Oleh : Miq-dat
A. Pendahuluan.
Amar ma’ruf nahi munkar, merupakan sebuah amalan yang
sangat mulia. Dengannya terbangun kehidupan masyarakat Islami yang luar biasa,
dinamis, harmonis, dan religius. Amalan ini harus digulirkan dengan baik, baik
kepada golongan masyarakat yang paling rendah yaitu rakyat jelata, hingga golongan masyarakat yang paling tinggi yaitu para
pemimpin ataupun penguasa.
Baik dan buruknya kehidupan bermasyarakat sebuah
komunitas tergantung kepada siapa yang memimpin. Jika pemimpin ataupun penguasa
komunitas tersebut memimpin dengan keshalihan, keilmuan, dan kecerdasan yang ia
miliki dan dalam kepemimpinan tersebut
bertujuan untuk mensejahterakan sebuah komunitas yang dipimpinnya, maka akan
baiklah komunitas tersebut. Dan jika para penguasa tersebut memimpin serta
memerintah dengan segala keburukan yang ia miliki dan didasari dengan hawa
nafsu, maka akan buruk bahkan hancurnya komunitas tersebut.
Fungsi amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa merupakan
sesuatu yang sangat urgen dan sangat dibutuhkan, karena jika kita tengok
realita akan rusaknya kehidupan bermasyarakat terkhusus di negeri ini yaitu
Indonesia. Para penguasa dan pemimpinnya yang tidak menerapkan hukum Islam,
pribadi yang tunduk pada hegemoni para konspirator, boneka asing, dan lain
sebagainya. Sehingga, para penguasa dan pemimpin tersebut yang mungkin semula
menginginkan kesejahteraan masyarakat dalam kepemimpinannya, berubah kepada
hilangnya tujuan tersebut dan menuju pada kepemerintahan ataupun kepemimpinan
yang hanya berdasarkan pada hukum manusia dan hawa nafsu.
Melihat berbagai kerusakan yang terjadi pada para
penguasa tersebut, maka berbagai usaha dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar
dilaksanakan, baik itu dilakukan secara personal yaitu personal para ulama
seperti yang dilakukan oleh para ulama kota Solo dalam rangka memberikan
peringatan kepada para penguasa negeri ini pada tahun 2002, juga yang dilakukan
oleh ustadz Abu Bakar Baasyir Fakkahullah asrahu dengan mengirimkan buku
yang telah beliau susun yaitu kitab Tadzkirah kepada berbagai instansi resmi
milik pemerintah, dan berbagai upaya yang lain sebagainya. Dan juga yang
dilakukan oleh para aktivis Islam dari berbagai ormas Islam yang ada, seperti
yang dilakukan oleh FPI[1]
dalam memberikan peringatan kepada pemerintah lokal yang mengalakkan berbagai
Syiar kemusyirikan, MUI[2]
dalam memberikan peringatan kepada pemerintah atas penanganan berbagai kasus
terorisme oleh DENSUS 88, dan yang lain sebagainnya.
Bahkan ada beberapa pihak yang menggunakan tindak
‘kekerasan’ untuk menegur dan memperingati pemerintah yang sudah terlalu dzalim
terhadap kaum muslimin, seperti yang dilakukan oleh tri bomber[3]
dalam bom Bali I, dan yang lain sebagainya. Berbagai hal di
atas merupakan realita yang terjadi dikalangan ummat
Islam secara khusus di Indonesia. Dan masih banyak lagi contoh yang terjadi,
dan tentunya semua hal yang telah dilakukan perlu untuk diteliti lebih jauh
dalam segala halnya, agar kebenaran, kebaikan, serta kemaslahatan dapat diraih
semaksimal mungkin. Wallahu A’lam bish Shawwab.
B. Definisi.
1.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Al-Amru bil Ma’ruf secara etimologi: Al-Amru berarti keadaan ataupun
kondisi[4],
juga bermakna apa yang diperintahkan untuk mengerjakan, baik itu bersifat
pencegahan ataupun tidak[5].
Ma’ruf adalah kebaikan yang diketahui oleh akal ataupun syari’at[6],
dan Al-Ma’ruf juga diartikan sebagai apa saja yang dianggap baik dari
perbuatan, yaitu segala hal yang diketahui kebaikannya oleh jiwa, dan merasa
nyaman dengannya.[7]
Adapun secara terminologi al-Amru bi al-Ma’ruf adalah
petunjuk kepada kebenaran, yaitu perintah yang sesuai dengan Al-Kitab maupun
As-Sunnah, ataupun perintah kepada amalan yang diridhai oleh Allah Ta’ala
baik itu dari perbuatan maupun perkataan.[8]
Sedangkan Nahyu ‘an al-Munkar secara etimologi. An-Nahyu
perintah dengan sifat khusus yaitu pelarangan[9]
sedangkan al-Munkar adalah lawan dari al-Ma’ruf yaitu segala sesuatu
yang dipandang sebagai sesuatu yang buruk, haram, dan makruh.[10]
Adapun secara terminologi, an-Nahyu ‘an al-Munkar adalah
celaan (pencegahan) terhadap apa yang dicela oleh syariat, yaitu tindakan
pencegahan, peringatan, dan perlawanan kepada sesuatu yang dilarang oleh
syariat, dan mengambil tindakan atasnya agar tidak terjatuh kedalamnya secara
langsung ataupun terulang kembali.[11]
Maka pengertian amar ma’ruf nahi munkar adalah
perintah atas apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya Shalallahu
‘alaihi wa Sallam, dan larangan atas apa yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.[12]
2.
