Senin, 25 April 2016

HUKUM MEMINTA BANTUAN KEPADA ORANG KAFIR DALAM JIHAD

0


oleh : Ikhwanuddin[1]
I.    Pendahuluan
Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah, shalawat beserta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, Sang pembela kebenaran, pemimpin para mujahidin dan suri tauladan bagi seluruh kaum muslimin. Islam adalah agama yang hak memberikan rahmat bagi seluruh alam, adapun musuhnya adalah kekafiran, keduanya tidak akan pernah  bersatu sampai hari kiamat, bahkan keduanya akan selalu memerangi antara satu sama lain. dan ini sudah merupakan sunnatullah  karena Allah hanya menghendaki tegaknya tauhid yang murni dimuka bumi ini. bahkan Allah memerintahkan dengan tegas untuk melenyapkan segala bentuk kekufuran.[2]
            Meskipun demikian realita yang kita saksikan baik pada zaman Nabi atau zaman kita hari ini bahwa kaum muslimin ada yang meminta bantuan kepada orang-orang kafir, sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Saudi terhadap Amerika dalam perang teluk. ini tentu menjadi syubhat ditengah-tengah umat yang harus disingkap oleh para ulama, karena secara syar’i Allah melarang kaum Muslimin untuk menjadikan kaum kafir sebagai walinya dalam hal apapun.
            Realita membuktikan kepada kita bahwa kaum kafir hari ini menguasai dunia dengan kekuatannya, baik dari jumlah personil tentara ataupun persenjataan yang canggaih, kondisi ini tentu membuat kaum Muslimin terkhusus para mujahidin semakin sulit untuk mengalahkan mereka, sehingga dibutuhkan kekuatan yang bisa mengimbangi, oleh karenanya ada sebagian kaum muslimin yang membolehkan meminta bantuan dari kaum kafir  untuk mengusir penjajah kafir yang menindas  kaum muslimin dan ada juga yang megharamkannya.
            Karena inilah penulis terdorong untuk mencoba menyingkap secara ilmiyah kasus yang terjadi dilapangan tentang meminta bantuan dari kaum kafir dalam hal jihad fisabilillah untuk membela kaum muslimin, karena ini merupakan syubhat yang sangat dahsyat bahkan bisa memabwa kepada pertumpahan darah antara kaum muslimin sendiri akibat perbedaan dalam menyikapi maslah ini, semoga makalah yang sederhana ini bisa menjadi salasatu dari sekian banyak penerangan dan penjelasan  tentang masalah yang hari ini terjadi dilapangan, dan kita kembalikan segalanya kepada Allah Ta’ala.
Pengertian
Meminta bantuan atau dalam bahasa arabnya disebut al-Isti’anah  merupakan bentuk masdar dari ista’aana-yastai’iinu-isti’anatan yang berarti istadharo-yastadzhiru yaitu meminta kekuatan dan pertolongan.
Kemudian digandengkan dengan kata bi al-Kuffar sebagai bentuk pengkhususan, karena Isti’anah  (meminta bantuan) itu bermacam-macam, diantaranya isti’anah bi al-Fasikin, Isti’anah bi al-Bughot, Isti’anah bi al-Munafiqin dan Isti’anah bi Ahli al-Kitab yang semuanya memiliki arti dan maksud yang berbeda-beda.
Adapun al-Kuffar secara bahasa adalah bentuk jama’ dari kata al-kafir yang berarti orang yang menentang dan ingkar, adapun secara istilah adalah orang yang tidak beriman kepada syariat Allah yang dibawa oleh Rasulullah.[3]
Sehingga arti al-Isti’anah bi al-Kuffar fi al-Jihad yaitu: Meminta bantuan kepada orang-orang yang tidak beriman kepada syariat Allah  dalam jihad untuk melawan musuh kaum muslimin.[4]
Dalil- dalil syar’i tentang meminta bantuan kepada orang kafir
a.      Al-Qur’an
Firman Allah :
 لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِير
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Siapa yang berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya dan hanya Allah tempat kembali.” (Al-Imaran :28)
لَا تَرْكَنُوا إَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak memiliki seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Hud : 113)
          Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa kalimat tarkanu dalam ayat ini berarti tunduk dan bersandar serta ridho kepada mereka. Begitu juga menurut Ibnu Juraij bahwa makna  tarkanu yaitu condong dan ridho.[5]
 يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبالاً وَدُّوا ما عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang diluar keluargamu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena)mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka megharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dihati mereka lebih jahat. Sungguh, telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat kami jika kamu mengerti (Al-Imran : 118).
Imam al-Qurtubi mengomentari ayat ini dalam kitabnya, “Sesungguhnya Allah melarang kaum mukminin dengan ayat ini menjadikan orang-orang kafir baik dari Ahli Kitab atau pengikut hawa nafsu sebagi tamu dan sahabat karib, lalu megadukan perkara kepada mereka, meminta bantuan kepada mereka dan menyandarkan seluruh urusannya kepada mereka”.[6]
Imam al-Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan, “Janganlah engkau menjadikan orang-orang non muslim sebagai wali, orang kepercayaan atau orang-orang pilihan, karena mereka tidak segan-segan melakukan apa-apa yang membahayakanmu.”[7]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ
“Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kalian menjadikan pemimipnmu orang-orang  yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan,(yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab seblummu, dan orang-orang kafir (orang musyrik)”  (Al-Maidah: 57)

