Senin, 07 November 2016

HUJJIYYAH AL-QIYAS DALAM MENYINGKAP HUKUM SYAR’I

0


Oleh: Abdullah Mukhlis
Muqaddimah
Allah Ta’ala menciptakan jin dan manusia tidak lain adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Allah mengutus para Nabi dan Rasul  sebagai wasilah datangnya hidayah kepada seluruh makhluk Allah, jin dan manusia. Khusus bagi Nabi Muhammad saw Rasul terakhir yang diutus bagi semua umat dan dengan pedoman Al-Quran telah meyempurnakan seluruh pelajaran lini kehidupan yang tercantum dalam Al-Quran dan dijelaskan oleh Sunnah.
Hidup ini dinamis, selalu berkembang setiap zamannya. Lalu apakah sama kejadian di masa ketika Rasul masih hidup dan zaman setelahnya? Kita telah dihadapkan oleh perkara-perkara yang begitu rumit dan komplek sehingga menuntut adanya ijtihad dalam kehidupan ini, Nabi saw bersabda,”Apabila seorang hakim menentukan hukum dengan berijtihad dan ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun, jika ia menetapakan hukum dalam ijtihad kemudian ia salah, maka ia mendapat satu pahala.”[1]
Telah dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad saw ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk menjadi penguasa di sana. Beliau menanyakan apa yang akan diperbuat dalam menghukumi sesuatu, ia menjawab akan merujuk kepada al-Quran. Jika tidak didapatinya dalam al-Quran maka ia akan merujuk pada hadits-hadits Nabi dan jika tidak pula didapati maka ia akan berijtihad semampunya.
Dari hadist di atas telah jelas bolehnya berijtihad dalam Islam, karena ijtihad merupakan salah satu element terpenting dalam perkembangan hukum syara’. Ijtihad menjadi alat penggali hukum untuk setiap permasalahan atau peristiwa yang tidak ada nash syara’ di dalamnya. Dan hanya kepada mereka yang memiliki kemampuan dan pemahaman yang dalam yang boleh melakukan ijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
Salah satu alat ijtihad adalah Qiyas, yaitu dengan menyamakan illat hukum antara yang ternashkan oleh syara’ dan dengan hukum yang tidak ada nash di dalamnya. Namun, dalam hal ini terdapat dua kubu pendapat yang saling berlawanan, satu memihak adannya alat qiyas dengan berbagai macam argumentasi dan yang lainnya menolak penggunaan qiyas juga dengan argumentasi yang saling bertentangan.
Dari latar belakang di atas penulis mencoba mendudukkan keduanya dengan mengedepankan pendapat-pendapat para ulama’. Semoga apa yang penulis torehkan bersifat adil dan benar. Selain itu juga bermanfaat bagi pembaca seluruhnya.
Definisi
Qiyas menurut etimologis, القياس adalah masdar dari  قَاسَ – يَقِيسُ, jika dikatakan qasa asy-syai’ maka berarti menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain atau qastu ats-tsaub bi adz-dzira’ yang bermakna aku telah mengukur kain dengan hasta.[2] Namun secara global, makna qiyas secara bahasa dapat diartikan dengan at-taqdir, al-musawah, at-tasybih, at-tamtsil, dan al-i’tibar yang memiliki makna mengukur atau menyamakan.[3]
Adapun makna qiyas secara terminologis para ulama’ berbeda pendapat dalam memaknainya. Mereka mendefinisikan qiyas dengan banyak redaksi yang berbeda dalam sebagian redaksinya, namun sejatinya esensi, fungsi, dan hakikatnya adalah sama.  Adapun definisi qiyas yang mereka jelaskan adalah sebagai berikut:
Menurut Imam al-Ghozali dalam al-Mustashfa[4] dan al-Qodhi al-Baqilani yang juga disepakati oleh sebagian besar Ulama’ Syafiiyah[5], qiyas adalah:
حَمْلَ مَعْلُومٍ عَلَى مَعْلُومٍ فِي إِثْبَاتِ حُكْمٍ لَهُمَا أَوْ نَفِيْهِ عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَامِعٍ بَيْنَهُمَا مِنْ إِثْبَاتِ حُكْمٍ أَوْ صِفَةٍ أَوْ نَفِيْهِمَا عَنْهُمَا
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau memadukan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
Sementara definisi qiyas menurut Shadru as-Syariah[6] adalah:
تَعْدِيَةُ حُكْمٍ مِنَ الأَصْلِ إِلَى الفَرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَا تُعْرَفُ بِمُجَرَّدِ فَهْمِ اللُّغَةِ
Merentankan (menjangkaukan) hukum dari ‘ashal’ kepada ‘furu’ karena ada kesatuan illat yang tidak  mungkin dikenal dengan pemahaman lughawi semata.
Imam Ibnu al-Hajib menyatakan [7]:
مُسَاوَةُ فَرْعٍ الأَصْلِ فِيْ عِلَّةِ حُكْمِهِ
Samalah hukum  furu’ dengan ashal jika sama pada illatnya.
Al-Baidhowi  menjelaskan qiyas dalam al minhaj[8]:
اِثْبَاتُ مِثْلِ حُكْمٍ مَعْلُوْمٍ فِي مَعْلُوْمٍ اَخَر لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي عِلَّةِ الحُكْمِ عِنْدَ المُثْبِتِ
Menetapkan hukum  yang sama dari permasalahan yang telah diketahui ke dalam permasalahan lainnya yang telah diketahui juga karena kesamaan illat hukum dari kedua permasalahan tersebut menurut orang yang menetapkannya.
