Senin, 07 November 2016

Hukum Khitan Wanita dalam Perspektif Syar’i

1


Oleh : Ihsanuddin
I.   Pendahuluan
     Alhamdulillah Rab Semesta Alam. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beserta keluarganya,sahabatnya, serta seluruh manusia yang masih istiqamah dalam mengikuti jejak beliau hingga hari kiamat.
      Khitan wanita masih menjadi tema yang unik bagi mayoritas umat Islam, sebagian masyarakat menganggap bahwa khitan bagi anak laki-laki adalah sebuah perkara yang sangat wajar. Namun faktanya tidak demikian mengenai khitan wanita, mereka masih menganggapnya tabu atau menjadi sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan. Banyak sekali kaum muslimin yang belum memahami permasalahan tentang hukum dan manfaat dari khitan wanita. Bahkan oleh sebagian kelompok menyatakan bahwa khitan wanita itu adalah tindakan kriminal yang harus dilarang, seperti yang diserukan oleh gerakan feminisme, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) asing, WHO (World Health Organization) dan lain-lainnya. Larangan khitan wanita juga diputuskan dalam Konferensi Kaum Wanita sedunia di Beijing China (1995). Di Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa, kaum feminis telah berhasil mendorong pemerintah untuk membuat undang-undang larangan khitan bagi perempuan. Kemudian di Belanda, khitan pada perempuan akan diancam hukuman 12 tahun. Pelarangan khitan perempuan tersebut juga pernah diterapkan di Negara Mesir yang nota benenya adalah Negara Islam.[2]
     Di Indonesia sendiri khitan wanita juga pernah dilarang secara legal  pada tahun 2006, dengan alasan bahwa Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari ketentuan WHO, dan karena khitan wanita dinilai bertentangan dengan HAM. Padahal mereka orang-orang Barat sengaja melarang khitan wanita dengan tujuan agar para wanita Islam tidak terkendalikan syahwat mereka, sehingga praktek perzinaan meluas dan terjadi di mana-mana dan akan terjadi dekadensi moral yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat mereka, dan ini telah terbukti.
     Kemudian pada tahun 2010, Mentri Kesehatan mengeluarkan peraturan baru dengan nomor 1636/MENKES/PER/2010 tentang khitan untuk wanita, dijelaskan bahwa khitan wanita hanya boleh dilakukan oleh petugas medis saja, yakni dalam hal ini adalah dokter, perawat dan bidan agar tidak menimbulkan dampak yang buruk. Sampai hari ini, fenomena khitan bagi perempuan terus menjadi perbincangan hangat antara kelompok yang mewajibkan, melarang, menyunahkan, atau yang mengatagorikannya sebagai kemuliaan. Di sisi lain, dari kalangan para ulama pun masih muncul sikap pro dan kontra mengenai soal hukum syar’i dari khitan wanita tersebut.
     Berangkat dari problematika inilah yang menjadi salah satu faktor dan yang dapat melatarbelakangi penulis dalam mengangkat tema ini. Serta yang telah menarik perhatian penulis untuk mencoba mengkajinya dari perspektif syar’i disertai penjelasan dari para ulama salaf dan kontemporer, dan mencoba untuk membedah kasus tersebut. Apalagi kita sedang hidup di zaman yang sangat memungkinkan terbukanya  sebuah pintu ikhtilaf (perbedaan pendapat) mengenai permasalahan-permasalahan kontemporer yang kian mengurita di dunia ini.
II.   Definisi Khitan Wanita dalam Fiqih Islam
     Secara Etimologi Khitan (الْخِتَاَنُ) berasal dari kata bahasa Arab khotana (ختنَ) yang berarti memotong.[3] Di dalam  Lisanul Arab disebutkan sebuah ungkapan khatanal ghulam wal jariyah yakhtinuhuma wa yakhtunuhuma. Artinya adalah mengkhitan anak kecil laki-laki atau anak kecil perempuan.[4]
     Menurut Ibnu Hajar bahwa al-khitan adalah isim masdar dari kata khatana yang berarti “memotong”, khatn yang berarti “memotong sebagian benda yang khusus dari anggota badan yang khusus juga”.[5] Bahwa kata “memotong” dalam hal ini mempunyai makna dan batasan-batasan khusus. Maksudnya, bahwa makna dasar kata khitan adalah bagian kemaluan yang harus dipotong.[6]
     Bentuk isimnya (kata bendanya) adalah khitan dan khitanah. Sedangkan bentuk obyeknya adalah makhtun (orang yang dikhitan) dan ada yang berpendapat bahwa kata khitan digunakan untuk kaum laki-laki, sedangkan untuk wanita adalah khafdhu, lalu kata I’zar digunakan untuk laki-laki dan wanita. Sedangkan kata khatin sama dengan makhtun (orang yang dikhitan), dan istilah ini bisa digunakan untuk laki-laki dan wanita. Dan Khitanah adalah nama pekerjaan tukang khitan, lalu kata Khatn adalah perbuatan orang yang mengkhitan anak kecil. Sedangkan, kata khitan mencangkup semua organ yang dikhitan, sekaligus penanganannya. Juga, mengandung arti sebuah bagian organ yang dipotong dari klitoris wanita. Abu Manshur berkata,”Bahwa kata khitan itu berarti bagian organ intim laki-laki dan wanita yang dipotong.[7] Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
إِذَالْتَقَى الِختَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila dua khitan telah bertemu ,maka mandi (junub) telah menjadi wajib.”(HR.Tirmidzi,Ibnu Majah dan Ahmad)[8]
