyatakan
bahwa lafazh ghadhdhun pada lisan orang arab adalah untuk menunjukkan
atas lembutnya suatu perbuatan, kemudian ia memberi contoh seorang wanita yang
sedang mengganti pakaiannya di suatu tempat dan merasa keberatan jika dilihat
oleh orang lain pada bagian-bagian tertentu. Hal inilah yang dimaksudkan oleh
Allah Ta’ala, yaitu agar kita tidak melihat satu sama lain pada suatu
bagian dari tubuh kita yang mana akan menimbulkan perasaan berat jika itu
dilihat oleh orang lain. Inilah yang dinamakan sebagai as-suluk al-ijtima’i
al-muhadzdzab, yaitu kita mengambil sikap tidak menghiraukan atau pura-pura
tidak tahu pada bagian-bagian tersebut.
Kedua: menjaga kemaluan,[19] di dalam Al-Qur’an
kewajiban menjaga kemaluan ada dua, pertama adalah menjaganya dari perbuatan
zina dan segala perilaku yang tidak disyari’atkan, itu terdapat di dalam firman
Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ، إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ، فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik
itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Mu’minun:
5-7)
Adapun qarinah yang menunjukkan
makna tersebut adalah “kecuali terhadap isteri-isteri mereka”. Kemudian
yang kedua adalah menjaga kemaluan dari pandangan, inilah yang dimaksudkan
dalam surat an-Nur ayat 30-31.
Kedua: al-Qashash ayat
ke-32:
اسْلُكْ يَدَكَ فِي جَيْبِكَ
تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ وَاضْمُمْ إِلَيْكَ جَنَاحَكَ مِنَ
الرَّهْبِ ۖ فَذَانِكَ بُرْهَانَانِ مِن رَّبِّكَ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ ۚ
إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
“Masukkanlah tanganmu ke leher
bajumu, niscaya ia keluar putih tidak bercacat bukan karena penyakit, dan
dekapkanlah kedua tanganmu (ke dada)mu bila ketakutan, maka yang demikian itu
adalah dua mukjizat dari Tuhanmu (yang akan kamu hadapkan kepada Fir'aun dan
pembesar-pembesarnya). Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang fasik".
Ketiga: an-Naml ayat ke-12:
وَأَدْخِلْ يَدَكَ فِي جَيْبِكَ
تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ ۖ فِي تِسْعِ آيَاتٍ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ
وَقَوْمِهِ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
“Dan masukkanlah tanganmu ke leher
bajumu, niscaya ia akan ke luar putih (bersinar) bukan karena penyakit. (Kedua
mukjizat ini) termasuk sembilan buah mukjizat (yang akan dikemukakan) kepada
Fir'aun dan kaumnya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik".
وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَىٰ
جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَىٰ
“Dan kepitkanlah tanganmu ke
ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula).”
3.
Pembagian perhiasan
Muhammad
Syahrur membagi perhiasan wanita pada ayat ke-31 ini menjadi tiga macam, perinciannya
sebagai berikut:[21]
Pertama: zinatul asyya’ (perhiasan benda), yaitu
menyandarkan atau menggabungkan sesuatu kepada suatu tempat yang dihiasi
seperti pakaian dan alat-alat yang digunakan untuk berhias.
Kedua: zinatul mawaqi’ atau zinatul makaniyah
(perhiasan tempat), yaitu tempat yang dihiasi seperti padang yang luas nan
hijau, bangunan dan lain-lain.
Ketiga: zinatul makaniyah wasy syai`iyyah, bahwasannya
perkembangan dan kemajuan keilmuan manusia akan menumbuhkan kecenderungan
kepada kedua macam perhiasan ini. Adapun seluruh tubuh wanita menurut syahrur
termasuk bagian dari zinatul makaniyah.
4.