Menurut Ibnu al-Hummam[9] qiyas adalah:
مُسَاوَاةُ مَحَلٍّ لِاَخَرَ فِيْ عِلَّةِ حُكْمٍ لَهُ شَرْعِيٍّ لَا تُدْرَكُ من نصّه بِمُجَرَّدِ فَهْمِ اللُّغَةِ
Samanya satu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam illat hukumnya. Baginya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi bahasanya.
 Menurut Abu Zuhroh[10], dan Wahbah Zuhaili[11] qiyas adalah:
إِلْحَاقُ أَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوصٍ عَلَى حُكْمِهِ الشَرْعِيْ بِأَمْرٍ مَنْصُوصٍ عَلَى حُكْمِهِ, لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي عِلَّةِ الحُكْمِ
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam illat hukum.

Menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, dari berbagai macam definisi tersebut, jika dikelompokkan maka dapat menjadi dua kelompok. Pertama adalah kelompok yang mendefinisikan qiyas dengan menggunakan kata حمل (menanggungkan), اثبات (menetapkan), الحق (menghubungkan), dan ثعدية (merentankan). Sebagai mana pengertian yang didefinisikan oleh Imam al-Ghozali, Ibnu Subki, Abu Zuhroh dan yang lainnya.[12] kelompok kedua ialah kelompok yang menggunakan kosakata استواء (sama), dan مساواة (samanya).
Dari kedua pengelompokan itu terdapat konsekwensinya masing masing. Pertama mengandung arti bahwa qiyas itu merupakan hasil dari jerih payah seorang mujtahid. Kata “penetapan hukum pada furu’ berarti mujtahid menetapkan hukum pada furu’ semisal dengan hukum yang ditetapkan oleh Allah swt pada ashal. Karena menurut mujtahid adanya kesamaan illat antara furu’ dengan ashal. Adanya kemungkinan usaha mujtahid itu salah dalam melihat titik kesamaan illat pada ashal dan furu’. Oleh karenanya mujtahid yang menetapkan hukum dengan qiyas tidaklah mau menganggap hasil ijtihadnya benar secara mutlak. Untuk maksud tidak menganngap hasil temuannya itu sebagai hukum syara’ yang benar secara mutlak.
Sedang pada kelompok yang kedua mengandung arti bahwa qiyas itu sebenarnya bukanlah karya mujtahid, karena pada dasarnya hukum furu’ itu adalah sama hukum ashal. Meskipun tidak ada mujtahid yang mengqiyaskan furu’ pada ashal. Kesamaan dipahami secara sama, terlepas dari apakah kesamaan itu sesuai dengan pandangan mujtahid atau tidak.
Fungsi Qiyas
Meski berbagai macam definisi diatas berbeda dan menghasilkan pemahaman yang berbeda pula namun jika diperhatikan dan dianalisis akan terlihat bahwa keduanya tidak berbeda secara prinsip. Menurut syeikh Abdul Wahhab Khallaf sebelum mengetahui makna yang lebih sesuai dengan prakteknya maka kita akan melihat terlebih dahulu apa fungsi dari qiyas itu sendiri dan akan menyesuaikannya dengan redaksi definisi para ulama’[13].
Fungsi qiyas adalah menganalogikan suatu hukum dengan menunjukkan illat suatu hukum dari suatu permasalahan yang terdapat nash. Disamping itu juga berfunsi menentukan kesamaan antara permasalahan yang terdapat nash di dalamnya dengan permasalahan yang tidak terdapat nash di dalamnya, karena kesamaan illat kedua permasalahan tersebut, dan menentukan hukum permasalahan yang tidak ada nashnya dengan hukum yang telah ditentukan dari nash. Dengan demikian, fungsi qiyas tersebut memiliki banyak bagian, dan dalam hal itu mujtahid berpindah dari satu fase ke fase yang lainnya. Karena perbedaan yang terjadi dalam memaknai fungsi itulah maka terjadi perbedaan redaksi yang dibuat para pakar ahli ushul fikih ketika mendefinisikan makna qiyas.
Dari fungsi qiyas yang telah dirumuskan maka penulis memilih definisi yang paling sesuai dengan fungsinya sebagaimana yang dipilih oleh Dr. Wahbah az-Zuahili:
إِلْحَاقُ أَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوصٍ عَلَى حُكْمِهِ الشَرْعِيْ بِأَمْرٍ مَنْصُوصٍ عَلَى حُكْمِهِ, لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي عِلَّةِ الحُكْمِ
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam illat hukum.
Kosa kata yang terpilih menggunakan lafadz الحاق begitu juga yang dipilih oleh syeikh Abdul Wahaf Kholaf[14], beliau memilih definisi yang menggunakan kosakata الحاق karena definisi itulah yang paling mendekati fungsi dari qiyas itu sendiri; yaitu menyikap dan menampakkan hukum, bukan اثبت menetapkan dan membuat hukum. Karena hukum telah ada sebelum diqiyaskannya furu’ dengan ashal dan baru terungkap ketika mujtahid menjelaskannya dengan perantara mewujudkan illat.[15] Juga karena qiyas adalah alat untuk menampakkan hukum yang menjadikan illat sebagai asasnya. Sedang yang dilakukan mujtahid ialah menampakkan hukum furu’ dengan menyamakan illat pada hukum ashal.
