Tidak
terasa waktu berjalan begitu cepat, dan
tidak terasa pula tahan baru Hijriyah akan dimulai. Mungkin karena sudah
terbiasa menggunakan kalender Miladiyah(Masehi) sehingga kalender Hijriyah
sedikit terabaikan, menurut Syaikh
Mahmud Syakir,”Umat Islam mulai meninggalkan kalender Hijriyah semenjak
runtuhnya Daulah Abasyiah dikarenakan jatuhnya kota Baghdad ke tangan bangsa
Mongol pada tahun 656 H, sehingga pada kala itu berubahlah kalender Hijriyah
menjadi kalender Miladiyah”.[Mahmud Syakir, at-Tarikh al-Islami, jus: 1,
hal: 11, Maktabah Islami th.1991 M/ 1411 H].
Islam
sudah menerangkan bahwa dalam satu tahun terdiri dari dua belas bulan, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat at-Taubah ayat 36,
”Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat
bulan haram. . . ”.
Dalam
ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa dalam satu tahun ada
empat bulan haram yang di larang di dalamnya untuk berperang, yaitu; Muharram,
Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.[lihat tafsir Ibnu Katsir, jus: 2, hal: 323,
Maktabah ‘Ashriyyah th.2000 M/ 1420 H]
Dan
kita akan mengorek lebih dalam lagi dalam pembahasan kali ini, berkenaan dengan
awal tahun Hijriyah yakni bulan Muharram, selamat membaca !
v Keutamaan Bulan Muharram
Dalam Fikhul
Islam disebutkan bahwa yang paling utama dari keempat bulan tersebut adalah
bulan Muharram kemudian Rajab lalu dua sisanya, dan setelah bulan-bulan haram
adalah bulan Sya’ban. Malikiyyah(pengikut Imam Malik) dan Syafi’iyyah(pengikut
Imam Syafi’i) menganjurkan untuk memperbanyak shaum pada bulan-bulan ini, namun
Hanabillah(pengikut Imam Ahmad) lebih memilih cukup untuk shaum pada bulan
Muharram saja, yang menurut mereka sebagai seutama-utamanya shaum setelah shaum Ramadhan, sebagai mana sabda Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersumber dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
...أفضل الصيام بعد شهر رمضان شهر
الله المحرم
“. . . Seutama-utama shaum setelah bulan
Ramadhan adalah bulan Muharram”[HR. Muslim no.1163, Abu Dawud no.2429,
Aunul Ma’bud: 2412]
Sedang
seutama-utamanya hari pada bulan Muharram adalah hari yang kesepuluh, atau
sering kita disebut dengan hari ‘Asyura’.[Wahbah Azzuhaili, al-Fikhul Islam
wa Adillatuhu, jus: 2, hal: 521, Daar Fikr th.2009 M/ 1430 H]
v Menyambut Bulan Muharram
Mungkin ada
dalam benak kita untuk menghidupkan kembang api atau petasan dan mengundang
artis guna menyambut tahun baru Hijriyah sebagaimana yang biasa dilakukan dalam
menyambut tahun baru Masehi, Astagfirullah! segera buang jauh-jauh
anggapan-anggapan seperti itu, selain acara-acara seperti itu tidak menunjukkan
budaya Islam melakukannya juga merupakan tasyabuh dengan orang-orang kafir.
Meski demikian,
ternyata masih banyak perilaku
masyarakat kita yang dalam menyambut bulan ini masih dengan ibadah-ibadah yang bid’ah
bahkan sampai syirik, na’udzubillah min dzalik .