b.      As-Sunnah
Sabda Nabi Salallahu Alaihi Wasallam:
 Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Sebelum perang Badar, Rasulullah Salallahu alaihi Wasallam. Melakukan suatu perjalanan. Sesampainya di Harrah Al-Wabarah_sebuah tempat berjarak 4 mil dari Madinah_ beliau ditemui oleh seorang laki-laki yang disebut-sebut sebagai pemberani. Para sahabat Terlihat gembira melihat orang tersebut. setelah menemui Rasulullah laki-laki itu berkata, “Aku datang untuk ikut denganmu, dan bergabung dengan pasukanmu.” Rasulullah Salallahu alaihi Wasallam. Lantas bertanya, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasulnya?” Dia menjawab, “Tidak”. Belaiu kembali bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena aku tidak mau meminta bantuan kepada orang musyrik.” Laki-laki itupun pergi, sehinga sesampinya Rasulullah di Syajarah, beliau kembali ditemui oleh laki-laki tersebut. Dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya, dan Nabipun mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, orang itu menjawab, “Tidak”. Maka Nabipun bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena aku tidak mau meminta bantuan kepada orang musyrik.” Laki-laki itupun pulang, tetapi kemudian menemui Nabi kembali di Baida’, dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya. Lalu Rasulullah bertanya, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan rasul-Nya?” dia menjawab, “Ya” beliau bersabda lagi kepadanya, “Ikutlah engkau bersama kami,” [8]
Sabda Nabi -Salallahu Alaihi Wasallam-:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Khubaib Ibnu Abdurrahman dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam pernah menolaknya dan menolak juga orang yang bersamanya dalam peperangan beliau karena keduanya belum memeluk islam. beliau bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik” lalu dia berkata, “Kamipun memeluk islam dan ikut berperang bersama beliau.”[9]
Sabda Nabi -Salallahu Alaihi Wasallam-:
Al-Bukhori meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu dia mengatakan ‘seseorang yang bertopeng besi menemui Nabi  Salallahu Alaihi Wasallam. Seraya berkata “Wahai Rasulullah ! bolehkah aku ikut berperang atau aku harus memeluk islam terlabih dahulu? beliau menjawab ‘Masuklah kedalam islam lalu berperanglah bersama kami,’ orang itupun memeluk islam lalu ia berperang dan akhirnya terbunuh. Rasulullah lalu bersabda “Orang ini sedikit beramal tetapi banyak mendapatkan pahala.”[10]
Disebutkan dalam riwayat Imam Muslim bahwa Nabi pernah meminta bantuan kepada Shofwan bin Umayyah pada perang Hunain padahal ketika itu Shofwan masih dalam kondisi kafir[11]
Al-Zuhri meriwayatkan bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam Pernah meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi Bani Qoinuqo’ dalam peperangan Kemudian beliaupun membagi jatah harta rampasan perang kepada mereka.[12]
Diriwayatkan bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam dan Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyewa Abdullah bin Uraiqit sebagai penunjuk jalan untuk berhijrah ke Madinah[13]