     Maksud dua khitan di sini adalah sebagian organ tubuh yang dipotong pada bulatan bagian ujung hasyafah (ujung penis) dari kemaluan laki-laki dan wanita. Pemotongan keduanya juga diistilahkan dengan i’dzar dan khafdh. Dan arti dasar dari al-khatn adalah al-qath’u (memotong).[9]
     Secara Terminologi menurut istilah ahli fiqih dan istilah ahli medis adalah sebagai berikut :
Menurut ahli fiqih, khitan adalah membuang kulit yang menutupi ujung dzakar, sehingga ujung dzakar ini keluar atau nampak.[10] Menurut ahli medis, khitan adalah menghilangkan jaringan kulit yang melebihi ujung kemaluan. Artinya, apabila tidak terdapat jaringan kulit (selaput) yang melebihi ujung kemaluan, maka tidak ada masalah.[11]
Ada beberapa pendapat dari para ulama dalam pengertian khitan, diantaranya:
ØAl-Mawardi :
قَطْعُ اْلجِلْدَةُ تَكُوْنُ فِي أَعْلَى فَرْجِهَا كَعُرْفِ الدِّيْك
"Khitan pada perempuan adalah memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klitoris yang bentuknya seperti jengger ayam (preputium clitoris)."[12]
Ø Imam Nawawi :
اَلْخِتَانُ هُوَ فِى الذَّكَرِ قَطْعُ جَمِيْعِ اْلجِلْدَةِ الَّتِى تُغَطّى اْلحَشَفَةَ حَتَّى تَنْكَشِفَ جَمِيْعُ اْلحَشَفَةِ، وَ فِى اْلاُنْثَى قَطْعُ اَدْنَى جُزْءٍ مِنَ اْلجِلْدَةِ الَّتِى فِى اَعْلاَ اْلفَرْجِ
Khitan bagi laki-laki ialah memotong semua kulit yang menutupi kepala dzakar, sehingga terbuka kepala dzakar seluruhnya. Sedangkan bagi wanita ialah memotong sedikit bagian berupa kulit (selaput) yang berada di atas lubang kemaluan (yang menutup kelentit).[13]
 III.   Dalil-Dalil Tentang Khitan Wanita
Ø Dalil dari Al-Qur’an:
... وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“…..Dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”{Al-Hajj [22] :77}
    Syaikh Abu Asybal Zuhairi telah menafsirkan,”Bahwa Al-Qur’an telah mengajarkan pada kita tentang kaidah-kaidah global (universal). Misalnya, kalau sekiranya kita tahu khitan itu mengandung sedemikian banyak manfaat dan kebaikan bagi laki-laki dan wanita, di samping itu juga dapat mengontrol gejolak syahwat keduanya, maka kita akan memahami bahwa itu termasuk dalam pengertian dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala:”…Dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan{Al-Hajj :77}
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّه ...
“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah..”{An-Nisa’[4]:80}
... فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
“…Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.”{An-Nuur [24] : 63}
     Di dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan mengenai maksud ayat diatas adalah apabial seseorang menyelisihi perintah, metode, sunnah Rasulullah baik dari segi perkataan dan perbuatan , serta secara lahir ataupun batin, maka niscaya mereka akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih.
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا...
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah millah (agama) Ibrahim seorang yang hanif…”{An-Nahl [16]: 123}
     Dari ayat di atas Syaikh Abu Asybal Zuhairi mengatakan,”Bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam   untuk mengikuti millah Nabi Ibrahim a.s. dan di antara peninggalan ajaran millah Ibrahim adalah Khitan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَه ...
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia….”{Al-Mumtahanah [60] : 4}[14]
Ø Dalil dari As-Sunnah :
Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ
“Lima hal yang termasuk Fitrah, yakni mencukur bulu kemaluan, khitan, menggunting kumis, mencabut bulu ketiak,dan memotong kuku.[15](HR. Bukhori dan Muslim, Juz. 1, hlm. 221)
     Syaikh Abu Asybal Zuhairi mengatakan,”Al-Khaththabi, mengutip dari mayoritas ulama, ia berkata,’Bahwa maksud Fitrah di sini adalah sunnah (perikehidupan), atau agama. Jadi, lima kriteria ini termasuk sunnah dan agama. Bahkan, sebagian ulama mengatakan bahwa ia adalah merupakan naluri bawaan dan watak asli bagi manusia.’[16]
     Kemudian Al-Baidhawi berkata : “Bahwa maksud Fitrah yang disebutkan dalam hadits di atas adalah perikehidupan. Yaitu, perikehidupan yang dipilih para nabi dan disepakati semua Syari’at, sehingga seolah-olah lima perkara tersebut telah menjadi suatu watak yang mereka miliki semenjak diciptakan.”[17]
     Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, bahwa maksud Fitrah dalam hadits di atas adalah merupakan lima perkara yang apabila dilaksanakan, maka pelakunya akan menyandang fitrah yang Allah Ta’ala telah menciptakan para hamba di atasnya, dan menganjurkan mereka untuk memeliharanya. Juga, menjadikan mereka mencintainya, agar mereka berada dalam sifat paling sempurna, paling mulia, dan dalam penampilan paling indah. Dan di antara kelima perkara tersebut salah satunya adalah Khitan.[18]
الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ وَ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ
“Khitan itu sunnah bagi kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum wanita.”(HR. Thabrani, dalam Al-Kabir, Juz 11, hal. 186, no. 1159)[19]. Bahwa maksud sunnah di sini adalah amalan sunnah yang tidak boleh ditinggalkan.
