Jumat, 31 Maret 2017

HUKUM MENYERUPAI ORANG KAFIR DALAM BERPAKAIAN

0


                                                                          OLEH: BUDI
I. Pembukaan
Keragaman merupakan sunatullah dalam kehidupan. Allah menciptakan manusia dari jenis laiki-laki dan perempuan. Pada saat yang sama, Allah SWT juga menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan aneka budaya, logat dan bahasa. Hal ini menjadikan keragaman semakin penuh warna. Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal” (QS. Al-Hujurat:13).
Allah SWT juga berfirman, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau mengetahui” (QS. Ar-Rum:22)
Di tengah keragaman inilah, idantitas mutlak diperlukan untuk meneguhkan jati diri. Identitaslah yang menerangkan siapa sejatinya pemilik idantitas tersebut tentang jenis kelamin, bangsa, budaya, bahasa, bahkan yang terpenting idieologi yang dianutnya. Dengan identitas, ia dikenali dan diakui eksistensinya oleh  yang lain. Karena itulah, diantara bentuk usaha musuh-musuh Islam dalam menghancurkan umat ini adalah Mereka berusaha menjauhkan generasi muslim dari pedoman hidup mereka yakni Al-Qur’ann dan As-Sunnah sejauh mungkin sehingga, setelah mereka jauh dari aturan Islam yang mulia ini maka, sangat mudah sekali bagi musuh-musuh Islam untuk mengaburkan identitas mulia  seorang muslim sehingga mereka mengikuti gaya hidup musuh-musuh mereka.
Diantara pernyataan dari salah seorang orientalis mengenai usahan mereka dalam memerangi Islam datang dari mantan PM Inggris di zaman ratu Victoria, William Ewart Gladstone (1809-1898): “Percuma kita memerangi umat Islam, dan tidak akan mampu menguasasinya selama di dalam dada pemuda-pemuda Islam bertengger Al-Qur’an. Tugas kita sekarang adalah mencabut Al-Qur’an dari hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka.
Dewasa ini, dapat kita rasakan usaha dari musuh-musuh Islam dalam memerangi umat ini yaitu, umat Islam terjajah dari segala lini dimulai dari segi ekonomi, budaya, sosial, polotik, dll. Sehingga praktis kaum muslimin banyak yang membebek kepada musuh-musuh Islam yang mana hari ini mereka diwakili oleh Barat. Bisa kita saksikan pada acara Miss World Muslimah, memang pakaian yang dikenakan oleh para muslimah adalah pakaian syar’I menurut mereka. Namun syar’I saja tidak cukup, dalam acara ini para muslimah diharuskan berpakaian syar’I tapi trendi, sehingga tidak sedikit dari model pakaian yang mereka kenakan ternyata menyerupai  orang-orang kafir.
Sebagai kaum yang sedang dijajah maka, ia akan senantiasa mengiikuti kaum yang menang, kira-kira seperti inilah kondisi kaum muslimin sekarang. Hal ini disebabkan banyak dari kaum muslimin hari ini yang terjangkiti penyakit inferiority complex (merasa rendah diri). Meminjam istilah Ibnu Khaldun dalam karya beliau yang fenomenal  ‘Muqaddimah’ beliau mengatakan, “ peradaban yang kalah akan senantiasa tergiur untuk meniru peradaban yang menang baik dalam soal jargon, cara berpakaian, pola beragama, maupun dalam kelakuan dan tradiasi mereka.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, penulis dalam karya yang sederhana ini mencoba mengupas bagaimana model pakaian yang diajarkan oleh Islam?, dan bagaimana hukum menyerupai orang kafir dalam hal berpakaian?
II. Pengertian
a. Tasayabbuh
Secara etimologi berasal dari kata شبه yang bermakna penyerupaan (الشبه و الشبيه) dikatakan والشبه من الجواهر: ما يشبه الذهب.   Di dalam kamus al-mu’jam al-wasith disebutkan  إِلْحَاق أَمر بِأَمْر لصفة مُشْتَركَة بَينهمَا كتشبيه الرجل بالأسد فِي الشجَاعَة  yaitu mengkaitkan sesuatu dikarenakan sifat yang terkandung di antara kedua belah pihak seperti seorang itu menyerupai singa dalam hal keberaniannya
Secara istilah : Menurut Imam Ghazali yaitu ungkapan yang menunjukkan usaha manusia untuk menyerupakan dirinya  dengan sesuatu yang diinginkan dirinya serupa dengan sesuatu tersebut, baik sesuatu tersebut berupa tingkah laku, pakaian, atau sifat-sifatnya. Jadi tasyabbuh adalah ungkapan tentang tingkah lak yang diinginkan dan dilakukannya.
b. Pakaian
 Yaitu apa-apa  yang dipakai ما يلبس منه Secara bahasa yaitu
Adapun secara terminologi yaitu Ibnu Abbas berkata ketika menafsirkan Surat Al A’rof ayat 31:
اللباس وهو ما يواري السوأة وما سوا ذلك من جيد البز و المتاع
 ” Pakaian adalah sesuatau yang menutupi aurot dan yang selainya berupa kain yang bagus dan perhiasan.”
Dari pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan mengenai pengertian tema dari karya tulis ini yaitu larangan menyerupai tingkah laku orang kafir dalam cara berpakaian mereka.
III. Masyru’iyyah
Seorang muslim tidak diperbolehkan memakai pakaian yang menyerupai orang kafir, baik ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun ‘ajam (Romawi dan Persia). Dalam prinsip agama Islam, kaum muslimin dilarang keras bersikap tasyabuh dengan orang kafir dalam hal ibadah, hari raya, pakaian, bahkan semua perkara, baik ushul maupun ahkam. Cukup banyak dalil-dalil yang melarang tasyabuh. Di antaranya adalah:
a. firman Allah Subhanahu wata’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad), “Raa’ina”, tetapi katakanlah, “Unzhurna”, dan “Dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” ( QS.al-Baqarah: 104)
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata : Ayat ini merupakan dalil bahwa Allah telah melarang hamba-hambaNya yang beriman, untuk menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka.
b. Sabda Rasulullah SAW
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4031 dengan sanad yang hasan
Al-Imam Muhammad bin ‘Amir ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan, siapa pun yang menyerupai orang fasik, orang kafir, atau ahli bid’ah, pada segala sesuatu yang menjadi kekhususan mereka, baik pakaian, kendaraan, maupun penampilan, dia termasuk golongan mereka.”
c. Atsar sahabat
Suatu ketika khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengirim surat kepada salah seorang panglima perang Islam di Azerbaijan bernama ‘Utbah bin Farqad. Di antara isi suratnya,
وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِيَّ أَهْلِ الشِّرْكِ   ولبوس الحرير
“Janganlah kalian bermewah-mewah dan waspadailah model pakaian orang musyrik.” (HR.Muslim). Dalam riwayat disebutkan dengan lafadz,
وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِيَّ الْأَعَاجِم
“Janganlah kalian bermewah-wewah dan waspadailah model pakaian orang ‘ajam (Persia dan Romawi).”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengomentari atsar ini, “Hadits ini menunjukan pelarangan bagi kaum muslimin untuk menyerupai segala bentuk model pakaian orang kafir”
IV. Kriteria pakaian seorang muslim
Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Kibai di dalam buku Ahkamul libas waz zinah, memberikan rincian mengenai syarat pakaian seorang muslim, yaitu:
1. Menutup aurat
2. Tidak memperlihatkan bentuk lekukan tubuh
3. Bagi laki-laki tidak menyerupai perempuan dan sebaliknya
4. Tidak menyerupai orang kafir
5. Tidak berupa pakaian kemegahan
6. Tidak berlebih-lebihan
7. Tidak isbal
V. hukum tasyabuhh dalam berpakaian
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang muslim yang mengenakan pakaian khas milik agama lain.
1. Kafir
Madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah sepakat bahwa seorang muslim yang sudah tahu aturan ini dan secara sengaja mengenakan kostum khas pemeluk agama lain tanpa alasan yang syar’i hukumnya kafir.  Dasarnya adalah hadits di atas yang secara tegas menyebutkan kekafiran dengan kalimat : dia adalah bagian dari mereka. Selain itu karena pakaian khas orang kafir adalah tanda kekufuran. Dan tidak ada orang yang mengenakannya kecuali memang dia tahu resiko akan dianggap sebagai orang kafir.
