oleh : Ashabul Yamin
A.
PENDAHULUAN
Menurut
sebagian kalangan, visi kebangsaan Indonesia belakangan ini mendapat tantangan
serius. Terutama ketika munculnya kalangan Islam radikal puritan yang berusaha
melakukan penetrasi untuk merongrong kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan Islam Arab yang mencoba menghapus adat istiadat lokal serta menawarkan
Islam sebagai satu-satunya solusi dari berbagai krisis yang terjadi di
Indonesia. Menurut
kalangan itu, mereka adalah
orang-orang yang sudah kehilangan rasa memiliki terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Indonesia bagi mereka hanya sebatas singgah, yang penting adalah
cinta agama dan buang jauh-jauh cinta tanah air[1].
Melihat fenomena diatas, kalangan ”Nahdhatul Ulama” (NU) merasa
terpanggil untuk mengadakan rekontruksi nasionalisme. Maka, pada muktamarnya yang
ke-33 di Jombang 1-5 agustus
2015 NU mengangkat tema “ Meneguhkan kembali Islam Nusantara”. Sebab, kalangan NU merasa memiliki andil dan peran besar dalam perjuangan mempertahankan
NKRI dari penjajahan bangsa asing salah satunya adalah melalui “Resolusi Jihad” yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari (22 Oktober 1945). Wacana ini diharapkan mampu untuk
mendongrak kembali nasionalisme masyarakat Indonesia. Wacana ini sendiri sebenarnya membawa pesan menampilkan islam
sesuai dengan budaya dan adat istiadat lokal tanpa kehilangan identitas keislamannya.
Pasca digulirkannya wacana ini, berbagai kritikan, penolakan dan protes keras bermunculan. Banyak yang menolak tapi tidak sedikit yang mendukung. Sebagian
tokoh yang menolak berpendapat bahwa wacana ini sarat akan kepentingan berbagai
pihak semisal kaum Sekuler[2], Liberal[3]
dan Syi’ah[4] yang
berpotensi menimbulkan perpecahan di tubuh ummat Islam ahlusunnah wal
jama’ah.[5]
Sebagian lain curiga bahwa istilah ini
muncul karena ada sentimen dengan kelompok beraliran “wahabi” yang
sering membid’ahkan sebagian ritual NU seperti, mauludan, slametan, tahlilan
dsb.[6] Anggapan
ini ditepis oleh mereka yang mendukung wacana ini. Mereka yang mendukung
menyatakan bahwa wacana ini dibuat hanya sebagai sebuah metode dakwah saja.
Sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Walisongo era dakwahnya. Juga sebagai
sarana untuk mempertahankan Khazanah budaya lokal Indonesia tanpa meninggalkan
prinsip-prinsip keislaman.[7]
Namun berbicara fakta yang ada dilapangan, pendapat pertama memang ada ada benarnya. Beberapa bukti mengarah kesana menunjukkan bahwa wacana
ini perlu untuk dikaji ulang
karena kontraproduktif dan menghasilkan beberapa hal yang mengatasnamakan Islam
Nusantara dan tidak sesuai syariat Islam,
seperti membaca al-Qur’an dalam langgam Jawa, pernyataan syetan ikut dalam
sholat berjama’ah, malaikat Munkar dan Nakir antri di makam Gus
Dur, semakin panjang jenggot semakin bodoh[8] dan
lain-lain yang semakin menambah daftar kontroversi publik. Kita memang tidak
pungkiri fakta, ada alumni Timur Tengah yang kurang bijak dalam berdakwah, merasa
paling benar sering membid’ahkan dan menyalahkan kelompok lain hanya karena
perbedaan pada maalah furu’iyah. Tapi kita semua kita sepakat, meresponnya
dengan cara yang konfrontatif tentu akan menambah persoalan baru.
Terlepas dari kasus diatas, kita perlu
tahu lebih dalam mengenai wacana “Islam Nusantara” ditinjau dalam
perspektif Islam. Apakah hal itu sesuai
dan dibenarkan oleh syaria’at Islam? Ataukah sebuah rekayasa penyesatan aqidah
secara massal yang dilakukan oleh aktor intelektual penggagas wacana ini? Atau mungkin ada
campurtangan asing didalamnya? Dalam makalah ini penulis mencoba mengurai
permasalahan diatas berdasar pada data-data yang penulis kumpulkan dari
berbagai sumber dan mencoba menganalisa dampaknya pada
ummat Islam Indonesia, serta berusaha semaksimal mungkin untuk tetap objektif
dalam menyimpulkan.
B.
SEJARAH DAN KRONOLOGI TERBENTUKNYA WACANA ISLAM NUSANTARA
1. Latar belakang
pemikiran
Terbentuknya wacana Islam Nusantara merupakan perkembangan pemikiran
(ijtihad) terkini Nahdhatul Ulama[9]. Jauh sebelum muncul istilah “Islam Nusantara” NU sudah mengenal istilah
“Pribumisasi Islam”. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh KH. Abdurrahman
Wahid di era kepemimpinannya[10]. Ide
ini menghasung ummat Islam di Indonesia untuk membumikan Islam sebagai agama
universal kedalam budaya dan adat
istiadat lokal. Menampilan nilai-nilai keislaman yang telah terakulturasi
dengan adat istiadat lokal tanpa kehilangan identitas islam yang asli.
Ide pribumisasi Islam
muncul pada tahun 1990-an, disebabkan oleh kemunculan ide Sekulerisasi, Liberalisasi
dan Pluralisme Islam yang berpijak pada modernitas Eropa, ide ini prakarsai oleh
Nurkholis Majid[11]
dan munculnya berbagai macam
ormas Islam pasca lengsernya Soeharto. Gagasan Pribumisasi Islam adalah sebagai bentuk ketidaksetujuan
KH. Abdurrahman Wahid terhadap ide Nurkholis Majid disatu sisi, disisi lain sebagai
reaksi dari dinamika perubahan yang terjadi ditubuh ummat Islam pasca lengsernya
Soeharto pada tahun 1998[12]. Dari titik inilah gagasan tentang
pribumisasi Islam muncul. Gagasan ini menitikberatkan pada budaya/tradisi lokal
untuk mengatasi berbagai paham radikal yang bermunculan. Namun, KH. Abdurrahman
Wahid bukanlah orang tunggal yang memiliki sepenuhnya gagasan ini. Pribumisasi
Islam diakuinya hanyalah melanjutkan estafet dari strategi dakwah para Wali
Songo yang metodenya berpijak pada pendekatan melalui budaya/tradisi[13].