IV.           Pandangan Imam Madzhab Terhadap Masalah Ini
Perlu diketahui bahwa permasalahan ini termasuk yang diperselisihkan oleh para ulama maka sangat tepat sekali jika kita melihat bagaimana para ulama terkhusus kalangan empat Imam Madzhab memandang permasalahan ini apakah mereka sepakat atau tidak. untuk lebih jelasnya kami paparkan masing-masing pendapat sebagai berikut:
1.        Hanafiyah: diriwayatkan dalam kitab Al-bahr dari Al-Atrah dan Imam Abu Hanifah bahwa mereka membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir. Mereka berhujjah dengan hadits Nabi Salallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi Salallahu Alaihi wasallam pernah meminta bantuan kepada Shofwan bin Umayyah pada perang Hunain sedangkan ia ketika itu masih dalam keadaan musyrik[14]
Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Dzu Al-Mukhbir bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
 عن ذي مخبر رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ستصالحون الروم صلحا آمنا فتغزون أنتم وهم عدوا من ورائكم فتنصرون وتغنمون وتسلمون ثم ترجعون حتى تنزلوا بمرج ذي تلول فيرفع رجل من أهل النصرانية الصليب فيقول غلب الصليب فيغضب رجل من المسلمين فيدقه فعند ذلك تغدر الروم وتجمع للملحمة
Dari Dzu Mukhbir, seorang laki-laki dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wasallam, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wasallam bersabda: “Kalian pasti akan melakukan perdamaian dengan Romawi dengan aman. Kalian bersama mereka akan memerangi satu musuh dikemudian hari. Kemudian kalian akan ditolong dan berhasil mendapatkan ghanimah (memenagkan pertempuran) serta selamat. Kemudian kalian kembali pulang hingga kalian singgah di sebuah daerah yang tinggi. Tiba-tiba seorang laki-laki dari kaum Nashrani mengangkat salib seraya berkata : “Telah menang salib”. Hingga marahlah seorang dari kaum muslimin dan mendorongnya. Maka ketika itu mulailah tentara Romawi berkhianat serta menyiapkan pasukannya untuk pertempuran besar” [15]
     Diriwayatkan bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam dan Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyewa Abdullah bin Uraiqit sebagai penunjuk jalan untuk berhijrah ke Madinah[16]
Robi’ bin Hadi al-Madkholi menyebutkan dalam kitabnya bahwa hadits ini menunjukan bolehnya meminta bantuan kepada orang kafir baik dalam jihad atau yang lainnya.[17]
            Dan yang mendekati pendapat ini adalah pendapatnya Abu Ya’la[18], Abdurrahman bin Jauzi[19] dan Ibnu Hazm, beliau berkata: ”Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada orang kafir untuk memerangi orang kafir yang lainnya”[20]
2.      Malikiyah:  mereka berpendapat bahwa tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan secara mutlak, kecuali orang kafir dzimmi, ini sebagaimna yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Bari dalam kitabnya.[21]
Dalil yang mereka jadikan sebagai landasan adalah sebagai berikut:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha., dia berkata, “Sebelum perang Badar, Rasulullah Salallahu alaihi Wasallam melakukan suatu perjalanan. Sesampainya di Harrah Al-Wabarah_sebuah tempat berjarak 4 mil dari Madinah_ beliau ditemui oleh seorang laki-laki yang disebut-sebut sebagai pemberani. Para sahabat terlihat gembira melihat orang tersebut. setelah menemui beliau laki-laki itu berkata, “Aku datang untuk ikut denganmu dan bergabung dengan pasukanmu.” Rasulullah Salallahu alaihi Wasallam lantas bertanya, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasulnya?” Dia menjawab, “Tidak”. Belaiu kembali bersabda, “Kalau begitu pulanglah karena aku tidak mau meminta bantuan kepada seorang yang musyrik.” Laki-laki itupun pergi, sehinga sesampinya Rasulullah di Syajarah, beliau kembali ditemui oleh