     Syaikh Abu Asybal Zuhairi berkata:”Maksudnya adalah dapat menyebabkan lahirnya rasa hormat seorang suami kepada seorang istri. Inilah makna kemuliaan, yaitu seorang istri akan menjadi lebih dihargai dan dihormati oleh seorang suami.”[20]


IV. Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Khitan Wanita
     Para ulama ahli fiqih telah sepakat bahwa khitan wanita secara umum ada di dalam Syari’at Islam. Dan mereka juga telah bersepakat tentang legalitas khitan wanita dalam Syariat Islam, buktinya, kitab-kitab dari kalangan ahli fiqih empat madzhab telah menyebutkan perbedaan pendapat seputar status hukum yang bersifat wajib atau sunnah berkhitan bagi wanita. Tidak satu pun dari mereka yang berpendapat haram atau makruh. Sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat dari para ulama tentang setatus hukum khitan wanita, maka dari itu perlu dipelajari masing-masing pendapat tersebut baik yang mengatakan wajib, sunnah, makruh dan haram, diantaranya adalah sebagai berikut.
1)   Kelompok Yang Berpendapat Hukum Khitan Wanita Adalah Wajib
     Imam Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ (juz.I, halaman: 284-285) pernah berkata:
 الْخِتَانُ وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ عِنْدَنَا، وَبِهِ قَالَ كَثِيْرُوْنَ مِنَ السَّلَفِ، كَذَا حَكَاهُ الْخِطَابِي، وَمِمَّنْ أَوْجَبَهُ أَحْمَدُ، وَقَالَ مَالِكُ وَأَبُوْ حَنِيْفَةُ سُنَّةٌ فِي حَقِّ الْجَمِيْعِ
Dalam madzhab kami (Madzhab Syafi’i) khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan bagi perempuan. Menurut al-Khittâbi, pendapat ini juga merupakan pendapat kebayakan ulama salaf (ulama terdahulu). Ulama lain yang berpendapat khitan itu wajib adalah Imam Ahmad. Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, khitan itu sunnat bagi laki-laki maupun bagi perempuan.”
     Kemudian dalam kitab Al-Muntaqa (juz. I halaman: 232) Imam Syafi'i berpendapat bahwa hukum khitan adalah wajib bagi laki-laki dan wanita. Serta di dalam kitab Kasysyaf Al-Qanna’ (1-80 ) dan dalam kitab Al-Inshaaf (1-123) Imam Ahmad juga berpendapat khitan hukumnya adalah wajib bagi laki-laki dan wanita. Asya'bi, Rabi'ah, Al-Auza'i dan banyak ulama lainya berpedapat bahwasanya khitan wajib bagi laki laki dan perempuan. Dan Imam Malik  menekankan, terlihat pada perkataan beliau" Barang siapa yang tidak berkhitan maka ia tidak boleh menjadi imam dan kesaksiannya tidak diterima.” Di antara alasan-alasan yang menunjukkan wajibnya khitan wanita adalah sebagai berikut :
a)   Bahwa khitan merupakan salah satu ajaran agama Nabi Ibrahim. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  bersabda :
اِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اِبْنُ ثَمَانِينَ سَنَةًباِلْقَدُوْمِ
“Bahwa Ibrahim a.s berkhitan dengan kapak saat ia berusia 80 tahun.” (H.R.Bukhari, 6298 dan Muslim, 370)
 Keterangan :
Ø Kalau dibaca Bilqoduum, artinya “dengan kampak”, tetapi kalau dibaca Bilqodduum dengan tasydid, artinya “di kota Qoddum”, di daerah Syam.
Ø Mulai saat itulah khitan telah menjadi syari’at (peraturan) pada ummat Nabi Ibrahim dan keturunannya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meneruskan syari’at itu untuk dilaksanakan oleh ummatnya.
Ø Telah kita ketahui bahwa pokok-pokok ajaran yang telah disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim pada umumnya diteruskan dan dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga menjadi ajaran Islam.
Firman Allah Ta’ala :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا...
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah millah (agama) Ibrahim seorang yang hanif…”{An-Nahl [16]: 123}
     Bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengikuti millah Nabi Ibrahim a.s dan di antara peninggalan ajaran millah Nabi Ibrahim adalah Khitan. Bahkan ia termasuk di antara kalimat-kalimat yang Allah ujikan kepada Nabi Ibrahim, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ...
