Jumat, 31 Maret 2017

Dhawabith at-Tasyabbuh bil Kuffar

0


( Oleh Endri Saputra )
              I.     Pendahuluan
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan Salam senantiasa tetap tercurahkan kepada baginda Nabi dan RasulNya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam, serta para keluarga, sahabat, dan kepada para pengikutnya yang senantiasa istiqomah dalam meniti petunjuknya sampai hari kiamat.
Dinul Islam adalah dinul haq, yang sempurna. Yang mengatur segala perbuatan manusia dan merupakan pedoman hidup. Din yang telah Allah sempurnakan dari segala kekurangan untuk mengantarkan manusia pada kehidupan yang bahagia.
Allah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Artinya: Pada hari ini telah ku sempurnakan untuk kalian dien kalian, dan telah ku cukupkan bagi kalian nikmatku, dan telah ku ridhoi Islam sebagai dien kalian. (QS. Al Maidah: 3)
Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

والله  لقد تركتكم على مثل البيضاء ليلها ونهارها سواء

Artinya: Demi Allah, telah ku tinggalkan kalian di atas jalan yang putih, siangnya seperti malamnya. (HR. Ibnu Majah)
Sedemikianlah terangnya dan sempurnanya Dienul Islam ini, sehingga tidak ada kata lain untuk tidak mengikutinya, kecuali bagi mereka yang memiliki akal yang tidak digunakan, sehingga kesombongan, keangkuhan belakalah yang menghalangi untuk tidak mengikutinya.
Namun, sehubungan dengan berkembangnya zaman yang semakin modern, yang mana teknologi dan informasi ikut berkembang dengan sangat cepat, Semua informasi semakin mudah untuk diakses oleh semua kalangan masyarakat yang ada di dunia ini, baik yang ada di perkotaan maupun yang ada di pedesaan,yang mana hal ini sengat memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Yang paling menonjol dalam hal ini adalah masalah gaya hidup yang mayoritas masyarakat sekarang ini menjadikan gaya kehidupan barat sebagai timbangan gaya hidup mereka. Padahal Rasulullah jauh- jauh hari telah melarang umat ini untuk mengikuti orang- orang kafir dalam gaya hidup yang mereka lakukan. Hal ini yang disebutkan oleh Rasulullah sebagai bentuk tasyabbuh dengan orang kafir. Dan yang mesti diketahui oleh kita bahwa masalah tasyabbuh merupakan masalah prinsipil, karena berkaitan erat dengan aqidah seorang muslim. Mengabaikannya adalah merupakan bentuk kesalahan dan kefatalan yang besar.
Maka dari itu penulis ingin membahas apa batasan- batasan tasyabuh, apakah semua yang datang dari barat dari perkara- perkara yang baru kemudian kita mengikutinya itu merupakan tasyabuh kepada mereka, kalaupun demikian apa rambu- rambu dari tasyabuh dengan orang kafir itu sendiri.
           II.     Pengertian Tasyabuh
Secara Bahasa
Berasal dari kata شبه yang memiliki arti kesamaran atau kemiripan terhadap sesuatu. Dalam kamus lisanul Arab Ibnu Mandzur  memberikan pengertian bahwa Tasyabbuh berarti “menyerupai “ dan dikatakan juga “ fitnah” karena ketika menimpah suatu kaum, maka mereka menganggapnya sebagai suatu kebenaran, sehingga mereka melakukan apa yang tidak dihalalkan[2]
Secara Istilah
Tasyabbuh adalah suatu keadaan dimana seseorang atau suatu kelompok orang yang beriman menyerupai, yang dimaksud dalam hal ini adalah menyerupai orang kafir dalam masalah perkataan, perbuatan maupun kebiasaan- kebiasaab mereka.[3]
Syikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ Tasyabbuh meliputi semua tindakan yang dilakukan seseorang terhadap prilaku-prilaku yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir, sedangkan perilaku- prilaku tersebut jarang dilakukan oleh seorang muslim. Maka barang siapa yang mengikuti perbuatan orang- orang kafir dengan niatan untuk mengikuti mereka, maka berarti ia telah melakukan perbuatan tasyabbuh. Namun jika tanpa disertai niatan untuk meniru mereka , maka hal ini perlu dilihat lagi dalam menghukuminya, akan tetapi hal tersebut tetap dilarang untuk menghindari perbuatan tasyabbuh yang sebenarnya, serta untuk menyelisishi mereka.

