Oleh : Kusumo
I.
Pendahuluan
Sebagai sebuah peradaban yang pernah berjaya di muka bumi—dan insya Allah
akan kembali berjaya—Islam tentulah memiliki khazanah kesenian yang luar biasa
hebat. Peninggalan-peninggalan berupa istana, kaligrafi, masjid, dan lain sebagainya, terserak di seluruh penjuru negeri. Kemegahannya pun masih bisa membuat kita menelan ludah seraya
memuji Allah yang telah mengaruniakan Islam kepada umat manusia. Hal tersebut
sekaligus membuktikan bahwa Islam yang dianggap oleh orang Barat mematikan jiwa
seni manusia hanyalah omong kosong belaka.
Pada awal abad
19, di dunia Barat berkembang sebuah konsep “seni untuk seni” yang membuat seorang
seniman melepas selimut keagamaannya menuju ke alam cipta ekspresi pribadi yang
luas, bebas, dan bahkan absolut. Slogan yang mereka anut adalah “l’art pour
l’art” yang mengemukakan teori otonom bahwa seni tidak perlu mengabdi pada
sesuatu apapun di luar dirinya seperti pertimbangan moral, politik, sosial,
maupun budaya. Pemikiran tersebut pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf
Perancis bernama Victor Cousin.[1]
Dogma semacam
ini sudah barang tentu bertentangan dengan konsep Islam yang memberikan batasan
dalam dunia seni dimana norma-norma agama dan susila selalunya diindahkan.
Sebab, betapa banyak orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan karena gambar
dan patung yang salah diartikan. Sebagaimana kaum Nabi Nuh alaihis salam, yang
pada awalnya hanya membuat gambar serta patung orang-orang shalih sebagai
pengingat dan penyemangat, namun justru tersesat karena kemudian menganggapnya
sebagai sesembahan.[2]
Bahkan, saat
ini masih kita jumpai orang-orang yang sebenarnya telah memahami Islam, mereka
secara sadar ataupun tidak sadar telah terjerumus ke dalam penghormatan dan
pengagungan yang berlebihan kepada orang shalih. Hal itu terlihat dengan
lukisan atau foto para ulama yang menghiasi dinding-dinding rumah mereka. Entah
apa tujuan pastinya, perbuatan tersebut yang jelas serupa dengan tindakan kaum
Nabi Nuh sebagaimana telah disebutkan. Maka, inilah yang memahamkan kita betapa
pentingnya batasan-batasan dalam seni dan estetika.
Selain daripada
itu, asimilasi budaya dengan bangsa lain telah menjadikan sebagian umat Islam
berlebihan di dalam mengeksplorasi kreatifitasnya dan melewati batas-batas yang
telah ditentukan syari’at. Sehingga, penting bagi kita untuk mengetahui sejauh
mana Islam memberikan aturan di dalam kita berkarya seni, terutama dalam urusan
gambar dan patung yang dalam musthalahat fikih dikenal dengan istilah tashwir.
Tujuannya, adalah agar kita tidak melanggar norma-norma syar’i dan jatuh ke
dalam kesyirikan, sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh dan orang-orang
Nasrani yang menyembah gambar serta patung. Maka, semoga tulisan yang jauh dari
sempurna ini setidaknya akan mampu memberikan
kepada kita frame syar’i di dalam persoalan tashwir.
II.
Definisi
Jika merujuk kepada kitab-kitab bahasa yang telah di tuliskan oleh para
ulama, maka akan didapatkan bahwa tashwir merupakan hasil derivasi dari
lafal صوّر- يصوّر yang berarti membuat bentuk atau gambar.[3] Agar
didapatkan pemahaman yang integral, maka harus dipahami terlebih dahulu makna
lafal الصور dan atau الصورة
yang berkaitan dengan persoalan tersebut.
Mengenai makna ash-shuwar para ulama memiliki beberapa pandangan, sebagian
menyatakan bahwa ash-shuwar merupakan bentuk
plural dari kata shurah yang berarti bentuk, gambar, atau makhluk.[4] Hal itu berlandaskan firman
Allah dalam surat Ghafir ayat 64 {و صوركم فأحسن صوركم} yang artinya : “dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu”.
Adapun Ibnu Faris[5] berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan shurah adalah seluruh makhluk yang telah
Allah bentuk dan ciptakan.[6] Allah berfirman di dalam surat Al-Infithar ayat 7-8 {الذي خلقك فسوَك فعدلك * في أي صورة ما شاء ركبك} Artinya
: “Allah yang telah menciptakan lalu menyempurnakan kejadianmu dan
menjadikan susunan tubuhmu seimbang, dalam bentuk apa saja yang dia kehenndaki,
Dia menyusun tubuhmu.
Sedangkan menurut ulama lainnya, shurah merupakan sebuah ungkapan
yang digunakan untuk menyebut patung dan gambar sekaligus tanpa membedakan
keduanya.[7] Maka dari
seluruh pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan shurah
adalah seluruh gambar makhluk yang berbentuk patung maupun
gambar. Sehingga, akan dapat dipahami bahwa secara etimologi, tashwir
diartikan sebagai tindakan berkreasi atau membuat bentuk tiruan dari makhluk ciptaan
Allah, baik berupa karya 2 dimensi (gambar) maupun 3 dimensi (patung).[8]
Adapun definisi menurut istilah syar’i, di dalam khazanah ilmu fikih para
ulama memiliki dua pendapat mengenai makna tashwir.
Pertama, tashwir secara istilah memiliki makna sama dengan apa yang bisa dipahami dari tinjauan kebahasaan.[9]
Kedua, tashwir memiliki beberapa bentuk, yang antara satu dengan lainnya berbeda di dalam metode, alat, serta hasil akhir yang
diperoleh. Hal mana dengan
perbedaan tersebut, menjadikannya tidak mungkin untuk dikumpulkan di dalam satu istilah dan
pengertian saja.