Meski, ide ini tidak berhasil, karena tidak bisa
sepenuhnya bisa diterapkan. Sebab kurang benar dalam merumuskan epistemologi/landasan dan metodologinya[14]. Namun, pada akhirnya dalam rumusan wacana Islam
Nusantara Pribumisasi Islam dijadikan metodologi sebagai batu loncatan untuk
memunculkan wacana Islam Nusantara[15].
2.
Pengertian Islam Nusantara
Sebenarnya
belum ada pengertian definitif dari Istilah Islam Nusantara. Islam Nusantara
yang dimaksud adalah; Islam ahlussunnah wal jama’ah, yang diamalkan,
dikembangkan di bumi Nusantara oleh para
pendakwahnya, manhaj dakwah Islam di bumi Nusantara ditengah penduduknya
yang multi etnis, multi budaya dan multi agama yang dilakukan secara santun dan
damai[16].
Namun, KH. Sa’id Aqil Siradj dan Azyumardi Azra, mempunyai
pengertian tersendiri. KH. Sa’id Aqil Siradj memberikan pengertian sebagai
berikut, ”Islam Nusantara adalah Islam dengan cara pendekatan budaya, tidak
menggunakan doktrin yang kaku dan keras. Islam Nusantara ini didakwahkan
merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah
memberangus budaya. Berbeda dengan Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama
Islam dan perang saudara”[17].
Pengertian ini juga disetujui oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo[18].
Sedangkan menurut Azyumardi Azra, “ Islam Nusantara adalah Islam distingtif
sebagai hasil interaksi, kontektualisasi, indegenisasi dan vernakulisasi Islam
universal denga realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam
Nusantara, (kalam Asy’ari, fiqh madzhab Syafi’i, dan Tasawwuf Ghazali
menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang
kaya dengan warisan (Islamic Legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam
global”[19].
Dalam situs www.islamnusantara.com, disebutkan
“Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah Islam di Nusantara terwujud dalam
suatu bentuk ajaran yang telah mengalami proses persentuhan dengan tradisi yang baik (‘urfun sahih) di Nusantara, dalam hal ini wilayah Indonesia,
atau respon terhadap tradisi yang tidak baik (‘urfun fasid) namun sedang dan
atau telah mengalami proses dakwah; amputasi, asimilasi, atau minimalisasi,
sehingga tidak bertentangan dengan diktum-diktum syariah. Sementara penyesuaian
khazanah Islam dengan Nusantara berada pada bagian ajarannya yang dinamis
(syaqqun mutaghayyir atau ijtihadi), bukan pada bagian ajaran yang statis
(syaqqun tsabit atau qath’i)”[20].
Penambahan kata “Nusantara” sebagai tarkib idhafi bagi kata “Islam”
dalam istilah ilmu Nahwu mengandung arti fi (di dalam) artinya Islam
yang terinternalisasi dan termanifestasi di dalam hidup dan kehidupan umat
muslim Nusantara; mengandung arti bi (dengan/pada teritori) maksudnya
adalah Islam yang berekspansi, berpenetrasi, berdialog dan berdakwah pada dan
dengan wilayah teritorial-geografis insan-insan Nusantara sejak awal masuknya
hingga kini; dan mengandung arti li (untuk, bagi) yaitu Islam dan
ajarannya untuk menyempurnakan dan berdialektika bersama adat, tradisi, budaya
dan peradaban Nusantara (local wisdom) yang mengandung nilai-nilai
universal bagi harkat dan martabat kemanusiaan sejati”[21].
Meskipun, wacana ini diakomodir oleh NU, tapi faktanya tidak semua
tokoh NU setuju dengan istilah ini. seperti KH. Hasyim yang menganjurkan mengganti
dengan istilah rahmatan lil ‘alamin[22],
dari kalangan NU “Garis Lurus”[23]
juga sangat menentang wacana ini.
Dari berbagai pengertian diatas dapat kita pahami bahwa pengertian
dari Istilah Islam Nusantara menurut para pelopornya, adalah Islam sebagai
agama universal yang diturunkan di Arab, yang aplikasinya ditampilkan dalam
wajah budaya/tradisi lokal, tanpa harus
kehilangan identitas Islam itu sendiri. Akan tetapi pada prakteknya ternyata ini
menjadi syubhat ditengah ummat Islam karena banyak menabrak rambu-rambu syari’at
Islam.
3.
Landasan Konsep Islam Nusantara[24]
a.
Ayat-ayat al-Qur’an/hadits yang redaksinya mengakomodir tradisi atau budaya
Maksudnya adalah beberapa istilah yang digunakan oleh al-Qur’an,
yang istilah itu sendiri asalnya merupakan istilah jahiliyah. Seperti pada ayat
pengharaman riba (al-Imran:130), secara dhahir ayat dipahami bahwa riba yang
diharamkan adalah riba yang berlipat ganda. Tapi menurut semua mujtahid semua
riba itu haram. Istilah “ad’afa mudha’afah” (berlipat-lipat) hanya
sebagai istilah pada yang mengambarkan keadaan masyarakat pada masa jahiliyah
yang bangga jika menumpuk harta hasil riba. Contoh lain, tentang laki-laki yang
baik akan mendapatkan perempuan yang baik, begitu sebaliknya, namun pada
kenyataannya tidak diharamkan secara syar’i untuk tidak melakukannya
(an-Nuur:26), artinya perintah ini hanya berdasarkan pada kepantasan atau tradisi
saja, atau perintah untuk mendahulukan etika sebagaimana yang tertera dalam
sebuah hadits riwayat Muslim, kejadiannya saat Sa’ad bin Muadz selesai
memutuskan perkara dengan kaum Yahudi Bani Quraidzah, saat itu Nabi Muhammad
memerintahkan para sahabat untuk berdiri demi menghormati Sa’ad bin Muadz.
b.