A.                Hukum Tasyabbuh Kepada Orang-Orang Kafir.
a.                  Dalil-dalil dari Al.Qur’an
Sungguh tasyabbuh kepada orang-orang kafir, adalah haram hukumnya baik dalam ibadah, pakaian dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Inilah yang di sepakati oleh para ulama’ berdasarkan nash-nash yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.[4]
Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah: 48)
      Allah berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS.Al. Jatsiyah: 18)
      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan ayat ini beliau berkata: “Allah telah menjadikan Nabi Muhammad berada di atas suatu syari’at, berupa agama yang disyari’atkan kepada beliau dan di perintahkan agar mengikutinya. Allah melarang mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Semua orang yang menentang syari’at Allah, tentu masuk kedalam kelompok orang-orang yang tidak mengetahui. Hawa nafsu mereka adalah apa yang mengusik hasrat hawa nafsu dan segala apa yang ada pada diri orang-orang musyrik, yaitu berupa petunjuk-petunjuk yang nampak dalam agama mereka yang bathil serta tradisi-tradisi mereka. Menyerupai mereka berarti mengikuti apa yang mengusik hawa nafsu mereka. Maka tidak heran jika orang-orang kafir sangat gembira dengan penyerupaan orang-orang muslim dalam berbagai urusan mereka. Sekali pun mereka harus mengeluarkan harta yang cukup besar demi tercapainya cita-cita itu. Maka tidak diragukan lagi menyelisihi mereka dalam bentuk apapun adalah jalan untuk mendapatkan keridhoan Allah, karena menyerupai mereka dalam satu urusan adalah jalan menyerupai mereka dalam urusan-urusan yang lain. Barang siapa yang mengembala disekitar batas tanah gembalaan, khawatir akan masuk kedalamnya.”[5]
Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah katakan kepada Muhammad “Raa’ina”, tetapi katakanlah “Undzurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al Baqarah: 104)
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata : Ayat ini merupakan dalil bahwa Allah telah melarang hamba-hambaNya yang beriman, untuk menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka.[6]           
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Ayat ini menjelaskan tentang sebuah kalimat yaitu “رَاعِنَا” dilarang oleh Allah bagi orang-orang mukmin untuk mengucapkannya, karena orang-orang Yahudi juga mengucapkannya. Hal itu disebabkan, karena orang-orang yahudi mengucapkannya untuk sebuah kejelekan (ejekan) terhadap Rosulullah, yang berarti “kebodohan”, sedangkan bagi orang-orang mukmin bukan untuk hal itu. Maka Allah melarang hal itu, karena menyerupai orang-orang kafir adalah jalan untuk memenuhi keinginan mereka.[7]
b.                  Dalil-dalil dari As.Sunnah
Rosulullah bersabda :
مَنْ َتَشَّبَه بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya : Dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka berarti dia termasuk golongan mereka. (HR.Ahmad dan Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : Sanad hadits ini baik, gambaran yang paling ringan dari hadits adalah pengharaman menyerupai orang-orang kafir, meskipun dzahir hadits menyebutkan kafirnya orang-orang yang menyerupai mereka, sebagaimana firman Allah :
 “Siapa diantara kalian yang mengambil mereka sebagai wali, maka dia termasuk golongan mereka”.(QS. Al. Maidah : 55)
      Beliau berkata lagi : Tasyabbuh pada hadits ini bisa difahami tasyabbuh secara mutlak, meliputi semua perilaku yang dikatagorikan tasyabbuh dan menyebabkan kafir pelakunya, namun bisa juga difahami   bahwa termasuk golongan mereka pada hadits tersebut, adalah dinilai tergantung bentuk tasyabbuh dia dengan mereka, apakah itu termasuk tindak kekafiran, sekedar maksiat saja, atau syi’ar terhadap agama mereka, sehingga hukumnya pun berbeda-beda tergantung tindakan yang dilakukannya. Namun walau bagaimanapun hadits ini melarang tindakan tasyabbuh dengan sebab tasyabbuhnya itu sendiri.[8]
Ibnu Katsir berkata : Ini merupakan dalil, tentang larangan keras serta ancaman atas tasyabbuh terhadap orang-orang kafir, baik dalam ucapan, perbuatan, pakaian, hari raya dan ibadah-ibadah mereka, dan selain dari itu berupa urusan-urusan yang tidak disyari’atkan atas kita, dan kita juga tidak menetapkannya.[9]
B.                 Alasan dilarangnya tasyabbuh dengan orang kafir
Permasalahan yang pertama kali harus dipahami yaitu hukum-hukum yang dinyatakan dalam beberapa ketentuan Islam. Bahwa dien (Islam) dibangun di atas pondasi at-taslim, yakni penyerahan diri secara totalitas kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan at-taslim sendiri bermakna membenarkan seluruh yang diberitahukan Allah Ta’ala dan tunduk kepada perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Kemudian membenarkan apa-apa yang disampaikan Rasul-Nya kemudian tunduk kepada perintah beliau, menjauhi larangannya dan mengikuti semua petunjuk-petunjuk beliau.[10]