Penguasa.
Penguasa secara etimologi, dalam bahasa Arab disebut
sebagai Ulil Amri, sulthah, imam, dan yang lain sebagainya. Menurut Ibnu
Mandzur, imam adalah siapa saja yang diikuti oleh sebuah kaum, baik itu
berada pada jalan yang benar (Islam) ataupun didalam kesesatan (zhalim, kafir,
dan fasiq)[13].
Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), penguasa adalah orang
yang menguasai; orang yang berkuasa (untuk menyelenggarakan sesuatu),
memerintah dan yang lain sebagainya, dan diartikan juga sebagai pemegang kekuasaan.[14]
Dari pemaparan definisi secara etimologi, hal yang
mengerucut kepada penguasa adalah kata ulil amri, kata ulil amri-lah
yang menjadi banyak pembahasan diantara para ulama.
Maka, secara terminologi, ulil Amri adalah
orang-orang yang bertindak atas segala permasalahan kaum muslimin, pemegang
tali kendali, dan komando tertinggi dalam kepengurusan ummat. Dalam hal ini
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَ أَطِيْعُوْا
الرَّسُوْلَ وَ أُوْلِيْ الْأَمْرِ مِنْكُمْ...
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kalian....” (QS. an-Nisa : 59)
Dan juga sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,
ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يَغُل عَلَيْهِنّ قَلْب مَسْلِم أَبَداً
: إِخْلَاصُ الْعَمَل بِهِ, وَ مُنَاصَحَةُ وُلَاةُ الْأَمْرِ, وَ لُزُوْمُ
الْجَمَاعَةِ.
“Tiga perkara yang mencegah terbelenggunya hati
seorang Muslim; ikhlash dalam amal, menasehati wali Amr, dan melazimi
(bergabung) Jama’ah (Muslimin)”.[15]
Menurut Syar’i, maksud dari Ulil Amri sebagaimana
yang tertera di dalam ayat di atas ada perbedaan pendapat di antara para ulama
-baik yang berasal dari para Ahli Tafsir, dan yang selainnya- ada beberapa
pendapat dan yang masyhur adalah enam pendapat yaitu;
Pertama, mereka adalah para penguasa (Umara’) ini
merupakan pendapat sebagian para salaf, diantaranya adalah Abu Hurairah dan
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma, pendapat ini dirajihkan oleh Imam
ath-Thabrani, an-Nawawi. Ini merupakan pendapat Jumhur Salaf dan Khalaf.
Kedua, mereka adalah para alim (Ulama), ini merupakan pendapat
sebagian para salaf, diantaranya adalah Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu,
Imam Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha’i dan yang lainnya.
Ketiga, mereka adalah para sahabat Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam, ini merupakan pendapat Mujahid.
Keempat, mereka adalah Abu
Bakar ash-Shiddiq, dan Umar bin Khaththb Radhiallahu ‘Anhuma, ini
merupakan pendapat Ikrimah.
Kelima, menurut Imam Ibnu Katsir. Beliau berkata, “Secara
dhahir -Wallahu a’lam- mereka adalah secara umum pada Ulama (para alim)
dan Umara’ (para penguasa). Dan aku memilih pendapat ini karena
merupakan pendapat jumhur para ulama, diantaranya adalah Abu Bakar bin
al-Arabi, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, asy-Syaukani, dan Syaikh Abdurrahman bin
Sa’di.
Keenam, sebagian ulama mengemukakan pendapat bahwa ulil amri
adalah lebih umum dari sekedar umara’ (pemimpin), ulama (ahli
ilmu), zuama’ (penanggung jawab), wukala’ (wakil), dan segala
yang memiliki pengikut. Mereka dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wa ‘Aqdi.[16]
C. Dalil-dalil
penegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
1.
