v Sekilas Biografi Beliau
Beliau
adalah Sa’id bin al-Musayyib bin Hazn bin Abu Wahab bin Amru bin ‘Aidz bin
Imran bin Makhzum al-Qurasy al-Makhzumi al-Madani,
mendapat panggilan Abu Muhammad al-Madani dan beliau merupakan salah satu
pembesar para tabi’in pada masanya, faham akan hadits, ilmu fikih, dan seorang
yang zuhud, taat beribadah, dan sangan wara’ terhadap suatu hal. Beliau bertemu
dengan banyak dari sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan banyak mendengar hadits dari mereka, dan
juga menemui para istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam lalu mengambil
hadits dari mereka, namun beliau lebih
banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu serta
menjadi menantu bagi Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu.
Beliau
dilahirkan dua tahun setelah berjalannya kekhilafahan Umar bin al-Khattab, Ibnu
Abi Hatim berkata telah bercerita kepadaku Ali bin Hasan dari Ahmad bin Hanbal
dari Sufyan dari Yahya, aku mendengar Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Aku
dilahirkan dua tahun setelah berjalannya khilafah Umar.”
Sebelum
wafat beliau mengalami sakit yang sangat keras, sebagai mana yang disebutkan
oleh Abdurrahman bin Harmalah, “Aku menemui Sa’id bin al-Musayyib tatkala
beliau sakit keras dan ternyata beliau sedang melaksanakan salat Dzuhur, aku
mendengar beliau membaca surah asy-Syams.”
Setelah
menjalani masa sakitnya, akhirnya beliau wafat pada tahun 94 Hijriyah di
Madinah, tepatnya pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik dari Bani
Umayyah. Ini sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Hakim bin Abdullah bin Abi
Farwah, “Aku melihat Sa’id bin
al-Musayyib pada hari wafatnya beliau yakni pada tahun 94, dan tahun diwaktu
beliau wafat dinamakan dengan sannah al-fuqaha’ dikarenakan pada tahun itu
banyak ahli fiqih yang meninggal dunia.
Adapun
umur beliau ketika wafat adalah berumur 79 tahun lebih namun belum mencapai 80
tahun, Ibnu Hajar berpendapat apabila kelahirannya adalah pada tahun kedua setelah
berjalannya pemerintahan Umar sedangkan hadits yang menerangkan tentang ini
sanadnya adalah sahih, sehingga dapat disimpulkan bahwa umur beliau dapat
diperkirakan kurang dari 80 tahun.
v Keilmuannya
Sa’id bin Musayyib adalah tokoh yang terkemuka di Madinah dan termasuk yang
sangat dihormati dalam bidang fatwa. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah imam
para ulama’ fiqih.
Qudamah bin Musa berkata, “Ibnu al-Musayyib mengeluarkan fatwa sedangkan
para sahabat masih hidup”. Qatadah mengutarakan bahwa apabila al-Hasan mendapat suatu
kesulitan maka ia bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib, dan Sa’id merupakan
seorang yang sangat bersegera terhadap ilmu dan amal, serta kami mendapati pada
beberapa keluarganya hadits-hadits beliau.”
Muhammad bin Yahya bin Habban berkata, “Adalah yang diutamakan fatwanya
pada masa beliau adalah Sa’id bin al-Musayyib, dan dikatakan bahwa ia adalah
yang paling faqih dari para fuqaha’ .“
Ja’far bin Burqan mengatakan bahwa Maimun bin Mihran berkata, “Aku
mendatangi Madinah, lalu aku bertanya kepada penduduknya tentang siapakah yang
paling faqih di Madinah, lalu aku ditunjukkan kepada Sa’id bin al-Musayyib.”
Ma’n bin Isa dari Malik ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz tidak mau
memberikan keputusan suatu hukum sedang ia menjabat sebagai khalifah, sampai ia
bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib.”
v Ibadahnya
Beliau adalah seorang yang rajin dan tidak pernah meninggalkan salat
jamaah, Maimun bin Mihran berkata, “Aku mendapati bahwa Sa’id bin al-Musayyib
selama empat puluh tahun tidak menghadiri masjid dan mendapati para jamaah
telah selesai melaksanakan salat”, dengan kata lain bahwa Sa’id tidak pernah
tertinggal salat berjamaah selama empat puluh tahun.