laki-laki tersebut. Dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya dan Nabipun mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, orang itu menjawab, “Tidak”. Maka Nabipun bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena aku tidak mau meminta bantuan kepada orang musyrik.” Laki-laki itupun pulang, tetapi kemudian menemui Nabi kembali di Baida’, dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya. Lalu Rasulullah bertanya, “Apakah egkau beriman kepada Allah dan rasul-Nya?” dia menjawab, “Ya” beliau bersabda lagi kepadanya, “Ikutlah engkau bersama kami,” [22]
Dari Abu Hamid as-Saidi beliau berkata: suatu ketika Rasulullah keluar untuk berperang tatkala sampai di Tsaniyati al-Wada tiba-tiba ada sekelompok pasukan, maka beliau berkata “siapa mereka”? para sahabat menjawab “mereka adalah Bani Qoinuqo’”, lalu Nabi bertanya kembali “apakah mereka sudah masuk islam”? para sahabat menjawab “mereka belum masuk islam”, maka Nabi bersabda: katakan kepada mereka “pulanglah karena aku tidak mau meminta bantuan kepada orang kafir”[23]
3.        Syafi’iyah: disebutkan dalam sebuah riwayat dari Imam as-Syafi’i bahwa beliau tidak membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir kecuali dengan beberapa syarat,[24] karena itu sama saja dengan menjadikan jalan bagi  mereka, sedangkan Allah Ta’ala melarang yang demikian. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam al-Qurtubi.[25] Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang sudah disebutkan di atas, diantaranya :
Firman Allah:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبالاً وَدُّوا ما عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
 “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang yang diluar keluargamu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena)mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka megharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dihati mereka lebih jahat. Sungguh, telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat kami jika kamu mengerti.”  (al-imran : 118).
4.      Hanabilah: mereka terbagi menjadi dua pendapat tentang boleh atau tidaknya meminta bantuan kepada orang kafir, tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang tidak membolehkan, karena pendapat yang membolehkanpun memberikan syarat, hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni bahwa Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir  dengan adanya syarat.[26]
Dalil yang mereka gunakan adalah sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.” (Al-Maidah:57)
Secara garis besar dari pendapat imam madzhab diatas hanya terdapat dua pandangan, yaitu pendapat yang tidak membolehkan secara mutlak dan yang membolehkan dengan adanya syarat.
Pendapat yang tidak membolehkan secara mutlak (mereka adalah Syafi’iyah , Malikiyah dan Hanabilah) berpandangan bahwa hujjah kelompok yang membolehkan itu tidak kuat, karena tidak adanya lafadz yang sorih bahwa Nabi meminta bantuan kepada orang kafir, seperti hadits tentang Shofwan bin Umayyah, hadits ini tidak menunjukan bolehnya meminta bantuan kepada orang kafir, karena Nabi tidak meminta Shofwan untuk ikut berperang bersamanya, akan tetapi Shofwan sendiri yang ikut bersama Nabi.
Kemudian dalam hadits Aisyah disebutkan secara shorih penolakan Nabi terhadap seorang musyrik ketika menawarkan dirinya untuk berperang bersama Nabi.
Adapun pendapat yang membolehkan, mereka berpandangan bahwa penolakan Nabi terhadap seorang musyrik dalam hadits Aisyah itu bukanlah penolakan untuk tidak bolehnya berperang bersama beliau, akan tetapi penolakan tersebut mengandung harapan agar orang tersebut masuk islam terlebih dahulu. hal ini dibuktikan bahwa orang tersebut akhirnya masuk islam