“Dan (ingatlah),ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya…”{Al-Baqarah [2] :124}
     Biasanya, suatu ujian berkaitan erat dengan sesuatu yang wajib.[21] Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata tentang ayat ini,”Allah telah menguji Ibrahim agar bersuci di lima tempat di bagian kepala dan lima tempat lainnya di bagian tubuh. Yaitu, menggunting kumis, berkumur, istinsyaq (memasukkan air ke hidung), bersiwak dan mencukur rambut. Adapun yang di bagian tubuh adalah memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak, dan mencuci organ yang digunakan untuk buang air besar dan kecil dengan air (istinja’).”(HR. Bukhari Muslim)
     Demikian dua ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan dalil oleh pendapat pertama akan wajibnya khitan bagi laki-laki dan wanita.
b)      Sebagaimana hadits Ummu Athiyyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada wanita tukang khitan yang biasa mengkhitan di wilayah Madinah :
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِي َصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ لِأُمِّ عَطِيَّةِ وَهِيَ خِتَانَة كَانَتْ تختن النِّسَاء فِي اْلمدِيْنَة : " إِذَاخَفَضْتِ فَأَشمِّي وَلاَ تُنْهَكِي، فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلوَجْهَ وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ
Bahwa Rasulullah bersabda kepada seorang wanita tukang khitan yang biasa mengkhitan di wilayah Madinah, Apabila engkau mengkhitan (wanita), maka potonglah sedikit dan jangan berlebihan, karena yang demikian itu dapat mencerahkan wajah seorang wanita, dan lebih menyenangkan suami.” {HR. Hakim, juz 3, hal. 603, no. 6236 dan disahihkan oleh Al-Baniy }
c)      Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Waki’ dari Salim Abi Ala’ Muradi, dari Amru bin Haram, dari Jabir, dari Yazid, dari Ibnu Abbas, ia berkata :
اْلأَقْلَفُ لَا تُقْبَلُ لَهُ صَلَاةُ وَلَا تُؤْكَلُ ذَبِيحَتَهُ
Orang yang tidak berkhitan, maka shalatnya tidak diterima dan sembelihannya tidak boleh dimakan.” (HR. Ahmad). Adapun setatus hadits ini adalah mauquf kepada ibnu Abbas. [22]
d)     Bahwa khitan sama dengan memotong bagian dari organ tubuh yang tidak bisa tumbuh kembali sebagai bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Sehingga, hukumnya wajib seperti hukum memotong tangan dalam tindak pencurian.[23]
e)      Bahwa dibolehkan orang yang hendak dikhitan membuka aurat, dan orang yang mau mengkhitan pun dibolehkan melihat aurat tersebut. Padahal kedua hal ini, pada asalnya hukumnya haram. Andaikata khitan tidak wajib, tentulah hal itu tidak dibolehkan.[24]
f)       Bahwa orang yang tidak berkhitan dapat membuka peluang rusaknya thaharah dan shalatnya. Sebab, kulit kulupnya menutupi semua bagian zakar (kemaluan), sehingga kulupnya terkena air kencing dan tidak mungkin dibersihkan. Jadi keabsahan bersuci dan shalat tergantung erat dengan khitan, dan maslahat ini juga teraplikasi pada kaum wanita.[25]
2)      Kelompok Yang Berpebdapat Hukum Khitan Adalah Sunnah
     Bahwa dalam kitab al-Fawâkih ad-Dawâni karya Imam Ahmad bin Ghanam an-Nafrâwî, disebutkan :
وَالْخِفَاضُ  قَطْعُ مَا عَلَى فَرْجِ اْلأُنْثَى وَهُوَ كَعُرْفِ الدِّيْكِ ( لِلنِّسَاءِ ) وَحُكْمُهُ أَنَّهُ
مُكَرَّمَةٌ , بِضَمِّ الرَّاءِ وَفَتْحِ الْمِيْمِ أَيْ كَرَامَةٌ بِمَعْنَى مُسْتَحَبٌ لِأَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ
Al-Khifâdh atau khitan bagi perempuan yaitu dengan cara memotong sedikit bagian yang seperti belalai ayam yang ada dalam kemaluan perempuan, hukumnya makrumah (mulia), dengan membaca dhammah huruf ra’ dan fathah huruf mim, yaitu mulia dalam artian dianjurkan (sunnah), berdasarkan perintah Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”.
     Kelompok yang berpendapat bahwa hukum khitan laki-laki dan wanita adalah sunnah, pendapat ini dipegang oleh Mazhab Hanafi yang terdapat di dalam kitab Hasyiah Ibnu Abidin : 5- 479, dan dalam kitab Al-Ikhtiyar : 4-167, yang mendasari alasannya dengan beberapa dalil berikut:
a)      Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ وَ مَكْرُمَةٌ لِلّنِسَاءِ
     Khitan itu sunnah bagi kaum lelaki dan merupakan kehormatan bagi wanita.” {H.R Ahmad dan Baihaqi}. Bahwa maksud sunnah dalam hadits ini bukanlah amalan sunnah yang boleh untuk ditinggalkan, jadi maksud sunnah di sini adalah suatu metode, Syariat dan jalan hidup[26] hal ini sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,” Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sepeninggalku,” dan hadits,”Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan dari gologanku.” Bahwa maksud sunnah dalam hadits ini adalah jalan dan metode hidup.