Lalu apa yang
harus kita lakukan guna menyambut bulan Muharram? Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam telah menganjurkan dan mencontohkan bagi umatnya untuk shaum
pada bulan ini yakni tepatnya pada tanggal kesepuluh di bulan Muharram.
v Shaum ‘Asyura’ (10 Muharram)
Diriwayatkan
dari Aisyah Radhiallahu ‘anha ia
berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar melakukan shaum pada hari
‘Asyura’, namun tatkala shaum Ramadhan telah diwajibkan, beliau bersabda, “Barangsiapa
yang ingin shaum ‘Asyura’ maka lakukanlah, dan barangsiapa yang tidak ingin
melakukannya maka tidak mengapa.” [HR.Bukhori no.2001, Fathul Bari 4/306]
Masih dari
Aisyah Radhiallahu ‘anha ia berkata, “Dahulu pada masa jahiliyah orang-orang
Quraisy melakukan shaum pada hari ‘Asyura’, begitupula Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam melakukan shaum (tatkala
belum berhijrah), dan tatkala sudah berada di Madinah beliau tetap melakukannya
dan memerintahkan untuk shaum, namun ketika shaum Ramadhan telah diwajibkan
beliau meninggalkan shaum ‘Asyura’, lalu bersabda, “Barangsiapa yang
berkehendak untuk shaum maka lakukanlah dan barangsiapa yang enggan maka
tinggalkanlah.”(HR.Bukhori no.2002)
Dan yang
dimaksud dengan (يصومه في الجاهلية) adalah sebelum beliau
hijrah ke Madinah.[lihat Fathul Bari, jus: 4, hal: 308-309, Daar
al-Kutub al-‘Alamiyah, Bairut, Lebanon th.1989 M/1410 H]
Begitupula hadits
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Tatkala
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam datang di Madinah beliau melihat
melihat orang-orang Yahudi melakukan shaum pada hari ‘Asyura’, lalu beliau bertanya, “Shaum
apakah ini ?”, mereka menjawab, “Ini adalah hari kebaikan, hari di mana Allah
memenangkan Bani Israil atas musuh mereka lalu Musa melakukan shaum, lalu
beliau berkata, “Akulah yang lebih berhak untuk itu(shaum) dari pada kalian”,
maka beliau melakukan shaum dan memerintahkan agar shaum.”[HR.Bukhari
no.2004, Fathul Bari 4/306]
Dan masih
banyak lagi hadits-hadits yang berkenaan dengan shaum ‘Asyura’ yang dapat
pembaca temukan di buku-buku hadits. Syaikh Al-Mubarakfuri menyebutkan bahwa jumhur
ulama’ baik yang salaf maupun yang khalaf telah sepakat bahwa hari ‘Asyura’ adalah
hari kesepuluh dari bulan Muharram.[lihat Tuhfatul Ahwadzi, jus: 3, hal:
397, Daar Fikr th.1995 M/1415 H]
Adapun sejarah pensyariatannya
sebagaimana tercantum dalam Fathul Bari :
·
Tatkala berada
di Makkah (sebelum berhijrah) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah melaksanakan shaum ‘Asyura’, akan
tetapi belum memerintahkannya kepada umat beliau.
·
Ketika hijrah
ke Madinah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mendapati kaum Yahudi
shaum pada hari itu, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam shaum
dan mewajibkan umatnya untuk shaum. Perintah ini pada awal tahun kedua Hijriyah
karena beliau tiba di Madinah pada bulan Rabi’ul Awwal.
·
Ketika shaum
Ramadhan diwajibkan, yakni pada tahun kedua Hijriyah, maka kewajiban shaum
‘Asyura’ dihapuskan dan menjadi sunnah. Kewajiban shaum ‘Asyura’ hanya
berlangsung selama satu tahun.[lihat Fathul Bari, jus: 4, hal: 308-309,
Daar al-Kutub al-‘Alamiyah, Bairut, Lebanon th.1989 M/1410 H]
v Fadhilah Shaum ‘Asyura’
Diriwayatkan
bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya berkenaan dengan shaum
‘Asyura’, lalu beliau bersabda, “. . . Shaum hari Arafah mendapatkan
ganjaran dari Allah berupa penghapusan dosa setahun sebelumnya dan setahun
setelahnya sedang shaum hari ‘Asyura’ akan mendapat ganjaran dari Allah berupa
dihapuskan dosanya setahun sebelumnya(yang telah lalu).”[HR.Muslim
no.1162(197)]
Dan
masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang fadhilah shaum
‘Asyura’, Imam Nawawi di dalam syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa yang
diampuni (dihapuskan) adalah dosa-dosa yang kecil bukan dosa-dosa besar,
sebagaimana penghapusan dosa apabila berwudhu.[lihat Syarh Shahih Muslim, jus:
8, hal: 41, Daar al-Kutub al-‘Alamiyah th.2000 M/ 1421 H]
Setelah kita mengetahui
keutamaan sesuatu hal alangkah baiknya apabila kita melaksanakan hal tersebut,
karena sangat disayangkan apabila terlewatkan dengan sia-sia dan juga belum
tentu tahun berikutnya kita masih diizinkan
oleh Allah untuk bertemu kembali dengan bulan Muharram.