V.           Tarjih Tehadap Permasalahan
    Setelah meneliti pendapat para ulama kami melihat mereka berbenda pendapat dan masing-masing pendapat berlandaskan kepada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih. sehinga dengan demikian penulis tidak merojihkan salasatunya karena dalil-dalil yang menjelaskan perkara ini  semuanya bisa digunakan sebagi hujjah.
 pendapat yang melarang meminta bantuan kepada orang kafir itu memiliki landasan yang sohih, misalnya hadits Aisyah yang menunjukan tidak bolehnya meminta bantuan kepada orang kafir, itu adalah hadits shohih yang diriwayakan oleh Imam Muslim, begitu juga dengan hadits Abu Hamid as-Saidi itu adalah hadis yang dihasankan oleh al-Albani dalam kitabnya.
Begitu juga dalil-dalil yang dijadikan landasan oleh kelompok yang membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir itu bisa digunakan sebagi hujjah meskipun sebagian besarnya dhoif, namun ada beberapa hadits dengan  derajat hasan_bahkan dishohihkan oleh al-Albani_ yang sah dijadikan sebagai hujjah, yaitu hadits Dzu-Mukhbir yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya.[27]
Dari sinilah kami tidak merojihkan salasatu pendapat diatas, sebagaimana para ulama kontemporer juga tidak merojihkannya,[28] akan tetapi kami menggunakan metode  Al-jam’u baina al-adillah (metode menggabungkan dalil) dengan berlandaskan kepada sebuah kaidah dalam ushul fikih Al-jam’u aula min at-tarjih[29]  (menggabungkan dalil-dalil yang ada itu lebih utama dari pada merojihkan yang satu dan membuang yang lainnnya), karena jika dalil-dalil yang ada masih memungkinkan untuk digabung maka itu lebih utama daripada ditarjih dan ini cara yang benar.[30]
Demikian ini sebagaimana yang dilakukan oleh ulama kontemporer seperti Yusuf Qordhowi[31], Abdullah’ Ath-Thuraiqi[32] dan Robi’ bin Hadi al-Madkholi mereka mengambil jalan keluar untuk permasalahan ini dengan cara menggabungkan dalil-dalil yang ada sehingga hasilnya adalah boleh meminta bantuan kepada orang kafir tetapi dengan beberapa syarat dan ketentuan, diantaranya adalah:
1.    Kondisi darurat untuk melakukan hal itu, karena darurat boleh melakukan yang dilarang (adh-dharuratu tubihu al-mahdzurat) jika kondisi tidak mendesak untuk melakukan hal ini maka tidak dibolehkan meminta bantuan kepada mereka. Syarat ini sebagaimana terkandung dalam hadits yang menerangkan Nabi dan Abu Bakar meminta bantuan kepada Abdullah bin Uraiqit[33]
2.    Tidak adanya kaum muslimin yang bisa dimintai bantuan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi terhadap raja Najasyi[34]
3.    Orang kafir yang dimintai bantuan kondisinya tidak memiliki kekuatan atau negara yang dikhawatirkan mereka akan bersekongkol dengan kafir yang dimintai bantuan dalam memukul kaum muslimin
4.    Adanya rasa tenang pada diri kaum muslimin terhadap orang yang akan dimintai pertolongan (orang kafir). Karena tabiatnya orang kafir itu adalah pendusta dan mereka juga memiliki keinginan untuk menghancurkan kaum Musliminm, sehingga jika tidak ada kejelasan yang nyata tentang orang kafir yang dimintai pertolongan maka ini tidak dibolehkan sebagai bentuk kehati-hatian.[35]
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi terhadap Shofwan bin Umayah, Karena Nabi mengetahui bahwa pada diri Shofwan terdapat loyal yang lebih kuat terhadap suku daripada watsaniyah (teman menyembah patung), sehingga Nabi tidak ragu lagi untuk meminta bantuan kepada beliau.[36] [37]
5.    Orang kafir yang dimintai pertolongan tidak boleh memiliki misi dakwah, mengajak kaum muslimin kedalam agamanya, karena hal ini bisa merusak akal dan membingungkan mereka, padahal kaum muslimin dalam kondisi ini sangat membutuhkan kepada kuatnya keimanan, keyakinan dan bersatunya barisan, sehingga jika tampak seruan dari orang kafir kepada kuam muslimin untuk mengikuti agamanya, maka orang kafir tersebut harus segera disingkirkan dari barisan dan dijauhkan dari kaum muslimin, hal ini berlandaskan kepada sebuah kaidah “daru al-mafsadah mukoddam ala jalbi al-masholih” (mencegah kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil mashlahat)[38]
6.    Orang kafir yang dimintai pertolongan tidak boleh menduduki posisi tertinggi sehingga bisa mengatur seluruh gerak kaum Muslimin dengan sekehendaknya.
7.    Dengan ketentuan yang sudah disebutkan diatas, seyogyanya bagi kaum Muslimin untuk membatasi diri dari meminta bantuan kepada orang kafir yaitu  hanya pada kondisi darurat saja sebagai bentuk kehati-hatian terhadap mereka, karena orang kafir itu tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang muslim berupa keimanan dan loyalitas.