Sehingga untuk memahami makna tashwir sesuai dengan
terminologi fikih, harus
dilakukan perincian terlebih dahulu baru kemudian pemaknaan.[10] Maka, tashwir akan terklasifikasi ke dalam tiga istilah
dengan definisinya masing-masing. Pertama, at-tashwir al-mujasam, yaitu membuat
tiruan dari makhluk ciptaan Allah yang memiliki
tinggi, panjang, dan lebar (patung). Kedua, at-tashwir al-yadawi, yaitu menggambar
seseorang atau sesuatu dengan tangan dan alat tulis. Ketiga adalah at-tashwir
al-futughrafi, yaitu membuat gambar dengan alat-alat fotografi.[11]
Terlepas dari perbedaan tersebut, secara umum pengertian tashwir baik
menurut etimologi maupun terminologi pada dasarnya
tidaklah memiliki perbedaan.
Yaitu berkreasi atau
membuat bentuk tiruan dari makhluk ciptaan Allah, baik berupa karya 2 dimensi
(gambar) maupun 3 dimensi (patung).[12] Hanya saja, sebagian ulama lebih memilih untuk memerincinya
menjadi beberapa pengertian yang disesuaikan dengan konteks masing-masing.
III.
Macam-macam Tashwir
Setelah memahami makna tashwir baik secara bahasa maupun istilah,
perlu diketahui bahwa tashwir memiliki tiga kategori, dimana setiap
kategorinya memiliki sub-sub tersendiri. Pertama, berdasarkan cara pembuatannya yang kemudian dikelompokkan menjadi
dua, tashwir al-yadawi dan tashwir al-aliy. Kedua,
berdasarkan output jenis gambar yang dihasilkan, maka bisa berupa tashwir al-mujasam dan
atau tashwir al-musathah. Ketiga, berdasarkan objeknya yang terbagi menjadi dua
yaitu shuwar dzawati al-arwah dan shuwar ghairu dzawati al-arwah.
Kategori pertama didasarkan pada
metode ataupun cara yang digunakan. Metode paling konvensional disebut dengan tashwir
al-yadawi yaitu tashwir yang dilakukan oleh seseorang dengan
menggunakan tangannya secara langsung. Artinya bahwa di dalam membuat suatu
gambar ataupun patung, dia menggunakan alat-alat tradisional yang membutuhkan
keahlian tangan dari pengguna. Alat-alat tersebut bisa berupa
pena, pensil, gergaji, pahat, ataupun yang sejenisnya.[13] Karya yang akan dicapai dengan metode klasik seperti ini biasanya berbentuk sebuah gambar datar 2 dimensi atau bisa juga berupa patung yang memiliki tinggi, volume, lebar, dan
bentuk yang menyerupai aslinya.[14]
Metode yang
berkembang belakangan dinamakan tashwir al-aliy, yaitu tashwir yang dilakukan dengan menggunakan alat-alat modern seperti kamera dan
sebagainya. Dimana keahlian tangan seseorang tidaklah terlalu berarti dalam
proses pembuatan gambar, sebab semua proses tersebut hampir secara keseluruhan
telah diambil alih oleh mesin.[15] Jenis
inilah yang saat ini paling berkembang di seluruh lapisan masyarakat, baik anak-anak,
remaja, maupun dewasa. Baik hal itu digunakan untuk urusan yang remeh temeh,
hingga untuk kepentingan keamanan negara.[16]
Diantara yang masuk dalam kategori tashwir al-aliy adalah segala hal berkaitan dengan fotografi,
sinematografi, hingga rontgen dan ultrasonografi atau USG dalam kedokteran.[17]
Kategori kedua, mengacu kepada jenis gambar yang dihasilkan. Dalam hal ini terdapat dua jenis benda yang akan dihasilkan dari proses tashwir.
Terkadang berbentuk tashwir al-mujasam (3 dimensi), yaitu seluruh patung
yang memiliki volume, bentuk yang bisa disentuh ataupun dirasakan, dan akan
memiliki bayangan jika disinari dengan cahaya.[18] Biasanya di dalam bahasa Arab disebut dengan tamatsil.[19] Atau bisa juga berbentuk tashwir
al-musathah[20] (2 dimensi), yaitu seluruh gambar yang dibuat pada media datar
(kertas, kain, ataupun tembok) dan tidak memiliki volume. Baik hal itu
dihasilkan oleh alat-alat modern seperti kamera, maupun dari usaha yang dilakukan seseorang dengan menggunakan pensil, kuas, dan sebagainya.[21]
Kategori
ketiga, pembagian
jenis tashwir dilakukan menurut objek yang disasar. Hanya ada dua objek
besar yang bisa dilukiskan ataupun dipatungkan di dalam dunia ini. Pertama
adalah shuwar dzawati al-arwah yaitu seluruh makhluk Allah yang
bernyawa, baik itu manusia maupun hewan-hewan yang hidup di muka bumi.[22]
Kedua, shuwar ghairu dzawati al-arwah yaitu tashwir yang objeknya
adalah makhluk Allah yang tidak memiliki ruh. Seperti pepohonan, gunung,
matahari, bulan, rumah, kapal, dan lain sebagainya.[23]
IV.
Hukum Tashwir
Syari’ telah
menggariskan batasan-batasan di dalam perkara tashwir yang sudah seharusnya tidak boleh kita langgar. Aturan tersebut di turunkan Allah ta’ala kepada
Rasululullah salallahu ‘alaihi wa salam yang kemudian direduksi oleh
para ulama untuk menjaga manusia dari ketergelinciran menuju jurang kekufuran.
Secara garis besar, hukum-hukum mengenai tashwir berkutat kepada perkara menggambar atau memahat dengan objek makhluk tidak
bernyawa dan makhluk bernyawa. Hanya saja,
pada era modern seperti saat ini telah muncul dan berkembang teknik fotografi sebagai bentuk baru transformasi metode pembuatan gambar.