v Perintah Menyelisihi Kaum Yahudi Dalam Shaum
‘Asyura’
Sebagaimana hadits yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kaum Yahudi juga melaksanakan shaum
pada hari ini. Lalu bagaimana dengan kita, apakah kita termasuk mengikuti
mereka? sedangkan bertasyabuh dengan orang kafir itu dilarang. Pembaca tidak
perlu kawatir sebab Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkan umatnya untuk menyelisihi kaum Yahudi dengan menambah shaum pada
hari yang kesembilan (Tasu’a).
Menurut Syaikh Al-Mubarakfuri pendapat yang menyebutkan untuk
berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh adalah pendapat yang paling rajih. Dikarenakan
banyak hadits yang menyebutkan berkenaan dengan ini, salah satunya sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صوموا
التاسع و العاشر و خالفوا اليهود
“Shaumlah pada hari kesembilan dan
kesepuluh, serta selisihilah orang Yahudi.”[HR.at-Tirmidzi
no.755, Tuhfatul Ahwadzi, jus: 3, hal: 398-399]
Adapun
sebagian ahlul ilmi yang menyunahkan untuk shaum 3 hari, yakni pada tanggal
ke-9, 10, dan 11. Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
“Shaumlah pada hari ‘Asyura’, dan selisihilah Yahudi, maka
shaumlah satu hari sebelum atau satu
hari sesudahnya.”[HR.Ahmad no.2154]
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa shaum pada bulan Muharram memiliki tiga metode, sebagaimana dipaparkan oleh Syaikh
al-Mubarakfuri di dalam Tuhfatul Ahwadzi, yakni ;
1.
Shaum pada hari
ke-9, 10, dan 11, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad.
2.
Shaum pada hari
ke-9 dan 10,
3.
Shaum pada hari
ke-10.
Dan untuk shaum ke-9 dan ke-10, banyak hadits yang menyebutkannya
sehingga lebih menguatkan perintah tersebut, walaupun shaum pada hari ke-10 dan
ke-11 juga merupakan bentuk dari menyelisihi Yahudi, adapun hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu merupakan
hadits yang marfu’(berhenti pada sahabat), sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar
al-‘Asqalani di dalam Fathul Bari jus ke-4 hal 309. Syaikh Syu’aib al-Arnauth
dalam mentahqiq hadits ini menyebutkan bahwa sanad hadits ini dhoif, Ibnu Abi
Laila(Muhammad bin Abdurrahman) sai’ul hifdzi(buruk hafalannya) dan Dawud bin
Ali(Ibnu Abdullah bin Abbas al-Hasyimi) menurut Ibnu Hiban di dalam ats-Tsiqat
menyebutkan bahwa di mukhti’un dan juga Imam adz-Dzahabi menyatakan bahwa
haditsnya tidak dapat dijadikan hujah.[lihat Tahqiq Musnad Imam Ahmad,
oleh Syaikh Syu’aib, jus: 4, hal: 52, fersi maktabah Syamilah]
Adapun hikmah dianjurkannya untuk menambah shaum
‘Asyura’ dengan hari kesembilan atau kesebelas selain untuk
menyelisihi kaum Yahudi, juga sebagai kehati-hatian
ditakutkan bulan sabit yang menurut perkiraan manusia masih tanggal sembilan ternyata
sudah tanggal sepuluh.[lihat al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, Imam
an-Nawawi, jus: 6, hal: 407, Daar al-Fikr th.1996 M / 1416 H]
و الله أعلم بالصواب
0 komentar:
Posting Komentar