b)   Diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, bahwa ia berkata,”Sungguh banyak manusia telah masuk Islam bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau tidak memeriksa seorang pun dari mereka.[27]
c)    Adapun secara medis menurut Dr. Muhammad Ali Al-Bar yang berpendapat sunnah dan mengandung banyak manfaat. Ia berkata,”Khitan bagi wanita adalah sunnah.” Bila dilakukan dengan memotong sedikit bagian dari klitoris. Bahwa klitoris yang dimiliki bagi wanita layaknya zakar pada pria. Hanya saja bentuknya sangat kecil dan tidak dilalui saluran air kencing. Di ujung klitoris terdapat kulit kulup meskipun kecil, tapi dapat menyimpan banyak penyakit, sebagaimana kulup yang dimiliki oleh lelaki. Sebab, di kulit inilah cairan akan menumpuk dan menjadi sarang pertumbuhan mikroba dan penyakit. Klitoris adalah organ yang sangat sensitif seperti ujung zakar. Tak diragukan, bahwa organ ini sangat ampuh untuk meningkatkan libido dan nafsu birahi. Sehingga bisa digolongkan sebagai pemicu dari perbuatan perzinaan.[28]
    V.   ANALISA DALIL DARI PENDAPAT YANG WAJIB DAN SUNNAH
Ø Pendapat yang wajib :
1)   Dalam kitabnya Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah, Syaikh Al-Bani ketika menilai hadits ini, ia secara panjang lebar membahas dan menjelaskannya, dengan ditambahi hadits-hadits dan jalur-jalur yang menjadi penguatnya (syawâhid). Di kesimpulan terakhirnya, ia mengatakan:
وبالجملة فالحديث بهذه الطرق والشواهد صحيح، والله أعلم
“Dengan melihat hadits-hadits secara keseluruhan, hadits ini dengan sanad-sanad dan syawâhid (penguat-penguat) yang telah disebutkan, adalah Shahih. Wallâhu a’lam.
2)   Berdasarkan sebuah Kaidah Fiqiyyah :
الضَّرَرُ اْلأَشَدُ يُزَالُ بِالضَّرَرِ اْلأَخَفِّ
Bahaya yang lebih berat dapat dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan”[29]
     Bahwa dibolehkan orang yang hendak dikhitan membuka aurat, dan orang yang mau mengkhitan pun dibolehkan melihat aurat tersebut. Sehingga bahaya yang berisiko kecil harus ditanggung untuk mencegah bahaya yang lebih besar. Padahal kedua hal ini, pada asalnya hukumnya haram. Andaikata khitan tidak wajib, tentulah hal itu tidak dibolehkan.
3)   Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 124, mengutip pendapat Qatadah bahwa yang dimaksud dengan ayat: “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus” adalah khitan (sunat).
Ø Pendapat yang sunnah :
1)        Mengenai hadits :

الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ وَ مَكْرُمَةٌ لِلّنِسَاءِ
     Syaikh Albany dalam Silsilah al-Ahâdits ad-Dha’îfah menilai hadits di atas sebagai Hadits Dhaif. Syaikh Albany mengatakan:
أخرجه أحمد، وهذا إسناد رجاله ثقات، غير أن الحجاج و هو ابن أرطاة مدلس و قد عنعنه، و اختلف عليه في إسناده فرواه عباد هكذا، و تابعه حفص بن غياث عن الحجاج به
“Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan sanad rawi-rawinya tsiqat (kuat, terpercaya). Hanya saja ada rawi bernama al-Hajjâj dan dia itu Ibnu Arthah, seorang rawi mudallis, dan ‘an’anah. Sanadnya diperdebatkan, ‘Ubad meriwayatkannya begini, juga diikuti oleh Hafzh bin Ghiyats dari al-Hajjaj”.
     Mereka para fuqaha’juga berdalil dengan hadits-hadits Rasulullah saw. Hadits-hadits ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Yang bersifat umum seperti yang diriwayatkan Bukhari Muslim, sedangkan yang bersifat khusus seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Baihaki dan lainnya. Hadits-hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits Shahih, karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
     Dengan demikian, tidak benar kalau dikatakan bahwa pendapat yang mengatakan khitan perempuan itu diperintahkan berdasarkan kepada hadits-hadits Dhaif. Tapi yang lebih tepat, hadits-hadits yang dipergunakannya, ada yang shahih, dhaif, dan ada juga yang diperdebatkan kedhaifannya. Wallâhu a’lam bis shawâb.
VI.   BATASAN YANG DIPOTONG PADA KHITAN WANITA DALAM ISLAM
      Di tengah-tengah masyarakat, khitan wanita dilakukan dengan empat cara. Namun, para medis memperselisihkan urutan tingkatan-tingkatan tersebut. Diantaranya adalah sebagai berikut :
a)    Sepasang labiom minora dan sebagian kecil dari klitoris (ujung klitoris) dipotong.
b)   Menghilangkan sebagian klitoris dan sebagian dari sepasang bibir kemaluan bagian dalam (labium minora).
c)    Menghilangkan semua klitoris dan semua bagian dari sepasang bibir kemaluan bagian dalam (labium minora).
d)   Khitan Fir’aun yang merupakan tingkatan keempat inilah yang paling berbahaya serta bertentangan dengan Islam. Yaitu semua bagian dari sepasang labium minora, sepasang labium mayora dan klitoris dipotong semua tanpa tersisa sedikitpun klitorisnya.[30]
     Ringkasnya dalam pelaksanaan khitan pada perempuan harus dilaksanakan oleh tenaga medis muslimah yang ahli di bidangnya dan mengerti tentang ajaran islam dengan baik serta dapat menjalankan praktek khifadh (khitan wanita) sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
     Khitan wanita dalam pandangan orang-orang barat merupakan salah satu tidakan kriminal yang harus dilarang, karena dalam praktiknya menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu memotong semua bagian dari labium minora, labium mayora dan klitoris dipotong semua tanpa tersisa sedikitpun, sehingga dapat mematikan naluri seksual bagi seorang wanita.
     Sedangkan, tata cara dalam pelaksanaan khitan wanita menurut perspektif medis telah diutarakan dalam sebuah kitab yaitu ‘Amaliyyatul Khitanil Untsa (Prosesi Khitan Wanita) sebagai berikut :
1)   Obat bius harus diberikan dengan dosis yang benar-benar bisa menghilangkan kesadaran.