Kehujjahan Qiyas
Dalam membahas sebuah dalil syar’i dan menjelaskan hakikatnya maka hal yang perlu dibahas selanjutnya adalah mengetahui kehujjahan dalil syar’i tersebut. Maksudnya adalah membahas tentang dalil bahwa ia merupakan hujjah dan sumber hukum yang harus diamalkan. Sebab, hukum yang disimpulkan darinya tidak bisa menjadi undang-undang yang mengikat kecuali jika terdapat bukti bahwa ia adalah hukum syar’i yang bersumber dari dalil yang diakui oleh syariat.
Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama muktabar bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i, di mana hukum yang ditunjukkan wajib diamalkan dalam dua kondisi, yaitu:
Pertama, qiyas yang disandarkan pada illat yang dinyatakan secara tersurat oleh syariat. Yaitu nash yang menunjukkan illat suatu hukum dan menunjukkan bahwa nash tersebut menetapkan hukum dalam setiap permasalahan yang terdapat illat di dalamnya.
Qiyas-qiyas inilah yang dilakukan oleh Rasulullah. Karena jika Rasul melakukan qiyas lalu Allah mengakuinya, berarti illat-illat hukum dari permasalahan tersebut berasal dari Allah, dan dari Allah juga hukum permasalahan ditetapkan.
Kedua, qiyas yang tidak ada keterangan illat dari Rasulullah, maka inilah titik perbedaan pendapat dikalangan ulama; apakah ia hujjah syar’i atau bukan. Pendapat mereka terbagi menjadi banyak cabang[16], namun pendapat yang paling menonjol hanya dua[17], yaitu:
Pertama, pendapat jumhur, mayoritas ulama. Menurut mereka qiyas adalah hujjah syar’i yang bisa dijadikan landasan untuk hukum-hukum yang bersifat aplikatif. Dan ia juga merupakan suaatu dalil yang ditentukan syariat untuk mencari hukum dari suatu permasahan yang tidak ada nashnya. Mereka disebut dengan golongan mutsbitu al-qiyas[18] (golongan yang menetapkan qiyas).
Kedua, adalah pendapat kalangan Syiah, an-Nadzdzam, adh-Dhohiriyah dan dari kalangan Mu’tazilah Bagdad. Mereka berpendapat qiyas seperti ini bukanlah hujjah syar’i yang digunakan sebagai perangkat untuk menentukan hukum syar’i. Mereka ini sisebut sebagai golongan nufatu al-qiyas[19] (golongan yang menafikan qiyas).
Dalil-dalil yang Dikemukakan Ulama Mutsbitu al-Qiyas
para ulama yang menetapkan qiyas sebagai hujjah syar’i telah mengambil dalil dari Al-Quran, Sunnah, perkataan sahabat, dan juga dari akal (rasio).
Dalil-dalil dari Al-Quran
Adapun dalil-dalil yang paling menonjol yang menetapkan qiyas sebagai hujjah adalah sebagi berikut:
Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul”
Wajhu dalalahnya adalah dengan ayat ini, Allah telah menyuruh orang-orang beriman ketika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu yang tidak ada keterangan hukumnya baik dari Allah, Rasul-Nya, dan para ulil amri, untuk mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan mengembalikan perbedaan pendapat ini juga mencakup segala hal yang pantas dikembalikan kepada keduanya.[20]
Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr ayat 2:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Wajhu dalalah: Allah telah menceritakan Yahudi Bani Nadhir yang telah kufur dan hukuman yang telah menimpa mereka tanpa mereka sangka sebelumnya, maka Allah pun berfirman “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran.” Maksudnya adalah qiyaskanlah diri kalian dengan mereka. Karena kalian adalah manusia juga seperti mereka, di mana jika kalian melakukan hal seperti mereka maka kalian juga akan ditimpa hukuman seperti mereka.[21]
Hal ini telah menjadi sunnatullah kehidupan bahwa segala nikmat, siksaan, dan ketetapan-Nya merupakan silogisme yang dihasilkan dari premis-premis tersebut dan dampak atau akibat dari perbuatan-perbuatan itu. Dimana ada premis maka di situlah ada silogisme[22], dan dimana ada sebab maka di situlah ada akibat. Namun, lebih indah menggunakan istilah qiyas dan illat dibanding menggunakan istilah premis dan silogisme karena kalimat itu (premis-silogisme) merupakan kalimat yang ahli filsafat dan terkadang terjadi kesalahan di dalamnya. Qiyas hanyalah bentuk penyelarasan dengan sunnatullah dan pengurutan akibat terhadap penyebabnya di manapun terdapat penyebab itu. Itulah yang ditunjukkan firman Allah “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran.” Sudah menjadi sunnah-Nya bahwa apa yang telah terjadi pada sesuatu juga pasti terjadi pada sesuatu yang menyerupainya. Sebagai contoh lain apabila salah seorang santri di drop out karena masalah wanita dan sang ustad akan berkata “ambillah pelajaran darinya.” Maka yang dimaksud oleh sang ustad adalah jika kita melakukan perbuatan yang sama dengannya maka kita juga akan di-drop out seperti dirinya bukan orangnya namun perbuatannya.