Batasan aurat wanita menurut Muhammad Syahrur
Di atas
sudah disinggung bahwasannya Syahrur membagi perhiasan wanita menjadi tiga
macam, dan seluruh tubuh wanita termasuk ke dalam zinatul mawaqi’ atau zinatul
makaniyah. Kemudian beliau membagi anggota tubuh wanita (zinatul mawaqi’)
menjadi dua bagian, yaitu zinatu azh-zhahirah dan zinatu al-makhfiyyah.
Di bawah ini kami akan memaparkan penjelasan Syahrur mengenai kedua pembagian
ini:
Pertama: zinatu azh-zhahirah
5.
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka
memperlihatkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya.” (Qs.
An-Nur: 31)
Maka, dalam ayat ini dapat difahami
bahwasannya terdapat zinah (perhiasan) yang tersembunyi pada tubuh
seorang wanita. Zinah azh-zhahirah adalah sesuatu yang terlihat pada
tubuh seorang wanita di saat penciptaannya atau sesuatu yang ditampakkan oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam penciptaannya seperti kepala, perut,
punggung, kedua kaki dan kedua tangannya, sedangkan kita mengetahui bahwasannya
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan lelaki dan perempuan dalam keadaan
telanjang tanpa mengenakan pakaian.
Zinatu
al-makhfiyyah adalah bagian-bagian dari tubuh wanita yang dijaga oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan diperintahkan untuk menutupnya. Perhiasan inilah
yang disebut oleh Syahrur sebagai al-juyub (belahan dada, bagian bawah
ketiak, serta kemaluan dan dubur)[23], yaitu had
al-adna (batas minimal) dari aurat wanita yang wajib ditutup, sebagaimana
firman Allah Ta’ala:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya...” (Qs.
An-Nur: 31)
Syahrur mengatakan bahwasannya khimar
(penutup) itu letaknya bukan hanya di kepala saja, oleh karena itulah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala memerintahkan kepada wanita-wanita yang beriman untuk menutup
bagian-bagian yang disebut sebagai al-juyub. Syahrur juga mengatakan
bahwasannya kedua mata dan telinga termasuk al-juyub azh-zhahirah karena
berada di wajah.
Menurut Syahrur seorang wanita boleh
tampil telanjang di hadapan delapan orang lelaki yang disebutkan dalam surat
an-Nur ayat 31 dan orang-orang yang disebutkan dalam ayat tersebut jika ia
melakukannya dalam keadaan lupa, lalai, terpaksa atau darurat. Jika mereka
melarang perbuatan tersebut, maka pelarangan itu hanya disebabkan oleh sebuah
aib dan rasa malu. Namun, seorang suami adalah orang yang paling berhak untuk
melihat al-juyub as-safliyyah (juyub bagian bawah) yang disebut Syahrur
sebagai aurat mughallazhah, sedangkan al-juyub al-‘alawiyyah
(belahan dada dan bagian bawah ketiak) diperbolehkan bagi orang-orang yang
disebutkan dalam Qs. An-Nur ayat 31. Ketika seorang wanita melakukan hal
tersebut—telanjang—di hadapan mereka, maka itu hanyalah sebuah aib dan tidak
ada sangkut-pautnya dengan keharaman maupun kehalalan.[24]
Adapun delapan orang lelaki itu adalah
suami, bapak, bapak dari suami, anak laki-laki, anak laki-laki dari suami,
saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara, dan anak laki-laki dari
saudari. Beliau berkata, “Hendaknya seorang wanita yang beriman tidak merasa
keberatan dari mereka.”[25]
Syahrur juga berpendapat bahwasannya
ada tujuh orang mahram dari seorang wanita yang mereka diperbolehkan
berdua-duaan dengannya, tapi wanita tersebut tidak boleh menampakkan zinatul
makhfiyyah (al-juyub) di hadapan mereka, yaitu paman dari ibu, paman
dari bapak, anak susuan, saudara sepersusuan, suaminya ibu, suami anak
perempuan, dan suami saudari.[26]
Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Syahrur bahwa aurat wanita yang wajib ditutup hanyalah had al-adna (had
Allah) saja, maka beliau juga menyatakan bahwa ada had al-a’la (had
Rasul) atau batas maksimal dari aurat wanita, yaitu seluruh tubuhnya kecuali
wajah dan kedua telapak tangannya[27], berdasarkan
firman Allah Ta’ala dalam Qs. Al-Ahzab: 59 berikut:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل
لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن
جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[28]
Ayat di atas adalah ayat yang
berbentuk sebagai pengajaran saja dan bukan pensyari’atan. Menurut Syahrur
gangguan itu ada dua macam; thabi’iy (keaadaan atau lingkungan) dan ijtima’iy
(sosial). Jadi, pakaian yang dikenakan oleh seorang wanita ketika keluar
rumah adalah sesuai keadaan tempat dimana ia tinggal, pakaian yang ia kenakan
hendaknya dapat melindunginya dari dua gangguan ini. Adapun gangguan yang
dimaksud pada ayat di atas adalah macam yang kedua, yaitu al-adza
al-ijtima’iy, yang berarti seorang wanita ketika keluar rumah hendaknya
mengenakan pakaian yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat dimana ia tinggal
agar terhindar dari berbagai macam gangguan.[29]
IV. Kritik
Sesungguhnya dalam mengkritisi
pemahaman dan syubhat yang dilontarkan oleh Syahrur, bisa ditimbang dengan ilmu
maqashid, bahwa adanya kewajiban menutup aurat itu untuk menjaga kehormatan dan
jiwa dari berbagai macam bahaya. Menutup seluruh tubuh bagi seorang wanita akan
lebih terjaga dan aman dari gangguan dibanding tampil telanjang atau hanya
mengenakan pakaian dalam saja. Oleh karena itu, tidak mungkin yang dimaksud
dalam Qs. An-Nur di atas adalah al-juyub (versi Syahrur) karena jelas
tidak ada maslahat di sana dan madharatnya sangatlah besar, padahal Syari’at
ini datang untuk kemaslahatan dan menjauhkan kita dari kerusakan.
Merupakan
kesalahan yang fatal bila Syahrur beranggapan bahwa Al-Qur’an harus dirafsirkan
kembali dengan paradigma baru tanpa merujuk kepada as-Sunnah dan pemahaman para
Ulama’ Salaf yang dalam hal ini telah bersepakat bahwasannya seluruh tubuh
wanita adalah aurat yang wajib ditutup kecuali hanya beberapa bagian saja yang
masih diperselisihkan, padahal hujjah setelah Al-Qur’an adalah as-Sunnah dan
sebaik-baik masa adalah masa para shahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup pada zamanku
(generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian
orang-orang yang datang setelah mereka”.[30]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)
Jika
memang pendapat Syahrur tentang batasan aurat wanita itu benar, lalu mengapa
ada hadits yang menyatakan bahwasannya seorang wanita yang berpakaian tapi
telanjang (terlihat lekuk tubuhnya) tidak akan masuk surga dan tidak akan
mencium baunya? Sebagaimana
Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا
قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ
الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا
وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua
golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk
seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang dan wanita-wanita yang
berpakaian (tapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan condong (dari
ketaatan), rambut mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk
surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium
dari perjalanan sejauh ini dan ini.”[31]
Muhammad Syahrur telah salah dalam mengartikan al-juyūb,
yaitu berasal dari kata jawaba atau ‘ain fi’il-nya adalah huruf wawu.