1.                  Karena perbuatan orang kafir pada dasarnya di bangun di atas pondasi kesesatan dan kerusakan.
Inilah sebenarnya titik tolak perbuatan dan amalan orang- orang kafir, baik yang Nampak nyata kerusakanya maupun yang terselubung. Karena yang menjadi dasar semua aktifitas orang kafir adalah sesat dan menyeleweng dari kebenaran.  Adapun kebaikan yang mereka lakukan itu merupakan sebuah pengecualian saja. karena perbuatan baik yang mereka lakukan itu tidak akan diterima di sisi Allah dan tidak memberikan arti apapun berupa kebaikan.[11]
Allah berfirman
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan kami hadapi amalan yang mereka lakukan kemudian kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan”  ( QS: al-Furqon: 23)
Mujahid berkata” Maksud dari “haba’an mantsuro” adalah seperti debu beterbangan yang tidak ada nilainya atau suatu  kebatilan karena mereka beramal bukan karena Allah Ta’ala melainkan untuk syaetan ataupun yang lainnya [12]
2.                  Meniru orang kafir akan menjadikan seorang muslim sebagai pengikut mereka
Orang muslim yang menjadi pengikut orang kafir akan menjadi peniru mereka dari sifat-sifat yang dhohir. Pada dasarnya meniru gaya lahiriah mereka menjadi penyebab munculnya sikap meniru karakter, tingkah laku yang tercela dan bahkan juga keyakinan-keyakinan mereka. Pengaruh tersebut terjadi dengan halus tanpa terduga.[13]
Maksud dari pengikut mereka adalah orang tersebut telah menentang dan menjauh petunjuk Allah dan Rosul-Nya. Dan dia mengikuti jalur orang-orang yang tidak beriman. Sesungguhnya dalam perkara ini terdapat peringatan yang sangat keras sekali, sebagaimana Allah berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
 “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalannya orang-orang yang tidak beriman, Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir, pen.) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)
3.                  Tasyabbuh dengan orang kafir akan mewariskan dampak rasa kagum dan membaggakan orang kafir.
Seorang muslim yang mereka mengikuti orang kafir dalam urusan dunia maka akan memberikan simpati pada mereka, terlebih lagi dalam urusan agama, maka hal itu akan sangat bertentangan dengan keimanan seorang muslim.[14]
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Abu Musa Al Asy’ari Rodhiallahu’anhu, bahwa ia berkata: “Aku pernah berkata kepada Umar bin Khothob: “Sesungguhnya saya memiliki seorang juru tulis beragama Nasrani.” Maka beliau menanggapi: “Untuk apa, celakalah kamu, tidaklah kamu mendengar firman Allah Ta’ala: (QS. Al Maidah: 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
 “Wahai orang yang beriman, janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan nasrani sebagai pelindung-pelindung (wali-wali) diantara kalian, sebagian diantaranya menjadi pelindung sebagian yang lain…”? tidaklah engkau ingin agama kamu menjadi lurus? Ia menjawab: “Wahai Amirul mukminin, aku hanya mengambil kapandaiannya dalam menulis, sedangkan urusan agamanya itu urusan dia sendiri.” Umar menanggapi: “Tidak bisa, saya tidak akan memuliakan mereka karena Allah menghinakan mereka. Saya tidak akan mengangkat derajat mereka, karena Allah telah merendahkan mereka. Saya juga tidak akan mendekati mereka, karena Allah telah menjauhi mereka.” [15]