Dari sini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa qiyas merupakan qiyas dan sah untuk dijadikan sarana untuk mencari dalil.
Dali-dalil dari Sunnah
Adapun hadits yang paling menonjol adalah hadits Muadz bin Jabal ketika ia menjadi seorang delegasi Islam di negri Yaman. Hadits tersebut telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Nabi Muahammad saw berkata kepadanya, “Bagaimana anda akan mengambil keputusan jika dihadapkan pada suatu masalah?” Muadz menjawab, “Aku akan memutuskannya dengan kitabullah. Jika aku tidak mendapatinya di sana maka, aku akan memutuskannya dengan Sunnah Rasul-Nya. Dan jika aku tidak mendapatinya di sana, maka aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan ragu.” Rasulullahpun menepuk punggung Muadz seranya berkata, “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhoi Rasulullah.”[23]
Wajhu istadlal: Rasulullah saw mengakui keputusan Muadz untuk berijtihad jika tidak didapati nash baik dari Al-Quran ataupun dari Sunnah dalam menetapkan suatu keputusan. Dan Ijtihad adalah mengerahkan segala kekuatan untuk sampai kepada suatu hukum. Ijtihad dengan pengertian seperti ini mencakup di dalamnya qiyas. Sebab, ia adalah salah satu jenis ijtihad dan istidlal. Dan Rasulullah saw tidak mengakui istidlal Muadz dengan jenis tertentu, namun menyebutnya secara mutlak.[24]
Dalam Hadits lain Rasulullah telah mencontohkan qiyas kepada umatnya seperti hadits yang menceritakan seorang gadis muda yang mengadu kepada Rasulullah akan beban haji yang telah wajib atas ayahnya sedang sang ayah sudah lanjut usia yang tidak memungkinkan baginya melaksanakan ibadah haji. Lalu Rasulullah menqiyaskannya dengan seorang yang memiliki beban hutang dan ia wajib untuk membayarnya, jika ia tidak mampu maka ahli warisnyalah yang memiliki kewajiban menggantikannya. Juga Hadits Umar bin Khotob yang bertanya kepada Rasulullah perihal dirinya yang telah mencium intrinya dalam keadaan berpuasa dan tidak mengeluarkan seperma. Maka, Rasulullah pun mengqiyaskannya dengan berkumur ketika dalam keadaan berpuasa.[25]
Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’lamu al-Muwaqiin banyak menukil fatwa dari para sahabat Rasulullah dengan ijtihad mereka.[26] Dan muara ijtihad mereka adalah Qiyas. Dengan demikian, selama hidupnya, Rasulullah tidaklah mengingkari ijtihad para sahabatya. Begitu juga para sahabat tidak mengingkari ijtihad dan mengqiyaskan suatu permasalahn dengan permasalahan yang serupa yang dilakukan sebagian sahabat yang lain. Karenanya, mengingkari kehujjahan qiyas berarti menyalahkan apa yang telah berjalan di kalangan para sahabat dalam berijtihad dan apa yang telah mereka tetapkan dengan perbuatan dan perkataan mereka.
Dalil-dalil Nufatul Qiyas
Para ulama yang menafikan qiyas juga memiliki landasan dalil baik dari Al-Quran, Sunnah perkataan sahabat, dan juga secara rasio. Seakan-akan mereka hendak menandingi setiap dalil yang dikemukakan para ulama yang menetapkan qiyas sebagai hujjah dengan dalil yang semisal.
Dalil dari Al-Quran
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hujurat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah.(Al-Hujurat: 1)
Wajhu Istidlal: Ayat ini melarang orang-orang mukmin untuk mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam masalah penentuan hukum dari suatu permasalahan atau dalam masalah lainnya. dan qiyas merupakan bentuk mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam menentukan hukum dari permasalahan yang tidak ditentukan hukumnya oleh Allah dan Rasul-Nya tersebut.[27]
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 89
  وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Dan semakna dalam surat  Al-Anam ayat 59
وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"
Wajhul istidlal: dalam ayat tersebut terdapat keterangan bahwa dalam Al-Quran terdapat penjelasan tentang segala hukum. Dan tidak lagi membutuhkan qiyas sebagai dasar hukum. Sebab, jika hukum yang ditunjukkan qiyas adalah sama dengan hukum yang ditunjukkan Al-Quran, maka qiyas tidaklah dibutuhkan. Sedangkan jika hukum yang ditunjukkan qiyas tidaklah sama dengan hukum yang ditunjukkan Al-Quran, maka qiyas terbut tertolak.[28]
Dalil dari Sunnah
Para ulama yang berada dalam madzhab ini mengeluarkan dalil dari Sunnah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Hazm di dalam ar-Risalah al-Kubro dari Abu Huroiroh ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Umat ini mengambil dari Al-Quran, dari Sunnah, dan dari qiyas. Apabila mereka melakukan hal itu, maka  mereka sungguh telah tersesat”[29]
Wajhu istidlal: mereka memahami hadits ini demikian, bahwa umat ini sesekali mengambil dalil dari Al-Quran jika ditemukan. Jika tidak ditemukan dalam Al-Quran, mereka mengambilnya dari Sunnah. Jika dari Al-Quran dan Sunnah tidak ditemukan maka mereka mengambilnya dari qiyas. Apabila ia melakukan hal itu , yaitu mengamalkan qiyas ketika tidak ada dalil dalam Al-Quran dan Sunnah, maka mereka telah tersesat.[30]
Selain dari hadits diatas mereka juga menggunakan hadits sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.[31]
Wajhu istidlal: Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di maafkan dan mubah (boleh). Sudah barang tentu sesuatu yang diqiyaskan adalah sesuatu yang yang didiamkan oleh syariat dan jika telah diqiyaskan sesuatu yang didiamkan oleh syariat, misalnya, kepada sesuatu yang diwajibkan maka sesungguhnya ia telah mewajibkan sesuatu yang telah didiamkan oleh syariat. Dan jika diqiyaskan kepada hal yang haram maka ia telah menharamkan sesuatu yang didiamkan oleh syariat.[32]
Meskipun mereka tidak menggunakan qiyas bukan berarti mereka tidak memiliki metode penggalian hukum atas suatu kasus yang oleh ulama jumhur menggunakan metode qiyas, misalnya Zhahiriyah menggunakan metode “umum lafadz nash” sebagai ganti dari qiyas.[33]
Contoh, dalam permasalahan haramnya memukul orang tua. Ulama jumhur mengqiyaskannya kepada haramnya mengucapkan kata “uf” (kata-kata kasar) kepada orang tua, secara qiyas awlawi, karena adanya illat yang sama, yaitu: menyakiti orang tua.