Pengakomodiran tradisi/budaya jahiliyah menjadi ajaran Islam
Ada beberapa budaya yang sering dilakukan masyarakat pada masa
jahiliyah, namun diakomodir oleh Islam, contohnya adalah puasa as-Syuara.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya Rasulullah
ketika tiba dikota Madinah mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa di bulan
Sura (Muharram), maka Rasulullah bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian
berpuasa pada hari ini?”, mereka menjawab, “Ini adalah hari yang agung,
pada hari ini Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya serta ditenggelamkannya
Fir’aun beserta balatentaranya, kemudian Nabi Musah berpuasa sebagai bentuk
rasa syukurnya, maka kamipun berpuasa karenanya”. Mendengar itu Rasulullah
berkata, “Kami adalah orang yang paling berhak dan lebih utama daripada
kalian”. Setelah itu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabat
untuk berpuasa (H.R Muslim).
Dari sinilah kemudian puasa Sura dijadikan puasa
sunnah bagi kaum muslimin secara umum. Dan beberapa contoh lain, semisal
tradisi aqiqah dimasa jahiliyah, ritual-ritual haji seperti thawaf, hanyasaja
dizaman jahiliyah mereka thawaf dengan bertelanjang, tapi tidak pada zaman
Islam, dan bolehnya menerima hadiah dari tradisi kaum Majusi dihari raya
mereka selain sesembelihanya.
c.
Pendekatan terhadap tradisi/budaya
Dalam tataran praktik dakwah
Islam di Nusantara, ketika berhadapan
dengan berbagai tradisi/budaya bisa digunakan empat pendekatan (approach),
yaitu adaptasi, netralisasi, minimalisasi dan
amputasi.
Pertama, adaptasi dilakukan untuk menyikapi
tradisi/budaya yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syari’at Islam ini
merupakan implementasi dari akhlaq al-karimah yang dianjurkan oleh
Rasulullah. Contohnya seperti, tradisi berbahasa pada suku jawa. Kedua, netralisasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya yang
didalamnya tercampur
antara hal-hal yang diharamkan yang dapat dihilangkan dan hal-hal yang
dibolehkan. Netralisasi terhadap budaya seperti ini dilakukan dengan
menghilangkan keharamannya dan melestarikan selainnya. Contohnya adalah, orang
jahiliyah terbiasa berkumpul pada suatu tempat dan membangga-banggakan nenek
moyang dan nasab mereka yang jelas-jelas dilarang dalam islam, kemudian turun
ayat (al-Baqarah:200) yang tidak melarang perkumpulannya namun hanya
memerintahkan agar isinya diganti dengan zikir kepada Allah, ini menunjukkan
Islam tidak mengajarkan untuk menghapus budaya secara frontal. Ketiga,
minimalisasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang
sangat sulit dihilangkan. Minimalisasi budaya semacam ini dilakukan dengan
cara, mengurangi keharamannya sebisa mungkin, yaitu menggantinya dengan
keharaman yang lebih ringan dan membiarkan jika keharamannya melalaikan pelaku
dari keharaman yang lebih besar. Keempat, amputasi
dilakukan untuk menyikapi keharaman budaya yang tidak dapat dihilangkan.
Amputasi budaya semacam ini dilakukan dengan cara bertahap, seperti terhadap
keyakinan animisme dan dinamisme. Sebagaimana Nabi Muhammad dalam menghilangkan
keyakinan paganisme di negri Arab. Tradisi itu berhasil dihilangkan, namun baru
terlaksana secara massif pada fathu Makkah, pada 630M/8H.
d.
Melestarikan tradisi/budaya yang menjadi media dakwah.
Tradisi/budaya yang telah menjadi media dakwah dan
tidak bertentangan dengan agama, semestinya dilestarikan. Sebagaimana, tradisi
kirim do’a untuk mayit. Namun, bila ditempat atau waktu tertentu tidak efektif
dan justru kontra produktif bagi dakwah Islam Nusantara, maka tradisi tersebut
semestinya dirubah secara arif dan bertahap sesuai kepentingan dakwah dan
dikembalikan pada prinsip maslahat.
e. Sikap dan
toleransi terhadap Pluritas agama dan pemahaman keagamaan
Disini dibahas beberapa
poin penting yaitu, sikap terhadap pluralitas (perbedaan) agama, toleransi
terhadap agama lain, dan toleransi terhadap pemahaman keagamaan selain ahlusunnah
wal jama’ah. Jika terjadi perselisihan maka harus diselesaikan dengan
cara-cara yang arif dan bijaksana serta menghindari cara-cara radikal dan
kekerasan yang justru melanggar prinsip rahmatan lil alamin.
C.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP ADAT ISTIADAT LOKAL
1.
Dalam konsep ushul dan furu’
Pada dasarnya, agama Islam
tersusun dari dua komponen, bagian pertama berupa keyakinan dan bagian kedua
berupa aturan perbuatan[25].
Bagian pertama berbicara masalah mengimani dan mengkufuri (ushul),
sedangkan bagian kedua berbicara mana yang harus dikerjakan, mana yang
sebaiknya dilakukan, mana yang boleh-boleh saja dan mana pula yang seharusnya
tidak dikerjakan(furu’). Secara konkrit memang tidak pernah disebutkan
pembagian ini secara literal dalam al-Qur’an, karena dalam al-Qur’an perkara-perkara
ushul dan furu’ disebut dengan iman dan amal shalih/syari’at[26].
Permasalahan ushul
berdiri diatas landasan dalil-dalil yang qath’iy. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam as-Syafi’i “ Semua permasalahan yang telah Allah tegakkan
hujjahnya dengan jelas di KitabNya atau melalui lisan Rasul-Nya dengan dengan
nash-nash yang jelas, maka tidak boleh ada perselisihan didalamnya”[27]. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah menyebut perkara ushul dengan istilah syar’u al-munazzal, mengikutinya adalah
kewajiban dan keluar darinya harus diperangi[28].