Sehingga, persoalannya melebar kepada hukum fotografi.
A. Tashwir makhluk tidak bernyawa
Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa menggambar benda-benda yang kita
diperbolehkan untuk membuatnya, seperti meja, kursi, rumah, dan sebagainya
adalah dibolehkan oleh syari’at.[24] Dengan
catatan bahwa hal tersebut tidak menyibukkan diri dari kewajiban dan tanggung
jawab sebagai seorang hamba. Sebab, segala jalan yang mengantarkan kepada
sesuatu yang dilarang adalah terlarang untuk dilalui dan lebih baik
ditinggalkan walaupun hukum asalnya adalah boleh. Namun, perlu digaris bawahi
bahwa letak pelarangannya bukan pada perbuatan itu sendiri, melainkan pada
konsekuensi yang akan ditimbulkan dari perbuatan tersebut.[25]
Pernyataan diatas senada dengan pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa tashwir benda-benda buatan
manusia yang tidak bernyawa serta benda-benda langit maupun bumi seperti pohon,
bulan, dan bintang adalah diperbolehkan.[26] Dalilnya, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan atsar dari beliau radhiyallahu’anhu.
((كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ يجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا
نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ )) وَقاَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا: إِنْ كُنْتَ لاَ بُدَّ فَاعِلاًفاَصْنَعِ الشَّجَرَ وَمَا لاَ نَفْسَ
لَهُ
Artinya
: ((Setiap pelukis tempatnya adalah di Neraka, dijadikan oleh Allah setiap gambar yang dibuatnya memiliki jiwa yang kemudian menyikasanya di Neraka Jahanam.)) Ibnu
Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata : “Jika kamu harus melakukannya maka buatlah pohon dan apa-apa yang tidak
bernyawa.”[27]
B. Tashwir makhluk bernyawa
Madzhab Maliki dan beberapa ulama salaf seperti Ibnu Hamdan dari kalangan
Hanabilah, berpendapat bahwa tashwir adalah diharamkan ketika terpenuhi
beberapa kriteria sebagai berikut:[28]
Pertama, jika shurah yang dibuat adalah patung tiruan 3 dimensi dari hewan
ataupun manusia, bukan gambar di kertas, tembok, ataupun kain. Sebab, sebagian
mereka membolehkan gambar-gambar 2 dimensi pada karpet, pakaian, dan sejenisnya.[29]
Kedua, memiliki anggota tubuh yang sempurna, dimana secara akal sehat tidak mungkin bagi manusia maupun hewan
bisa tetap hidup jika kehilangan bagian tersebut.[30]
Seperti jika berlubang perutnya, hilang kepalanya, ataupun hanya setengah badan
saja (dari kepala
hingga dada/patung
torso). Maka yang seperti itu adalah tidak haram,
sebab secara rasional tidak mungkin bisa hidup.[31]
Ketiga, terbuat dari bahan yang tahan lama seperti besi, emas, batu, dan
sebagainya. Dimana ketika shurah tersebut dibuat dari bahan yang
sementara seperti es, dan lainnya, maka tidak diharamkan. Namun, Syafi’iyah
berpendapat bahwa membuat patung yang terbuat dari benda tersebut tetap
dihukumi haram.
Adapun jumhur ulama kecuali Malikiyah, secara umum bersepakat
mengenai keharaman tashwir atas makhluk yang bernyawa, baik berbentuk
patung ataupun gambar.[32]
Hal itu berlandaskan pada sunnah-sunnah Nabawiyah yang menjelaskan keharamannya
dan ancaman bagi para mushawir. Dimana derajat keshahihan hadits-hadits
tersebut, beberapa telah mencapai tingkatan mutawatir yang bisa dipastikan
kebenarannya. Berikut hadits-hadits yang disebut oleh Ibnu Al-‘Arabi sebagai Ummahatu
al-Ahadits dalam perkara tashwir.[33]
- عنِ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
قَالَ : (( إِنَّ الَّذِيْنَ يَصْنَعُوْنَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُوْنَ
يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَيُقَالُ لَهُمْ :أَحْيُوْا مَا خَلَقْتُمْ )) (رواه البخاري
ومسلم وأحمد)
Artinya : Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma
berkata: Bahwasanya Rasulullah sallahu 'laihi wa sallam bersabda : ((Mereka yang membuat gambar akan disiksa pada hari
kiamat dan akan dikatakan kepada mereka : Hidupkanlah dari apa yang telah kamu
buat itu!)) HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad.[34]
- عَنْ
أَبِي طَلْحَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قاَلَ: ((لاَ
لتَدْخُلُ اْلمَلاَئِكَةُ بَيْتاً فِيْهِ كَلْبٌ وَ صُوْرَةٌ )) (رواه البخاري
ومسلم والترمذي)
Artinya : Dari Abu
Thalhah radhiyallahu
'anhuma, dari Nabi sallahu 'alaihi wa sallam
bersabda : ((Para Malaikat tidak akan
masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.)) HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi[35]
- عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ، قَالَتْ: كَانَ لَنَا سِتْرٌ فِيهِ تِمْثَالُ طَائِرٍ،
وَكَانَ الدَّاخِلُ إِذَا دَخَلَ اسْتَقْبَلَهُ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((حَوِّلِي هَذَا، فَإِنِّي كُلَّمَا دَخَلْتُ فَرَأَيْتُهُ
ذَكَرْتُ الدُّنْيَا))
(رواه مسلم)
Artinya : Dari ‘Aisyah
radhiyallahu 'anha berkata : Kami mempunyai tabir yang bergambar seekor
burung menghadap tepat kepada orang yang memasuki ruangan. Lantas suatu ketika
Rasulullah sallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku : ((Pindahkanlah tabir tersebut, sebab
ketika aku memasuki rumah dan melihatya aku teringat akan dunia.)) HR. Muslim [36]
- عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
قَالَتْ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ سَهْوَةً
لِي بِقِرَامٍ فِيْهِ تَمَاثِيْلُ فَلَمَّا رَآهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ تَلَوَّنَ وَجْهُهُ وَقَالَ :(( يَا
عَائِشَةُ أَشَدُّ النّاَسِ عَذَاباً يَوْمَ اْلقِيَامَةِ الَّذِيْنَ
يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ )) فَقَطَعْنَاهُ فَجَعَلْنَا مِنْهُ وِسَادَةً أَوْ
وِسَادَتَانِ (رواه البخاري)
Artinya : Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata,”Rasulullah sallahu 'alaihi wa sallam datang dari bepergian, sedang di dalam rumah
aku memasang tabir yang ada gambarnya, maka tatkala Rasulullah melihatnya
berubahlah wajah beliau serambi bersabda,((Wahai ‘Aisyah ketahuilah bahwa
manusia yang paling berat siksaanya pada hari kiamat adalah mereka yang
menyaingi ciptaan Allah.)) Kemudian
kami memotongya dan kami jadikan darinya satu bantal atau dua bantal.” HR.