Dalam hal ini ulama Zhahiri tidak menggunakan qiyas. Bagi mereka, hanya dengan semata adanya laranangan mengucapkan “uf” terhadap orang tua tidak berarti haram memukul orang tua. Namun mereka pun berpandanagan bahwa memukul orang tua haram hukumnya. Tetapi dengan dalil yang mereka gunakan adalah umumnya perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dalam firman Allah di beberapa ayat dalam Al-Quran. Dengan adanya lafadz yang umum dan didukung oleh beberapa hadits Nabi, maka wajib berbuat baik kepada kedua orang tua dengan segala cara dan menjauhi menimpakan kemudaratan kepada orang tua dengan cara apapun, termasuk memukulnya. Jadi haramnya memukul orng tua itu bukan karena adanya larangan mengucapkan “uf”.
Contoh lainnya, dalam Al-Quran dan hadits tidak pernah menyebutkan haramnya nabiz dan minuman keras lainnya selain khomer seperti alkohol dan lainnya. jumhur menetapkan dengan mengqiyaskan kepada khamer yang ditetapkan keharamannya dalam firman Allah pada surat al-Maidah ayat 90:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Zhahiriyah berpendapat bahwa minuman selain khamer tidak haram hukumnya hanya dengan adanya ayat di atas dan tidak dapat diqiyaskan hukumnya kepada ayat itu. Namun, haramnya nabiz dan selainnya adalah berdasarkan sabda Nabi:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَام
Setiap yang memabukkan adalah khamer dan setiap yang memabukkan adalah haram[34]
            Nabi menyamakan hukum setiap minuman keras sebagai haram; tidak terbatas pada yang terbuat dari anggur, kurma, tin, madu, dan lainnya. kemudian Nabi menyatakan, “Setiap yang memabukkan adalah khamer dan setiap yang memabukkan adalah haram” khamer dari anggur tidaklah lebih utama dari pada khamer dari tin melainkan keduanya sama hukumnya dengan yang ditetapkan oleh nash.
Demikianlah sekedar contoh yang menjelaskan bahwa Zhahiri tidaklah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum tetapi memakai kaidah umum nash. Dengan demikian, kedua kelompok ini pada dasarnya tidaklah beda dalam hukum yang ditetapkan melainkan hanya berbeda dalam menggunakan dalil untuk menetapkan hukum itu.
Tarjih   
penulis telah memaparkan pendapat tentang kehujjahan qiyas secara garis besar terbagi menjadi dua, serta telah memaparkan dalil-dalil yang mereka gunakan dalam setiap pendapatnya. Lalu pendapat manakah yang lebih rojih. Akan penulis paparkan kejelasannya dibawah ini.