Seorang yang secara sengaja mengenakan topi khas pemeluk agama Majusi di atas kepalanya, hukumnya kafir secara zhahir. Kecuali bila dia mengenakannya karena ada unsur kedharuratan, atau karena terpaksa dimana saat itu tidak ada lagi pakaian selain pakaian khas orang kafir, sementara keadaan sangat dingin, atau sangat panas.
Dan juga bukan karena sebuah strategi dalam peperangan, dimana prinsipnya perang itu adalah tipu daya, maka hukumnya boleh.
Rasulullah SAW bersabda :
الحَرْبُ خُدْعَة
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya perang itu adalah tipu daya”. (HR. Ahmad )
2. Haram
Sedangkan mazhab Hanabilah tidak mengkafirkan seorang muslim yang mengenakan pakaian khas orang kafir, mereka hanya mengharamkan saja.
Al-Buhty berkata bahwa bila seorang muslim mengenakan pakaian yang menjadi ciri khas agama tertentu, misalnya dia mengenakan kalung salib, maka hukumnya haram, namun dia sendiri tidak bisa dikatakan kafir.
Dan sebagian dari mazhab Al-Hanafiyah dalam salah satu qaul juga tidak mengkafirkan orang yang mengenakan pakaian khas orang kafir, tetapi hatinya masih tetap bertauhid dan lisannya masih tetap mengaku muslim.
Al-Imam Abu Hanifah sendiri mengatakan bahwa seseorang tidak akan keluar dari agama Islam kecuali melalui pintu masuknya. Ketika seorang masuk Islam harus melewati pintu mengucapkan dua kalimat syahadat, maka untuk bisa dikatakan kafir dia harus mencabut pernyataannya itu. Kalau baru sekedar memakai pakaian khas orang kafir, belum sampai mengeluarkannya dari agama Islam.
Kapan dikatakan tasyabbuh?
Tidak semua pakaian yang mengandung nilai kesamaan dengan pakaian orang kafir lantas menjadi haram atau kufur pelakunya. Para ulama telah membuat batasan yang jelas tentang masalah ini, agar kita tidak begitu saja menjatuhkan vonis kafir kepada sembarang orang.
1. Negara Islam
Al-Imam Ar-Ramli menegaskan bahwa seorang muslim akan menjadi kafir ketika mengenakan pakaian khas orang kafir di dalam negeri Islam. Sedangkan bila dia mengenakannya di dalam negeri kafir, tidak dihukumi haram atau kafir. Hal itu mengingat bahwa boleh jadi pakaian yang tersedia di negeri kafir itu memang hanya tersedia yang seperti itu.
Imam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa bila seseorang yang tinggal di sebuah negeri kafir, baik darul kufri harbi atau darul kufri ghairul harbi, mengenakan pakaian yang menjadi ciri khas penduduk negeri itu, dengan niat dan tujuan untuk dapat melakukan pendekatan diri kepada penduduknya dalam rangka proses menyampaikan dakwah Islam, maka hukumnya tidak haram.
2. Darurat
Seseorang menjadi kafir atau berdosa besar tatkala ia mengenakan pakaian khas orang kafir, bila tidak ada alasan darurat. Sedangkan bila dia mengenakannya karena dalam keadaan darurat, maka hal itu dibolehkan. Di antara bentuk keadaan darurat antara lain karena perang, cuaca, terpaksa atau pun karena kemiskinan.
Dalam perang yang berkecamuk dengan dahsyat, terkadang dibutuhkan sebuah tipu daya untuk mengelabuhi musuh. Misalnya dalam operasi penyelamatan sandera dengan cara mengendap-endap masuk ke wilayah musuh, dalam hal ini dibolehkan seorang tentara muslim mengenakan pakaian khas milik orang kafir. Atau dalam operasi penyusupan yang membutuhkan penyamaran, maka hukumnya dibolehkan bila memakai pakaian khas orang kafir.
Sedangkan contoh karena penyebab cuaca misalnya negeri sub-tropis dengan suhu yang ekstrim, penduduk yang tinggal di negeri itu harus mengenakan pakaian yang bisa untuk bertahan terhadap cuaca dingin yang mengigit atau cuaca panas yang menyengat. Bila saat itu yang ada hanya pakaian khas milik orang kafir, hukumnya diperbolehkan untuk dipakai karena darurat.
3. Khas Pakaian Agama
Yang diharamkan untuk dipakai oleh kaum muslimin adalah pakaian khas milik agama tertentu, dimana selain pemeluk agama itu tidak akan mengenakannya. Muhammad Abu Hasan dalam kitab beliau, mirqatul Mafatih Syarh misykatul Mashabih menukil perkataan Imam At-tibi mengenai hadits من تشبه بقوم فهو منهم :
قَالَ الطِّيبِيُّ: هَذَا عَامٌّ فِي الْخَلْقِ وَالْخُلُقِ وَالشِّعَارِ، وَلِمَا كَانَ الشِّعَارُ أَظْهَرُ فِي التَّشَبُّهِ ذُكِرَ فِي هَذَا الْبَابِ .
Dan mode pakaian suatu agama pun terkadang mengalami perubahan yang signifikan. Maka keharamannya hanya sebagai ketika suatu jenis pakaian sedang dijadikan pakaian khas suatu agama.
Sehingga boleh jadi, ketika zaman berganti, dan suatu agama mengubah pakaian khas mereka, maka pakaian yang lama yang sudah tidak jadi ciri khas agama itu sudah tidak lagi haram untuk dipakai oleh seorang muslim.
4. Ciri khas mereka
Termasuk kriteria  menyerupai orang kafir adalah melakukan hal yang menjadi ciri khas orang kafir sehingga siapa saja yang melihatnya akan mengira bahwa orang yang dilihat adalah orang kafir.
Adapun sesuatu yang telah tersebar luas di tengah-tengah orang Islam dan orang kafir maka melakukannya itu diperbolehkan meski pada asalnya budaya tersebut berasal dari orang kafir tentu dengan syarat hal tersebut bukanlah terlarang secara khusus dalam syariat semisal pakaian sutra
Hal ini telah ditegaskan oleh imam Ibnu Hajar di dalam fathul Bari 10/272, “Sebagian ulama salaf melarang memakai burnus (jubah yang ada tutup kepalanya) dengan alasan pakaian tersebut adalah pakaian para pendeta. Namun Imam Malik pernah ditanya tentang hukum memakai burnus, jawaban beliau, “Tidak mengapa”. Ada yang menyanggah, “Bukankah itu pakaian para pendeta?” Jawaban beliau, “Pakaian tersebut dikenakan oleh kaum muslimin di sini”….
Contoh pakaian yang dilarang dalam islam
1. Mengenakan pakaian pendek, tipis dan ketat.
Di antara peran yang dilancarkan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam pada zaman ini adalah dengan mode pakaian. Mereka menciptakan beberapa mode pakaian lalu diperagakan dan dipasarkan di tengah-tengah kaum muslimin. Ironisnya, pakaian -pakaian tersebut tidak menutup aurat karena amat pendek, tipis dan ketat. Bahkan sebagian besar tidak dibenarkan dipakai oleh wanita.
2. Berbahan sutra (bagi laki-laki)
3. Setiap Pakaian Yang Menampakkan Aurat.
Diantara hikmah Allah menurunkan dan menciptakan pakaian adalah menutup aurat kita.
Allah berfirman :
يبنى ءادم قد أنزلنا عليكم لباسا يوارى سوءاتكم وريشا ولباس التقوى ذلك خير ذلك من ءايت الله لعلهم يذكرون
Artinya : “ Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik. Yang demikian itu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat. ( QS Al. A’rof : 26 )
4. Pakaian sebagian wanita yang memiliki sobekan panjang dari bawah ke atas, atau yang ada lubang di beberapa bagiannya, sehingga tampak auratnya
5. Pakaian yang terdapat gambar orang kafir
Pakaian jenis ini merupakan pakaian yang cukup berbahaya bagi aqidah seorang muslim.
Dari Anas bin Malik mengisahkan : “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rosulullah, kapankah hari kiamat itu ya Rosululah ?… Rosulullah bertanya kepada orang tersebut : “ Apa yang telah kamu persiapkan untuknya ? “ Lelaki itu menjawab : Aku tidak mempersiapkan untuknya dengan banyak sholat, puasa dan tidak pula banyak shadaqah. Tetapi aku mencintai Allah dan RosulNya. Maka beliau bersabda : “Kamu akan dibangkitkan bersama siapa yang kamu cintai “. ( HR. Muslim ).
Syaikh Abul Ula Muhammad bin Abdurrohman Al. Mubarokfury berkata : “ Seseorang akan dibangkitan bersama siapa yang ia cintai dan akan menjadi  temannya, apakah yang dicintainya itu orang sholih atau orang tholih (jahat). Dan di dalam riwayat Muslim dari Anas bin Malik : “ Walaupun ia belum (tidak) mengikuti perbuatan mereka.
Dari sini jelaslah mencintai seseorang atau mencintai suatu kaum, apakah ia sholih, tholih (jahat) atau kafir, maka kita akan dibangkitkan bersama mereka pada hari kiamat, walaupun kita tidak melaksanakan perbuatan mereka. Maka bagaimana pula, bila kita mencintai orang-orang kafir kemudian kita mengikuti (mencontoh) perbuatan-perbuatan mereka dari pakaian, penampilan, gaya hidup dan lain-lainnya, maka ini lebih buruk kagi.