Al-Bukhari[37]
- عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّهَا أَخَبَرَتْهُ أَنَّهَا اشْتَرَتْ نُمْرُقَةً فِيْهَا
تَصَاوِيْرُ فَلَمَّا رَآهَا رَسُوْلُ اللهِ قَامَ عَلَى اْلبَابِ فَلَمْ يَدْخُلْ
فَعَرَفْتُ فِي وَجْهِهِ اْلكَرَاهَةَ
فَقُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ أَتُوْبُ إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُوْلِهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَاذَا أَذْنَت ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: ((مَابَالُ هَذِهِ
النُّمْرُقَةِ ؟ قُلْتُ: اشْتَرَيْتُهَالَكَ لِتَقْعُدَ
عَلَيْهَا وَ تُوَسِّدَ بِهَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ
اْلقِيَامَةِ يُعَذَّبُوْنَ فَيُقَالُ لَهُمْ: اَحْيَوْا مَا خَلَقْتُمْ وَقَالَ:
إِنَّ اْلبَيْتَ الَّذِيْ فِيْهِ الصُّوْرَةُ لاَ تَدْخُلُهُ اْلمَلاَئِكَةُ)) (رواه البخاري ومسلم)
Artinya : Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasanya dia
membeli kain yang bergambar, maka tatkala Rasulullah salallahu ‘alaihi wa salam
melihatnya nampaklah rasa tidak suka pada dirinya. Kemudian aku
bertanya kepadanya,” Wahai Rasulullah aku bertaubat kepada Allah Ta'ala dan
rasul-Nya, dosa apakah yang telah aku perbuat. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ((Ada apa dengan kain ini ? Aku berkata: Aku membelinya agar engkau bisa duduk dan
bersandaran di atasnya. Kemudian beliau bersabda, ((Sesungguhnya mereka yang membuat gambar ini akan
disiksa pada hari kiamat dan dikatakan
kepada mereka,” Hidupkanlah dari apa yang telah kamu buat.”)) Dan sabdanya pula, ((Sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada
gambar, maka tidak akan dimasuki para Malaikat.)) HR. Al-Bukhari, Muslim[38]
Berlandaskan
hadits-hadits tersebut, ulama kemudian menyimpulkan ‘illat[39] pengharaman tashwir. Dimana
pengetahuan terhadap ‘illat hukum tersebut akan menentukan apakah suatu
hukum dapat direntangkan kepada yang lain ataukah tidak.[40]
Berikut adalah ‘illat pengharaman tashwir yang telah diistinbathkan oleh para ulama.
Pertama, adanya penyamaan terhadap sifat Allah Yang
Maha Pencipta dan penyerupaan antara perbuatan manusia dengan perbuatan Khaliq. Sehingga, siapa saja yang menggambar makhluk bernyawa ia telah melakukan suatu
perbuatan yang dilarang karena manandingi sifat Allah ta’ala dan akan mendapat adzab dari-Nya. Allah berfirman {إن الذين يؤذون الله و رسوله
لعنهم الله في الدنيا و الأخرة و أعد لهم عذابا مهينا} Ikrimah
berkata bahwa ayat tersebut turun untuk menegur para mushawir atau
pembuat gambar dan patung.[41]
Adapun jika seseorang
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari rezeki atau hanya sekedar iseng saja,
maka dia telah melakukan suatu kemaksiatan yang akan menjerumuskannya ke dalam
dosa besar.[42] Sebab, telah menampakkan perbuatan yang
seharusnya hanya milik Allah saja.
Hal itu berbeda ketika seseorang melakukan tashwir
dengan niat di dalam hatinya untuk menyamai sifat Allah dan menandingi-Nya, maka
dia telah melakukan kekufuran yang layak mendapatkan adzab dari-Nya sebagaimana telah dikabarkan oleh
Rasulullah.[43] ‘Illat tersebut
oleh mayoritas ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan ulama-ulama
mu’ashirin telah disepakati keberadaanya.[44]
Kedua, tashwir makhluk yang bernyawa merupakan sarana menuju
perbuatan ghuluw kepada selain Allah, baik dengan beribadah kepada
gambar (patung) tersebut ataupun dengan mengagungkannya.[45]
Hal ini telah terjadi pada masa Nabi Nuh ‘alaihis salam, dimana
kaum Nabi Nuh saat itu telah banyak yang terjerumus kedalam kemusyrikan disebabkan
sikap ghuluw mereka terhadap orang-orang shalih.
Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan wadd, suwa’, yaghuts, ya’uq, dan
nasr berkata,”Nama-nama itu adalah nama orang-orang shalih dari kaum
Nabi Nuh ‘alaihis salam. Hingga ketika mereka semua telah meninggal
dunia, setan mewahyukan kepada orang-orang setelahnya agar memasang gambar atau
patung orang-orang shaleh tersebut di tengah-tengah majelis yang biasa
dilakukan. Pada awalnya mereka tidak melakukan penyembahan, namun seiring
berjalannya waktu dan hilangnya ilmu, anak keturunan mereka akhirnya beribadah
kepada gambar dan patung tersebut.”[46]
Atsar Ibnu ‘Abbas tersebut memiliki landasan dari hadits Rasulullah yang berbunyi :
(إنَ أولئك كانوا إذا كان فيهم الرجل الصالح
فمات بنوا على قبره مسجدا, و صوروا فيه تلك صور)))
رواه البخاري
Artinya : “Sesungguhnya, jika ada seorang shalih di antara mereka yang
meninggal dunia, maka akan dibangun diatas kuburannya masjid, dan akan digambar
padanya gambaran orang shalih tersebut.”[47]
Namun, apakah ta’lil dengan ‘illat tersebut akan tetap terpakai hingga hari kiamat kelak ? Ataukah hanya pada masa awal
Islam saja, yang pada saat itu banyak para penyembah berhala, gambar, maupun
patung ? Atau sudah dihapuskah ‘illat tersebut ketika Islam telah
menyebar luas, pun akidah telah tertancap di dalam hati para pemeluknya ?
Jumhur ulama mengatakan bahwa, ‘illat tashwir sebagai wasilah
kepada perbuatan ghuluw terhadap selain Allah tetap ada dan akan terus ada
seiring berjalannya waktu. Hal itu sama sekali tidak terikat oleh tempat
ataupun zaman tertentu, sebab nash-nash Nabawiyah telah menyebutkan ‘illat
tersebut dengan tanpa adanya taqyid apapun. Selain itu, penyebutan keharaman
tashwir banyak yang disandingkan dengan perkara-perkara ukhrawi, seperti
pembebanan kepada mushawir (pembuat gambar/patung) untuk meniupkan ruh
kepada apa yang telah ia buat kelak di akhirat. Sehingga tidak mungkin perkara
tersebut dikatakan telah dihapuskan.[48]
Ketiga, membuat gambar atau patung makhluk yang bernyawa adalah perbuatan yang
diharamkan dan merupakan tasyabuh (menyerupai) kepada mereka yang
menjadikan gambar dan patung sebagai sesembahan.[49]
Hal itu karena orang-orang musyrik dari golongan Yahudi maupun Nasrani mereka
terbiasa membuat gambar-gambar dan juga patung untuk dijadikan sebagai perantara
bagi Allah dan makhluk-Nya.[50]
Sebagai sebuah agama yang lurus, Islam datang dan melarang para pemeluknya
untuk menyerupai orang-orang musyrik dalam perbuatan dan kehidupan mereka, baik disertai dengan
niat maupun tidak. Hal itu adalah sebagai saddu dzari’ah atau penutup
jalan agar umat Islam tidak terjerumus kepada kesyirikan sebagaimana orang-orang
kafir telah terperosok jauh kedalam kesesatan.[51]
Kemudian, kesesuaian perilaku seorang Muslim dengan orang-orang musyrik, cepat atau lambat dan disadari maupun tidak akan menumbuhkan perasaan suka
di dalam hati. Hingga pada gilirannya nanti, akan menjerumuskan seseorang kepada hal yang dibenci bahkan
dilarang oleh Allah ta’ala. Itulah yang kemudian menjadikan kita senantiasa meminta hidayah kepada
Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus. [52]
Keempat, sesungguhnya Malaikat akan terhalang untuk memasuki rumah yang di
dalamnya terdapat gambar atau patung makhluk bernyawa. ‘Illat ini
disebutkan oleh Rasulullah dengan sabda beliau ((إنَ الملائكة لا تدخل بيتا فيه صورة)) Yang artinya : “Sesungguhnya
Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat shurah.”[53] Al-Khatabi
mengatakan bahwa Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat
gambar makhluk bernyawa yang tidak terpotong kepalanya (dalam keadaan sempurna)
dan gambar-gambar selain yang dihinakan.[54]
Sebagian ulama menerima dan menyebutkan ‘illat tersebut,[55] dan sebagian lagi menolaknya. Salah satu yang tidak menerima adalah ulama dari kalangan Hanabilah.
Mereka mengatakan, “Nash-nash yang mengabarkan bahwa Malaikat tidak akan
memasuki rumah yang terdapat gambar di dalamnya tidak serta merta menunjukkan
keharaman tashwir. Sebab, Malaikat juga tidak memasuki rumah yang di
dalamnya terdapat orang junub, sebagaimana di dalam hadits, dan janabah
bukanlah sesuatu yang dilarang.Sehingga, keadaan Malaikat yang terhalang untuk
masuk disebabkan karena terdapat sesuatu yang diharamkan, bukan sebaliknya.
Maka, hal tersebut bukanlah ‘illah, melainkan dampak dari adanya shurah
yang diharamkan.[56]
Kelima, terdapat tabdzir (pemborosan) harta yang dimiliki. Sebab,
mengeluarkan harta untuk urusan tashwir ataupun membeli shurah
bukan karena kondisi mendesak dan tidak ada maslahat di dalamnya,
merupakan suatu perbuatan tabdzir dan berlebihan meskipun harta yang
dikeluarkan sedikit saja. Dan berlebih-lebihan atau israf tidak hanya
terletak pada berapanya saja, melainkan juga pada bagaimana dan untuk apa harta
itu dikeluarkan.