Yang kedua
adalah permasalahan yang bersifat furu’, adalah hukum-hukum yang
berkaitan dengan amal perbuatan, seperti hukum dan tatacara shalat, puasa,
haji, transaksi muamalah dan macam-macam hukum persaksian. Dalil-dalil yang
dipakai masih bersifat zhanni sehingga dalam penafsirannya akan ada
perbedaan pendapat antara satu mujtahid dengan yang lainnya, dan perbedaan
pendapat dalam masalah ini tidak termasuk perbedaan yang dilarang[29].
Ibnu Taimiyyah menamakannya dengan syar’u al-muawwal (perkara yang boleh
ditakwil), namun syaratnya mujtahid yang berijtihad itu tidak boleh mengatakan
bahwa pendapatnya adalah pendapat Allah dan RasulNya, dan tidak memaksa orang
untuk sepakat dengannya[30]
Syaikh
Abdurrahman Abdul Khaliq berpendapat; bahwa secara umum ilmu-ilmu keislaman itu
terbagi menjadi dua, bagian pertama adalah bagian yang tsabit/tetap yang
tidak akan pernah berubah seiring perubahan zaman, mencakup perkara-perkara
keimanan, ibadah dan permasalahan akhlaq. Ini adalah perkara-perkara tetap
dalam agama dan tidak boleh memberlakukannya sebagaimana perkara-perkara
ijtihadi. Seperti pada masalah sifat-sifat Allah, malaikat, surga dan neraka,
hari akhir, siksa kubur dan masalah-masalah ghaib lainnya[31].
Tiga persoalan
inilah yang termasuk hal yang tetap dalam agama, setiap penambahan disampingnya
masuk pada wilayah ibtida’ (bid’ah), kalaupun ada perbedaan maka itu
pada permasalahan yang tidak disengaja atau dalam keadaan darurat ketika
melanggarnya. Secara tabi’at, manusia adalah makhluk sosial yang butuh
berhubungan dengan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, dalam
Islam masalah ini tetap diatur oleh nash-nash syar’i. Hanya saja, nash-nash itu
fungsinya sebagai patokan yang berhubungan dengan perkara prinsip, sehingga
boleh menggunakannya sesuai dengan konteks persoalan, waktu dan tempat yang
dibutuhkan, medan ijtihadnya luas. Yang terpenting dalam perkara ini adalah
tidak menyalahi kaidah-kaidah prinsip. Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq menyebut perkara ini dengan sebutan mutaghayyirat[32].
Yang dapat kita
pahami dari argumen diatas adalah adat istiadat tidak masuk kedalam pembahasan ushul,
karena adat (kebiasaan) adalah perkara muamalat yang masuk kedalam ruang
lingkup furu’. Namun masalahnya, jika pada prakteknya adat istiadat
mengandung berbagai macam ritual kesyirikan. Maka, ia masuk kedalam perkara ushul
dan ini dilarang oleh syari’at. Maka, adat istiadat sendiri sebenarnya
perlu diperinci lagi, menabrak syari’at atau tidak. Jika adat istiadat dimanapun
itu, bertentangan dengan kaidah-kaidah ushul maka jelas ini dilarang dan
pelakunya dihukumi kufur sesuai dengan keterangan diatas.
2.
Prinsipالعادة
محكمة (adat
istiadat bisa dijadikan sebagai hukum) dalam kaidah fiqih
Dalam ilmu fiqih
kaidah ini merupakan salah satu kaidah penting, karena menunjukkan kemudahan
dan penjagaan syari’at terhadap manusia untuk menghilangkan kesusahan-kesusahan
dalam bermuamalah. Pengertian adat secara bahasa; berasal dari kata العود atau المعاودة yang bermakna, pengulangan. Menurut para ahli ushul, adat
bermakna pengulangan berkali-kali namun tidak berhubungan dengan nalar manusia.
Contohnya seperti, gerakan pada cincin disebabkan oleh gerakan jari-jemari,
gerakan dedaunan karena hembusan angin, dan semua berpindah tempatnya sesuatu
karena ada gerakan. Sedangkan menurut para fuqaha’ adat adalah sebuah ibarat berulang yang
membekas didalam jiwa yang masuk akal sesuai dengan tabi’at normal manusia[33].
Landasan dalil bahwa
adat bisa digunakan untuk memutuskan hukum syar’i dasarnya adalah sebuah hadits
yang berbunyi: مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ
حَسَنٌ artinya, “ Sesuatu yang baik dalam pandangan kaum muslimin itu
juga baik dalam pandangan Allah”. Berkaitan dengan hadits ini al-‘Ala’I
berkata:
وَلَمْ أَجِدْهُ مَرْفُوعًا فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ
الْحَدِيثِ أَصْلًا وَلَا بِسَنَدٍ ضَعِيفِ بَعْدَ طُولِ الْبَحْثِ وَكَثْرَةِ الْكَشْفِ
وَالسُّؤَالِ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ قَوْلِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ
مَوْقُوفًا عَلَيْهِ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ
(Aku belum pernah mendapatkannya marfu’ (bersambung sampai kepada Rasulullah) dalam
kitab-kitab hadits yang asli, sanadnya tidak dha’if. Ini didapat setelah
melalui proses pencarian, pembahasan dan pertanyaan yang panjang, sebenarnya
ini adalah salah satu perkataan Abdullah bin Mas’ud mauquf yang diriwayatkan
oleh Ahmad dalam musnadnya)[34]. Semua permasalahan dalam
adat dan urfi dalam fiqih dikembalikan kepada kaidah ini sehingga kaidah
ini dijadikan sebagai salah satu kaidah asli[35].
Adat
sebuah istilah lagi dalam pembahasanan adat, yaitu urf. Urf dan
adat adalah dua lafadz yang maknanya sama,
titik perbedaannya ada pada sisi bahasa saja. Urf terbagi dua, yang tidak bertentangan dan yang
bertentangan dengan syar’i.