4.                  Meniru orang kafir akan menimbulkan rasa kasih sayang, kecintaan, dan loyal kepada mereka.
Tasyabuh dalam perkara Azh Zhohir itu akan menuju kepada tingkatan yang berikutnya yaitu tasyabuh dalam perkara batin. Yang mana itu adalah sebuah tingkatan lebih tinggi. Rasa suka dalam hati akan mewariskan untuk menyerupai dalam perkara yang dhahir, jenis menyelisihi orang kafir dan meninggalkan tasyabuh terhadap mereka adalah perkara yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala. Tasyabuh dalam perkara yang dhahir adalah wasilah untuk menyesuaikan dalam hati dan juga amal perbuatan.[16] 
Kalaulah meniru dalam urusan dunia saja dapat dapat menimbulkan rasa cinta, kasih sayang, dan loyal, terlebih lagi dalam urusan agama. Maka itu akan semakin besar pengaruhnya. Allah telah melarang kaum muslimin utnuk menjadikan orang yahudi dan nasrani sebagai wali bagi mereka, karena hal itu akan mengantarkan seorang muslim untuk cinta dan loyal pada mereka.
Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Wahai orang yang beriman, janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan nasrani sebagai pelindung-pelindung (wali-wali) diantara kalian, sebagian diantaranya menjadi pelindung sebagian yang lain…” (QS. Al Maidah: 51) [17]
Dalam ayat tersebut terdapat beberapa bentuk dari keloyalan seorang muslim terhadap orang kafir, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Ridho terhadap kekafiran orang kafir atau meniadakan, ragu terhadap kekafiran mereka atau bahkan membenarkan kekafiran mereka.
Kedua, tasyabuh terhadap Adat, akhlak, atau bahkan ibadah mereka.
Ketiga, isti’anah, muawanah atau menolong mereka.
Keempat, bersafar ke tempat mereka tanpa ada kepentingan dan memintakan ampun untuk mereka, dan sebagainya.[18]
C.                Macam- macam tasyabbuh dengan orang kafir
a.                  Tasyabuh yang diharamkan
Penyerupaan yang diharamkan adalah sebuah prilaku yang merupakan ciri-ciri khusus agama orang kafir dimana ia telah mengetahuinya dan tidak ada dalam agama islam, hal ini diharamkan dan bisa menjadi sebuah dosa besar. Bahkan sebagian bisa mengarahkan pelakunya kepada kekufuran sesuai dengan dalilnya. Apakah itu dilakukan oleh seseorang sesuai dengan orang kafir atau karena syahwat atau syubhat dalam pandangannya yang mana itu akan berakibat pada akhiratnya.[19]
b.                  Tasyabuh yang diperbolehkan
menyerupai yang diperbolehkan adalah suatu perilaku yang asalnya tidak diambil dari orang kafir, serta itu merupakan perkara dunia serta tidak menimbulkan kerusakan,[20] hanya saja orang kafir melakukanya juga. Hal ini tidak dilarang menyerupainya, namun boleh jadi ia tidak dapat manfaat dari menyelisi orang kafir.[21] Dan hal itu juga
D.                Larangan bertasyabbuh dalam beberapa hal yang bersifat umum
Karena sedikitnya ilmu yang meliputi tentang hukum akhir zaman, maka banyak orang yang terjerumus kepada kebid’ahan ataupun bertasyabbuh pada orang kafir, baik dalam perkara yang merupakan adat kebiasaan mereka. Hal ini merupakan perkara yang sangat dilarang, sebagaimana rasulullah bersabda dalam sebuah haditsnya yang berbunyi:

لتَتَبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“ Sesungguhnya kalian benar- benar aka  mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kamu” [22]
a.                  Dalam aqidah dan hal ibadah
Larangan untuk menyerupai ahli kitab dan perintah untuk membedakan diri dari ahli kitab mencakup beberapa hal, yaitu:
Pertama, amalan yang disyari’atkan dalam syari’at islam sekarang dan syari’at umat terdahulu. Contohnya, puasa asyura. Kedua, perbuatan yang awalnya disyari’atkan, kemudian dihapus secara total, contohnya, mencari rizki di hari sabtu. Ketiga, persoalan-persoalan baru yang berkaitan dengan masalah ibadah, yang mereka ada-adakan, seperti perkara bid’ah[23]