Al-Qur’an.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an, Allah Ta’ala
berfirman;
كُنْتُمْ خَيْرُ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ وَ تَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ تُؤْمِنَوْنَ بِاللهِ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah” (Q.S. Ali Imran : 110)
وَالْمُؤْمِنُوْنَ و َ الْمُؤْمِنَاتِ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَ يَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَوتَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَوتَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ
وَرَسُوْلَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, melaksanakan shalat,
menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi
rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S.
at-Taubah : 71)
وَلْيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ
لَقَوِيٌ عَزِيْزٌ {} الَّذِيْنَ إِنْ مَكَّنَاهُمْ فِيْ الْأَرْضِ أَقَامُوْا
الصَّلَوتَ و ءَاتُوْا الزَّكَوتَ وَ أَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ
الْمُنْكَرِ وَ للهِ عَاقِبَةُ
الْأُمُوْرِ
“...Allah pasti akan menolong orang yang menolong
(agama)-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Mahaperkasa {} (Yaitu)
orang-orang yang jika Kami berikan kedudukan di bumi, mereka melaksanakan
shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang ma’ruf serta mencegah dari
yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. al-Haj :
40-41)
2.
As-Sunnah.
Sedangkan dari sunnah, dari riwayat Abu Sa’id al-Khudri Radhiallahu
‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَاراَ فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِيْع فَبِلِسَانِهِ وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِيْع فَبِقَلْبِهِ وَ
ذَلِكَ أَضْعَافُ الْإِيْمَانِ
“Barang siapa diantara kalian yang melihat kemunkaran,
hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak (dapat) dilaksanakan, maka
ubahlah dengan lisannya, dan jika tidak (dapat) dilaksanakan, maka ubahlah
dengan hatinya, maka itulah selemah-lemahnya iman.”[17]
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَاب رضي الله عنه أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم ،وَ قَدْ وَضَعَ رِجْلَهُ فِيْ الغَرْزِ : أيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ
؟ قَالَ : «كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ».
Dari Thariq bin Syihab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
seorang laki-laki –yang meletakkan kakinya pada batang kayu- bertanya kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Jihad manakah yang paling
utama?” beliau menjawab, “Kalimat hak yang diungkapkan di hadapan manusia
penguasa zhalim.”[18]
Hadits Hasan bin al-Hakam,
مَنْ بَدَا جَفًّا وَمَنْ تَبِعَ الصَّيْد غَفَلَ وَمَنَ أَتَى بَابَ السُّلْطَان افْتَتَنَ
وَما ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُّلْطَانِ قُرْباً إِلَّا ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا
“Barang siapa yang
memulai ia akan berada ditempatnya, barang siapa yang mengikuti hewan buruan
niscaya akan lalai, barang siapa yang mendatangi Shulthan (penguasa) maka
sungguh ia telah terfitnah, barang siapa yang senantiasa bertambah untuk
mendekatkah diri dengan Sulthan, maka Allah akan menjauh darinya dengan jauh.”[19]
3.
Perbuatan salaf dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi Munkar
kepada penguasa.
Pada Masa Khilafah Umar bin Khaththab Radhiallahu
‘Anhu, beliau berjalan-jalan menuju pasar ditemani oleh seorang pembantunya
yang bernama al-Jarud. Di tengah perjalanan, mereka berdua bertemu dengan
seorang wanita. Setelah mengucapkan salam dan dijawab oleh kedua belah pihak,
maka kemudian wanita tersebut berkata, “Wahai Umar, aku mengetahui ketika
engkau masih kecil dipasar Ukadz dengan nama Umair, kemudian ketika hari-hari
telah berlalu engkau menjadi (seorang) Umar, kemudian ketika hari-hari telah
terlewat engkau dikenal sebagai Amirul Mukminin. maka bertaqwalah kepada Allah
atas tanggung jawab (kepemimpinan) ini, karena barangsiapa yang benci kepada
hari-hari yang telah lewat berarti ia membenci kematian.” menangislah Umar.
Ketika melihat hal seperti ini, al-Jarud naik pitam, ia
mengatakan, “Hai, engkau telah lancang kepada Amirul Mukminin dan membuatnya
menangis!” Maka Umar menimpalinya, “Tinggalkanlah ia, tahukah engkau siapakah
dia? Dia adalah Khaulah binti al-Hakim yang perkataan (doa)-nya didengar oleh Allah Ta’ala di
atas langit, maka Umar pantas lebih pantas mendengar apa
yang dikatakannya.”[20]
Para salaf memberikan perhatian yang sangat luar biasa
dalam hal ini, diantaranya ada yang mewanti-wanti agar anak cucunya tidak
terjerumus ke dalamnya. Sebagaimana yang dinasehatkan oleh Amru bin ‘Ash Radhiallahu
‘Anhu kepada anaknya yaitu, “Wahai anakku jagalah olehmu wasiat ini, Imam
(pemimpin) yang adil lebih baik daripada hujan lebat yang turun, singa yang
lapar lebih baik daripada Imam (pemimpin) yang zhalim, dan Imam yang zhalim
lebih baik daripada fitnah yang senatiasa berputar.”[21]
Juga sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin
Hambal, ketika khalifah al-Watsiq billah yang terkena virus khalqul Qur’an
mendakwahkan hal tersebut. Maka para Fuqaha’ Baghdad berkumpul kepada Imam
Ahmad untuk melawan hal tersebut, maka Imam Ahmad menjawab, “Hendaknya
hati-hati kalian mengingkari hal ini (khalqul Qur’an), janganlah kalian
melepaskan diri dari ketaatan kepadanya, janganlah memecah belah kaum muslimin,
jangan tumpahkan darah kalian bersama dengan darah kaum muslimin, lihatlah
akibat yang (akan) ditimbulkan dari perbuatan kalian (memberontak), bersabarlah
sampai hal tersebut tercabut, atau orang tersebut telah tiada.”[22]
D.