VI.           Kesimpulan
            Setelah melihat penjelasan diatas, baik pendapat para ulama mutakoddimin ataupun mutaakhirin kami berkesimpulan bahwa pada asalnya meminta bantuan kepada orang kafir dalam hal jihad melawan kaum kafir itu diharamkan, akan tetapi hal ini boleh dengan adanya syarat, apabila syarat-syaratnya terpenuhi maka tidak mengapa melakukannya namun jika tidak maka diharamkan untuk melakukannya.
Wallahu a’lam bisshowab.








VII.    Daftar pustaka
1.      Abdullah bin Ibrahim bin Ali ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri al-Muslimin fi al-Fiqhi al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu Al-Buhuts wa Al-Iftaa  wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1409 H) Cet. I
2.      Yusuf Kordowi, Fikih Jihad, (Qohiroh: Maktabah Wahbah 1436 H, 2009 M). Cet. I
3.      Robi’ bin Hadi Umair al-Madkholi, Shoddu Udwanu al-Muslimin Wa Hukmu Isti’anatu Ala Qitalihim Bi Ghoiri al-Muslimin, (Riyadh: Al-Furqon 1411 H).
4.      Imam As-Syaukani, Fathu al-Qodir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmi 1415 H), Cet. I
5.      Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li ahkami al-Qur’an, (Dar Kutub al-Mishriyah 1384 H).
6.      Abu Amru, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Multako Ahlu al-Hadits) (versi maktabah syamilah)
7.      Muhamad bin Qudamah, Al-Mughni (Qohiroh: Hajaro)
8.      Imam Nawawi, Minhaj ath-Tholibin wa Umdatu al-Muftin (Beirut: Dar Al-Ma’rifah)
9.      Ibnu Hazm, Al-Muhalaa, (Bairut-libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2010 M), Cet, I
10.  Imam Nawawi, Raudhatu ath-tholibin (Bairut-libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1427 H, 2006 M), Cet, III
11.  Abu Al-Harits al-Ghozzi, al-Wajiz fi idhohi qowaidi al-Fiqhi al-Kuliyati (beirut: Musasatu ar-Risalah 1416 H, 1996 M), Cet, V
12.  Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (Damaskus-Suriyah: Dar al-Fikr 1419 H, 1999 M) Cet, I
13.  Ibrahim Mushthofa dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, (Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyah)
14.  Ibnu Mandzur, Lisanu al-Arob, (Beirut: Dar ash-Shodir).
15.  Sa’di Abu Habib, al-Qomus al-Fiqhi, (; Suriah: Darul Fikri, 1988 M) Cet, II
16.  Abu Qosim Husain bin Muhammad (Roghib Al-Ashfahani), al-Mufrodat Fi Ghoribil Qur’an, (Lebanon: Darul Fikri, tt),
17.  Abu Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Hajar Al-Atsqolani, Fathul Bari, ( Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiah, 1989 M), Cet, I
18.  Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ashan’ani, Subulussalam, (Riyadh: Daru Ibni Jauzi, 1421 H) Cet, II
19.  Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Muqri Al-Fayumi, Al-Mishbah Al-Munir Fi Ghoribi Syarhil Kabir Lirrofi’I, (Beirut: Al-Maktabah Al-Ilsmiyah, tt),
20.  Ibnu Abdil Bar, Al-Kaafi, (Riyadh: Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah) vol, 1
21.  Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Ahkam Ahli adz-Dzimmah, (Al-Mamlakah al-Arobiyah as-Su’udiyah: Romad an-Nasyr 1418 h, 1997 m)



[1] Disampaikan dalam Munadzoroh ilmiyah pada hari ahad 14 Februari 2016

[2] Q.S Al-Anfal: 39. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Ahkam Ahli adz-Dzimmah, (Al-Mamlakah al-Arobiyah as-Su’udiyah: Romad an-Nasyr 1418 H, 1997 M) vol. 1 hlm. 1396
[3] Ibrahim Mushthofa dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, (Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyah) hlm. 791. Ibnu Mandzur, Lisanu al-Arob, (Beirut: Dar ash-Shodir) Vol. 5 hlm. 146. Abu Amru, Al-Mausu’ah Al-fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Multako Ahlu Al-Hadits, (versi Maktabah Syamilah

[4] Kamus al-Arabi. (versi Maktabah Syamilah)

[4] Abu Amru, Al-Mausu’ah Al-fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Multaqo Ahlu Al-Hadits, (versi maktabah syamilah).
[5] Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an, (Dar Kutub Al-Mishriyah 1384 H) vol. 9 hlm. 108
[6] Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an, (Dar Kutub Al-Mishriyah 1384 H) vol. 9 hlm. 108