b.                  Dalam perayaan hari- hari besar
Larangan dalam mengikuti hari raya atau hari besar adalah:
Dalil dari al- Qur’an
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya” (Q.S Al Furqon: 72)
c.                   Dalam Dalam tradisi, akhlaq, dan tingkah laku
Tasyabuh dalam permasalahan ini mencangkup seperti pakaian, misalnya. Ini dinamakan sebagai petunjuk lahiriah, dan petunjuk lahir tersebut diamati dari rupa, bentuk, pola tingkah laku, dan akhlak. Telah dinyatakan pula secara nyata dan jelas tentang keharaman bertasyabbuh dalam beberapa perkara, baik secara keseluruhan maupun secara sebagian sebagian; Seperti larangan mencukur jenggot, memakai bejana atau piring dari emas, memakai pakaian yang merupakan syi’arnya orang-orang kafir, bertabarruj (menampakkan perhiasan tubuh pada lelaki yang bukan mahram), ikhtilath (bergaul campur antar lawan jenis yang bukan mahram), laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki, dan segala bentuk tradisi kafir lainnya.[24]
             III.                        Dhawabith Tasyabbuh
Dari pemaparan di atas mengenai masalah tasyabbuh, maka perlu diperhatikan batasan ataupun rambu- rambu yang berkaitan tentang tasyabbuh itu sendiri. Umat islam diperintahkan unutk menyelisihi orang kafir dalam perilaku lahiriah maupun batiniah yang mana, perkara tasyabuh ini memiliki batasan-batasan ataupun rambu-rambu khusus yang harus diperhatikan agar kita tidak masuk dalam perkara tasyabbuh.
1. Hendaknya hal ini bukan termasuk kebiasan dan syiar yang membedakan mereka dengan orang muslim.
Tasyabuh dalam perkara ini misalnya dengan menggunakan atau memakai kalung salib atau baju- baju seragam para pastur dan pendeta.begitu juga dengan memajang lambang-lambang maupun gambar- gambar kufur, seperti salaib, bintang david, lambang mata satu(dajjal),gambar yesus, dan sebagainya. Atau dengan mengekpresikan gerakan yang mana itu merupakan symbol- symbol khusus mereka, seperti tangan metal, menutup mata satu, atau dengan tarian dan olahraga yang disusupu dengan gerakan yang menunjukkan symbol kekufuran. Hal ini berdasarkan perkataan Umar bin Khatab
وقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه إياكم ورطانة الأعاجم، وأن تدخلوا على المشركين في كنائسهم
“Hendaklah kalian berhati-hati dari logat khusus orang-orang non muslim, dan jangan kalian masuk bersama musyrikin di gereja mereka.”[25]
Adapun perbuatan yang mana itu awalnya merupakan ciri khusus bagi orang kafir namun jika sudah tersebar dan dilakukan oleh semua lapisan golomgan masyarakat, maka hal itu sudah tidak menjadi kekhususan bagi mereka dan kaum muslimin boleh melakukanya. Selama dalam perbuatan tersebut tidak ada unsur keharaman yang khusus bagi hal tersebut serta perbuatan tersebut hanya dalam hal adat istiadat, bukan dalam ibadah keagamaan yang senantiasa bersifat khusus.Contohny adalah seorang laki- laki yang memakai pakaian dari sutra, yang mana diharamkan bukan karena bertasyabbuh melaikan ha tersebut diharamkan karena faktor lain yang merupakan hal khusus dalam perkara tersebut.
Hal ini berdasarkan sebuah qaidah
اذا زال المانع عاد الممنوع
Apabila penghalang suatu perkara telah hilang, maka perkara yang dilarang tersebut menjadi boleh dilakukan” [26]

2. Hal itu bukan termasuk dari ajaran mereka
Yaitu apa yang telah diberitakan Allah kepada kita dalam kitab-Nya atau lewat lisan Rasul-Nya. Karena semua perbuatan mereka baik itu yang berupa ajaran aqidah maupun ibadah semua itu dibangun di atas pondasi kesesatan dan menyeleweng dari kebenaran, sehingga efek dari perbuatan yang mereka lakukan hanya akan mengantarkan pada kerugian. Bahkan kebaikan yang mereka lakukan tidak akan diterima oleh Allah.