Kaidah-kaidah dasar dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
1.
Dasar dari penetapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah
Syariat.
Yaitu bahwa timbangan segala sesuatu baik atau buruk
adalah Kitabullah, Sunnah Rasulullah, dan manhaj Salaf, maka tidak ada yang
pantas memberikan pengertian akan kebaikan dan keburukan kecuali Syariah al-Islamiyyah.
Perkara yang Allah perintahkan baik di dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah, disertai dengan
motivasi ataupun sanjungan bagi yang melaksanakan, maka itulah hal Ma’ruf yang
diperintahkan.
Sedangkan apa yang dilarang baik terdapat didalam
Al-Qur’an ataupun as-Sunnah dan disertai dengan ancaman, bahayanya di dunia dan
di akhirat serta celaan bagi yang melaksanakannya, dan ancaman masuk neraka,
maka itulah kemunkaran yang dilarang.[23]
Maka di sini dapat disimpulkan bahwa hal yang baik (Ma’ruf) ataupun yang buruk
(Munkar) itu bukan terletak pada perintah dan larangannya, namun terletak pada
Al-Qur’an dan as-Sunnah ketika dikembalikan kepadanya atas pemahaman para salaf
ash-Shalih.[24]
2.
Memiliki dasar ilmu dan bashirah akan hakikat Amar
Ma’ruf Nahi Munkar.
Yaitu hendaknya bagi yang melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi
Munkar adalah seorang yang berilmu, ia memiliki ilmu atas apa yang ia
perintahkan dan apa yang ia larang. Ilmu merupakan hal yang sangat diperlukan
sebelum melakukan amal perbuatan, oleh karena itu Imam al-Bukhari memberikan
bab tersendiri yaitu bab “Al-Ilmu Qabla al-Qaul wa al-‘Amal” (ilmu
sebelum perkataan dan perbuatan). Berdasarkan pada firman Allah Ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهَ
“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah
(sesembahan, Tuhan) selain Allah...” (QS. Muhammad : 19)[25]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Sebuah amal tidak
akan baik kecuali dengan ilmu dan difahaminya. Maka dengan jelas bahwa amal
tanpa disertai dengan ilmu akan rusak, sesat, serta mengikuti hawa nafsu.
Inilah yang menjadi pembeda antara ahlul Jahiliyyah dan ahlul Islam, sudah
menjadi keharusan (bagi muslim) untuk mengetahui antara yang baik dan yang buruk,
serta dapat membedakan antara keduanya, juga harus memahami kondisi atas apa
yang diperintahkan ataupun yang dilarang.”[26]
Syaikh al-Utsaimin memberikan komentar bahwa seorang yang
melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus mengetahui ilmu (dalam hal tersebut),
kondisi orang yang dituju, dan juga bagaimana metode terbaik yang digunakan
dalam hal tersebut.[27]
3.
Mengetahui syarat pengingkaran kemunkaran.
Dalam hal ini, bagi seorang muhtasib[28]
harus mengetahui dan memahami ketika ia hendak menghapuskan memunkaran. yang
pertama adalah bagaimana ia memastikan kemunkaran yang ada, kemudian
memperhatikannya ketika dalam upaya untuk melarang atau menghilangkannya.
Syarat-syarat menghilangkan kemunkaran ada tiga, yaitu; pertama,
Memastikan kemunkaran yang ada. Kedua, (memahami) kemunkaran sesuai
dengan realitanya. Ketiga, Kemungkaran tersebut jelas, bukan dihasilkan
dari Tajassus, selama ia bukan merupakan Mujaharah[29].
Keempat, Kemunkaran tersebut bukan hal yang diperselisihkan
(kemunkarannya).[30]
4.
