Minggu, 25 September 2016

HAKIKAT TAHLILAN

2


Oleh : Six’s A²MH
Ø Pendahuluan
Menjadi pemeluk agama dengan jumlah mayoritas di suatu negeri nampaknya bukanlah satu-satunya faktor untuk menjadikan kaum muslimin bersatu, dan itulah yang dialami oleh kaum muslimin di Indonesia yang jumlahnya mencapai 80 persen dari total penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan ada beberapa persoalan yang dianggap menjadi titik tolak yang sangat berpotensi menimbulkan perpecahan dan disharmonisasi antar kaum muslimin. Mengingat, walaupun telah diselenggarakan berbagai upaya untuk mencari titik temu, namun nampaknya hal demikian masih belum membawa hasil yang signifikan, walau tidak mengarah kepada taraf yang semakin parah. Salah satu persoalan dan termasuk yang sering mengemuka adalah mengenai budaya tahlilan.
Sebenarnya apakah tahlilan itu dilarang dalam Islam? Sehingga pihak yang mewakili dari kubu kontra tahlilan sangat menghujat hal ini. Sematan bid’ah bahkan syirik kerap terdengar dalam event-event kajian yang membahas materi ini. Atau apakah memang sebenarnya perkara tahlilan ini ada dasarnya, sehingga pihak yang mewakili kubu pecinta tahlilan mati-matian membela dan melestarikan budaya yang satu ini. Di sini seorang muslim yang bijak, yang memahami skala prioritas dalam berdakwah dan mengedepankan persatuan ummat, harus mengetahui secara detail permasalahannya agar ia dapat mendudukkan perkara yang satu ini dengan pandangan proposional dan bermanfaat untuk persatuan ummat, tentu dengan tetap menjaga prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab perlu untuk kita fahami bersama bahwa dalam agama Islam itu ada perkara yang sifatnya tsawabit (tetap) dan ada pula yang sifatnya mutaghayyirat (dapat berubah). Dan masing-masing dari keduanya memiliki konsekuensi yang harus difahami dan dipraktekkan secara bersama.
Memandang pentingnya bagi kaum muslimin terkhusus para da’inya untuk memahami masalah ini dengan detail, kami selaku tim yang mendapat amanah untuk membahas masalah ini berusaha semaksimal mungkin untuk menghadirkan kepada segenap pembaca, pembahasan tentang hakikat tahlilan baik dari perspektif pihak yang pro maupun yang kontra terhadap tahlilan. Dengan mengemukakan dalil dan hujjah masing-masing pihak, kemudian diakhiri dengan solusi yang kami anggap sesuai dengan pertimbangan fiqh awlawiyat, maslahat dan madharat, juga maqashidus syariah. Dengan harapan agar lebih banyak mendatangkan manfaat untuk ummat.
Walaupun kami telah berusaha semampu kami, kami yakin karya tulis yang kami susun masih memerlukan perbaikan dan penyempurnaan untuk menjadi yang lebih baik. Oleh karena itu, atas kerja sama yang dilakukan oleh para pembaca dan kaum muslimin semuanya demi proses perbaikan karya tulis ini kami ucapkan terimakaih dan  jazakumullah khairan katsira. Dan kami berharap semoga Allah Ta’ala membimbing kita menuju jalan yang diridhai-Nya dan menyatuka hati kaum muslimin semuanya. Amin!
Asal-usul tahlilan
Sebenarnya ritual tahlilan merupakan budaya agama Hindu, Budha dan Animisme yang  diadopsi oleh para da’i generasi awal di bumi Nusantara ini, yaitu Wali Songo. Menurut ajaran Hindu, apabila seseorang meninggal dunia, maka ruhnya akan datang kembali ke rumahnya pada malam hari untuk mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul dan mengadakan sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap ruh-ruh ghaib, maka ruh orang yang mati tadi akan marah dan merasuki jasad orang yang masih hidup dari keluarga si mayit. Maka untuk itu, sepanjang malam para tetangga dan kawan-kawannya tidak tidur, demi membaca mantra-mantra atau sekadar berkumpul-kumpul saja. Hal ini dilakukan pada malam pertama kematian, selanjutnya malam ketiga, ketujuh, keseratus, satu tahun, dua tahun dan malam keseribu.
Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal para da’i terdahulu, mereka tidak memberantasnya, akan tetapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji digantikan dengan nasi dan lauk-pauk untuk sedekah. Lalu mantera-mantera digantikan dengan dzikir, do’a dan bacaan-bacaan al-Qur’an.[1] Upacara semacam ini kemudian dinamakan dengan tahlilan yang sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyarakat muslim Indonesia.
Sebenarnya hal ini sejak dahulu sudah menjadi polemik di kalangan para wali antara yang setuju memakai cara seperti itu dengan yang tidak, hal ini dapat kita simak dalam percakapan antara sunan Ampel selaku Wali Songo yang tidak setuju dengan ritual tahlilan dengan sunan Kalijogo selaku yang memprakarsai ritual tahlilan. Sunan Ampel mengingatkan sunan Kalijogo, “Jangan diteruskan perbuatan semacam itu, karena termasuk bid’ah.” Sunan kalijogo menjawab, “Biarlah nanti generasi setelah kita, ketika Islam telah tertancap dengan kuat di dalam hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu.” Kisah ini masih tertulis dalam sebuah buku mengenai Islam di Indonesia yang tersimpan di sebuah Museum Leiden di Belanda dengan judul “Het Book van Mbonang”.[2]