Allah berfirman
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan kami hadapi amalan yang mereka lakukan kemudian kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan”  ( QS: al-Furqon: 23)
Mujahid berkata” Maksud dari “ هَبَاءً مَنْثُورًا adalah seperti debu beterbangan yang tidak ada nilainya atau suatu  kebatilan karena mereka beramal bukan karena Allah Ta’ala melainkan untuk syaetan ataupun yang lainnya [27]
3. Penyerupaan atau perbedaan ini tidak menjurus ke masalah syariat
Tasyabuh meliputi semua tindakan yang dilakukan seseorang terhadap perkara- perkara yang itu merupakan parsial, yang meliputi perkara Aqidah dan Ibadah yang biasa dilakukan oleh orang- orang kafir. Namun perkara itu jarang dilakukan oleh orang- orang islam. Maka bang siapa yang meniru perbuatan mereka dengan niat meniru mereka, maka dia telah terjerumus pada perkara tasyabbuh.[28]
Tasyabuh dalam masalah aqidah dan ibadah tidak memiliki batasan kecuali ucapan kekufuran dalam kondisi terpaksa. Meskipun dengan niat tidak bertasyabbuh namun, jika itu dalam hal aqidah dan ibadah maka sama saja dianggap sebagai bentuk tasyabbuh. Karena bertasyabbuh dalam masalah aqidah dan ibadah tidak ada rukhsah kecuali hanya ucapan kekufuran dalam kondisi terpaksa. Hal ini sebagaimanan firman Allah
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah ia beriman (dia mendapan kemurkaan Allah Ta’ala), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)” (Q.S An Nahl: 106)


4. Penyerupaan yang dilakukan tidak pada perayaan hari raya mereka.
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah mengharamkan kepada orang yang berserikat kepada orang kafir untuk merayakan hari besar orang kafir. [29]
 sebagaimana firman Allah.
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu[30] dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya” (Q.S Al Furqon: 72)
Ibnu Zaid, Ibnu Abbas dan Dhohak menafsirkan ayat ini dengan: menghadiri hari rayanya orang-orang musyrik Sya’aanii (Hari besar yang diperingati oleh orang Kristen dalam rangka mengenang kembali masuknya Al Masih (Isa) ke Baitul Maqdis).[31]
Adapun menurut Ibnu Katsir maksud dari syahadutu zur adalah ia berbuat dusta secara sengaja kepada orang lain[32].
  Demikian juga dari mujahid bahwa ia menyatakan tidak menghadiri hari-hari raya musyrik.[33] 
Bentuk seperti ini adalah sama dengan condong dan meniru apa yang dilakukan orang kafir. Apalagi umat islam mengambil suatu hukum dari orang-orang kafir, padahal orang muslim dan orang kafir tidaklah menjadi satu jalan atau satu ajaran. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas, bagi Allah (untuk menghukummu)?” (Q.S An Nisa’: 144)
Abu Ja’far Ath Thobari berkata: “Allah Ta’ala melarang orang yang beriman untuk meniru akhlaq orang-orang munafik, dan menjadikan orang-orang kafir sebagai wali mereka dengan meninggalkan orang yang beriman. Maka, orang beriman  akan mengikuti apa-apa yang mereka lakukan dan berwali kepada mereka (orang kafir).[34]

5. Penyerupaan sesuai dengan keperluan yang diinginkan dan mashlahat yang ada.[35]