Lalu mengambil arti lubang (al-kharqu) dari kata al-jūb, namun ia
menisbahkannya sebagai arti dari al-jaib, sehingga lubang al-jaib
berarti lubang kemaluan wanita. Padahal al-juyūb berasal dari kata jayaba
atau ‘ain fi’il-nya ya’, maka kamus arab mengantisipasinya dengan
menambahkan bahwa kalimat jabat al-qamish tidak berasal dari al-jaib,
tapi dari al-jūb. Dapat kita temukan bahwa al-juyūb secara bahasa
berarti bagian baju yang terbuka dan saku-saku baju atau dada.[32]
V. Kesimpulan
Muhammad Syahrur adalah seorang pemikir liberal yang
berusaha menghadirkan metode atau paradigma baru dalam memahami konteks
Al-Qur’an, yaitu dengan menggunakan metode analisis linguistik atau pendekatan
bahasa untuk menyediakan modernitas kepada masyarakat muslim dengan
menghilangkan keterjebakan pada produk-produk pemikiran masa lalu.
Muhammad Syahrur dalam menentukan
sebuah hukum selalu berpijak kepada teori batasnya yang kontroversial.
Menurutnya, aurat wanita yang wajib ditutupi masuk ke dalam teori batasnya yang
hanya memiliki batas minimal atau batas bawah saja. Batas minimal—had
Allah—dari aurat seorang wanita yang wajib ditutupi adalah al-juyub (belahan dada, bagian tubuh di bawah ketiak, kemaluan,
dan pantat), sedang batas maksimal—had Rasulullah—adalah seluruh
tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Pakaian yang digunakan oleh
seorang wanita ketika keluar rumah adalah dimulai dari batas minimal dan
seterusnya sesuai adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat hingga mencapai
batas maksimal dengan hanya menampakkan wajah dan telapak tangan.
Sangat jelas bahwa pemikiran
beliau adalah pemikiran liberal dan kontroversial. Bagaimana mungkin beliau
menafsirkan Al-Qur’an kembali dan memahaminya tanpa merujuk kepada as-Sunnah
dan pemahaman para salaf. Padahal
mereka adalah sebaik-baik ummat sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu
‘Aalaihi wa Sallam.
Daftar Pustaka
Abu Malik
Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Al-Qahirah-Mesir: Al-Maktabah
at-Taufiqiah), juz III
Akhmad Khoirul Anam, Ri’ayatur
Rokhmaniyyah, Ali Nashoka, Menghukumi Hukum Islam: Studi Pemikiran M.
Shahrur, Makalah di Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo, 2015
Al-‘Alamah asy-Syaikh Abu Abdullah
Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir as-Sa’di, Taisiru al-Karim
ar-Rahman fi Tafsiri Kalam al-Mannan, (Bairut-Libanon: Daru Ihya’i
at-Turatsu al-‘Arabi).
Al-Imam
Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab,
(Bairut-Libanon: Darul Fikri), juz III
Al-Imam
Majduddin Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim al-Fairuzabadi
asy-Syairazi asy-Syafi’i, Al-Qamus al-Muhith, (Bairut-Libanon: Darul
Kutub al-Ilmiah), Juz I-II
Asy-Syafi’i
Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin Abdul
Muthalib bin Abdul Manaf al-Muthalibi al-Qursyi al-Makki, Al-Umm,
(Bairut: Darul Ma’rifah), juz 1, versi al-Maktabah asy-Syamilah
Dr.
Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur`ân
Qirâ`ah al-Mu’âshirah, (Damaskus:
Al-Ahali, 2000)
Dr.
Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadîdah li al-Fiqh al-Islami Fiqhu al-Mar`ah,
(Damaskus: Al-Ahali, 2000), cet. I
Dr. Ruhi
al-Ba’labaki, Al-Maurid, (Darul Ilmi lilMalayin), cet. XXI
Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, (Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah), juz I
Ibrahim
Mushthafa, Hamid Abdul Qadir, Ahmad Hasan az-Ziyad, Muhammad Ali an-Najjar Al-Mu’jam
al-Wasith, (al-Maktabah al-Islamiah), Juz II
Louis
Ma’luf, Al-munjid fi al-Lughati wa al-A’lam, (Bairut), cet. 24
M. Lutfi
Hakim, Studi Kritis Pemahaman Muhammad Syahrur Terhadap Hadis Metafisika
(Keghaiban), Skripsi di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Jurusan Tafsir
dan Hadis UIN Walisongo Semarang, 2015/2016
Mushthafa
al-‘Adawi, Jami’u Ahkam an-Nisa’, (Riyadh: Daru Ibnu al-Qayyim, Al-Qahirah:
Daru Ibnu ‘Affan), juz I
[1] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughati wa al-A’lam, hal. 537, Ibrahim
Mushthafa, Hamid Abdul Qadir, Ahmad Hasan az-Ziyad, Muhammad Ali an-Najjar, al-Mu’jam
al-Wasith, (al-maktabah al-Islamiah), juz 2, hal. 636, al-Imam Majduddin
Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim al-Fairuzabadi asy-Syairazi
asy-Syafi’i, al-Qamus al-Muhith, (Bairut-Libanon: Darul Kutub
al-Ilmiah), juz 2, hal. 176
[3] Al-‘Alamah asy-Syaikh Abu Abdullah Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin
Nashir as-Sa’di, Taisiru al-Karim ar-Rahman fi Tafsiri Kalam al-Mannan,
(Bairut-Libanon: Daru Ihya’i at-Turatsu al-‘Arabi), hal. 805.
[4] Abu Malik Kamal
bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh as-Sunnah, (Al-Qahirah-Mesir:
Al-Maktabah at-Taufiqiah), juz III, hal. 29.
[5] Asy-Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin ‘Utsman bin
Syafi’ bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf al-Muthalibi al-Qursyi al-Makki, Al-Umm,
(Bairut: Darul Ma’rifah), juz 1, hal. 109, versi al-Maktabah asy-Syamilah
[6] Mushthafa al-‘Adawi, Jami’u Ahkam an-Nisa’, (Riyadh: Daru Ibnu
al-Qayyim, Al-Qahirah: Daru Ibnu ‘Affan), juz I, hal. 269.
[7] Al-Imam Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu
al-Muhadzdzab, (Bairut-Libanon: Darul Fikri), juz III, hal. 171
[9] M. Lutfi Hakim, Studi
Kritis Pemahaman Muhammad Syahrur Terhadap Hadis Metafisika (Keghaiban),
Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Jurusan Tafsir dan Hadis UIN
Walisongo Semarang, 2015/2016
[10] http://hukumzone.blogspot.co.id/2012/03/biografi-muhammad-syahrur.html,
biografi Muhammad Syahrur dapat dirujuk langsung ke website resminya, yaitu: http://www.shahrour.org.
[15] M. Lutfi Hakim, Studi
Kritis Pemahaman Muhammad Syahrur Terhadap Hadis Metafisika (Keghaiban),
Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Jurusan Tafsir dan Hadis UIN
Walisongo Semarang, 2015/2016, hal. 46-47
[18] Dr. Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur`ân Qirâ`ah
al-Mu’âshirah, (Damaskus: Al-Ahali, 2000), hal. 612.
[19] Dr. Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur`ân.., hal.
604-605, Nahwa Ushul Jadîdah li al-Fiqh al-Islami
fiqhu al-Mar`ah, (Damaskus: Al-Ahali, 2000), cet. I,
hal. 361
[30] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, kitab perilaku budi pekerti yang terpuji, bab
keutamaan shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hadits no. 3377
dan 3378, Muslim kitab keutamaan shahabat, bab keutamaan para shahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, kemudian orang-orang setelah mereka, hadits no.
4599-4603, Abu Dawud, kitab Sunnah, bab keutamaan para shahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, hadits no. 4038.
[31] Diriwayatkan oleh
Muslim, kitab pakaian dan perhiasan, bab wanita berpakaian tetapi telanjang,
hadits no. 3971
[32] al-Imam Majduddin
Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim al-Fairuzabadi asy-Syairazi
asy-Syafi’i, al-Qamus al-Muhith, (Bairut-Libanon: Darul Kutub
al-Ilmiah), juz 1, hal. 66
Ijin save, ya?
BalasHapus