VI. Kesimpulan
Bagi seorang muslim, Islam merupakan identitas kebesaran yang harus dijaga dan dipegang erat-erat. Ia harus menjadi seorang muslim yang utuh dalam  segala hal. Jangan sampai dalam beberapa hal ia berpegang teguh kepada ajaran Islam namun, di sisi lain ia mengekor kepada budaya kafir yang jelas-jelas dilarang oleh syariat. Maka, guna menjaga keutuhan identitas ini Islam melarang pemeluknya menyerupai orang-orang kafir dalam hal yang yang menjadi ciri khas atau agama mereka.


VII. DAFTAR PUSTAKA
1. Ibnu Faris, Mujmal Al-Lughoh  muassah arrisalah: Beirut. 1986
2. Dewan Bahasa Mesir. Mu’jamul Washith, Dar ad-dakwah. tt
3. Ibnu Manzur  Lisanul arab, Beirut:Darul fikr. tt
4. Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qu’an Al-Adhim, Mesir:Maktabah Taufikiyah.tt
5. Sulaiaman bin ‘Asy’ats As-Sijistani. Sunan Abi Dawud, Beirut: Maktabah Asriyah
6. Muhammad bin ‘Amir ash-Shan’ani Subulus Salam 4/321 cet. I, Darul Fikr Beirut, 1992M/1411 H
7. Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Kibai. Ahkamu libas wa zinah fil islam
8. Kasysyaf Al-Qinaa’ Mansur bin Yunusbin Idris Al-Buhui. Asna Al-Mathalib, Beirut: Alimul Kutub. tt
9. Al-Fatawa Al-Bazzaziyah bil Hamisy Al-Fatawa Al-Hindiyah
10. Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, Kairo:Dar al-Aqidah, 2006
11. Muhammad Abu Hasan. mirqatul Mafatih Syarh misykatul Mashabih
12. Ibnu Hajar al-Asqalani. fathul Bari Bisyarhi Shahihul Bukhari, Beirut: Darul Fikr, 2000