Oleh sebab itu, menginfakkan harta pada sesuatu yang tidak disyari’atkan
bisa disebut dengan israf dan tabdzir walaupun hanya sedikit yang
dikeluarkan. Pun sebaliknya, ketika seseorang mengeluarkan banyak hartanya di
jalan ketaatan kepada Allah, maka hal itu tidak disebut sebagai israf
dan tabdzir.[57]
Adapun sebagai pengecualian, jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah,
serta ulama muta’akhir dari Hanabilah, mengatakan tentang bolehnya membuat
ataupun membeli mainan tradisional untuk anak kecil, baik berbentuk hewan
ataupun makhluk hidup lainnya.[58] Sedangkan,
mainan yang terbuat dari plastik dan sejenisnya terdapat perbedaan
pendapat. Sebagian membolehkan, diqiyaskan dengan mainan milik ibunda ‘Aisyah
r.a, dan yang lain melarangnya karena memiliki bentuk yang bisa sama persis
dengan manusia ataupun hewan.
Sedangkan yang tersebut
di dalam hadits hanya menyerupai saja dan tidak sama sepenuhnya.
Demikianlah pandangan ulama mengenai haramnya menggambar atau membuat
patung manusia dan hewan. Namun begitu, larangan di atas bukanlah larangan secara mutlak yang
sama sekali tidak ada toleransi di dalamnya. Sebab, sebagian ulama Malikiyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa tashwir itu dibolehkan dengan syarat
sebagaimana yang telah disebutkan di awal.
C. Tashwir Fotografi
Fotografi mulai dikenal sejak tahun 1839 M dan diperkenalkan pertama kali
oleh seorang berkebangsaan Inggris bernama William Henry Fox.[59] Hingga
saat ini, fotografi menyebar dengan sangat luas di tengah masyarakat dunia,
karena kebutuhan akannya dan kemudahan di dalam menggunakannya. Adapun di dalam
Islam, ulama berbeda pendapat mengenai hukum tashwir dengan menggunakan
alat fotografi, sebagian mengharamkan kecuali dalam keadaan darurat, dan yang lain membolehkan dengan syarat.
Pendapat pertama menyatakan keharaman fotografi karena termasuk dalam jenis tashwir dengan
tangan.[60]
Hanya dibolehkan ketika dalam kondisi darurat atau diperkirakan akan memberikan
maslahat bagi kaum Muslimin secara luas. Hal itu seperti penggunaan foto
pada kartu tanda penduduk, untuk kepentingan keamanan dengan menyebarkan foto
penjahat, dan lain sebagainya yang masuk dalam kategori darurat dan atau
menimbulkan maslahat.
Ulama yang berpendapat demikian diantaranya adalah Syaikh Muhammad bin
Ibrahim, Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan
ulama lainnya dari anggota Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa
Al-Ifta’. Dalil-dalil yang mereka gunakan adalah :
-
Sesungguhnya ‘illat yang menyebabkan
diharamkannya tashwir juga terdapat di dalam fotografi, yaitu
penyerupaan terhadap sifat Allah Yang Maha Pencipta.[61]
-
Fotografi tidak ada bedanya dengan gambar jenis
lainnya yang dibuat dengan tangan, oleh sebab itu ia dinamakan dengan tashwir
baik secara bahasa, istilah syar’i, maupun ‘urf.[62]
Disebut tashwir secara bahasa karena yang di maksud dengan shurah
menurut bahasa adalah asy-syakl atau bentuk.[63]
Maka, fotografi termasuk di dalamnya. Sedangkan menurut istilah syar’i, karena
nash-nash yang berkaitan dengan shurah dan tashwir menyebutkan
keduanya secara umum, dan tidak ada pengkhususan di dalamnya sebagaimana
pengkhususan bolehnya mainan anak-anak. Adapun dinamakan tashwir secara ‘urf,
karena hampir seluruh masyarakat di dunia menyebut fotografi dengan tashwir.[64]
-
Fotografi merupakan perkembangan dari tashwir dengan tangan, jika dahulu menggunakan tangan secara
langsung, maka saat ini menggunakan alat modern. Oleh sebab itu, sama saja
antara yang membuat gambar dengan tangan maupun dengan alat, si pembuat
tetaplah si pembuat.
-
Kesyirikan yang menghancurkan umat-umat
terdahulu diantaranya disebabkan karena gambar dan patung yang diagungkan.
Dimana hal itu dimulai sejak zaman Nabi Nuh dan masih ada hingga sekarang.
Sebab, tidak dipungkiri bahwa di sebagian tempat di dunia ini masih terdapat
sekelompok manusia yang mengagungkan gambar ataupun patung seorang idola,
tokoh, dan sebagainya yang didapatkan dari fotografi.[65]
-
Perbedaan pada perantara ataupun alat tashwir
tidak kemudian menyebabkan perbedaan di dalam hukumnya.[66]
Sebab, persoalannya terletak pada wujud gambar itu sendiri, bukan pada
bagaimana gambar itu dihasilkan. Maka, ketika dari suatu tindakan dihasilkan
gambar makhluk bernyawa, melakukannya adalah dilarang selagi tidak dalam
keadaan darurat dan dirasa terdapat maslahat padanya.
-
Perkataan mengenai keharaman fotografi lebih
selamat dan lebih jauh dari terjerumus kepada sesuatu yang diharamkan.
Sebab, fotografi—jika tidak dikatakan haram—paling tidak masuk ke dalam
kategori mutasyabihat. Dimana Rasulullah mengatakan bahwa barang siapa
yang masuk kedalam perkara syubhat maka ia telah masuk kedalam perkara
yang diharamkan.[67]
Pendapat kedua, adalah mereka yang membolehkan fotografi. Pandangan ini
banyak diambil oleh ulama kontemporer, diantaranya adalah Syaikh Muhamad bin
Shalih Al-Utsaimin[68], Syaikh Muhamad Najib Al-Muthi’i, dan Syaikh Sayyid Sabiq.
Namun, mereka mensyaratkan agar di dalam fotografi tersebut tidak
mengandung sesuatu yang diharamkan oleh syari’at. Seperti pornografi, pelecehan
terhadap agama Islam, dukungan terhadap orang-orang kafir, foto yang bertujuan
untuk mengagungkan seseorang, dan lain sebagainya.[69]
Bagaimanapun juga shurah yang dibuat dengan tujuan tersebut di atas dan
semisalnya adalah diharamkan, terlepas dengan apa gambar itu didapatkan.