Kemaslahatan diperbolehkannya untuk menyerupai orang kafir adalah terkhusus pada perkara tasyabuh dalam hal lahiriyah (perkara yang nampak) atau akhlaq apabila terdapat kondisi yang mendesak. Adapun mengenai perkara Aqidah dan ibadah tidak adanya rukhshoh untuk mengikuti orang kafir kecuali ucapan kekufuran dalam kondisi terpaksa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: apabila seorang muslim berada di darul harbi atau daru kufri ghairul harbi, maka tidak diperintahkan untuk menyelisihi mereka (orang kafir) dalam tingkah laku yang nampak, adapun ketika dia berada dalam kondisi bahaya dan dia menjadi orang yang disukai dikalangan mereka (orang kafir) atau diharuskan untuk menaruh simpati kepada mereka, maka harus bertingkah lakulah seperti mereka dalam perkara yang nampak. Apabila kondisi tersebut terdapat kemaslahatan bagi dienul islam. Akan tetapi jika umat islam berada dalam Darul Islam, maka Allah memuliakan Islam, dan menjadikan orang kafir hina. Maka disyariatkan kepada umat islam untuk tidak menyerupai mereka (Tasyabuh).[36]
Golongan Hanafiyyah berpendapat, begitu juga malikiyyah berdasarkan madzhab mereka, dan juga Jumhur Syafiiyyah bahwa barang siapa bertasyabbuh dengan orang kafir dalam hal pakaian yang merupakan syi’ar mereka -yang dengannya mereka membedakan diri dari kaum muslimin– dihukumi kafir secara dzahir; yakni dalam hukum-hukum dunia. Maka barang siapa memakai kopiah majusi di kepalanya dihukumi kafir, kecuali jika ia melaksanakannya karena darurat (berupa keterpaksaan), atau untuk melindungi dari panas atau dingin. Begitu juga dengan memakai sabuk nasrani, kecuali jika ia melaksanakannya untuk kamuflase dalam perang, dan menjadi mata-mata bagi kaum Muslimin, dan sebagainya, berdasarkan hadist; “Barang siapa menyerupai kaum maka ia termasuk golongan mereka”. Karena pakaian yang khusus bagi kaum kafir adalah alamat kufur, dan tidak mengenakannya kecuali orang yang menetapi kekufuran. Sedang istidlal dengan alamat dan berhukum dengan apa yang ditunjukkannya ditetapkan oleh akal dan syara’. Maka jikalau diketahui bahwa ia mengikat sabuk nasrani tidak karena meyakini hakikat kekufuran, tapi untuk masuk negara musuh guna membebaskan tawanan -misalnya- maka tidak dihukumi kafir.[37]
Hukum tasyabbuh akan hilang jika dalam keadaan dharurah atau hajat kepentingan dan kehormatan agama, yang mana hal ini berdasarkan atas keumuman bahwa manusia diperintahkan untuk bertaqwa semampunya dan jika ia terpaksa maka ia boleh melakukanya[38]
             IV.                        Kesimpulan
Dari pemaparan di atas secara umum bisa disimpulkan bahwa perbuatan tasyabbuh kepada orang kafir merupakan perbuatan yang menyerupai orang kafir dalam segala hal, baik itu perkataan, perbuatan, maupun kebiasaan mereka dan hal ini dilarang dan diharamkan oleh syari’at islam.
Namun di beberapa keadaan, perbuatan tasyabbuh yang awalnya adalah dilarang dan diharamkan, pada kondisi tertentu bisa diperbolahkan selama itu tidak dalam perkara aqidah dan ibadah mereka. Diantara rambu- rambbu tersebut adalah;
1.      Hal itu bukan termasuk kebiasan dan syiar yang membedakan mereka dengan orang muslim.
2.      Hal itu bukan termasuk dari ajaran mereka
3.      Penyerupaan atau perbedaan ini tidak menjurus ke dalam masalah syariat
4.      Penyerupaan yang dilakukan tidak pada perayaan hari raya mereka.
5.      Penyerupaan sesuai dengan keperluan yang diinginkan dan mashlahat yang ada.
Hal ini karena semakin sulitnya kaum muslimin untuk terhindar dari perkara tersebut. Dan tentunya pembolehan dalam hal tasyabuh ini mengunakan beberapa rambu- rambu atau dhawabith yang telah dijelaskan oleh para ulama’ berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Wallahu a’lam bish Shawab




[2] Ibnu Manzhur, lisan al- ‘Arab (Beirut: Dar Sadir, 1990) vol. XIII.  hlm 504
[3] Dirangkum dari beberapa pengertian dalam beberapa kitab (Iqtidho’, Al Wala’ Wal Bara’, Al Masa’ilul Allati Kholafaha Rasulullah).
[4]. Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal 82.