Manna’ al-Qattan menyebutkan bahwa
Sa’id bin al-Musayyib adalah seorang yang tekun beribadah, ia berhaji
sebanyak empat puluh kali, dan beliau sangat bersegera menuju masjid guna
melaksanakan salat secara berjamaah.
Sa’id sendiri pernah berkata bahwa ia tidak pernah tertinggal dari takbir
yang pertama selama lima puluh tahun, dan ia berkata, “Aku memuliakan ibadah
dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan aku tidak menghinakannya dengan
bermaksiat kepada Allah.”
Ibnu
Hiban berkata, “Tidaklah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali
Sa’id sudah berada di dalam masjid.”
Al-‘Attaf
bin Khalid dari Abi Harmalah bahwa Ibnu Musayyib berkata, “Aku tidak pernah
meninggalkan salat berjamaah selama empat puluh tahun.”
Sufyan
ats-Tsauri dari Utsman bin Hakim aku
mendengar Sa’id berkata, “Tidaklah muadzin mengumandangkan adzan selama tiga
puluh tahun, kecuali aku sudah berada di masjid.” Sanad ini kuat.
Hammad
bin Zaid dari Yazid bin Hazim berkata, “Sesungguhnya Sa’id senantiasa melakukan
shaum.”
Dari
Abdurrahman bin Harmalah ia berkata, “Aku mendengar Ibnu al-Musayyib
mengatakan, ‘Aku telah berhaji sebanyak empat puluh kali.”
v Sanjungan Ulama’ Terhadapnya
Ahmad
bin Hanbal mengatakan, “Tabi’in yang paling utama adalah Sa’id bin
al-Musayyib.”
Qatadah
juga mengomentari, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang pandai dalam
masalah halal dan haram dari beliau.”
Dan
juga Yahya bin Sa’id menambahkan, “Beliau adalah manusia yang paling memahami hukum yang disampaikan Umar serta jalan penyelesaiannya, sehingga
mendapat julukan Riwayatu Umar.”
Ali bin al-Madani berkata, “Aku tidak menemukan para tabi’in yang lebih
luas wawasannya dari Sa’id bin al-Musayyib.”
Ibnu Hiban dalam ats-Tsiqat menyatakan, “Sa’id adalah seorang yang mulia
dari para tabi’in, seorang yang faqih, taat beragama, wara’, rajin beribadah
dan merupakan seorang yang terkemuka dikalangan penduduk Hijaz.”
v Kewibawaan dan Perjuangannya
Membela Kebenaran
Dari Imran bin Abdullah, ia berkata, “Sa’id bin al-Musayyib mempunyai hak
atas harta yang ada di baitul mal sebanyak tiga puluh ribu. Lalu ia diundang
untuk mengambilnya, akan tetapi ia menolak. Dia berkata, “Aku tidak membutuhkannya,
sehingga Allah memberikan keputusan yang adil antara aku dan Bani Marwan.”
Dari Ali bin Zaid berkata, “Seorang pernah berkata kepada Sa’id bin
al-Musayyib, ‘Apa pendapatmu tentang al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi yang tidak
pernah mengutus seseorang kepada anda dan tidak pula menyakiti anda?’, Sa’id
menjawab, “Demi Allah aku tidak mengetahui kecuali aku pernah melihat dia dan
ayahnya memasuki masjid, lalu melakukan salat yang tidak sempurna ruku’ dan
sujudnya. Lalu aku segera mengambil segenggam kerikil dan melemparkannya,
kemudian al-Hajjaj berkata, “Aku merasa telah melakukan salat dengan baik.”
Pada suatu ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengutus pengawalnya
untuk menanyakan suatu permasalahan. Kemudian, pengawal tersebut mengundangnya
dan mengajak datang ke istana, setelah Sa’id datang Umar bin Abdul Aziz
buru-buru berkata, “Utusanku telah melakukan kesalahan, aku hanya ingin
menanyakan kepadamu tentang suatu hal permasalahan di majelismu.”