Mengetahui tingkatan dalam pengingkaran kemunkaran.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus dilakukan sesuai dengan
kemampuan seorang muhtasib. Ketika seorang muhtasib dapat
melakukannya dengan tangan dan itu merupakan yang wajib baginya, maka harus
dilakukan. Ketika ia tidak mampu untuk melakukannya dengan tangan maka dengan
lisan, jikalau dengan lisan pun tidak dapat melakukannya, maka yang wajib
baginya adalah mengingkarinya dengan hati dan membenci kemunkaran tersebut, ini
merupakan hal yang dapat dilakukan oleh semua manusia. Dengan dasar Hadits
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,[31]
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراَ فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِيْع فَبِلِسَانِهِ وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِيْع فَبِقَلْبِهِ وَ
ذَلِكَ أَضْعَافُ الْإِيْمَانِ
“Barang siapa diantara kalian yang melihat kemunkaran,
hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak (dapat) dilaksanakan, maka
ubahlah dengan lisannya, dan jika tidak (dapat) dilaksanakan, maka ubahlah
dengan hatinya, maka itulah selemah-lemahnya iman.”[32]
Tingkatan
pengingkaran kemunkaran ada tiga, pertama, mengingkarinya dengan tangan.
Kedua, mengingkarinya dengan Lisan. Ketiga, mengingkarinya dengan
Hati.[33]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan komentar atas
hadits ini, “Hadits yang disebutkan tidak menunjukkan keharusan untuk
mengingkari dengan tangan, kemudian lisan, dan kemudian hati. Hadits ini
mengandung mafhum mukhalafah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Bahwa mengingkari dengan hati dan lisan sebelum mengingkari dengan tangan
merupakan cara (yang diterapkan) Al-Qur’an....mengingkari dengan hati, dengan
cara membencinya, dan itu tidak dapat diketahui tanpa menggunakan ilmu
(tentang) keburukannya (kemaksiatan tsb), kemudian setelah itu baru mengingkari
dengan lisan, dan kemudian mengingkari dengan tangan, dan Nabi bersabda, “Dan
itulah selemah-lemahnya iman.” Bagi yang melihat kemunkaran.”[34]
Sedangkan DR. Abdul
Akhir al-Ghunaimi menjelaskan, “Menurut DR. Abdul Akhir al-Ghunaimi, “Hadits
tersebut (man raa minkum munkaran...) menerangkan tingkatan yang ada
dalam mengubah kemunkaran, bukan menerangkan tahapan dalam mengubah kemunkaran,
sementara itu tahapan dalam mengingkari kemunkaran dimulai dengan membenci
kemunlaran tersebut didalam hati, lalu menasihati dengan lisan, lalu mengubah
dengan tangannya. Ada orang yang dapat mencapai tingkatan tertinggi yaitu
dengan membenci kemunkaran, dan menasehatinya dengan lisan serta mengubahnya
dengan tangan.”[35]
5.
Mendahulukan permasalah yang lebih penting dari yang
penting.
Mendahulukan (memulai dengan) perkara yang lebih penting
dari yang penting merupakan kaidah yang dengannya ada hukum wajib akan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar, hendaknya bagi sang muhtasib untuk membenahi dahulu
permasalahan ushul Aqidah, ia perintahkan untuk bertauhid dan mengikhlaskan
ibadah hanya untuk Allah semata, serta melarang untuk melaksanakan kemusyrikan,
kebid’ahan, dan sihir (sulapan). Baru kemudian diperintahkan untuk melaksanakan
shalat dan menunaikan zakat, kemudian kewajiban-kewajiban yang lainnya dan
meninggalkan hal-hal yang haram, kemudian menuju kepada yang sunnah dan
meninggalkan hal-hal yang makruh.[36]
6.
Mengetahui maslahat dan Mafasid.
Syariat Islam terbangun untuk menghasilkan maslahat serta
menyempurnakannya, dan juga menghilangkan mafsadah, meminimalisir hingga
meniadakannya. Oleh karena itu, ini merupakan kaidah penting dalam penerapan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah mengetahui Maslahat, maka menjadi syarat dalam
Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidaklah mengakibatkan mafsadat yang lebih besar atau
lebih besar dari kemunkaran itu sendiri.[37]
7.
Kokoh (tenang) dalam permasalahan dan tidak tergesa-gesa.
Hendaknya bagi seorang muhtasib dan Da’i untuk
kokoh (tenang) dalam segala kondisi dan segala urusan, tanpa disertai dengan
terburu-buru atau tergesa-gesa. Senantiasa memperhatikan kelemah lembutan dan
kesabaran dalam muamalah kepada orang-orang, baik ketika Memerintah (Amar
Ma’ruf) ataupun ketika melarang (Nahi Munkar). Ini merupakan hal yang harus
diperhatikan, baik seorang muhtasib ataupun seorang da’i.[38]
E.
Perihal Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada Penguasa.
Wulat al-Amr menurut syaikhul Islam ibnu Taimiyyah adalah orang yang
memiliki pengaruh ataupun kekuasaan dan apa yang dibawahnya, mereka adalah yang
memerintah (mengatur) manusia, maka didalamnya juga termasuk pada orang yang
memiliki pengaruh dan kekuatan, juga
ahli ilmu dan kalam.