Dhawabith at-Tasyabbuh bil Kuffar

0


( Oleh Endri Saputra )
              I.     Pendahuluan
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan Salam senantiasa tetap tercurahkan kepada baginda Nabi dan RasulNya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam, serta para keluarga, sahabat, dan kepada para pengikutnya yang senantiasa istiqomah dalam meniti petunjuknya sampai hari kiamat.
Dinul Islam adalah dinul haq, yang sempurna. Yang mengatur segala perbuatan manusia dan merupakan pedoman hidup. Din yang telah Allah sempurnakan dari segala kekurangan untuk mengantarkan manusia pada kehidupan yang bahagia.
Allah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Artinya: Pada hari ini telah ku sempurnakan untuk kalian dien kalian, dan telah ku cukupkan bagi kalian nikmatku, dan telah ku ridhoi Islam sebagai dien kalian. (QS. Al Maidah: 3)
Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

والله  لقد تركتكم على مثل البيضاء ليلها ونهارها سواء

Artinya: Demi Allah, telah ku tinggalkan kalian di atas jalan yang putih, siangnya seperti malamnya. (HR. Ibnu Majah)
Sedemikianlah terangnya dan sempurnanya Dienul Islam ini, sehingga tidak ada kata lain untuk tidak mengikutinya, kecuali bagi mereka yang memiliki akal yang tidak digunakan, sehingga kesombongan, keangkuhan belakalah yang menghalangi untuk tidak mengikutinya.
Namun, sehubungan dengan berkembangnya zaman yang semakin modern, yang mana teknologi dan informasi ikut berkembang dengan sangat cepat, Semua informasi semakin mudah untuk diakses oleh semua kalangan masyarakat yang ada di dunia ini, baik yang ada di perkotaan maupun yang ada di pedesaan,yang mana hal ini sengat memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Yang paling menonjol dalam hal ini adalah masalah gaya hidup yang mayoritas masyarakat sekarang ini menjadikan gaya kehidupan barat sebagai timbangan gaya hidup mereka. Padahal Rasulullah jauh- jauh hari telah melarang umat ini untuk mengikuti orang- orang kafir dalam gaya hidup yang mereka lakukan. Hal ini yang disebutkan oleh Rasulullah sebagai bentuk tasyabbuh dengan orang kafir. Dan yang mesti diketahui oleh kita bahwa masalah tasyabbuh merupakan masalah prinsipil, karena berkaitan erat dengan aqidah seorang muslim. Mengabaikannya adalah merupakan bentuk kesalahan dan kefatalan yang besar.
Maka dari itu penulis ingin membahas apa batasan- batasan tasyabuh, apakah semua yang datang dari barat dari perkara- perkara yang baru kemudian kita mengikutinya itu merupakan tasyabuh kepada mereka, kalaupun demikian apa rambu- rambu dari tasyabuh dengan orang kafir itu sendiri.
           II.     Pengertian Tasyabuh
Secara Bahasa
Berasal dari kata شبه yang memiliki arti kesamaran atau kemiripan terhadap sesuatu. Dalam kamus lisanul Arab Ibnu Mandzur  memberikan pengertian bahwa Tasyabbuh berarti “menyerupai “ dan dikatakan juga “ fitnah” karena ketika menimpah suatu kaum, maka mereka menganggapnya sebagai suatu kebenaran, sehingga mereka melakukan apa yang tidak dihalalkan[2]
Secara Istilah
Tasyabbuh adalah suatu keadaan dimana seseorang atau suatu kelompok orang yang beriman menyerupai, yang dimaksud dalam hal ini adalah menyerupai orang kafir dalam masalah perkataan, perbuatan maupun kebiasaan- kebiasaab mereka.[3]
Syikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ Tasyabbuh meliputi semua tindakan yang dilakukan seseorang terhadap prilaku-prilaku yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir, sedangkan perilaku- prilaku tersebut jarang dilakukan oleh seorang muslim. Maka barang siapa yang mengikuti perbuatan orang- orang kafir dengan niatan untuk mengikuti mereka, maka berarti ia telah melakukan perbuatan tasyabbuh. Namun jika tanpa disertai niatan untuk meniru mereka , maka hal ini perlu dilihat lagi dalam menghukuminya, akan tetapi hal tersebut tetap dilarang untuk menghindari perbuatan tasyabbuh yang sebenarnya, serta untuk menyelisishi mereka.