Menurut muhadditsin istilah adat digunakan untuk individu
maupun kelompok, sedangkan urf hanya untuk kelompok saja[36]. Pembagian
urf berdasar umum dan khususnya ada tiga; pertama, urf ‘aamah
(kebiasaan yang umum), adalah kebiasaan yang berlangsung tanpa terikat oleh
masa tertentu, yang dikerjakan disetiap negri. Contohnya apabila seseorang
bersumpah untuk tidak masuk kesuatu daerah tertentu, tapi suatu hari dia
menginjakkan kaki didaerah itu, maka dia dianggap melanggar sumpah meskipun
satu kakinya masih berada diluar daerah itu. Kedua, urf khass (kebiasaan
khusus), adalah
kebiasaan
sekelompok atau suatu jama’ah tertentu ditempat tertentu. Contohnya adalah penggunaan
istilah-istilah yang berbeda disetiap negara. Ketiga, urf syar’i (kebisaan
yang merupakan syari’at) contoh, sholat puasa, zakat, haji dsb.
Menurut jumhur fuqaha’,
urf khass tidak bisa dianggap untuk menentukan hukum secara khusus dan
meninggalkan qiyas, akan tetapi para fuqaha’ dari kalangan Hanafiyah dan
Syafi’iyah membolehkannya[37]. Sedangkan
sebab dari yang tidak membolehkan mengkhususkan nash atau qiyas dengan urf karena adanya perbedaan disetiap daerah,
ditakutkan ada sebuah daerah yang tidak masuk dalam kekhususan daerah itu[38].
Lalu bagimana kedudukan urf ini atas nash-nash syar’i?, ada dua keadaan
yang harus dipahami[39]:
a.
Apabila urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i,
maka wajib beramal dengannya, karena posisi mengamalkannya sama dengan
mengamalkan dalil itu sendiri
b.
Jika urf bertentangan dengan dalil syar’i maka:
1) Jika pertentangannya dari semua sisi maka, nash didahulukan dengan 3 sebab,
tidak ada hak hamba dalam merubah nash, nash lebih kuat dari urf, dan urf
terkadang mengandung sesuatu yang bathil. 2) Jika pertentangannya tidak
pada semua dan dalil penentangnya adalah dalil khusus atau qiyas, sedangkan urfnya
adalah umum, dalam posisi ini didahulukan urf demi kemaslahatan umum. 3)
Jika bertentangan dengan sebuah dalil, yang dalil itu landasannya adalah urf,
maka menurut para ulama nash ditinggalkan dan wajib mengamalkan urf. 4)
Apabila bertentangan dengan pendapat para mujtahid, yang para mujtahid dizaman
itu melandaskan ijtihadnya diatas urf, kemudian muncul permasalahan
baru, maka didahulukan urf meskipun bertentangan dengan pendapat
sebelumnya.
Dhawabit yang disebutkan adalah
syarat berlakunya adat istiadat sesuai dengan syari’at Islam.
D.
ISLAM NUSANTARA ANTARA METODE DAKWAH DAN PROPOGANDA MUSUH
a.
Islam Nusantara Sebagai Metode Dakwah
Sebuah metode
tidak terlepas dari sebuah kondisi, ini yang harus dipahami oleh setiap da’i,
untuk menetapkan sebuah metode atau sebuah konsep pada sebuah masyarakat harus
ada mapping (pemetaan), mapping itu sendiri mencakup SWOT[40] (Strength
= Potensi, Weakness = Kelemahan, Opportunity = Peluang dan
Threath = Ancaman) dari sini baru kemudian melahirkan sebuah metode yang
bisa diterapkan. Atau dalam kaidah fiqih dakwahnya disebut, inzalunnas
manazilahum[41]
(mendakwahi manusia sesuai dengan kapasitasnya), artinya metode dakwah harus diselaraskan dengan pekembangan manusia[42].
Ini juga yang harus kita perhatikan dari metode dakwah Walisongo, sehingga jika
benar dakwah walisongo dengan melestarikan adat istiadat lokal kita bisa tahu apa
alasannya.
Di Jawa, pengajaran
Islam dihadapkan pada dua jenis lingkungan budaya Kejawen, yaitu lingkungan
budaya istana (Majapahit) yang telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan budaya
pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme dan
dinamisme[43]
yang hanya lapisan luarnya saja yang terpengaruh oleh Hinduisme. Dari perjalanan
sejarah proses Islamisasi di Jawa, tampak, bahwa Islam sangat sulit diterima
dilingkungan budaya Jawa istana, karena agama Islam ditolak oleh raja.[44] Waktu
itu jawa sepenuhnya dikuasai oleh kerajaan Syiwo-Budho Padjajaran Jawa Barat,
sedangkan di Jawa Timur kerajaan Singosari dan Mojopahit [45].
Kerajaan Mojopahit mencapai masa kejayaannya pada masa Prabu Hayam Wuruk
(1350-1389M) dengan Mahapatihnya yang terkenal, Gadjah Mada (1313-1364M). Wilayah
kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan,
Sulawesi, Kepulan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua dan sebagian Filiphina[46], setelah masa kejayaan itu, mulailah kerajaan Mojopahit mengalami
kemunduran, terutama setelah terjadi pertempuran di masa Prabu Wikromo Wardhono
di Mojopahit Barat dengan saudara iparnya, Bhre Wirobumi di Mojopahit Timur, yang
dinamakan perang Paregreg (1401-1405M). Perang ini bukan satu-satunya perang yang terjadi,
namun perang Paregreg adalah awal rentetan dari peperangan-peperangan
selanjutnya yang menyebabkan lemahnya Mojopahit[47].
Disini awal masuknya Walisongo ke Tanah Jawa Ketika itu. Saat itu, khilafah Utsmaniyah
di Turki dipimpin oleh Sultan Muhammad I, Sultan diberitahu oleh para pedagang
Gujarat yang beragama Islam bahwa di Jawa sedang terjadi perang saudara, lalu
sultan mengirim surat kepada para pembesar Afrika Utara dan Timur tengah untuk
meminta dikirimkan beberapa ulama yang mempunyai “karomah”. Berdasarkan
perintah Sultan Muhammad I kemudian dibentuk sebuah tim yang berintikan
Sembilan orang yang ditugaskan untuk menjadi penyebar agama Islam dipulau Jawa.