Oleh karena itu, ulil Amri memiliki dua sisi,
yaitu umara’ itu sendiri, dan yang kedua adalah para ulama, ketika
mereka baik dan benar, maka baik dan benarlah manusia, dan jika mereka rusak
dan menyesatkan, maka semua oramg pun akan rusak dan disesatkan, mencakup
didalamnya adalah para raja, masyayikh, pejabat bagian, yang siapa saja yang
diikuti (untuk ditaati) adalah wulat al-Amr.[39]
Pertama, Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada para ulama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melakukan berbagai hal
dalam rangka amar Ma’ruf kepada para ulama dalam banyak hal. Yaitu ketika para
ulama yang menjadi rujukan umat tersebut melakukan kesalahan, baik itu fatal
ataupun tidak.[40]
Diantaranya adalah apa yang beliau lakukan terhadap ulama
dan Qadhi (Hakim) Mesir di zaman beliau,[41]
yang mengatakan akan anjuran melakukan perjalanan (yang berat serta
menyusahkan) guna berziarah kubur, ia jelaskan hal ini kepada hakim tersebut
akan kebatilan apa yang difatwakan tersebut.[42]
Beliau juga melakukan hal ini kepada sebagian ulama Ushul
Fiqh pada zaman beliau, yaitu sebagian ahli Ushul tersebut membangun dasar ilmu
Ushul dengan ushul Filsafat, sehingga mengingkari adanya tingkatan dalam
macam-macam kewajiban dan keharaman.[43]
Dan masih banyak lagi perihal yang beliau benahi dari para ulama masa tersebut
yang mengalami kesalahan.[44]
Kedua,
Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada para penguasa pemerintahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga melakukan amar ma’ruf
nahi munkar kepada penguasa pada zamannya. Yaitu kepada sebagian pemimpin bani
Ubaid dan ‘khilafah’ bani Buwaih yang dikenal dengan ke-zindikannya, beliau menjelaskan
atas apa yang menjadi kesesatan dan kesalahan mereka.[45]
Begitu juga yang beliau lakukan kepada para pemimpin yang
menyebarkan kesesatan dalam keyakinan, seperti khalqul Qur’an, Hulul,
dan Wihdatul Wujud.[46]
Dan juga ketika beliau melihat bahwa pemerintahan pada masa tersebut menjadikan
kaum Nashrani sebagai orang-orang yang mengurus urusan kaum muslimin atau dalam
artian bahwa mereka dijadikan sebagai pejabat dalam pemerintahan Islam. Karena
itu semua dapat menimbulkan fitnah bagi kaum muslimin.[47]
Dan juga yang beliau lakukan ketika menegur para penguasa
dan memotivasi mereka agar berani bertempur melawan pasukan Tatar.[48]
Bagaimana melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada
Penguasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan cara bagaimana
Amar Ma’ruf Nahi Munkar dilaksanakan kepada penguasa, tentunya berbeda dengan
yang selainnya, karena posisi dan kedudukan mereka. Ia memiliki kaidah-kaidah
yang harus diperhatikan terutama bagi pelaksana amal ini, diantaranya adalah,
-
Pertama, Mereka
adalah ulama pewaris para Nabi,[49]
sehingga untuk menghadapinya haruslah dengan adab-adab yang baik kepada mereka,
demi menjaga posisi dan kedudukan mereka, bahasa yang digunakan tidak membuat
mereka bingung, tidak menggunakan bahasa yang buruk namun mengandung kebenaran,
dan juga tidak menggunakan bahasa yang baik namun mengandung keburukan. Agar
pesan yang disampaikan benar dan sempurna.[50]
-
Kedua, Merealisasikan
perintah Allah dan Rasul-Nya dalam hal taat kepada Umara’ pada hal yang
bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, memberikan nasehat kepada mereka,
bersabar atas mereka, berperang bersama mereka, shalat dibelakang mereka, dan
itu semua merupakan dalam hal Ta’awun ‘ala al-Birri wa at-Taqwa. Oleh
karena itu Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada mereka pun disyariatkan. Dengan tidak
mengharapkan imbalan, harta, jabatan, ataupun menjual ayat-ayat Allah dengan
harga murah (penjilat).[51]
-
Ketiga,
seorang muhtasib hendaknya mengetahui, bahwa pandangan manusia kepada
penguasa terbagi menjadi dua, pertama adalah yang memandang kepada seluruh
perbuatan maksiat dari para penguasa tersebut, sehingga mereka mencela dan
marah terhadap penguasa-penguasa tersebut, kedua adalah yang memandang dari
segi berbagai kebaikannya (ketaatannya saja), sehingga menimbulkan rasa cinta
kepada mereka, mengutamakan mereka dalam hal kebaikan, bahkan yang lainnya
sampai jika para penguasa tersebut melakukan keburukan akan dianggap baik pula.[52]
Dengan itu ia dapat bersikap objektif dalam menyikapi kemunkaran yang ada.