A.                Hukum Tasyabbuh Kepada Orang-Orang Kafir.
a.                  Dalil-dalil dari Al.Qur’an
Sungguh tasyabbuh kepada orang-orang kafir, adalah haram hukumnya baik dalam ibadah, pakaian dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Inilah yang di sepakati oleh para ulama’ berdasarkan nash-nash yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.[4]
Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah: 48)
      Allah berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS.Al. Jatsiyah: 18)
      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan ayat ini beliau berkata: “Allah telah menjadikan Nabi Muhammad berada di atas suatu syari’at, berupa agama yang disyari’atkan kepada beliau dan di perintahkan agar mengikutinya. Allah melarang mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Semua orang yang menentang syari’at Allah, tentu masuk kedalam kelompok orang-orang yang tidak mengetahui. Hawa nafsu mereka adalah apa yang mengusik hasrat hawa nafsu dan segala apa yang ada pada diri orang-orang musyrik, yaitu berupa petunjuk-petunjuk yang nampak dalam agama mereka yang bathil serta tradisi-tradisi mereka. Menyerupai mereka berarti mengikuti apa yang mengusik hawa nafsu mereka. Maka tidak heran jika orang-orang kafir sangat gembira dengan penyerupaan orang-orang muslim dalam berbagai urusan mereka. Sekali pun mereka harus mengeluarkan harta yang cukup besar demi tercapainya cita-cita itu. Maka tidak diragukan lagi menyelisihi mereka dalam bentuk apapun adalah jalan untuk mendapatkan keridhoan Allah, karena menyerupai mereka dalam satu urusan adalah jalan menyerupai mereka dalam urusan-urusan yang lain. Barang siapa yang mengembala disekitar batas tanah gembalaan, khawatir akan masuk kedalamnya.”[5]
Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah katakan kepada Muhammad “Raa’ina”, tetapi katakanlah “Undzurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al Baqarah: 104)
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata : Ayat ini merupakan dalil bahwa Allah telah melarang hamba-hambaNya yang beriman, untuk menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka.[6]           
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Ayat ini menjelaskan tentang sebuah kalimat yaitu “رَاعِنَا” dilarang oleh Allah bagi orang-orang mukmin untuk mengucapkannya, karena orang-orang Yahudi juga mengucapkannya. Hal itu disebabkan, karena orang-orang yahudi mengucapkannya untuk sebuah kejelekan (ejekan) terhadap Rosulullah, yang berarti “kebodohan”, sedangkan bagi orang-orang mukmin bukan untuk hal itu. Maka Allah melarang hal itu, karena menyerupai orang-orang kafir adalah jalan untuk memenuhi keinginan mereka.[7]
b.                  Dalil-dalil dari As.Sunnah
Rosulullah bersabda :
مَنْ َتَشَّبَه بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya : Dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka berarti dia termasuk golongan mereka. (HR.Ahmad dan Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : Sanad hadits ini baik, gambaran yang paling ringan dari hadits adalah pengharaman menyerupai orang-orang kafir, meskipun dzahir hadits menyebutkan kafirnya orang-orang yang menyerupai mereka, sebagaimana firman Allah :
 “Siapa diantara kalian yang mengambil mereka sebagai wali, maka dia termasuk golongan mereka”.(QS. Al. Maidah : 55)
      Beliau berkata lagi : Tasyabbuh pada hadits ini bisa difahami tasyabbuh secara mutlak, meliputi semua perilaku yang dikatagorikan tasyabbuh dan menyebabkan kafir pelakunya, namun bisa juga difahami   bahwa termasuk golongan mereka pada hadits tersebut, adalah dinilai tergantung bentuk tasyabbuh dia dengan mereka, apakah itu termasuk tindak kekafiran, sekedar maksiat saja, atau syi’ar terhadap agama mereka, sehingga hukumnya pun berbeda-beda tergantung tindakan yang dilakukannya. Namun walau bagaimanapun hadits ini melarang tindakan tasyabbuh dengan sebab tasyabbuhnya itu sendiri.[8]
Ibnu Katsir berkata : Ini merupakan dalil, tentang larangan keras serta ancaman atas tasyabbuh terhadap orang-orang kafir, baik dalam ucapan, perbuatan, pakaian, hari raya dan ibadah-ibadah mereka, dan selain dari itu berupa urusan-urusan yang tidak disyari’atkan atas kita, dan kita juga tidak menetapkannya.[9]
B.                 Alasan dilarangnya tasyabbuh dengan orang kafir
Permasalahan yang pertama kali harus dipahami yaitu hukum-hukum yang dinyatakan dalam beberapa ketentuan Islam. Bahwa dien (Islam) dibangun di atas pondasi at-taslim, yakni penyerahan diri secara totalitas kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan at-taslim sendiri bermakna membenarkan seluruh yang diberitahukan Allah Ta’ala dan tunduk kepada perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Kemudian membenarkan apa-apa yang disampaikan Rasul-Nya kemudian tunduk kepada perintah beliau, menjauhi larangannya dan mengikuti semua petunjuk-petunjuk beliau.[10]
1.                  Karena perbuatan orang kafir pada dasarnya di bangun di atas pondasi kesesatan dan kerusakan.
Inilah sebenarnya titik tolak perbuatan dan amalan orang- orang kafir, baik yang Nampak nyata kerusakanya maupun yang terselubung. Karena yang menjadi dasar semua aktifitas orang kafir adalah sesat dan menyeleweng dari kebenaran.  Adapun kebaikan yang mereka lakukan itu merupakan sebuah pengecualian saja. karena perbuatan baik yang mereka lakukan itu tidak akan diterima di sisi Allah dan tidak memberikan arti apapun berupa kebaikan.[11]
Allah berfirman
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan kami hadapi amalan yang mereka lakukan kemudian kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan”  ( QS: al-Furqon: 23)
Mujahid berkata” Maksud dari “haba’an mantsuro” adalah seperti debu beterbangan yang tidak ada nilainya atau suatu  kebatilan karena mereka beramal bukan karena Allah Ta’ala melainkan untuk syaetan ataupun yang lainnya [12]
2.                  Meniru orang kafir akan menjadikan seorang muslim sebagai pengikut mereka
Orang muslim yang menjadi pengikut orang kafir akan menjadi peniru mereka dari sifat-sifat yang dhohir. Pada dasarnya meniru gaya lahiriah mereka menjadi penyebab munculnya sikap meniru karakter, tingkah laku yang tercela dan bahkan juga keyakinan-keyakinan mereka. Pengaruh tersebut terjadi dengan halus tanpa terduga.[13]
Maksud dari pengikut mereka adalah orang tersebut telah menentang dan menjauh petunjuk Allah dan Rosul-Nya. Dan dia mengikuti jalur orang-orang yang tidak beriman. Sesungguhnya dalam perkara ini terdapat peringatan yang sangat keras sekali, sebagaimana Allah berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
 “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalannya orang-orang yang tidak beriman, Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir, pen.) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)
3.                  Tasyabbuh dengan orang kafir akan mewariskan dampak rasa kagum dan membaggakan orang kafir.
Seorang muslim yang mereka mengikuti orang kafir dalam urusan dunia maka akan memberikan simpati pada mereka, terlebih lagi dalam urusan agama, maka hal itu akan sangat bertentangan dengan keimanan seorang muslim.[14]
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Abu Musa Al Asy’ari Rodhiallahu’anhu, bahwa ia berkata: “Aku pernah berkata kepada Umar bin Khothob: “Sesungguhnya saya memiliki seorang juru tulis beragama Nasrani.” Maka beliau menanggapi: “Untuk apa, celakalah kamu, tidaklah kamu mendengar firman Allah Ta’ala: (QS. Al Maidah: 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
 “Wahai orang yang beriman, janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan nasrani sebagai pelindung-pelindung (wali-wali) diantara kalian, sebagian diantaranya menjadi pelindung sebagian yang lain…”? tidaklah engkau ingin agama kamu menjadi lurus? Ia menjawab: “Wahai Amirul mukminin, aku hanya mengambil kapandaiannya dalam menulis, sedangkan urusan agamanya itu urusan dia sendiri.” Umar menanggapi: “Tidak bisa, saya tidak akan memuliakan mereka karena Allah menghinakan mereka. Saya tidak akan mengangkat derajat mereka, karena Allah telah merendahkan mereka. Saya juga tidak akan mendekati mereka, karena Allah telah menjauhi mereka.” [15]
4.                  Meniru orang kafir akan menimbulkan rasa kasih sayang, kecintaan, dan loyal kepada mereka.
Tasyabuh dalam perkara Azh Zhohir itu akan menuju kepada tingkatan yang berikutnya yaitu tasyabuh dalam perkara batin. Yang mana itu adalah sebuah tingkatan lebih tinggi. Rasa suka dalam hati akan mewariskan untuk menyerupai dalam perkara yang dhahir, jenis menyelisihi orang kafir dan meninggalkan tasyabuh terhadap mereka adalah perkara yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala. Tasyabuh dalam perkara yang dhahir adalah wasilah untuk menyesuaikan dalam hati dan juga amal perbuatan.[16] 
Kalaulah meniru dalam urusan dunia saja dapat dapat menimbulkan rasa cinta, kasih sayang, dan loyal, terlebih lagi dalam urusan agama. Maka itu akan semakin besar pengaruhnya. Allah telah melarang kaum muslimin utnuk menjadikan orang yahudi dan nasrani sebagai wali bagi mereka, karena hal itu akan mengantarkan seorang muslim untuk cinta dan loyal pada mereka.
Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Wahai orang yang beriman, janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan nasrani sebagai pelindung-pelindung (wali-wali) diantara kalian, sebagian diantaranya menjadi pelindung sebagian yang lain…” (QS. Al Maidah: 51) [17]
Dalam ayat tersebut terdapat beberapa bentuk dari keloyalan seorang muslim terhadap orang kafir, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Ridho terhadap kekafiran orang kafir atau meniadakan, ragu terhadap kekafiran mereka atau bahkan membenarkan kekafiran mereka.
Kedua, tasyabuh terhadap Adat, akhlak, atau bahkan ibadah mereka.
Ketiga, isti’anah, muawanah atau menolong mereka.
Keempat, bersafar ke tempat mereka tanpa ada kepentingan dan memintakan ampun untuk mereka, dan sebagainya.[18]
C.                Macam- macam tasyabbuh dengan orang kafir
a.                  Tasyabuh yang diharamkan
Penyerupaan yang diharamkan adalah sebuah prilaku yang merupakan ciri-ciri khusus agama orang kafir dimana ia telah mengetahuinya dan tidak ada dalam agama islam, hal ini diharamkan dan bisa menjadi sebuah dosa besar. Bahkan sebagian bisa mengarahkan pelakunya kepada kekufuran sesuai dengan dalilnya. Apakah itu dilakukan oleh seseorang sesuai dengan orang kafir atau karena syahwat atau syubhat dalam pandangannya yang mana itu akan berakibat pada akhiratnya.[19]
b.                  Tasyabuh yang diperbolehkan
menyerupai yang diperbolehkan adalah suatu perilaku yang asalnya tidak diambil dari orang kafir, serta itu merupakan perkara dunia serta tidak menimbulkan kerusakan,[20] hanya saja orang kafir melakukanya juga. Hal ini tidak dilarang menyerupainya, namun boleh jadi ia tidak dapat manfaat dari menyelisi orang kafir.[21] Dan hal itu juga
D.                Larangan bertasyabbuh dalam beberapa hal yang bersifat umum
Karena sedikitnya ilmu yang meliputi tentang hukum akhir zaman, maka banyak orang yang terjerumus kepada kebid’ahan ataupun bertasyabbuh pada orang kafir, baik dalam perkara yang merupakan adat kebiasaan mereka. Hal ini merupakan perkara yang sangat dilarang, sebagaimana rasulullah bersabda dalam sebuah haditsnya yang berbunyi:

لتَتَبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“ Sesungguhnya kalian benar- benar aka  mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kamu” [22]
a.                  Dalam aqidah dan hal ibadah
Larangan untuk menyerupai ahli kitab dan perintah untuk membedakan diri dari ahli kitab mencakup beberapa hal, yaitu:
Pertama, amalan yang disyari’atkan dalam syari’at islam sekarang dan syari’at umat terdahulu. Contohnya, puasa asyura. Kedua, perbuatan yang awalnya disyari’atkan, kemudian dihapus secara total, contohnya, mencari rizki di hari sabtu. Ketiga, persoalan-persoalan baru yang berkaitan dengan masalah ibadah, yang mereka ada-adakan, seperti perkara bid’ah[23]
b.                  Dalam perayaan hari- hari besar
Larangan dalam mengikuti hari raya atau hari besar adalah:
Dalil dari al- Qur’an
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya” (Q.S Al Furqon: 72)
c.                   Dalam Dalam tradisi, akhlaq, dan tingkah laku
Tasyabuh dalam permasalahan ini mencangkup seperti pakaian, misalnya. Ini dinamakan sebagai petunjuk lahiriah, dan petunjuk lahir tersebut diamati dari rupa, bentuk, pola tingkah laku, dan akhlak. Telah dinyatakan pula secara nyata dan jelas tentang keharaman bertasyabbuh dalam beberapa perkara, baik secara keseluruhan maupun secara sebagian sebagian; Seperti larangan mencukur jenggot, memakai bejana atau piring dari emas, memakai pakaian yang merupakan syi’arnya orang-orang kafir, bertabarruj (menampakkan perhiasan tubuh pada lelaki yang bukan mahram), ikhtilath (bergaul campur antar lawan jenis yang bukan mahram), laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki, dan segala bentuk tradisi kafir lainnya.[24]
             III.                        Dhawabith Tasyabbuh
Dari pemaparan di atas mengenai masalah tasyabbuh, maka perlu diperhatikan batasan ataupun rambu- rambu yang berkaitan tentang tasyabbuh itu sendiri. Umat islam diperintahkan unutk menyelisihi orang kafir dalam perilaku lahiriah maupun batiniah yang mana, perkara tasyabuh ini memiliki batasan-batasan ataupun rambu-rambu khusus yang harus diperhatikan agar kita tidak masuk dalam perkara tasyabbuh.
1. Hendaknya hal ini bukan termasuk kebiasan dan syiar yang membedakan mereka dengan orang muslim.
Tasyabuh dalam perkara ini misalnya dengan menggunakan atau memakai kalung salib atau baju- baju seragam para pastur dan pendeta.begitu juga dengan memajang lambang-lambang maupun gambar- gambar kufur, seperti salaib, bintang david, lambang mata satu(dajjal),gambar yesus, dan sebagainya. Atau dengan mengekpresikan gerakan yang mana itu merupakan symbol- symbol khusus mereka, seperti tangan metal, menutup mata satu, atau dengan tarian dan olahraga yang disusupu dengan gerakan yang menunjukkan symbol kekufuran. Hal ini berdasarkan perkataan Umar bin Khatab
وقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه إياكم ورطانة الأعاجم، وأن تدخلوا على المشركين في كنائسهم
“Hendaklah kalian berhati-hati dari logat khusus orang-orang non muslim, dan jangan kalian masuk bersama musyrikin di gereja mereka.”[25]
Adapun perbuatan yang mana itu awalnya merupakan ciri khusus bagi orang kafir namun jika sudah tersebar dan dilakukan oleh semua lapisan golomgan masyarakat, maka hal itu sudah tidak menjadi kekhususan bagi mereka dan kaum muslimin boleh melakukanya. Selama dalam perbuatan tersebut tidak ada unsur keharaman yang khusus bagi hal tersebut serta perbuatan tersebut hanya dalam hal adat istiadat, bukan dalam ibadah keagamaan yang senantiasa bersifat khusus.Contohny adalah seorang laki- laki yang memakai pakaian dari sutra, yang mana diharamkan bukan karena bertasyabbuh melaikan ha tersebut diharamkan karena faktor lain yang merupakan hal khusus dalam perkara tersebut.
Hal ini berdasarkan sebuah qaidah
اذا زال المانع عاد الممنوع
Apabila penghalang suatu perkara telah hilang, maka perkara yang dilarang tersebut menjadi boleh dilakukan” [26]