[5]. Ibid. hal 22-23
[6]. Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an Al Adhim (Dar Ath Thoyibah, cet. II tahun 1999 M) Vol. I hal: 148.
[7]. Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal: 151.
[8] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006), hal : 83.
9  Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an Al Adhim (Dar Ath Thoyibah, cet. II tahun 1999 M) Vol. I hal: 148.
[10] Ibnu Taimiyah, Al Iman (Aman: maktab Islami, cet. V, 1996) Vol. I hlm. 211
[11] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hlm. 69
[12]  Abu Ja’far ath Thobari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilul Qur’an (Beirut: yayasan ar Risalah, cet. I, 2000 M), Vol. XIX hlm. 257
[13] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hlm. 265
[14] Ibid, hal. 266
[15] Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam kitab Musnadnya.
[16] Abu Faishol al Badrani, Al Wala’ wal Bara’ fil Islam, (maktabah syamilah) Vol. I hlm. 61
[17] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hlm. 266
[18] Abdullah bin Sholih Al Fauzan, husulu al Ma’mur bi Syarhi tsalastatul Usul, (Kairo: maktabah ar Rusyd, tt) hlm. 41
[19] Hasan Suhail, As- sunan wal atsar fin Nahyi an at-Tasyabbuh bil Kuffar,hal 58-59 , Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hlm. 267-268
[20] Dr. Wail adh-Dhowahir Salamah, At-Tasyabbuh Qawaiduhu wa Dhawabithuhu wa Ba’dhu Tathbiquhu al-Mu’ashirah. (al- ajhar: skripsi, jami’ah syari’ah al-Ajhar. Tahun 2000) hal 27
[21] Ibid.
[22] Diriwayatkan oleh Al Bukhori dalam kitab “Al I’tishom bil Kitab wa Sunah” bab. Perkataan Nabi sholallahu'alaihi wa salam hadits No. (7320) Vol. IX hlm. 103
[23] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal. 221-223

[24] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal. 418
[25] Abdurohman bin Abi Bakr, Jalaludin As Syuyuthi, Haqiqotus Sunnah wal bid’ah, (Mesir: Muthobi’ur Rosyid, 1409 H) hlm. 124
[26] Ali Ahmad an- Nadwiy, al- Qawaid wa ad- Dhawabith al- Fiqhiyah al- Hakimiyah fi Mu’amat al- Maliyah, (1419 H/ 1999 M ) hlm 478.
[27]  Abu Ja’far ath Thobari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilul Qur’an (Beirut: yayasan ar Risalah, cet. I, 2000 M), Vol. XIX hlm. 257
[28] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal. 101
[29] Ibid. hal. 224-234
[30] Demikianlah dalam terjemahan depag. Sebenarnya penerjemahan seperti ini berbeda dengan pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap ayat itu sendiri. Karena yang benar menurut beliau, bukan meberikan persaksian palsu, yakni persaksian dusta, melainkan: “menyaksikan kepalsuan/kedustaa/ kemaksiatan.
[31] Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam Al Qur’an (Dar Al Kutub: Kairo, cet. II tahun. 1964 M) vol. XIII hlm. 79
[32] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adhim (Dar Ath Thoyibah, cet. II tahun 1999 M) Vol. VI hlm. 130
[33] Ibid, Vol. III hlm. 328-329
[34] Abu Ja’far Ath Thobari, Jami’ul bayan fi Ta’wilil Qur’an (Kairo: Muasasatu risalah, cet. I, 2000) vol. 9 hlm 336
[35] Suhail Hasan, As-Sunan Wal Atsar Fin Nahyi An AtTasyabbuh Bil Kuffar,  ( versi maktabah Syamilah) hal. 58-59.
[36] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal. 418, Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawaid wa ad-Dhawabith al Fiqhiyah al hakimiyah fi Mu'amalati Maliyah, hal 478
[37] Wazarotul Auqof dan Syu’unul Islam, Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (Kuwait: Dar Salasil, cet. II, 1404-1427 H) Vol. 12 hlm. 5
[38] Dr. Wail adh-Dhowahir Salamah, At-Tasyabbuh Qawaiduhu wa Dhawabithuhu wa Ba’dhu Tathbiquhu al-Mu’ashirah. (al- ajhar: skripsi, jami’ah syari’ah al-Ajhar. Tahun 2000) hal 24.

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net