Kemudian tim ini berangkat pada tahun 1404M diketuai oleh Syaikh Maulana Malik
Ibrahim yang berasal dari Turki, beliau adalah seorang ahli irigasi yang
dianggap piawai dan pintar dalam mengatur Negara[48]. Namun
pengiriman ini bukanlah satu-satunya pengiriman, terhitung ada 6 angkatan
setelah itu[49].
Metode adat
digunakan oleh sunan Ampel atas permintaan dari kerajaan Majapahit atas dasar
kerusakan parah yang terjadi dimasyarakat. Metode sebenarnya ini adalah hasil
pandangan dari Sunan Kalijogo. Awalnya Sunan Ampel menolak ide ini, karena adat
istiadat Jawa sarat akan ajaran Hindu Syiwo Budho seperti, selametan,
sesajen dan sejenisnya. Sunan Ampel tidak dapat menerimanya, kata Sunan
Ampel “ Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari? Bahwa adat istiadat
dan upacara-upacara lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sebab
kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadi bid’ah?”. Tetapi
pendapat Sunan Kalijogo itu disetejui oleh Sunan Kudus, karena Sunan Kudus
mempunyai keyakinan bahwa dikemudian hari aka nada orang Islam yang akan
menyempurnakannya[50]
Itulah
sebabnya Sunan Kalijogo memilih adat sebagai metode dakwah, sebab tantangan
terberat dakwah masa itu adalah kehidupan masyarakat Jawa yang masih kuat
dipengaruhi kepercayaan, tradisi, budaya, ritual, dan adat warisan nenek moyang
dari agama Hindu Syiwo dan Budho maupun sisa kepercayaan animisme dan
dinamisme. Menentang secara frontal pasti akan berakibat pada
kegagalan dakwah, maka solusinya perlahan-lahan memasukkan unsur-unsur Islam ke
dalam adat istiadat dengan tujuan menggeser kebudayaan itu sendiri.
Lalu, jika
dikatakan Islam Nusantara adalah sebagai metode dakwah walisongo yang
mengakomodir adat istiadat, itu benar adanya, tapi bukan dengan tujuan
melestarikan budayanya. Itu hanya metode yang dipakai untuk menghantarkan
masyarakat kepada pemahamam Islam yang sesungguhnya. Walaupun pada akhirnya
kekhawatiran Sunan Ampel benar-benar terjadi hari ini.
b.
Islam Nusantara Sebagai Propaganda Musuh
Definsi “musuh” disini adalah kaum Yahudi
dan Nashrani (al-Baqarah:120). Kaum
Yahudi dengan gerakan politiknya yang bernama Zionisme, adalah gerakan yang mempunyai peran sangat besar pada
kerusakan berskala internasional. Dengan ideologi “The New World Order”
yang digerakkan oleh gerakan klandestin Freemasonry, Yahudi berambisi untuk menaklukkan dunia, rivalnya adalah ideologi khilafah
Islamiyah.
Menurut seorang peneliti Barat, Ralp Epperson, secara umum Ideologi The New
World Order akan merusak tatanan keluarga, ekonomi dan agama[51].
Faktanya hari ini kita mendapati kerusakan pada keluarga seperti banyaknya maraknya
penyakit LGBT, legalisasi bagi tempat-tempat hiburan/pelacuran, tingginya angka
perceraian, dan sebagainya. Dibidang ekonomi, ekplorasi sumberdaya di
negri-negri kaum muslimin dilakukan secara terang-terangan. Ketiga, agama-agama
akan dihapus. Sehingga muncullah berbagai macam paham sesat yang mengaku Islam,
seperti Islam Nusantara, Islam Liberal, Islam moderat, Islam tradisional, yang justru
ini akan merusak kemurnian Islam.
Semua rencana mereka untuk menguasai dunia
tertuang dalam sebuah dokumen yang disebut “the protocol”, sebuah
dokumen yang didalamnya terdapat 24 butir program kerja jangka panjang yang
disahkan pada tanggal 29-31 Agustus 1897 di Basel
Switzerland di kongres Zionis Internasional-1, sebagai acuan utama gerakan Zionis seluruh dunia[52]. Diketahui oleh publik karena dokumen bocor, melalui
tangan pendeta ortodoks Rusia Sergey Nylos, lalu diterjemahkan dan
dipublikasikan secara umum di Rusia.
Salah satu protokol yang dianggap penting
dan memiliki pengaruh pada kondisi agama di dunia adalah protokol yang ke-14,
berisi rencana penghapusan agama didunia[53].
Meskipun pada prakteknya musuh terbesar bagi mereka adalah ummat Islam. Dan yang
menjadi pionir digarda terdepan dalam rencana ini adalah PBB dan Amerika
Serikat, dengan ’’war on terrorism”nya.
Lalu, melihat latar belakang dan beberapa
pengertian Islam Nusantara, terlihat ada benang merah dengan war on
terrorism/Crusade yang diprakarsai
oleh G. Walker Bush pasca runtuhnya menara WTC 11 September 2001. Dan tepat 5 hari berselang, Bush memberi dua
pilihan kepada dunia “with us or with teroris” dan Indonesia memilih
untuk ikut Bush. Melaui BNPT dibuatlah program deradikalisasi. Dalam menjalankan tugasnya BNPT
menggalang dukungan dari para tokoh-tokoh terkemuka termasuk kyai pondok
pesantren. Narasi yang dibangun BNPT adalah “Nasionalisme/Cinta Tanah Air” yang
diaplikasikan dengan melestarikan budaya dan adat istiadat, demi tercapainya
makna “islam rahmatan lil ‘alamin” dan anti kekerasan[54]. Disini titik temunya dengan wacana Islam Nusantara. Meski sebenarnya hal ini mirip dengan Plan of Action to PVE (Prevent
Violent Extremism), upaya pencegahan menghadapi kelompok Islam radikal yang
dipersentasikan di hadapan
majlis umum PBB
pada 15 Januari 2016[55].