2. Hal itu bukan termasuk dari ajaran mereka
Yaitu apa yang telah diberitakan Allah kepada kita dalam kitab-Nya atau lewat lisan Rasul-Nya. Karena semua perbuatan mereka baik itu yang berupa ajaran aqidah maupun ibadah semua itu dibangun di atas pondasi kesesatan dan menyeleweng dari kebenaran, sehingga efek dari perbuatan yang mereka lakukan hanya akan mengantarkan pada kerugian. Bahkan kebaikan yang mereka lakukan tidak akan diterima oleh Allah.
Allah berfirman
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan kami hadapi amalan yang mereka lakukan kemudian kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan”  ( QS: al-Furqon: 23)
Mujahid berkata” Maksud dari “ هَبَاءً مَنْثُورًا adalah seperti debu beterbangan yang tidak ada nilainya atau suatu  kebatilan karena mereka beramal bukan karena Allah Ta’ala melainkan untuk syaetan ataupun yang lainnya [27]
3. Penyerupaan atau perbedaan ini tidak menjurus ke masalah syariat
Tasyabuh meliputi semua tindakan yang dilakukan seseorang terhadap perkara- perkara yang itu merupakan parsial, yang meliputi perkara Aqidah dan Ibadah yang biasa dilakukan oleh orang- orang kafir. Namun perkara itu jarang dilakukan oleh orang- orang islam. Maka bang siapa yang meniru perbuatan mereka dengan niat meniru mereka, maka dia telah terjerumus pada perkara tasyabbuh.[28]
Tasyabuh dalam masalah aqidah dan ibadah tidak memiliki batasan kecuali ucapan kekufuran dalam kondisi terpaksa. Meskipun dengan niat tidak bertasyabbuh namun, jika itu dalam hal aqidah dan ibadah maka sama saja dianggap sebagai bentuk tasyabbuh. Karena bertasyabbuh dalam masalah aqidah dan ibadah tidak ada rukhsah kecuali hanya ucapan kekufuran dalam kondisi terpaksa. Hal ini sebagaimanan firman Allah
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah ia beriman (dia mendapan kemurkaan Allah Ta’ala), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)” (Q.S An Nahl: 106)


4. Penyerupaan yang dilakukan tidak pada perayaan hari raya mereka.
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah mengharamkan kepada orang yang berserikat kepada orang kafir untuk merayakan hari besar orang kafir. [29]
 sebagaimana firman Allah.
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu[30] dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya” (Q.S Al Furqon: 72)
Ibnu Zaid, Ibnu Abbas dan Dhohak menafsirkan ayat ini dengan: menghadiri hari rayanya orang-orang musyrik Sya’aanii (Hari besar yang diperingati oleh orang Kristen dalam rangka mengenang kembali masuknya Al Masih (Isa) ke Baitul Maqdis).[31]
Adapun menurut Ibnu Katsir maksud dari syahadutu zur adalah ia berbuat dusta secara sengaja kepada orang lain[32].
  Demikian juga dari mujahid bahwa ia menyatakan tidak menghadiri hari-hari raya musyrik.[33] 
Bentuk seperti ini adalah sama dengan condong dan meniru apa yang dilakukan orang kafir. Apalagi umat islam mengambil suatu hukum dari orang-orang kafir, padahal orang muslim dan orang kafir tidaklah menjadi satu jalan atau satu ajaran. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas, bagi Allah (untuk menghukummu)?” (Q.S An Nisa’: 144)
Abu Ja’far Ath Thobari berkata: “Allah Ta’ala melarang orang yang beriman untuk meniru akhlaq orang-orang munafik, dan menjadikan orang-orang kafir sebagai wali mereka dengan meninggalkan orang yang beriman. Maka, orang beriman  akan mengikuti apa-apa yang mereka lakukan dan berwali kepada mereka (orang kafir).[34]