Ø Definisi Tahlilan
Dari segi bahasa tahlilan berasal dari kata هلل yang berarti mengucapkan  لا إله إلا الله.[3]  Laits berkata, “Yang dimaksud dengan التَّهْليل adalah ucapan لَا إِله إِلا اللَّهُ. [4]Dalam KBBI tahlilan berarti pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi arwah orang yang telah meninggal.[5]
Adapun dari segi istilahi, tahlilan adalah rangkaian bacaaan yang terdiri dari berbagai dzikir seperti tahmid, tasbih, tahlil, serta ayat-ayat Al-Quran dan do’a.[6]
Maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tahlilan adalah untaian dzikir seperti tahmid, tasbih, tahlil, dan disertai dengan ayat-ayat Al-Quran dan do’a-do’a yang akan dihantarkan kepada mayit agar si mayit mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala.

Ø Khilaf Ulama Terkait Penghadiahan Pahala
Ulama berbeda pendapat dalam menanggapi masalah sampai tidaknya pahala dari amalan yang diniatkan untuk orang lain. Untuk lebih jelasnya akan kami paparkan ulasan dari para ulama berkenaan dengan hal ini.
Dalam madzhab Syafi’i, Imam Syafi’i Rahimahullah menyatakan bahwa seseorang tidak bisa menerima pahala bacaan Al-Quran yang diniatkan untuk diberikan kepadnya. Dengan dalil QS. An-Najm ayat 39,
وأن ليس للإنسان إلا ما سعى
“Dan sungguh seorang manusia tidak memiliki hak selain dari amal yang telah ia usahakan.”
Dari sinilah Imam Syafi’I Rahimahullah dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan yang pahalanya diberikan kepada sang mayit tidak dapat sampai, sebab bacaan tersebut bukanlah hasil dari amalan mereka (mayit).[7]
Namun dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Quran disebutkan dengan bersandar pada perkataan  ar-Rabi’ bin Anas, “Ayat tersebut ditujukan untuk orang kafir. Adapun bagi seorang mukmin, maka ia bisa mendapat dari apa yang diusahakannya dan dari usaha orang lain yang diberikan kepadanya.” Lalu al-Qurthubi menambahi, “Banyak hadits yang menerangkan akan hal ini, dan seorang mukmin ia dapat mendapatkan pahala dari amal saleh orang lain.” [8]
Dan sebagian ulama yang menolak berlandaskan dengan dalil dari hadits,
اِذَا مَاتَ اْلاِنْسَـان اِنـْقـَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ ، اَوْعِلْمٍ يـُنـْتـَفَعُ بـِهِ ، أُوْوَلـَدٍ صَالحٍ يـَدْعُـوْلَه
“Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)
Dalam hal ini menjadi dalil bahwa shaum, shalat, dan seluruh amalan badan tidak bisa diwakilkan dengan orang lain. Dan juga dengan ini dijadikan dalil bagi yang berpendapat bahwa orang yang berhaji untuk mayit, sejatinya haji yang ia laksanakan adalah untuk dirinya bukan untuk orang yang diniati, adapun jika disusul dengan do’a maka bagi si mayit adalah pahala sebab harta, yakni apabila harta yang dikeluarkan untuk berhaji adalah harta si mayit.[9]
Adapun pandangan ulama madzhab Maliki dalam hal ini adalah sebagai berikut, termaktub di dalam buku Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil,
وَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ إمَامِنَا الشَّافِعِيِّ وَشَيْخِهِ مَالِكٍ وَالْأَكْثَرِينَ كَمَا قَالَهُ النَّوَوِيُّ فِي فَتَاوِيهِ وَفِي شَرْحِ مُسْلِمٍ أَنَّهُ لَا يَصِلُ ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ لِلْمَيِّتِ قَالَ بَعْضُ الْمُفْتِينَ: فَإِهْدَاءُ مَنْ لَا يَعْتَقِدُ الْوُصُولَ عَبَثٌ مَكْرُوهٌ