Dari Salamah bin Miskin, dia berkata, “Imran bin Abdullah telah
memberitahukan kepada kami, dia berkata, “Aku melihat Sa’id bin al-Musayyib
adalah seorang yang lebih ringan untuk berjuang di jalan Allah dari seekor
lalat.”
v Guru-guru Beliau
Dikarenakan
beliau adalah salah satu dari Kibarut tabi’in, maka tidak heran apabila beliau
banyak berguru dengan pembesar-pembesar sahabat dan mendengarkan ilmu darinya,
diantara guru-gurunya adalah: Umar bin
al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdullah bin
Amru bin ‘Ash, Muawiyah bin Abi Shafyan, Abu Darda’, Abu Dzar al-Ghifari, Abu
Musa al-Asy’ari, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas,
Musayyib bin Hazn(bapaknya), Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik, Bilal, Zaid bin
Tsabit, Sarakah bin Malik, Abi Tsa’labah al-HusniRadhiallahu ‘anhum, dan masih banyak lagi. Disamping itu beliau
juga berguru atau mengambil hadits kepada istri nabi, seperti ‘Aisyah dan Ummu
SalamahRadhiallahu ‘anhuma.
v Murid-murid Beliau
Sedangkan
untuk murid, beliau memiliki banyak sekali, dan di sini kami hanya akan
menyebutkan sebagiannya saja. Diantaranya : Muhammad(anaknya), Salim bin
Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Ibrahim, Dawud bin Abi Hind, Zaid bin Aslam,
Shafwan bin Salim, Thariq bin Abdurrahman, Basir bin Muharrar, Idris bin Shahib
al-Auda, Usamah bin Zaid al-Laisi, Ismail bin Umayah, Abdullah bin Muhammad bin
Uqail, Abdullah bin Qayyis at-Tajibi, Shafwan bin Salim, dan masih banyak lagi
murid-murid beliau yang tidak kami sebutkan di sini.
v Menikahkan Anaknya
Abu
Bakr bin Abu Dawud menyatakan bahwa pada suatu ketika Abdul Malik bin Marwan
melamar anaknya Sa’id untuk anaknya Walid, namun ternyata Sa’id enggan dan
menolak lamaran tersebut. Sehingga Abdul Malik menjadi marah dan menghukum
Sa’id dengan hukuman seratus kali cambuk di hari yang dingin, lalu disiram
dengan air, dan dikenakan jubbah yang terbuat dari bulu domba.
Namun
sungguh mengherankan dimana dia menolak lamaran dari Abdul Malik yang mana ia
adalah seorang khalifah pada waktu itu dan justru mau menikahkan anaknya dengan
murid beliau yang notabennya adalah seorang yang sangat miskin dan
berperekonomian lemah.
Diceritakan
dari Ibnu Abu Wada’ah(menantunya),
berkata, “Aku mengikuti majelis ilmu Sa’id bin al-Musayyib, lalu aku tidak
menghadirinya beberapa hari, ketika aku hadir ia bertanya kepadaku, “Dari mana
saja kamu beberapa hari ini?, aku menjawab, “Istriku meninggal dunia dan aku
tersibukkan dengan dia dan urusan keluargaku”, Sa’id bertanya lagi, “Mengapa
engkau tidak mengabarkannya kepada kami, sehingga kami dapat hadir dan membantumu?,
apakah tidak ada yang menawarimu istri?”, lalu aku menjawab, “Semoga Allah
merahmatimu!, siapakah yang mau menikahkan anaknya denganku, seorang yang
miskin yang tidak memiliki apa-apa kecuali hanya dua atau tiga buah keping
dinar?”, ia menjawab, “Akulah orangnya”, aku bertanya, “Sungguh engkau ingin
melakukannya?”, ia menjawab, “Tentu”, lalu ia mengucapkan tahmid serta
bersalawat kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan menikahkan aku
dengan anaknya dengan mahar dua atau tiga keping dinar.”
Wallahu A’lam Bisshowab
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi,
Imam. 1990. Siar A’lam an-Nubala’. Beirut: Muasasah ar-Risalah
Hajar, Ibnu
al-Asqalani. 1984. Tahdzibut Tahdzib. Beirut: Daar Al-Fikr
As-Suyuthi,
Imam. 1983. Thabaqatil Huffadz. Beirut: Daar al-Kutub al-‘Alamiyah
Al-qatthan,
Manna’. 1997. Tarikh at-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Muasasah ar-Risalah