Dalil yang digunakan oleh mutsbitul qiyas cenderung lebih kuat, rojih, dari dalil yang digunakan para nufatul qiyas di karenakan beberapa hal. Adapun alasannya adalah:
Dalil dari Al-Quran
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hujurat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah.(Al-Hujurat: 1)
Ayat ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk pendapat mereka dengan cara apapun. Baik maksud dari ayat لَا تُقَدِّمُوا (janganlah kamu mendahului). Sebab, dalam qiyas tidaklah ada unsur mendahului atau mendahulukan sesuatu dari Allah dan Rasul-Nya, berjalan di belakang keduanya, dan memutuskan hukum yang sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya dari perkara yang tidak ada nashnya. Dengan demikian, ayat ini bermakna larangan terhadap orang-orang mukmin untuk mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam segala hal. Namun, di dalam qiyas tidak terdapat hal itu, melainkan terdapat bentuk mengikuti hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 89
  وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Ayat ini juga tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menafikan qiyas karena maksud dari ayat ini adalah Al-Quran merupakan penjelas segala sesuatu secara global yang meliputi hukum-hukum, prinsip-prinsip pensyariatan yang umum dan tatacara penggalian hukum tersebut yang telah ditunjukkan oleh Al-Quran. Dengan kata lain, dengan kumpulan secara global ini, kaidah-kaidah umum, maupun dengan melalui penggalian hukum, yaitu dengan dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, maksud penjelasan bagi segala sesuatu bukanlah Al-Quran tersebut yang menjelaskan setiap hukum dari suatu permasalahan yang sudah atau akan terjadi. Sebab, hal ini tidaklah benar dan tidak sesuai dengan faktanya.[35]
Dari Sunnah
Para ulama yang berada dalam madzhab ini mengeluarkan dalil dari Sunnah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Hazm di dalam ar-Risalah al-Kubro dari Abu Huroiroh ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Umat ini mengambil dari Al-Quran, dari Sunnah, dan dari qiyas. Apabila mereka melakukan hal itu, maka  mereka sungguh telah tersesat”
Telah dijelaskan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya[36], al-Haruri dalam Dzammu al-Kalamnya[37], dan al-Haitsumi dalam al-Mujma’nya[38] bahwa pada silsilah sanadnya terdapat seorang bernama Utsman bin Abdurahman az-Zuhri yang mana mereka telah sepakat akan ke-dhoif-annya. Albani pun mencantumkannya sebagai salah satu dari hadits-hadits dhoif dalam kitabnya Dhoif al-Jami’.[39] Hadits diatas bertentangan dengan hadits yang memerintahkan qiyas seperti hadits Muadz dan Abu Musa al-Asy’ari. Sehingga, ketika dua hadits yang saling bertentangan bersatu maka diambil yang lebih rojih dari keduanya, dan hadits diatas tidaklah dapat dijadikan hujjah karena keterangan dhoif dari para ahli hadits telah tersemayam atasnya.
Selain dari hadits diatas mereka juga menggunakan hadits sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
Dr. Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa hukum yang dihasilkan dari qiyas itu telah tetap apa adanya bukan hukum penetapan seorang mujtahid, melainkan itu adalah hukum Allah Ta’ala. Karena illat hukum ashal sesuai dengan illat furu’. Mujtahid bukanlah seorang yang menetapkan sesuatu itu wajib atau haram sekehendaknya sendiri melainkan ia menampakkan hukum dari suatu yang tidak ada nash kepada suatu yang telah terdapat dalam nash dengan mencari kesamaan illat dari keduanya.[40]
Prinsip berhujjah dengan qiyas adalah suatu keniscayaan demi kekekalan syariat dan kelayakannya untuk diterapkan pada setiap masa dan tempat. Sebab, nash Al-Quran dan Sunnah terbatas jumlahnya, telah terhenti, dan tidak ada lagi penambahan, sementara persoalan manusia tidaklah terbatas dan terus terjadi tiada henti. Jadi, dengan mengenali masalah-masalah yang sepadan (furu’) dan mengembalikan hukum sesuatu kepada padanannya (ashal) akan dapat menjamin terakomodasinya berbagai kejadian yang tidak terbatas ke dalam nash-nash yang terbatas jumlahnya, sekaligus dapat menyingkap hukum syariat tentang kejadian dan persoalan yang terus berkembang.
Al-Muzani berkata:
Para ahli fikih sejak masa Rasulullah hingga hari ini dan seterusnya menggunakan qiyas dalam fikih untuk semua hukum dalam urusan agama. Mereka sepakat bahwa sesuatu yang sama dengan yang haq adalah haq, dan sesuatu yang sama dengan yang batil adalah batil. Oleh karenanya kita tidak bisa menolak qiyas karena sesungguhnya qiyas merupakan sebuah upaya dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan yang sejenis kemudian memberi hukum yang sejenis pula.[41]
Perbedaan pendapat antara pemakai qiyas dan penolak qiyas sejatinya disebabkan oleh perbedaan pendapat mereka dalam penamaan dan hakikat itu sendiri. Qiyas yang diartikan dengan “menghubungkan furu’ kepada ashal dalam penetapan hukum” atau menetapkan hukum ashal pada furu’” sebagaimana  diuraikan dengan berbagai definisi yang oleh pendukung qiyas dapat dijadikan dalil hukum syara’, tidak dinamakan qiyas oleh penentang qiyas melainkan dinamakan tamtsil, yang di kalangan ulama manthiq/logika disebut analogi yang berarti tidak logis. Sedangkan yang mereka namai qiyas adalah “ucapan yang terdiri dari beberapa premis yang bila premis-premis itu diterima kebenarannya maka akan menghasilkan ucapan lain yang disebut sebagai kesimpulan”. Yang disebut qiyas itu adalah pemikiran yang berbentuk deduktif, sedangkan yang disebut qiyas oleh pemakai qiyas adalah qiyas yang menggunakan pemikiran analogis. [42]
  Untuk tidak meragukan penggunaan qiyas yang berbeda itu, maka qiyas yang disebut tamtsil itu dinamakan qiyas ushuli, dan qiyas yang bersifat deduktif dinamakan qiyas manthiqi. Para ulama yang menolak qiyas seperti ulama kalam Muktazilah dan ulama fikih Zhahiriyah, demikian juga ulama Syiah menolak qiyas ushuli namun menerima qiyas manthiqi. Alasan penolakan mereka terhadap qiyas ushuli adalah bahwa kebenaran yang dihasilkannya hanya bersifat spekulatif  oleh karena itu kebenaran tidak kuat. Umpamanya: khamer itu hukumnya haram karena memabukkan. Tuak juga memabukkan maka hukumnya juga haram. Tidaklah menyakinkan, karena khamer itu memabukkan dan tuak memabukkan maka tuak hukumnnya juga haram.