“Yang masyhur di dalam madzhab Imam kita Asy-Syafi’i dan gurunya Imam Malik dan yang lainnya, dan ini sebagaimana yang diungkapkan Imam an-Nawawi dalam fatwanya dan di dalam Syarh Shahih Muslim, bahwa pahala bacaan tidak dapat sampai kepada si mayit. Sebagian mufti berpendapat, “Menghadiahkan bagi orang yang tidak meyakini akan sampainya pahala adalah makruh.”
Namun di akhir penjelasan disebutkan bahwa hal ini apabila pembaca meniatkan bacaannya untuk si mayit, adapun jika ingin bermanfaat adalah pembaca berdoa setelah membaca agar pahala menjadi milik mayit.[10]
Akan tetapi di dalam Nawazil milik Ibnu Rusyd menyebutkan,
فِي السؤال عَنْ قَوْله تَعَالَى {وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى} [النجم: 39] قَالَ وَإِنْ قَرَأَ الرَّجُلُ وَأَهْدَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذَلِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ أَجْرُهُ
Ibnu Rusyd dalam menjawab pertanyaan tentang firman Allah Ta’ala di dalam surat an-Najm ayat 39, beliau menjawab, “Apabila seseorang membaca Al-Quran lalu menghadiahkan pahala bacaannya untuk si mayit, maka hal ini diperbolehkan dan pahala dapat sampai kepada si mayit.”[11]
Sedangkan untuk ulama Hanabilah menilai bahwa semua pahala ibadah yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai kepadanya tanpa mempertimbangkan apakah disusul dengan doa atau tidak.
Imam Ahmad Rahimahullah berkomentar Tentang hadits berkaitan dengan sahabat Amru bin al-‘Ash, bahwa ayahnya bernadzar untuk menyembelih seratus ekor unta, lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Jika ayahmu telah mengucapkan kalimat tauhid (masuk Islam), maka puasanya dirimu untuknya atau sedekahnya kamu atasnya akan bermanfaat baginya.”
قال أحمد: الميت يصل إليه كل شيء من الخير للنصوص الواردة فيه
Lalu Imam Ahmad Rahimahullah berkata, “Mayit akan mendapat setiap kebaikan yang diberkan kepadanya, karena adanya nash-nash yang menjelaskan akan hal itu.”[12]
Ibnu al-Qayyim Rahimahullah berkata,
من صلى أو صام أو تصدق وجعل ثوابه لغيره من الأموات والأحياء جاز ويصل ثوابها إليهم عند أهل السنة والجماعة
“Barang siapa yang shalat, shaum, atau bersedekah, lalu pahalanya diniatkan untuk selainnya (baik untuk yang telah meninggal atau yang masih hidup),  maka ini diperbolehkan dan pahala tetap bisa sampai kepada mereka, ini adalah menurut Ahlussunnah wal jama’ah.”[13]
Ibnu Qudamah Rahimahullah menjelaskan,
وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا، وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ، نَفَعَهُ ذَلِكَ، إنْ شَاءَ اللَّهُ، أَمَّا الدُّعَاءُ، وَالِاسْتِغْفَارُ، وَالصَّدَقَةُ، وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ، فَلَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا، إذَا كَانَتْ الْوَاجِبَاتُ مِمَّا يَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ
“Setiap ibadah yang dilakukan seseorang dan pahalanya ia niatkan untuk si mayit yang muslim, maka akan bermanfaat bagi si mayit, Insya’a Allah! Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban-kewajiban, maka aku tidak mengetahui akan adanya khilaf ulama jika kewajiban-kewajiban tersebut adalah ibadah-ibadah yang bisa diwakilkan (digantikan) dengan orang lain.”[14]
Adapun pendapat dari kalangan madzhab Hanafi terkait penghadiahan pahala tertulis di dalam buku Fiqh al-‘Ibadat ‘ala al-Madzhab al-Hanafi,
يصح مطلقاً أن يعمل الإنسان ويتعبد ويهب الثواب لغيره، فيكون الثواب له ولغيره، سواء نوى العمل أو نواه لنفسه ثم وهبه .وخالف المعتزلة مستدلين بقوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} . وأجيب بأن هذا النص خاص فيما إذا لم يهبه، فإذا تبرع صاحب العمل فوهبه يصل ثوابه سواء كان الموهوب له حياً أو ميتاً.
“Sah secara mutlak jika seseorang beramal atau beribadah, lalu menghadiahkan pahala untuk orang lain, maka pahala menjadi miliknya dan milik orang lain, baik itu diniatkan untuk orang lain atau niat untuk dirinya lalu dihadiahkan. Namun Mu’tazilah berbeda pendapat dengan dalil firman Allah “Dan sungguh seorang manusia tidak memiliki hak selain dari amal yang telah ia usahakan.” . QS. An-Najm : 39. Maka jawaban atas itu adalah bahwa ayat ini khusus jika setelah amal tidak dibarengi dengan menghadiahkannya, namun jika pelaksana amalan mendermakan amalannya (pahalanya), maka pahalanya akan dapat sampai, baik yang diberi itu orang yang masih hidup atau telah meninggal .”[15]
Adapun Ibnu Taimiyyah saat menjawab pertanyaan, apakah bacaan keluarga mayit dapat sampai kepadanya? Beliau menjawab,
يصل إلى الميت قراءة أهله وتسبيحهم وتكبيرهم وسائر ذكرهم لله تعالى إذا أهدوه إلى الميت وصل إليه والله أعلم.
“Bacaan Al-Quran, tasbih, takbir, dan segala macam dzikir yang ditujukan kepada Allah dapat sampai kepada mayit jika keluarga menghadiahkannya kepada mayit maka akan sampai kepadanya, Wallahu A’lam.
Lalu ketika beliau ditanya tentang pandangan madzhab Syafi’i akan hal ini, beliau menjawab,
أما وصول ثواب العبادات البدنية: كالقراءة والصلاة والصوم فمذهب أحمد وأبي حنيفة وطائفة من أصحاب مالك والشافعي إلى أنها تصل وذهب أكثر أصحاب مالك والشافعي إلى أنها لا تصل والله أعلم.
“Adapun sampainya pahala ibadah badaniyyah seperti membaca Al-Quran, shalat, dan shaum, maka menurut madzhab Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan sebagian pengikut Imam Malik dan Syafi’i menyatakan bahwa pahala dapat sampai kepada mayit. Sedangkan mayoritas dari Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa pahala tidak dapat sampai, Wallahu A’lam.” [16]
            Dari sini dapat disimpulkan bahwa para ulama terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang membolehkan dan menganggap bahwa pahala dapat sampai, yakni para pengikut madzhab Hanafi, Hanbali, dan sebagian pengikut Imam Malik dan Syafi’i, adapun ulama yang menolaknya yaitu dengan dalil firman Allah Ta’ala surat an-Najm 39 adalah mayoritas dari pengikut madzhab Syafi’i dan Maliki. Sebenarnya perbedaan ini terjadi pada ibadah yang diniatkan untuk seseorang tanpa ada embel-embel setelah ibadah dilakukan, adapun jika setelah ibadah lalu dilanjutkan dengan doa agar pahala dapat dinikmati oleh orang lain, maka ini dibolehkan dan pahala dapat dinikmati Insya’a Allah!



