by: Tyo el-Bungry
ZAKAT PERHIASAN
Malikiyah berpendapat
berdasarkan ijma’, perhiasan yang wajib dizakati adalah yang dijadikan barang
dagang, perhiasan tersebut dihitung berdasarkan timbangannya bukan harga
bentuknya. Juga yang dijadikan simpanan atau kenangan bukan untuk dipakai, maka
wajib dizakati.
Syafi’iyah menganggap wajib pada perhiasan yang dimaksudkan untuk disimpan dan ditabung,
wadah-wadah, perhiasan wanita yang dipakai oleh laki-laki, perhiasan laki-laki
yang dipakai wanita seperti asesoris pedang, emas yang dighashab lalu dijadikan
perhiasan, perhiasan wanita yang boros (yakni mencapai 200 mitsqal atau sekitar
850 gram), dan juga perhiasan yang dimakruhkan memakainya. Untuk perhiasan yang rusak dan tidak bias
dipakai lagi, maka wajib dizakati.
Hanabilah berpendapat kewajiban zakat pada perhiasan yang dijadikan barang dagang, perhiasan yang diharamkan
untuk wanita yang ia tidak memiliki hak menggunakannya, dan juga perhiasan
wanita jika telah rusak dan membutuhkan pembentukan.
Hanafiyah menganggap akan wajibnya
zakat pada perhiasan laki-laki ataupun
perempuan, baik berupa batang atau cetakan. Dengan dalil, “Bahwa Nabi Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada perempuan yang di tangannya ada dua gelang
emas, ‘Apakah kamu memberikan zakat perhiasan ini?’ ia menjawab, ‘Tidak’. Maka Rasulullah
bersabda, ‘Apakah engkau akan bergembira jika Allah memberikanmu dua gelang
dari api?”(hadits dhaif diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Yang dijadikan pertimbangan menurut
selain Syafi’iyah dalam nishab adalah beratnya bukan harganya. Maka jika
memiliki perhiasan harganya 200 dirham, sementara beratnya kurang dari 200,
maka tidak wajib zakat.
Hanabilah mengecualikan jika perhiasan tersebut untuk berdagang, maka
dihargai. Jika harganya mencapai nishab, ia wajib zakat.
Syafi’iyah berkata jika harga dengan berat berbeda, maka
perhitungan berdasarkan harga bukan berat. Berbeda dengan yang diharamkan
karena bendanya seperti bejana-bejana, maka perhitungan dengan beratnya.
Kesimpulan bahwa tidak adanya zakat perhiasan yang dipakai, ini menurut Jumhur.
Namun jika perhiasan yang dipakai berlebihan maka tetap dikeluarkan zakatnya.
Hukum
al-Maghsyusy
al-Maghsyusy
adalah barang yang tercampur dengan yang lebih rendah nilainya dari
barang tersebut, seperti emas dengan perak atau perak dengan tembaga.
Dalam
permasalahan zakatnya, para fuqaha’
memiliki tiga pendapat:
1.
Hanafiyah berpendapat bahwa yang terhitung adalah yang paling mendominasi, jika mendominasi
perak maka perak, jika emas maka emas. Jika yang dominan pada emas dan perak
adalah barang lain, maka setatusnya adalah sebagai barang dagangan dan nilainya
harus mencapai satu nishab, dan harus diniatkan dagang sebagaimana
barang-barang yang lain, kecuali jika ada sejumlah perak murni yang mencapai
satu nishab. Adapun barang lain yang setara dengan emas atau perak,
diperselisihkan. Pendapat yang terpilih adalah harusnya zakat, sebagai bentuk
kehati-hatian.
2.
Malikiyah melihat bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah pasaran harga. Maka, zakat
wajib untuk harta yang genap timbangannya, sedangkan barang yang tercampur dan
kurang timbangannya, jika masing-masing laku di pasaran seperti barang yang
genap timbangannya maka terkena kewajiban zakat. Jika tidak laku di pasaran,
maka yang murni dihitung dengan menaksir pembersihan dari barang
yang tercampur. Berdasarkan hal ini, maka jika bercampur digugurkan dan
dizakatkan yang murni dari barang tersebut.
3.
Syafi’iyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak berkewajiban zakat pada barang yang
bercampur, kecuali yang murni dari maghsyusy telah mencapai satu nishab.
Dengan dalil, “Tidak ada untuk yang kurang dari lima auqiyah dari perak kewajiban
shadaqah”
Maka
untuk perhiasan yang akan dizakati adalah yang murni (24 karat), jika tidak
maka sesuai dengan ketentuan yang telah disebutkan di atas. Wallahu A’lam!
Maraji’
:
1. Al-Fikh al-Islam wa Adillatuhu oleh Wahbah az-Zuhaili
2. Kifayah al-Akhyar oleh Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini asy-Syafi’I
ulama’ abad 9 H
0 komentar:
Posting Komentar