2)   Lokasi yang akan dipotong dibersihkan dengan sebersih-bersihnya.
3)   Penyuntikan obat bius sebanyak 5 ml. Caranya, 3 ml obat bius disuntikkan dengan cara khusus di sekitar kemaluan. Sedangkan sisanya disuntikkan langsung ke labium minora dan klitoris.
4)   Selaput klitoris dipegang dengan alat penjepit, kemudian diangkat untuk melihat bagian-bagian di atas bibir kemaluan bagian dalam yang perlu dipotong. Dan pemotongan bisa dilakukan dengan menggunakan gunting kecil atau pisau bedah.
5)   Hendaknya memastikan lokasi pendarahan hingga benar-benar kering.
6)   Kemudian menjahit pinggir-pinggir luka dengan benang khusus agar rapat.
7)   Hendaknya bagian-bagian yang dipotong adalah pada bagian yang menonjol dari klitoris dan labium minora. Kemudian diberi obat bius pada hari pertama setelah proses khitan selesai, agar segera sembuh. Dan luka akan sembuh sekitar 3-4 hari.[31]
VII.   HAL- HAL YANG DAPAT MENGGUGURKAN KHITAN WANITA
Bahwa kewajiban khitan akan menjadi gugur apabila dalam keadaan sebagai berikut diantaranya adalah :
a)    Apabila anak perempuan lahir tanpa memiliki selaput yang menutupi ujung klitorisnya.[32]
b)   Apabila wanita meninggal sebelum dikhitan.[33]
c)    Wanita yang masuk Islam ketika telah tua dan mengkhawatirkan keselamatan dirinya bila dikhitan.[34] Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah tetap mengkhitan wanita tua yang ingin masuk Islam atau wanita yang sudah menginjak usia baligh dalam keadaan belum di khitan, dengan syarat bila hal tersebut tidak menyebabkan bahaya bagi pelakunya.
d)   Apabila anak perempuan tidak kuat menahan rasa sakit ketika dikhitan, sehingga bila dilakukan akan meyebabkan bahaya yang lebih besar (kematian). Maka akan seperti ini boleh untuk tidak melakukan khitan. [35]
VIII.   SYUBHAT-SYUBHAT TENTANG KHITAN WANITA
Adapun pendapat kelompok yang mengatakan, bahwa khitan wanita adalah merupakan kebiasaan buruk yang tidak memiliki korelasi dengan Islam, baik dari kalangan ulama kontemporer ataupun paramedis, maka syubhat-syubhat mereka dapat dibantah dengan jawaban berikut :
a)    Pendapat sebagian ulama dan dokter bahwa tidak ditemukan nash syar’i yang shahih terkait dengan khitan wanita yang bisa dijadikan hujjah. Di antara yang mengatakan seperti itu adalah syaikh Sayyid Thanthawi.
    Bahwa pertanyaan ini dapat terbantahkan dengan hadits-hadits shahih di antaranya adalah :
Hadits tentang :”Lima hal yang termasuk fitrah” ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan Bukhari, Muslim. Kemudian hadits tentang :”Apabila dua khitan bertemu, maka mandi telah menjadi wajib,” (H.R. Muslim) Imam Ahmad menjelaskan tentang hadits ini “ Bhawa para wanita zaman dahulu juga berkhitan.” Kemudian hadits tentang :”Khitanlah dan jangan berlebihan dalam memotongnya”, ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Bani.[36]
     Kemudian terkait dengan disyariatkannya khitan bagi wanita, para fuqaha’ berdalil dengan hadits Ummu Athiyyah yang setatus haditsnya adalah hasan, hadits ini diperkuat oleh riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda,”Wahai para wanita Anshar, berkhitanlah dan jangan berlebihan dalam memotongnya.” Hadits ini diriwayatkan secara marfu’dengan riwayat lain dari Abdullah bin Umar. Bahwa riwayat-riwayat ini dan lainnya mengandung seruan Rasulullah untuk mengkhitan wanita dan larangan beliau dalam memotong klitoris seluruhnya. Petunjuk Nabi ini, tiada lain bertujuan untuk mengendalikan keseimbangan nafsu seksual yang dimiliki wanita.
     Berdasarkan uraian di atas, maka kesimpulan yang bisa ditarik dari teks-teks syar’i dan pendapat para fuqaha’ sesuai dengan apa yang terdapat dalam kitab-kitab Fiqih dan Al-Hadits. Khitan bagi laki-laki dan wanita termasuk dalam katagori fitrah yang diperintahkan dalam Islam dan dianjurkan agar selalu dijalani sesuai dengan ajaran Rasulullah terkait tentang tata cara dalam berkhitan.[37]
b)   Mereka (Gerakan Feminisme) mengatakan,”Sesungguhnya khitan wanita memiliki dampak negatif yang sangat banyak, pendarahan yang hebat, infeksi pada luka bekas khitan, infeksi pada alat reproduksi, dan pada kandung kemih serta dapat menyebabkan wanita tidak dapat merasakan kenikmatan seksual. Demikian pula terjadinya sebagian kasus perceraian karena disebabkan adanya khitan wanita.”