Apapun itu, yang pasti musuh Islam telah
bersatu padu untuk menghancurkan Islam melalui tangan orang-orang Islam
sendiri, walau terkadang hal-hal yang semacam ini jarang dipahami oleh ummat
Islam. Dan dampak paling ringannya, kelak akan terpatri didalam memori ummat
Islam bahwa orang-orang yang menyerukan perlawanan dengan metode jihad untuk
tegaknya khilafah adalah teroris, radikal, garis keras, dan sebagainya. Menjadi
batu sandungan besar bagi perjuangan menegakkan syari’at Islam di Nusantara.
Adapun dampak paling berbahaya dari wacana Islam Nusantara adalah rusaknya
aqidah kaum muslimin, baik dari al-Wala’ wal Bara’nya ataupun meyakini
dan mengamalkan keyakinan lokal yang akarnya paham animisme dan dinamisme.
E.
KESIMPULAN
Wacana Islam Nusantara adalah sebuah paradigma baru dalam memahami
Islam, yang berpijak pada landasan teori yang seolah ilmiah. Tapi justru
berdampak luar biasa pada keabsahan Islam. Goal settingnya mengubah
pandangan masyarakat tentang hakikat Islam secara perlahan kepada Islam versi
Barat. Berdampak pada kerusakan massif aqidah ummat Islam Indonesia serta menghambat
segala upaya penegakkan syari’at Islam di bumi Nusantara.
F.
REFERENSI
1.
Syamsuddin, Abu al-‘Aun Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini
al-Hambali, Lawami’ul Anwar, (Mu’assah al-khafiqin wa maktabatuha:
Damaskus, 1402H/1982M)
2.
Sayyid Sabiq, al-‘aqaid al-Islamiyah, (Dar al-Kitab
al-Arabi: Beirut, tt)
3.
Imam asy-Syafi’i, ar-Risalah, (Maktabah al-Halabi: Mesir,
1358H/1940M), tahqiq oleh Ahmad Syakir
4.
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, (Mamlakah as-Su’udiyah:
Madinah an-Nabawiyah, 1416H/1995M), tahqiq oleh Abdurrahman bin Muhammad
bin Qasim
5.
Abdurrahman bin Abdul Khaliq Yusuf, as-Salafiyun wal a’imah
al-arba’ah, (Dar as-Salafiyah: Kuwait, 1398H/1978M)
6.
DR. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al-Burnu, al-Wajiz fi
idhahi qawa’id al-Fiqhi al-Kulliyah, (Muassasah ar-Risalah: Beirut,
1416H/1996M)
7.
Ibnu Nujaim, al-Asybah wa Nadha’ir ‘ala madzhab abi Hanifah, (Dar
al-Kutub’ilmiyah: Beirut, 1419H/1999M)
8.
Sa’id al-Qahthani, al-hikmah fi ad-dakwah ilallah, (Maktabah
al-mulk Fahd al-wathaniyah: Riyadh, 1424 H)
9.
Said Aqil Siradj dkk, Nasionalisme dan Islam Nusantara, (Kompas: Jakarta, 2015)
10.
Rachmad Abdullah, Walisongo, Gelora Jihad dan
Dakwah di Tanah Jawa, (al-Wafi:Solo, 2015)
11.
Z.A Maulani, Zionisme Gerakan Menaklukkan Dunia, (Daseta:
Jakarta, April 2002
12.
Sergey A. Nilus, Protocol of Zion, blueprint Zionis
untuk menaklukkan dunia, alih bahasa: Indriani Grantika, (Jakarta Selatan:
Change, 2014)
13.
Pizaro Novelan Tauhidi dkk, Islam Nusantara dan tantangan
persatuan ahlusunnah, dalam Islam Nusantara, Islamisasi Islam atau
Menusantarakan Islam?, (1 Agustus 2015)
14.
A. Ralph Epperson, The New world order, tt
15.
Draft Bahtsul Masa’il Maudhu’iyah PWNU
Jawa Timur tentang Islam Nusantara di Universitas Negri Malang, pada tanggal 13
Februari 2015
16.
Ainul Fitriah, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 3,
Juni 2013
17. K. Mustarom, Narasi Tunggal PBB (LKS Syamina), vol. 06
April 2016
18.
K. Subroto, Kesultanan Demak, Negara Berdasar Syari’at Islam di
Tanah Jawa (LKS Syamina), Vol. II, Januari
2016
21.
www.kiblat.net
26.
Wikipedia offline
[1] Said Aqil Siradj, Mendahulukan Cinta Tanah
Air, dalam buku, Nasionalisme dan Islam Nusantara, (Kompas: Jakarta, 2015), hlm. 3
[2] Dukungan presiden Joko Widodo terhadap wacana Islam Nusantara (lihat:
Polemik di balik istiIah 'Islam Nusantara' - BBC Indonesia.htm), diakses pada, Rabu 17 Februri 2016
[3]Tweet dari akun twitter milik tokoh liberal, Ulil Abshar Abdalla (Ulil
Abshar Abdalla @ulil pada tanggal 21 Agustus 2015 “Jadi perbandingannya:
Islam Nusantara paralel dg Katolik. Islam liberal dg Protestan liberal. Islam
"Jonru" dg Protestan fundamentalis.”