[1]                      H. Mahrus Ali, Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsah dan Ziarah Para Wali. (Surabaya : La Tasyuk, Desember 2007)

[2]                      Ibid.
[3]                      Thohir Ahmad Zawi, Tartib Qamus al-Muhith (Riyad : Daar ’Alam Kutub), vol. 4, hlm. 527

[4]                      Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Bairut : Daar Shadir, cetakan ke-3), versi al-Maktabah asy-Syamilah.

[5]                      KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

[6]                      FKI (Forum Karya Ilmiah) TAHTA, Menjawab Vonis Bid’ah, (Kediri : Pustaka Gerbang Lama, 2014), hlm. 29
[7]                      Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi, Tafsir Ibnu Katsir (Bairut : Daar Thaibah, 1999), vol. 7, hlm. 465

[8]                      Abu Abdillah  Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi , Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (Kairo : Daar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), vol. 17, hlm. 114

[9]                      Abu Sulaiman Hamdu bin Muhammad bin Ibrahim al-Khithabi, Mu’alim as-Sunan Syarh Sunan Abi Dawud (Halb : al-Muthba’ah al-‘Ilmiyyah, 1932), vol. 4, hlm. 89
[10]                    Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Maghribi al-Maliki, Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil (Kairo : Daar al-Fikr, 1992), vol. 2, hlm. 545

[11]                    Muhammad bin Ahmad bin ‘Irfah ad-Dasuqi al-Maliki, Hasyiyyah ad-Dasuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir (Kairo : Daar al-Fikr), vol. 1, hlm. 423

[12]                    Abdurrahman bin Muhammad bin Qashim al-‘Ashimi al-Hanbali,  Al-Ihkam Syarh Ushul al-Ahkam (cetakan ke-2 tahun 1406 H), vol. 2, hlm. 96
[13]                    Ibid.

[14]                    Abdullah bin Ahmad bin Muhammad  bin Qudamah al-Hanbali, al-Mughni li Ibnu Qudamah (Kairo : Maktabah al-Qahirah), vol. 2, hlm. 423
[15]                    al-Hajah Najah al-Halbi, Fiqh al-‘Ibadat ‘ala al-Madzhab al-Hanafi, vol. 1, hlm. 198, versi al-Maktabah asy-Syamilah
                 
[16]                    Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Madinah : Mujma’ al-Muluk li Thaba’ah, 1995), vol. 24, hlm. 423

2 komentar:

  1. agar lebih faham terkait tahlilan dan hal-hal sekitarnya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah saya mempelajari untuk memahaminya

      Hapus

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net