     Pertanyaan ini dapat dibantah, bahwa semua dampak buruk ini muncul jika kita dalam praktek khitan tidak mengikuti petunjuk Rasulullah atau dalam pelaksanaannya menggunakan peralatan yang tidak steril. Rasulullah telah menjelaskan kepada kita, bahwa dalam khitan wanita, yang diambil atau dipotong itu hanya sedikit saja dan disisakan sebagian besarnya. Dan apabila hal ini dilaksanakan sesuai dengan metode yang diajarkan Rasulullah bisa mencerahkan wajah bagi seorang wanita, dan dapat memberikan rasa nikmat dalam berhubungan intim bagi seorang suami.
     Dalam buku Az-Zawajul Mitsali disebutkan,”Bahwa wanita tidak memiliki organ yang lebih mudah bereaksi dan lebih sensitif daripada klitoris dan sepasang bibir kemaluan bagian dalam (labium Minora).[38] Kemudian juga dinyatakan dalam buku tersebut,”Bahwa wanita yang tidak berkhitan bisa mencapai orgasme dua atau tiga kali, atau bahkan dua belas kali atau lebih dalam sekali hubungan intim.[39] Setelah ini, masihkah mereka mengatakan bahwa anggapan gesekan baju dengan klitoris wanita mampu membangkitkan syahwatnya adalah omong kosong belaka. Bahwa Islam tidak memerintahkan untuk menghilangkan klitoris wanita sampai ke akar-akarnya, tapi Islam memerintahkan untuk memotong sebagiannya saja, dengan tujuan agar tingkat sensitivitas seksualnya sedikit berkurang dan bisa terkendalikan dengan baik.
     Jadi, segala kebaikan hanya bisa diraih dengan mengikuti ajaran Rasulullah, karena beliau telah mensyariatkan untuk umatnya tentang semua hal yang mengandung maslahat baik di dunia maupun di akhirat.
c)    Mereka mengatakan,”Bahwa khitan wanita mengandung unsur pelecehan terhadap dirinya dan merupakan perampasan hak-haknya, sehingga sangat kontradiktif dengan hadits Rasulullah.”
     Bahwa ungkapan di atas dapat dijawab, sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Fathul Bari tentang penjelasan hadits,”Lima hal yang termasuk fitrah...,” kemudian apabila lima perkara ini dilaksanakan dengan baik, maka pelakunya akan menyandang fitrah yang mana Allah telah menciptakan para hamba di atasnya, lalu menganjurkan mereka untuk menjaganya dan menjadikan mereka untuk mencintainya, dengan tujuan agar mereka berada dalam keadaan yang paling sempuna dan penampilan yang paling mulia.”[40]
IX.   KESIMPULAN
1.   Para ulama ahli fiqih telah sepakat bahwa khitan wanita telah disyari’atkan dalam agama Islam, akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai setatus hukumnya ada yang mengatakan wajib, sunnah dan makromah. Dan seorang muslim tidak boleh melakukan pelarangan terhadap praktik khitan wanita.
2.   Khitan wanita mengandung beberapa manfaat dan hikmah seperti dapat menstabilkan syahwatnya (libido), kemudian dapat memelihara seseorang dari berbagai penyakit. dan khitan wanita itu tidak menimbulkan bahaya apa pun bila dilakukan sesuai yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
3.   Bahwa hukumnya sesuai dengan kondisional, karena keadaan organ wanita (klitorisnya) antara satu dengan yang lainnya itu berbeda-beda, maka bagi wanita yang memiliki klitoris yang panjang dan dapat mengganggu aktivitasnya sehari-hari dan membuatnya tidak pernah tenang karena seringnya terkena rangsangan dan dikhawatirkan akan menjerumuskannya ke dalam tindakan prostitusi seperti zina, maka bagi wanita seperti ini khitan hukumnya adalah wajib.
4.   Sedangkan bagi wanita yang klitorisnya berukuran sedang dan tertutup dengan selaput kulit, maka khitan baginya adalah sunnah, karena akan menjadikannya lebih baik dan dicintai oleh suaminya, sekaligus dapat membersihkan kotoran-kotoran yang berada dibalik klitorisnya.
5.   Adapun wanita yang memiliki klitoris kecil dan tidak tertutup dengan kulit (selaput), maka khitan baginya merupakan suatu kehormatan.


[2]Muhammad Sayyid as-Syanawi, Khitan al-Banat baina as-Syar’i wa at-Thibbi, hal. 92-95
[3] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam (Baerut; Dar al-Mashriq, 1986), hlm. 169.
[4]Ibnu Mundzir, Lisanul ‘Arab,( Beirut-Lebanon) jilid III, hlm.1102, kata Khatana, bab huruf Kha’ bersama ta’ dan nun.
[5]Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, Khitan dan Aqiqah; Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya; Al-Miftah, 1998 M), hlm. 332.
[6]M. Nipan Abdul Halim, Mendidik  Kesalehan Anak (Aqiqah, Pemberian Nama, Khitan dan Maknanya), (Jakarta;Pustaka Amani, 2001), hlm.106.
[7] Musthofa Al-Adawi, Jami’u Akhmu Nisa’, (Daru ibnu Qoyim dan Daru ibnu Afan), jilid I, hlm.18
[8]Hadist shahih lihat silsilah Al-Hadist As-Shahih, no.1261.dan Syarhun Nawawi, IV : 41-42, kitab Al-Haidh, bab Ma Yujibul Ghusla.