[7] Imam Al-Baghowi, Ma’alim At-Tanzil Fi Tafsir Al-Qur’an ( Beirut: dar at-thoyibah li an-nasyri wa at-tauzi’, 1417 H, 1997 M), vol. II hlm. 95
[8] HR Mu slim (1817) dalam kitab Al-Jihad Wa Al-Sair, Ahmad (24386) dalam Al-Musnad, Abu Daud (2732) dalam kitab Al-Jihad, Al-Tirmidzi (1558) dalam kitab Al-Sair, dan Ibnu Majah (2832) dalam kitab Al-Jihad, dari Aisyah r.a.
[9] HR Ahmad (17563) dalam Al-Musnad, para perawi hadits ini mengatakan bahwa sanadnya dhaif, kecuali kalimat, “sesungguhnya kami tidak akan meminta bantuan kepada seorang musyrik untuk memerangi orang-orang musyrik” riwayat ini bersetatus hasan lighoirihi. Diriwayatkan pula oleh Abi Syaibah (33831) dalam kitab Al-Sair, At-Thabrani dalam Al-Kabir (4/223), dan Al-Hakim (2/121) dalam kitab Al-Jihad. Al-Hakim menshahihkan sanadnya, tetapi Adz-Dzahabi tidak mengomentarinya tentang hlm tersebut, diriwayatkan pula oleh Abu Nu’man dalam Hilyah Auliya (1/364) dan Al-Baihaki dalam Al-Kurba (9/37) dalam kitab Al-Sair, dari Khubaib Ibnu Isaf, dalam Majma’ Az-Zawaid (5/550), Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dengan perawi-perawi yang tsiqqoh.

[10] HR Bukhori no. (2597) bab amal salih qobla al-qital dan Muslim dari Al-Bara’ bin Azib r.a.

[11] Sohih Muslim.usudul ghobah, vol.3 hlm 22. rawa’iul bayan fi tafsiri al-qur’an vol.1 hlm. 402 (versi Maktabah Syamilah)

[12] HR. Riwayat Ibnu Mansur (2/284) dalam bab Ma Jaa’a fi Sahman Al-Nisaa dan Ibnu Abi Syaibah (33835) dalam kitab Al-Sair, Awwamah mengatkan bahwa riwayat ini berasal dari Maraasil Al-Zuhri, sedagkan ia bagaikan angin dalam pandangan Yahya Al-Qoththon. Diriwayatkan pula oleh Abu Daud dalam maraasil (270) dan Al-Baihaki dalam Al-Kubra ((9/53) dalam kitab al-sair, dikatakan bahwa hadits ini mungqoti’ dari Al-Zuhri.

[13] H.R Al-Bukhori , keutamaan Anshor, hadits (3905).

[14] Shohih Muslim. Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, vol. VI, hlm. 89, hadits 11259
[15] HR. Abu Dawud no. 4292; dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2767].

[16] H.R Al-Bukhori , keutamaan Anshor, hadits (3905).

[17] Robi’ bin Hadi al-Madkholi, Shadu Udwani Al-Mulhidin (riyadh: Al-Furqon) hlm.25
[18] Mahmas bin Abdillah bin Muhamad al-Jal’ud,Al-Mualat wa al- Mu’adat fi Syari’ati al-Islamiyah, (versi Maktabah Syamilah) vol.II hlm. 330

[19] Aburrahman bin Jauzi, Zaad al-Masir fi ‘Ilmi at-Tafsir, (versi Maktabah Syamilah) vol.I ham. 447

[20] Ibnu hazm, al-Muhalla, (Kairo: Maktabah Dar At-Turats) vol. 12 hlm. 525

[21] Ibnu Abdil Bar, Al-Kaafi, (Riyadh: Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah) vol. 1 hlm. 484
[22] HR Muslim (1817) dalam kitab Al-Jihad Wa Al-Sair, Ahmad (24386) dalam Al-Musnad, Abu Daud (2732) dalam kitab Al-Jihad, Al-Tirmidzi (1558) dalam kitab Al-Sair, dan Ibnu Majah (2832) dalam kitab Al-Jihad, dari Aisyah r.a.