Sebaliknya kelompok yang menolak qiyas menerima qiyas manthiqi karena didasarkan pada pemikiran deduktif yang nilai kebenarannya adalah menyakinkan karena didasarkan pada pemikiran deduktif. Umpumanya: si Ahmad adalah makhluk hidup, setiap makhluk hidup itu akan mati. Maka si Ahmad akan mati. Kebenaran ini tidak ada yang membantah.
Rukun-Rukun Qiyas
Adapun rukun-rukun qiyas adalah sebagai berikut:
Pertana, al-ashal[43], yaitu permasalahan yang terdapat nash tentang hukumnya. Ia juga disebut al-maqis alaih, al-mahmul alaihi, dan al-musyabbah bih.
Kedua, al-furu’[44], yaitu permasalahn cabang yang tidak ternashkan hukumnya dan merupakan sepadan yang disamakan dengan padanannya dalam hukum itu. Dan furu’ juga disebut dengan al-maqis, al-mahmul, dan al-musyabbah.
Ketiga, al-illah[45], yaitu sifat yang melandasi hukum permasalahan ashal (padanan) dan hukum permasalahan cabang (sepadan) disamakan dengan hukum permasalahan ashal karena mempunyai illat yang sama.
Keempat, al-hukmu al-ashal[46], yaitu hukum syar’i yang disebutkan di dalam nash yang merupakan hukum permasalahan ashal dan hendak dijadikan hukum juga untuk permasalahan cabang.
Misalnya adalah minum khamer merupakan permasalahan ashal, sebab, terdapat nash tentang hukumnya, yaitu firman Allah Ta’ala, “... maka jauhilah khamer itu...” (Al-Maidah: 90). Nash tersebut menunjukkan keharaman meminum khamer karena adanya illat (alasan) pelarangan hal tersebut, yaitu memabukkan. Kemudian meminum air fermentasi kurma yang merupakan permasalahan cabang (al-Far’u), karena tidak adanya nash yang menyatakan keharamannya. Namun, ia menyamai khamer ketika diminum, yaitu sama-sama memabukkan. Karenya hukum meminum air fermentasi kurma pun disamakan dengan hukum meminum khamer, yaitu haram.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa berhujjah dengan qiyas tidaklah mengapa selama tidak adanya nash yang menyebutkan hukum perkara tersebut, adanya perkara padanan yang dijadikan sandaran sebelum tersingkapnya hukum pada cabang, adanya illat yang sama dari kedua perkara di atas, serta hukum yang jelas telah termaktub dalam Al-Quran tentang hukum asal.
Qiyas yang benar merupakan hujjah yang diakui dalam menetapkan hukum. Ini adalah pendirian mayoritas ulama, termasuk imam empat madzhab dan lainnya. Qiyas berada pada peringkat keempat dari urutan dalil-dalil syar’i setelah Al-Quran, Sunnah, dan ijmak. Qiyas boleh dijadikan hujjah berdasarkan Al-Quran, Sunnah, perkataan para sahabat, dan pengamalan para imam. Tidak ada yang berbeda pendapat dalam hal ini kecuali dari kalangan Zhahiriyah, Nazhamiyah, dan sebagian kelompok syi’ah.
Penutup
Demikianlah pemaparan yang dapat peulis paparkan. Dan layaknya sebuah gading, tidak ada yang tidak retak, mestinya dalam penulisan makalah ilmiyah ini masih banyak sekali kekurangan. Sehingga atas kurangnya penulis memohon maaf yang sebesarnya dan semoga bermanfaat bagi segenap pembaca sekalian. Aamiin. Wallahu ‘a’lam. 

DAFTAR PUSTAKA
Abu Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ as-Shohih, (Beirut, Darul Ihya’ at-Turotsal-Arobi)
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut, Dar al-Kitab, al-Arobi) versi Syamilah
Al-Haruwi, Dzammu al-Kalam, (Madinah, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1998)
Abu Yakla, Musnad Abi Yakla, (Damaskus, Dar al-Ma’mun li at-Turots, 1984)
Al-Haitsami, Mujma’ az-Zawaid, (Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1988)
Abu Hasan Daru Quthni, Sunan Daru Quthni, (Beirut, Darul Makrifah, 1966) versi Syamilah
Al-Bani, Dhoif al-Jami’, Jil I hlm 207. Versi Syamilah
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut : Daar Shadir, 2004)
Al-Amidi, al-Ihkam, (Riyad : Daar ash-Shami’, 2003)
As’ad as-Sa’di, Mabahits al-‘Illat, (Beirut : Daar al-Basyair, 2000)
Muhammad Rawwas, Mu’jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh, (Damaskus : Daar al-Fikr, 2000)
Imam al-Ghozali, Al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul, (Beirut, Daar al-Kitab al-Ilmiyah, 1413 H) cet I
Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I
Muhammad Abu zuhroh, Ushul Fiqh, (Daar Fikri al-Arobi)
Abu Nashir as-Subki, Rof’u al-Hajib an Mukhtashor Ibnu al-Hajib, (Beirut, Alim al-Kutub, 1999), cet I
Abdullah Umar al-Baidhowi, Minhaju al-Wusul, (Damaskus, Muassasah ar-Risalah Nasirun, 2006) cet I
Ibnu al-Hummam, at-Tahrir fi ushuli al-Fiqh, (Mesir, Mustofa al-Bani al-Halbi, 1351 H) Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, I’lamul Muwaqiin ‘an Rabb Al-Alamin, (Beirut, Daar al-Jail)
Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariahal-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2014) cet V
Sholah Showi, Ats-Sawabit wa al-Mutaghoyirot, ahli bahasa: Arwani Amin, (Solo, Era Adicitra Intermedia), cet I