[4] http://www.islamnusantara.com/pendidikan-hitam-dalam-kasus-bima-arya-walikota-bogor/, diakses pada 9 Mei 2016
[5] Pizaro Novelan Tauhidi, Islam Nusantara dan tantangan persatuan
ahlusunnah, dalam Islam Nusantara, Islamisasi Islam atau Menusantarakan
Islam? (ttp, tt, 1 Agustus 2015), hlm. 6
[7] Ini Penjelasan Kiai NU Bagi Penolak Islam Nusantara _ Republika
Online.htm, diakses pada 9 Mei 2016
[8] Heboh, Ketua NU Sebut Pria Berjenggot Goblok _ KoranNonstop.com.htm,
diakses pada 9 Mei 2016
[9] Syaiful Arif dkk, Nasionalisme dan Islam Nusantara...hal. 59,
Lihat juga: Menyoal urgensi Islam Nusantara sebagai sebuah identitas _
Berpikir Dan Bergerak.htm, diakses pada 9 Mei 2015
[10] KH. Abdurrahman Wahid menjadi ketua PBNU berdasar hasil Musyawarah
Nasional NU dalam 3 periode berturut-turut. Periode pertama (1984-1989)
terpilih karena pemikiran reformasinya terhadap NU. Kedua (1989- 1994)
periode ini beliau terkenal karena penentangannya terhadap rezim Soeharto dan
mulai mengeluarkan ide-ide liberalnya. Ketiga (1994-1999) beliau
menominasikan dirinya sendiri untuk menjadi ketua PBNU, meskipun ditentang oleh
rezim beliau tetap terpilih sebagai ketua (Wikipedia)
[11] lahir di Jombang,
Jawa Timur, 17 Maret 1939 , populer dipanggil Cak
Nur. Ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah
menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan
masyarakat, meninggal
di Jakarta, 29 Agustus 2005 (Wikipedia)
[12] Ainul Fitriah, Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pribumisasi Islam
dalam Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 3, Juni 2013, hlm. 2
[13] Ibid, hlm.3
[14] Saiful Arif, Nasionalisme dan Islam Nusantara...hlm. 60
[16] Draft Bahtsul Masa’il
Maudhu’iyah PWNU Jawa Timur tentang Islam Nusantara di Universitas Negri
Malang, pada tanggal 13 Februari 2015, hlm. 8
[17] Islam Nusantara/Menelisik 'Islam Nusantara' - Kiblat.htm, diakses pada
8 Agustus 2016
[18] www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614_indonesia_
islam-nusantara, diakses pada 16 Februari 2016
[19] www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/17/nq3f9n-islam-nusantara-1,
diakses pada 9 Mei 2016
[20] Islam Nusantara Wujud Dinamisasi Budaya dan Peradaban Indonesia _
Islam Nusantara.htm, diakses pada 9 Mei 2016
[21] Ibid
[22] Islam Nusantara/Menelisik 'Islam Nusantara' - Kiblat.htm, diakses pada
8 Agustus 2015
[23] Kalangan NU yang mengupayakan pengembalian pemahaman wagra NU kepada
ajaran KH. Hasyim Asy’ari yang murni sunni Syafi’iyah non Sekularisme,
Pluralisme dan Liberalisme (www.nugarislurus.com)
[24] Draft Bahtsul Masa’il Maudhu’iyah..., hlm. 11-16. Perlu diketahui di makalah ini, kami hanya tulis sebagian
contoh saja, untuk lebih lengkap silahkan dirujuk ke draft aslinya.
[25] Ahmad bin Salim as-Safarini, Lawami’ul Anwar, (Mu’assah
al-khafiqin wa maktabatuha: Damaskus, 1402H/1982M), hlm.4, vol.1
[26] Sayyid Sabiq, al-‘aqaid
al-Islamiyah, (Dar al-Kitab al-Arabi: Beirut, tt), hlm.9, vol.I
[27] Imam asy-Syafi’i, ar-Risalah, (Maktabah al-Halabi: Mesir,
1358H/1940M), hlm. 560, vol.1, ditahqiq oleh Ahmad Syakir
[28] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, (Mamlakah as-Su’udiyah: Madinah
an-Nabawiyah, 1416H/1995M), hlm.395, vol. 35, tahqiq oleh Abdurrahman
bin Muhammad bin Qasim
[29] Imam as-Syafi’i, ar-Risalah...hlm. 560, vol. 1
[30] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa...hlm. 395, vol. 35
[31] Abdurrahman bin Abdul Khaliq Yusuf, as-Salafiyun wal a’imah
al-arba’ah, (Dar as-Salafiyah: Kuwait, 1398H/1978M), hlm. 24
[32] Ibid, hlm.27
[33] Al-Burnu, al-Wajiz fi idhahi qawa’id al-Fiqhi al-Kulliyah, (Muassasah
ar-Risalah: Beirut, 1416H/1996M), hlm. 274
[34] Ibnu Nujaim, al-Asybah wa Nadha’ir ‘ala madzhab abi Hanifah, (Dar
al-Kutub’ilmiyah: Beirut, 1419H/1999M), hlm.79
[35] Ibid, hlm. 79
[36] al-Burnu, al-Wajiz fi idhahi
qawa’id al-Fiqhi al-Kulliyah...hlm.276-278
[37] Ibid, hlm. 278
[38] Ibid, hlm. 279
[39] Ibid, hlm. 282-
[40] Teknik ini dibuat
oleh Albert Humphrey, yang memimpin proyek riset pada Universitas Stanford
pada dasawarsa 1960-an
dan 1970-an dengan menggunakan
data dari perusahaan-perusahaan Fortune 500, sebagai sebuah metode evaluasi/rencana (Wikipedia)
[41] Sa’id al-Qahthani, al-hikmah fi ad-dakwah ilallah, (Maktabah
al-mulk Fahd al-wahtaniyah: Riyadh, 1424 H), hlm. 531
[42] Ibid, hal. 807
[44] K.Subroto, Kesultanan Demak,
Negara Berdasar Syari’at Islam di Tanah Jawa, dalam LKS Syamina, Vol. II, Januari 2016,
hlm. 14
[45] Rachmad Abdullah, Walisongo, Gelora Jihad
dan Dakwah di Tanah Jawa, (al-Wafi:Solo, 2015), hlm. 52
[46] Ibid, hlm. 56
[51] A. Ralph Epperson, The New world order,tt, hlm.
18
[52] Z.A Maulani, Zionisme Gerakan Menaklukkan Dunia, (Daseta:
Jakarta, April 2002), hlm. 85
[53] Sergey A. Nilus, Protocol of Zion, blueprint Zionis untuk menaklukkan
dunia, alih bahasa:Indriani Grantika, (Jakarta Selatan: Change, 2014), hlm.
151
[54] Sa’id Aqil Siradj, Mendahulukan Cinta Tanah Air, dalam
buku; Nasionalisme dan Islam Nusantara, hlm. 3