Sehingga yang diharamkan bukanlah dzat shurah tersebut, melainkan tujuan
darinya. Mereka berhujjah dengan dalil sebagai
berikut :
-
Tashwir fotografi memiliki makna yang tidak sama dengan tashwir yang disebutkan di dalam nash-nash Nabawiyah. Sebab, di dalam fotografi orang yang mengambil gambar sama sekali
tidak melakukan perbuatan apapun yang menyerupai penciptaan Allah. Melainkan
hanya membuat tiruan dari apa yang diciptakan oleh Allah ke dalam bentuk gambar,
yang hampir secara keseluruhan prosesnya dijalankan mesin. Sebagaimana jika
sesorang menyalin tulisan orang lain dengan mesin fotocopy, maka tidak mungkin dikatakan bahwa tulisan tersebut merupakan
milik orang kedua. Namun, tetap dikatakan sebagai tulisan orang pertama yang kemudian disalin dengan alat ke dalam kertas
lain. Berbeda jika orang kedua tersebut menyalinnya dengan tulisan tangan, maka
akan dikatakan bahwa tulisan tersebut miliknya, walaupun hanya mencontoh.
Sebab, yang dinilai disini adalah pekerjaannya. [70]
-
Gambar yang dihasilkan dengan alat fotografi
sejatinya sama dengan gambar yang dipantulkan oleh cermin, air, atau benda lain
yang memantulkan bayangan. Dan tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa
bayangan yang terpantul di cermin atau semisalnya adalah
haram. Maka, begitupun dengan gambar yang dihasilkan dengan kamera.[71]
-
Hukum fotografi mengikuti tujuan untuk apa hal
itu dilakukan. Jika ditujukan untuk sesuatu yang haram maka hukumnya haram, pun
jika diniatkan untuk sebuah kewajiban maka hukumnya wajib. Seperti, penggunaan foto untuk mencari seorang
buronan kriminal yang telah melakukan pembunuhan atau perbuatan melanggar hukum
lainnya. Dimana pencarian akan lebih mudah dan cepat untuk dilakukan jika
menggunakan fotografi. Sehingga penggunaan fotografi dalam hal ini boleh,
bahkan bisa menjadi
wajib. Sebab, sarana atau wasilah memiliki hukum maqashid.[72]
Demikianlah pendapat ulama mengenai hukum fotografi,
dimana keduanya adalah sama-sama memiliki hujjah sebagai landasan berargumen. Maka, pendapat mana yang dipilih seharusnya bisa lebih mendekatkan
diri kepada Allah ta’ala.
V.
Kesimpulan
Dari penjabaran
di atas, maka akan kita pahami batasan-batasan di dalam tashwir yang
berlandaskan kepada dalil-dalil Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Dimana secara umum,
menggambar maupun membuat patung makhluk bernyawa adalah tidak diperbolehkan.
Kecuali, jika dihilangkan kepalanya atau menurut sebagian ulama dengan
menghilangkan anggota tubuh yang secara rasional makhluk hidup tidak akan bisa
hidup tanpanya. Adapun tashwir benda-benda buatan manusia, pohon, laut,
bintang, matahari, dan sebagainya adalah tidak mengapa asalkan untuk tujuan yang
jelas dan tidak melanggar syar’i.
Sedangkan dalam
perkara fotografi, maka ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama,
mengharamkannya secara mutlak kecuali dalam keadaan darurat. Pendapat kedua—dan
pendapat inilah yang dipilih oleh penulis—membolehkan fotografi dengan syarat
di dalamnya tidak terdapat sesuatu yang diharamkan, tidak memajang foto makhluk bernyawa di dalam rumah, dan dipakai untuk
hal-hal yang tidak diharamkan syari’at. Karena
hukum fotografi bergantung pada tujuan asalnya. Wallahu a’lam.
[1]
Syed Abdul Vahid, Iqbal his Art and Thought, (Lahore:Muhammad Ashraf,
1994 M), hlm. 151
[2] Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin, Tashil al-Aqidatu al-Islami,
(Riyadh:Daar al-’Ashimi, t.t), hlm. 275-276
[3] Ahmad Mukhtar Abdul Hamid, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’ashirah, (Alim al-Kutub, 2008 M), vol. II, hlm. 1332
[4]
Majdu Ad-Din Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz, Al-Qamus al-Muhith, (Beirut:Mu’asasatu ar-Risalah, 1998 M), hlm. 427
[5] Beliau adalah Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya bin Muhammad bin
Habib Al-Qazwaini Ar-Razi Al-Maliki. Lahir tahun 395 H di Qazwain, kemudian
sempat tinggal beberapa waku di Hamdzan dan akhirnya menetap di Ray. Wafat pada
tahun 395 H di Ray, dan termasuk Dari salah satu ulama ahli bahasa dan adab.