[9]Ibnu Mundzir, Lisanul ‘Arab,( Beirut-Lebanon) jilid II, hlm.1102, kata Khatana, bab huruf Kha’ bersama ta’ dan nun.
[10] Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani,Nailul Authar , (Darul Hadits,Mesir,1993 M), jilid I, hlm. 145
[11]Dr. Shafinaz Sayyid Syalabi, Femal Circumcision in Arural Community in Egypt, hlm. 1
[12]Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Baerut; Dar Al-fikr, 1989 M), vol. X, hlm. 340.
[13]Abu Al-Asybal Hasan Az-Zuhairi, Syarh Shahih Muslim, (Syabakah Al-Islamiyah), vol. I, hlm. 543. Versi Maktabah Syamilah
[14]Abul Asybal Az-Zuhairi,Al-Qaulul Mubin fi Itsbati Masyru’iyyatil Khitan lil Banat wal Banin, hlm.52-53.
[15]Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut,Libanon, 1989 M), vol.X, hlm.347; Syarhun Nawawi li Muslim, vol.III, hlm.146; Abu Dawud, vol.I, hlm.14-15; Nasa’I, vol.I, hlm.13-14; Al-Muwaththa’, vol. II, hlm. 333-334.
[16]Abul Asybal Az-Zuhairi, Al-Qaulul Mubin fi Itsbati Masyru’iyyatil Khitan lil Banat wal Banin, hlm.37.
[17]Ibid. hlm. 37
[18]Ibid, hlm. 37-38; Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut,Libanon, 1989 M), vol.I, hlm.351-352.
[19]Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani, Fathur Rabbani min Fatawa imam Asy-Syaukani , (Maktabah Jailul Jadid, Yaman), jilid XVII, hlm. 3112; Abu Bakar Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, (Darul Kutub Al-Alamiyah, Beirut), vol.VIII, hlm.563, kitab Al-Asyribah. Ibnu Hajar berkata:”Hadits ini memiliki jalan lain di luar riwayat Hajjaj. Thabrani meriwayatkan dalam Al-Kabir, dan Baihaqi dari hadits Ibnu Abbas secara marfu’. Dalam As-Sunan, Baihaqi mendha’ifkannya. Lalu dalam Al-Ma’rifah ia mengatakan:”Tidak sah kemarfu’annya.Hadits ini para perawinya adalah Tsiqah, akan tetapi dalam sanadnya ada Tadlis.
[20]Abul Asybal Az-Zuhairi, Al-Qaulul Mubin fi Itsbati Masyru’iyyatil Khitan lil Banat wal Banin, hlm. 55.
[21]Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Baerut; Dar Al-fikr, 1989 M),vol.X, hlm. 354.
[22]Ibid. hlm. 147-148
[23]Ibid. hlm. 148
[24]Ibid. hlm. 149
[25]Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut,Libanon, 1989 M), vol.X, hlm.354. dan Ibn al-Qoyyim al-Jauziyah, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud,(Maktabah Darul Bayan, Damaskus), hlm. 149-150.
[26] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut,Libanon, 1989 M), vol.X, hlm.352,dan Nailul Authar,I:146,dan Tuhfatul Wadud, hlm.156.
[27]Ibn al-Qoyyim al-Jauziyah, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud,(Maktabah Darul Bayan, Damaskus), hlm. 156.
[28] Dr. Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, (Zam-Zam, Cemani, Solo,), hlm. 70-72, cet. 1
[29] Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, Pustaka Al-Kautsar, hal 153.
[30] Dr. Muhammad Fayyadh, Al-Bitrut Tanasuli lil Inats, (Darusy Syuruq, Kairo), hlm. 28, dan Dr. Mahmud Karim, Circumcision, Multination Male, Universitas Ain Syams, hlm. 34, dan Dr. Muhammad Fathi, Az-Zawajul Mitsali, (Maktabah Al-Khanji, Kairo), hlm.43
[31] Prof. Dr. Shafwat Muhammad Luthfi dkk, Female Circumcision.
[32] Imam Nawawi, Al- Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, (Darul Qalam, Damaskus), Jilid, I, hlm. 351, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Baerut; Dar Al-fikr, 1989 M),vol.X, hlm. 353. Dan Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani,Nailul Authar , (Darul Hadits,Mesir,1993 M), jilid I, hlm.145
[33] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, (Darur Rayyan lit Turats, Kairo), hlm.173.
[34] Manshur bin Yusuf, Ar-Raudul Murbi’ Syarhu Zadil Mustaqni’, Darul Fikr, jilid.I, hlm. 159. Dan Al-Hashkafi, Ad-Durrul Mukhtar ma’a Raddil Muhtar, jilid, VII, hlm. 342.
[35] Jadul Haq Ali Jadul Haq, Al-Khitan, hlm. 22, dan Al-Majmu’, jilid, I, hlm. 351.
[36] Dr. Maryam Ibrahim Hindi, Khitanul Inats Baina Ulama’ Asy-Syari’ah wal At-Tiba’, Zam-Zam, hal. 77.
[37] Al-Fatawa Islamiyyah, Departemen Hukum, Lembaga Fatwa Mesir, (Kairo), jilid, XI, hlm. 7864-7865.
[38] Dr. Muhammad Fathi, Az-Zawajul Mitsali, (Maktabah Al-Khanji, Kairo), hlm. 48
[39] Ibid, hlm. 49
[40] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut,Libanon, 1989 M), vol.X, hlm.352

1 komentar:

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net