-
Keempat,
bagi muhtasib hendaknya mengetahui dengan benar (begitu pula dengan
manusia pada umumnya) akan kewajiban taat kepada Allah, Rasulullah, dan Ulil
Amri baik yang berasal dari ulama maupun umara’, dalam segala kondisi selama
tidak dalam rangka maksiat kepada Allah dan rasul-Nya.[53]
-
Kelima,
hendaknya hal pertama muhtasib dalam amalnya kepada penguasa adalah tidak
dengan menggunakan tangan terlebih dahulu, walaupun itu merupakan tingkatan
yang paling utama, maka dimulai pada tingkatan yang paling rendah, yaitu
mengingkari dengan hati, baru kemudian melanjutkannya kepada tingkatan
diatasnya yaitu mengingkari dengan lisan. Bentuk mengingkari dengan lisan
adalah dengan memberikan keterangan dan pengertian dalam kemunkaran, kemudian
dilanjutkan dengan peringatan dan takhwif (penakutan atas Allah). Dalam
rangka memberikan nasehat ataupun teguran, hendaknya memperhatikan situasi dan
kondisi penguasa tersebut, karena bisa jadi ia disibukkan oleh perkara-perkara
yang menjadi tanggung jawabnya, dan tentunya dengan memperhatikan adab yang
ada.[54]
Wallahu a’lam bish Shawwab.
F. Kesimpulan.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada penguasa adalah perkara
yang harus dilakukan pada tipikal penguasa manapun, ia memiliki aturan yang
lebih ketat dari yang lainnya. Karena penguasa sendiri menjadi tolak ukur
kebaikan (kesejahteraan) suatu masyarakat, yang jika ditinggalkan sama sekali
akan berakibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Dan juga ketika dilaksanakan
namun tidak merata atau maksimal akan berakibat tidak baik bagi kehidupan
masyarakat.
Kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama
menjadi hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan amalan ini, amalan yang
tidak sembarang orang dapat melaksanakannya. Maka atas seluruh apa yang
dipaparkan semoga dapat membimbing bagi para muhtasibin dalam
melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar terutama kepada penguasa, Wallahu A’lam
bish Shawwab.
[1]
FPI merupakan singkatan nama dari sebuah ormas Islam yaitu Front Pembela Islam yang didirikan oleh Habib
Rizieq Syihab dan para ulama di Tangerang dan dideklarasikan pada tanggal 25
Rabiuts Tsani 1419 H bertepatan dengan 17 Agustus 1998 M di pondok Pesantran
Al-Umm, Ciputat, Tangerang. (www.FPI.or.id).
[2] MUI
atau Majelis Ulama Indonesia merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
mewadahi ulama, zu’ama, dan cendekiawan Islam di Indonesia untuk membimbing,
membina, dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. MUI berdiri pada
tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 H, di Jakarta,
Indonesia. (www.MUI.or.id).
[4] Ibrahim
Musthafa, Ahmad Hasan az-Zayat, Hamid Abdul Qadir, Muhammad Ali an-Najjar, Al-Mu’jam
al-Wasith, (Istambul, al-Maktabah al-Islamiyyah, 1392 H), Cet. II, vol. 1.
Hlm. 26.
[5] Ali
bin Abdul Kafi as-Subki, Al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj ‘ala Minhaj al-Wushul
ila Ilmi al-Ushul lil Baidhawi, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H),
vol. 1. Hlm. 221.
[7] Nashir
Khalil Muhammad Abu Diyah, Adh-Dhawabith al-Fiqhiyyah li al-Amru bil Ma’rufi
wa an-Nahyu ‘anil Munkar, (Universitas an-Najah al-Wathani, Gaza). Hlm. 16.
[8] Ali bin Abdul Kafi as-Subki, Al-Ibhaj
fi Syarh al-Minhaj ‘ala Minhaj al-Wushul ila Ilmi al-Ushul lil Baidhawi,
(Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H) vol. 1. Hlm. 221.
[10] Ibnu Atsir, An-Nihayah
fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, (Beirut, Al-Maktabah Al-Ilmiyyah, tt),
vol. 5. Hlm. 115.
[11] Sulaiman bin
Abdurrahman al-Huqail, Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar fi
Dhaui Kitabillah. Hlm. 21.
[12]
Nashir Khalil Muhammad Abu Diyah, Adh-Dhawabith al-Fiqhiyyah li al-Amru bil
Ma’rufi wa an-Nahyu ‘anil Munkar, (Universitas an-Najah al-Wathani, Gaza, tt)
Hlm. 19.