[23] HR Ath-Thohawi didalam Musykil al-Atsar 3/ 241 dari jalur Ubaid bin Rijal, dan diriwayatkan juga oleh Hakim dalam al-Mustadrok 2/122. Al-Albani berkata hadits ini sanadnya hasan, Silsilah al-Ahadits adh-Dhoifah no. 1101

[24] Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi didalam Syarah Shohih Muslim :
وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَآخَرُونَ : إِنْ كَانَ الْكَافِر حَسَن الرَّأْي فِي الْمُسْلِمِينَ , وَدَعَتْ الْحَاجَة إِلَى الِاسْتِعَانَة بِهِ اُسْتُعِينَ بِهِ , وَإِلَّا فَيُكْرَه

”Asy-Syafi’i dan yang lainnya telah berkata : ’Apabila orang kafir tersebut mempunyai pandangan bagus terhadap kaum muslimin (bisa dipercaya) dan kondisi sangat membutuhkan pada pertolongan orang kafir tersebut, maka diperbolehkan meminta pertolongan kepadanya. Jika tidak, maka hlm itu dibenci”
                Hlm ini sebagaimana juga disebutkandalam kitab minhaju at-tholibin beserta syarah mughni al-muhtaj vol, 1 hlm, 221

[25] Syamsudin al-Qurtubi, al-Jami’ liahkami al-Qur’an (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyah 1384 H 1964 M) vol.6 hlm. 224
[26] Yusuf Qordowi, Fikih jihad, (Qohiroh: Maktabah Wahbah  ).vol 1 hlm. 806

[27] HR. Abu Dawud no. 4292; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2767].

[28] Diantara ulama kontemporer yang melakukan tarjih adalah Yusuf Qordowi, Robi’ bin Hadi al-Madkholi dan  Abdulah Ath-Thuraiqi

[29] Muhamad Sulaiman Al-Asyqor, al-Wadih fi ushul al-Fiqhi li al-Mubtadiin, (Urdun: Dar An-Nafais). Vol. 1 hlm. 270. Wahbah zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, (Damaskus, suriah : Dar Al-Fikr ) hlm, 245

[30] hlm ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar:
 ويجمع بينه وبين الذي قبله بأوجه ذكرها المصنف منها وذكره البيهقي عن نص الشافعي أن النبي صلى الله عليه وسلم تفرس فيه الرغبة في الإسلام فرده رجاء أن يسلم فصدق ظنه وفيه نظر من جهة التنكير في سياق النفي ومنها أن الأمر فيه إلى رأي الإمام وفيه النظر بعينه ومنها أن الاستعانة كانت ممنوعة ثم رخص فيها وهذا أقربها وعليه نص الشافعي

[31] Yusuf Kordhowi, Fikih jihad, (Qohiroh: Maktabah Wahbah).vol 1 hlm. 806

[32] Abdullah bin Ibrahim bin Ali Ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri Al-Muslimin Fi Al-Fiqhi Al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu Al-Buhuts Wa Al-Iftaa  wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1407 H) hlm. 270

[33] Abdullah bin Ibrahim bin Ali Ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri Al-Muslimin Fi Al-Fiqhi Al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu Al-Buhuts Wa Al-Iftaa  wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1407 H) hlm. 112

[34] Mahmas bin Abdillah bin Muhamad al-Jal’ud,Al-Mualat wa al- Mu’adat fi Syari’ati al-Islamiyah, (versi Maktabah Syamilah) vol.II hlm.333

[35] Imam Nawawi, Minhaj Ath-Tholibin wa Umdatu Al-Muftin (Beirut: Dar Al-Ma’rifah) vol.4 hlm. 221

[36] Lafadz yang menunjukan loyalnya Shofwan kepada Rasulullah adalah:
 “لأن يربني رجل من قريش – يعني محمد –خير من أن يربني رجل من هوازن"
H.R Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/388), Ibnu Hiban dalam As-Sair (11/95), Al-Arnaut mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan, dan diriwayatkan juga oleh Al-Baihaki dalam kitab pembagian fai’ dan ghonimah (6/370) dari jalur Jabir bin Abdillah. Syarat seperti ini juga dijselaskan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (13/98).

[38] Muhamad Sulaiman al-Asyqor, Al-Wadih Fi Ushul Fiqih Li al-Mubtadiin, (Qohiroh: Dar al-Salam) hlm. 270

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net