[1] HR. Bukhori no. 6805, Shohih Bukhori, HR. Muslim no. 3240, Shohih Muslim. Diriwayatlan dari ‘Amru bin ‘Ash
[2] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut : Daar Shadir, 2004), vol. VI, hlm. 185, al-Amidi, al-Ihkam, (Riyad : Daar ash-Shami’, 2003), vol. III, hlm. 227, dan lihat As’ad as-Sa’di, Mabahits al-‘Illah, (Beirut : Daar al-Basyair, 2000), hlm. 15 – 19
[3] Muhammad Rawwas, Mu’jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh, (Damaskus : Daar al-Fikr, 2000), hlm. 344
[4] Imam al-Ghozali, Al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul, (Beirut, Daar al-Kitab al-Ilmiyah, 1413 H) cet I hlm. 280
[5] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 602
[6] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 602
[7] Abu Nashir as-Subki, Rof’u al-Hajib an Mukhtashor Ibnu al-Hajib, (Beirut, Alim al-Kutub, 1999), cet I Jil IV hlm. 137
[8] Abdullah Umar al-Baidhowi, Minhaju al-Wusul, (Damaskus, Muassasah ar-Risalah Nasirun, 2006) cet I hlm. 92
[9] Ibnu al-Hummam, at-Tahrir fi ushuli al-Fiqh, (Mesir, Mustofa al-Bani al-Halbi, 1351 H) hlm. 415
[10] Muhammad Abu zuhroh, Ushul Fiqh, (Daar Fikri al-Arobi) hlm 219
[11] Ibid: 603
[12] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2014) cet V hlm. 317
[13] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 184
[14] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 187
[15] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 603
[16] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 607
[17] Ibid
[18] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm 200
[19] Ibid
[20] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2014) cet V hlm. 328
[21] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 203. Abdullah Umar al-Baidhowi, Minhaju al-Wusul, (Damaskus, Muassasah ar-Risalah Nasirun, 2006) cet I hlm. 92.
[22] KBBI. Premis mayor premis yg berisi term yg menjadi predikat kesimpulan; -- minor premis yg berisi term yg akan menjadi subjek sebuah kesimpulan; -- silogisme dua premis (mayor dan minor) yg mewujudkan anteseden
[23]HR. Ahmad no. 22061, Musnad Imam Ahmad, (Muassasah Risalah, 1999) Jil 36 cet II hlm. 382. Abu Isa at-Tirmidzi no. 1327, al-Jami’ as-Shohih, (Beirut, Darul Ihya’ at-Turotsal-Arobi) jil III hlm. 616, Abu Dawud no. 3594, Sunan Abi Dawud, (Beirut, Dar al-Kitab, al-Arobi) jil. III hlm. 330. versi Syamilah
[24] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 206
[25] Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, I’lamul Muwaqiin ‘an Rabb Al-Alamin, (Beirut, Daar al-Jail) Jil I hlm. 199
[26] Ibid hlm. 211
[27]  Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 610,  Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 211.
[28] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 611. Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 213. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2014) cet V hlm. 338. 
[29] HR. Al-Haruwi no. 253, Dzammu al-Kalam, (Madinah, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1998) Jil II hlm. 95. HR. Abu Yakla no. 5856, Musnad Abi Yakla, (Damaskus, Dar al-Ma’mun li at-Turots, 1984) Jil X hlm. 240. HR. Al-Haitsami, Mujma’ az-Zawaid, (Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1988) Jil I hlm. 365
[30] Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 216
[31] Abu Hasan Daru Quthni, Sunan Daru Quthni, (Beirut, Darul Makrifah, 1966) jil IV hlm. 183 nomer 42, versi Syamilah
[32] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 613.
[33] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2014) cet V hlm. 334
[34] HR. Muslim dari Abdullah bin Umar dalam Shahihnya nomer 3733, Tirmidzi dalam Sunannya nomer 1784
[35] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 612. Syeikh Abdul Wahhab Kholaf, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyah, terj, Rohidin Wahid, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2015) cet I hlm. 213.
[36] HR. Abu Yakla no. 5856, Musnad Abi Yakla, (Damaskus, Dar al-Ma’mun li at-Turots, 1984) Jil X hlm. 240
[37] HR. Al-Haruwi no. 253, Dzammu al-Kalam, (Madinah, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1998) Jil II hlm. 95
[38] HR. Al-Haitsami, Mujma’ az-Zawaid, (Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1988) Jil I hlm. 365
[39] Al-Bani, Dhoif al-Jami’, Jil I hlm 207. Versi Syamilah
[40] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 613
[41] Sholah Showi, Ats-Sawabit wa al-Mutaghoyirot, ahli bahasa: Arwani Amin, (Solo, Era Adicitra Intermedia), cet I hlm. 56
[42] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2014) cet V hlm. 340
[43] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 605
[44] Ibid hlm. 606
[45] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1986) cet I hlm. 606
[46] Ibid 

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net