Beberapa karya beliau adalah Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Al-Mu’jam fi Al-Lughah,
Jami’ At-Ta’wil fi Tafsir Al-Qur’an, dan masih banyak lagi. Lihat Syamsuddin Muhammad
bin Ahmad Adz-Dzhahabi, Siyar A’lam an-Nubala’,
(Beirut:Mu’asasatu ar-Risalah, 1990 M), vol. XVII, hlm. 103-106
[8] Muhammad
bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir
fi Fiqh al-Islam,
(Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 32
[10] Muhammad
bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir
fi Fiqh al-Islam,
(Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 37-38
[11]
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir:Maktabatu asy-Syuruq ad-Daulah, 2004 M), hlm. 528
[13] Ahmad Mushtafa ‘Ali Al-Qudhat, Syari’ah al-Islam wa al-Fanun,
(Beirut:Daar al-Jail, 1988 M), hlm. 66-67
[14] Muhammad
bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir
fi Fiqh al-Islam,
(Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 62-63
[15]
Ibid. hlm. 63
[16] Muhammad Nabhan Suwailim, Tashwir wa al-Hayat,
(Kuwait:Silsilatu al-Kutub Tsaqafiyah, 1987 M), hlm. 135-137
[18]
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut:Daar al-Fikr, 2000 M), vol. XI, hlm. 577
[19]
Yusuf Al-Qardhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam,
(Beirut:Makatabatu al-Islami, 1980 M) hlm. 97
[21] Muhammad
bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir
fi Fiqh al-Islam,
(Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 71
[24] Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Ghaniman, Syarh Kitab Tauhid min Shahih
al-Bukhari, (Madinah:Maktabatu Layyinah, 1997 M), vol.II, hlm. 678
[25] Ibrahim bin Musa Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, (Beirut:Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), vol. I, hlm. 80
[26]
Ahmad bin Muhammad bin Salamah Ath-Thahawi Al-Hanafi, Syarh Ma’ani al-Atsar, (Beirut:Alim al-Kutub, 1994 M), vol. IV, hlm. 286-288
[28] Abdurrahman bin Muhammad Al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzhab al-Arba’ah,
(Beirut:Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003 M), vol. II, hlm. 40
[30] Muhammad
bin Abdurrahman bin Qasim, Fatawa wa Rasail Samahah Asy-Syaikh Muhammad bin
Ibrahim, (Makkah:Matbu’atu al-Hukumiyah, 1399 H), vol. I, hlm.
191
[31] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi, al-Mughni, (Beirut:Daar al-Fikr, 1405 M), vol. VII, hlm. 113
[34] HR. Al-Bukhari, No. 5951, 5957, 5961, 7557,
7558, Muslim, No. 2108, An-Nasa’i, No.5363, Ahmad, No. 4475, 4707, 5168,
6767,6084, 6262
[35] HR.
Al-Bukhari, No. 3322, Muslim. No. 2106, At-Tirmidzi, No. 2805
[36] HR.
Muslim, No. 2107
[38] HR.
Al-Bukhari, No. 2105, 3224, 5181, 5957, 5961, 7557
[39] ‘Illat adalah sifat
yang jelas, terukur, dan sesuai dengan suatu hukum yang menjadi rukun
terpenting Qiyas, seperti memabukkan pada khamr. Lihat:Muhammad Abu
Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Daar al-Fikr Arabi, t.t), hlm. 237
[41] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an
Ta’wil ay al-Qur’an, (Beirut:Daar
al-Fikr, 2001 M), vol. XI, hlm. 50
[42] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari,
(Beirut:Daar al-Fikr, 2000 M), vol. XI, hlm. 582
[44] Muhammad bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir fi Fiqh al-Islam,
(Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 150-151
[45] Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub bin Qayyim
Al-Jauziyah, Ighatsatu al-Lahfan, (Makah:Daar ‘Alim al-Fawaid, 1432H),
vol. II, hlm. 1064-1067
[46] Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin, Tashil
al-Aqidatu al-Islami, (Riyadh:Daar al’Ashimi, t.t), hlm. 275-276
[50] Abdullah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi, Adabu asy-Syar’iyah,
(Beirut:Muasasah ar-Risalah, 1999 M), vol. III, hlm. 519
[51] Yusuf Qardhawi, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut:Maktabah
al-Islamiyah, 1980 M), hlm. 98
[52] Ahmad bin Abdul Halim bin Abdusalam bin
Taimiyah, Iqtidha’ ash-Shirat al-Mustaqim, (Riyadh:Maktabatu ar-Rusyd, t.t), hlm. 67-71
[54] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fath
al-Bari,
(Beirut:Daar al-Fikr, 2000 M), vol. XI, hlm. 580
[56] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi, al-Mughni,
(Beirtu:Daar al-Fikr, 1405 M), vol. VIII, hlm. 113
[57] Muhammad
bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir
fi Fiqh al-Islam,
(Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 160-161
[59]
Ahmad Musthafa Ali Al-Qudhat, Asy-Syari’ah
al-Islamiyah wa al-Fanun, (Beirut:Daar al-Jail, 1988 M), hlm. 67
[60]
Ahmad bin Abdurazaq Ad-Duwaisy, Fatawa
al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyah, (Riyadh:Daar al-Mu’ayad, t.t) vol. I, hlm. 457
[61] Muhammad bin Abdurrahman bin Qasim, Fatawa
wa Rasail Samahah Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, (Makkah:Matbu’atu
al-Hukumiyah, 1399 H), vol. I, hlm. 186
[63]
Majdu Ad-Din Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz, Qamus al-Muhith, (Beirut:Muasasatu ar-Risalah, 1998 M), hlm. 427
[64] Muhammad
bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir
fi Fiqh al-Islam,
(Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 316
[66] Ahmad bin Abdurazaq Ad-Duwaisy, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts
al-‘Ilmiyah, (Riyadh:Daar al-Mu’ayad, t.t), vol. I, hlm. 460
[68] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab al-Tauhid, (Daar al-Ashimah, 1414 H), vol. III, hlm. 204
[69]
Yusuf Al-Qardhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut:Maktabah al-Islami, 1980 M), hlm. 112
[70] Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’, (Riyadh:Daar Ibnu al-Jauzi, 1422 H), vol. II, hlm.
201-202
[71]
Ahmad Musthafa Ali Al-Qudhat, asy-Syari’ah
al-Islamiyah wa al-Fanun, (Beirut:Daar al-Jail, 1988 M), hlm. 106
[72] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, asy-Syarh
al-Mumti’, (Riyadh:Daar Ibnu Al-Jauzi, 1422 H), vol. II, hlm. 203
Masya Allah Mantul artikelnya, bisa bantu buat skripsi ane..
BalasHapus