[13] Abdullah bin
Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-Udzma ‘inda Ahlu As-Sunnah wa
Al-Jamaah, (Riyadh, Dar Thayyibah, tt). Hlm. 28.
[14]
KBBI offline.
[15] Muhammad bin Abdullah al-Mas’ari, Tha’atu Ulil Amri
Hududuha wa Quyuduha, (London, Lajnah ad-Difa’ ‘an al-Huquq asy-Syar’iyyah,
1423H) cet. III. Hlm. 15. Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah, vol. 1, hlm. 29.
[16] Muhammad
bin Abdullah al-Mas’ari, Tha’atu Ulil Amri Hududuha wa Quyuduha,
(London, Lajnah ad-Difa’ ‘an al-Huquq asy-Syar’iyyah, 1423H) Cet III, hlm. 15.
[17] Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’
ash-Shahih / Shahih Muslim, (Dar al-Afaq al-Jadidah, tt), no. 70, vol. 1,
hlm. 167.
[18]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Riyadh, Bait al-Afkar,
1419 H), nomor. 19033. Hlm. 1376. An-Nasa’i, As-Sunan al-Kubra li an-Nasa’i,
(Maktabah Syameela), no. 7834, vol. 4, hlm. 435. Muhammad bin Yazid Ibnu Majah
al-Qazwani, Sunan Ibnu Majah, (Riyadh, Dar as-Salam, 1999 M), Cet. I,
kitab al-Fitan, no. 4012, vol. 5, hlm. 144. Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih
Sunan Ibnu Majah, (Riyadh, Maktabah Al-Ma’arif, 1417 H), vol. 2, hlm. 62.
[19] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Ithraf al-Musnid al-Muta’ali bi Athraf al-Musnad
al-Hanbali, (Damaskus, Dar Ibnu Katsir, tt), vol. 8. Hlm. 221.
[20] Ibnu
Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhajul Qashidin, (Alexandria, Dar
al-Aqidah, 2005 M), cet I. hlm.
123.
[21] Muhammad
bin Muflih al-Maqdisi, al-Adab asy-Syar’iyyah, (Beirut, Mu’sasah
ar-Risalah, 1417 H), Cet. II., vol. 1. Hlm. 197.
[23] Qawaid
Muhimmah fi al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar fi Dhaui al-Kitab wa
as-Sunnah, hlm. 9-10.
[25] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fath al-Baari, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1410 H),
Cet. I. Vol. 1. Hlm. 211.
[26] Hamud bin
Ahmad ar-Ruhaili, Qawaid Muhimmah fi al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an
al-Munkar fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, ( Madinah, Universitas Islam
Madinah, tt). hlm. 11.
[27] Hamud bin
Ahmad ar-Ruhaili, Qawaid Muhimmah fi al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an
al-Munkar fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, ( Madinah, Universitas Islam
Madinah, tt), hlm. 12-13.
[28]
Orang yang melaksanakan amal Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
[29]
Mujaharah merupakan orang-orang yang melakukan kemaksiatan (keburukan) dimalam
hari sedangkan Allah menutupi perbuatannya tersebut, namun ketika siang hari ia
membongkarnya sendiri.
[32] Muslim bin
Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ash-Shahih / Shahih Muslim,
(Dar al-Afaq al-Jadidah, tt), no. 70, vol. 1, hlm. 167.
[33] Hamud bin
Ahmad ar-Ruhaili, Qawaid Muhimmah fi al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an
al-Munkar fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, ( Madinah, Universitas Islam
Madinah, tt), hlm. 21-31.
[37]
Ibid, hlm. 35.
[38]
Ibid, hlm. 41.
[39] Naji
bin Hasan bin Shalih Hudhairi, Al-Hisbah an-Nadzariyyah wa al-‘Amaliyyah
‘inda Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (Riyadh, Dar al-Fadhilah, 2005 M)
Cet. I. Hal. 261.
[42] Ahmad bin
Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, (Al-Majlis al-Islami al-Asiawi Lajnah Dakwah
wa at-Ta’lim, 1417 H), vol. 27. hlm. 215-220.
[43] Naji
bin Hasan bin Shalih Hudhairi, Al-Hisbah an-Nadzariyyah wa al-‘Amaliyyah
‘inda Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (Riyadh, Dar al-Fadhilah, 2005 M)
Cet. I. Hlm. 264.
[47] Naji
bin Hasan bin Shalih Hudhairi, Al-Hisbah an-Nadzariyyah wa al-‘Amaliyyah
‘inda Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (Riyadh, Dar al-Fadhilah, 2005 M)
Cet. I. hlm. 266.
[52] Naji
bin Hasan bin Shalih Hudhairi, Al-Hisbah an-Nadzariyyah wa al-‘Amaliyyah
‘inda Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (Riyadh, Dar al-Fadhilah, 2005 M)
Cet. I, hlm. 285.
0 komentar:
Posting Komentar