5. Penyerupaan sesuai dengan keperluan yang diinginkan dan mashlahat yang ada.[35]
Kemaslahatan diperbolehkannya untuk menyerupai orang kafir adalah terkhusus pada perkara tasyabuh dalam hal lahiriyah (perkara yang nampak) atau akhlaq apabila terdapat kondisi yang mendesak. Adapun mengenai perkara Aqidah dan ibadah tidak adanya rukhshoh untuk mengikuti orang kafir kecuali ucapan kekufuran dalam kondisi terpaksa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: apabila seorang muslim berada di darul harbi atau daru kufri ghairul harbi, maka tidak diperintahkan untuk menyelisihi mereka (orang kafir) dalam tingkah laku yang nampak, adapun ketika dia berada dalam kondisi bahaya dan dia menjadi orang yang disukai dikalangan mereka (orang kafir) atau diharuskan untuk menaruh simpati kepada mereka, maka harus bertingkah lakulah seperti mereka dalam perkara yang nampak. Apabila kondisi tersebut terdapat kemaslahatan bagi dienul islam. Akan tetapi jika umat islam berada dalam Darul Islam, maka Allah memuliakan Islam, dan menjadikan orang kafir hina. Maka disyariatkan kepada umat islam untuk tidak menyerupai mereka (Tasyabuh).[36]
Golongan Hanafiyyah berpendapat, begitu juga malikiyyah berdasarkan madzhab mereka, dan juga Jumhur Syafiiyyah bahwa barang siapa bertasyabbuh dengan orang kafir dalam hal pakaian yang merupakan syi’ar mereka -yang dengannya mereka membedakan diri dari kaum muslimin– dihukumi kafir secara dzahir; yakni dalam hukum-hukum dunia. Maka barang siapa memakai kopiah majusi di kepalanya dihukumi kafir, kecuali jika ia melaksanakannya karena darurat (berupa keterpaksaan), atau untuk melindungi dari panas atau dingin. Begitu juga dengan memakai sabuk nasrani, kecuali jika ia melaksanakannya untuk kamuflase dalam perang, dan menjadi mata-mata bagi kaum Muslimin, dan sebagainya, berdasarkan hadist; “Barang siapa menyerupai kaum maka ia termasuk golongan mereka”. Karena pakaian yang khusus bagi kaum kafir adalah alamat kufur, dan tidak mengenakannya kecuali orang yang menetapi kekufuran. Sedang istidlal dengan alamat dan berhukum dengan apa yang ditunjukkannya ditetapkan oleh akal dan syara’. Maka jikalau diketahui bahwa ia mengikat sabuk nasrani tidak karena meyakini hakikat kekufuran, tapi untuk masuk negara musuh guna membebaskan tawanan -misalnya- maka tidak dihukumi kafir.[37]
Hukum tasyabbuh akan hilang jika dalam keadaan dharurah atau hajat kepentingan dan kehormatan agama, yang mana hal ini berdasarkan atas keumuman bahwa manusia diperintahkan untuk bertaqwa semampunya dan jika ia terpaksa maka ia boleh melakukanya[38]
             IV.                        Kesimpulan
Dari pemaparan di atas secara umum bisa disimpulkan bahwa perbuatan tasyabbuh kepada orang kafir merupakan perbuatan yang menyerupai orang kafir dalam segala hal, baik itu perkataan, perbuatan, maupun kebiasaan mereka dan hal ini dilarang dan diharamkan oleh syari’at islam.
Namun di beberapa keadaan, perbuatan tasyabbuh yang awalnya adalah dilarang dan diharamkan, pada kondisi tertentu bisa diperbolahkan selama itu tidak dalam perkara aqidah dan ibadah mereka. Diantara rambu- rambbu tersebut adalah;
1.      Hal itu bukan termasuk kebiasan dan syiar yang membedakan mereka dengan orang muslim.
2.      Hal itu bukan termasuk dari ajaran mereka
3.      Penyerupaan atau perbedaan ini tidak menjurus ke dalam masalah syariat
4.      Penyerupaan yang dilakukan tidak pada perayaan hari raya mereka.
5.      Penyerupaan sesuai dengan keperluan yang diinginkan dan mashlahat yang ada.
Hal ini karena semakin sulitnya kaum muslimin untuk terhindar dari perkara tersebut. Dan tentunya pembolehan dalam hal tasyabuh ini mengunakan beberapa rambu- rambu atau dhawabith yang telah dijelaskan oleh para ulama’ berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Wallahu a’lam bish Shawab




[2] Ibnu Manzhur, lisan al- ‘Arab (Beirut: Dar Sadir, 1990) vol. XIII.  hlm 504
[3] Dirangkum dari beberapa pengertian dalam beberapa kitab (Iqtidho’, Al Wala’ Wal Bara’, Al Masa’ilul Allati Kholafaha Rasulullah).
[4]. Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal 82.
[5]. Ibid. hal 22-23
[6]. Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an Al Adhim (Dar Ath Thoyibah, cet. II tahun 1999 M) Vol. I hal: 148.
[7]. Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal: 151.
[8] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006), hal : 83.
9  Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an Al Adhim (Dar Ath Thoyibah, cet. II tahun 1999 M) Vol. I hal: 148.
[10] Ibnu Taimiyah, Al Iman (Aman: maktab Islami, cet. V, 1996) Vol. I hlm. 211
[11] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hlm. 69
[12]  Abu Ja’far ath Thobari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilul Qur’an (Beirut: yayasan ar Risalah, cet. I, 2000 M), Vol. XIX hlm. 257
[13] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hlm. 265
[14] Ibid, hal. 266
[15] Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam kitab Musnadnya.
[16] Abu Faishol al Badrani, Al Wala’ wal Bara’ fil Islam, (maktabah syamilah) Vol. I hlm. 61
[17] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hlm. 266
[18] Abdullah bin Sholih Al Fauzan, husulu al Ma’mur bi Syarhi tsalastatul Usul, (Kairo: maktabah ar Rusyd, tt) hlm. 41
[19] Hasan Suhail, As- sunan wal atsar fin Nahyi an at-Tasyabbuh bil Kuffar,hal 58-59 , Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hlm. 267-268
[20] Dr. Wail adh-Dhowahir Salamah, At-Tasyabbuh Qawaiduhu wa Dhawabithuhu wa Ba’dhu Tathbiquhu al-Mu’ashirah. (al- ajhar: skripsi, jami’ah syari’ah al-Ajhar. Tahun 2000) hal 27
[21] Ibid.
[22] Diriwayatkan oleh Al Bukhori dalam kitab “Al I’tishom bil Kitab wa Sunah” bab. Perkataan Nabi sholallahu'alaihi wa salam hadits No. (7320) Vol. IX hlm. 103
[23] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal. 221-223

[24] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal. 418
[25] Abdurohman bin Abi Bakr, Jalaludin As Syuyuthi, Haqiqotus Sunnah wal bid’ah, (Mesir: Muthobi’ur Rosyid, 1409 H) hlm. 124
[26] Ali Ahmad an- Nadwiy, al- Qawaid wa ad- Dhawabith al- Fiqhiyah al- Hakimiyah fi Mu’amat al- Maliyah, (1419 H/ 1999 M ) hlm 478.
[27]  Abu Ja’far ath Thobari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilul Qur’an (Beirut: yayasan ar Risalah, cet. I, 2000 M), Vol. XIX hlm. 257
[28] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal. 101
[29] Ibid. hal. 224-234
[30] Demikianlah dalam terjemahan depag. Sebenarnya penerjemahan seperti ini berbeda dengan pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap ayat itu sendiri. Karena yang benar menurut beliau, bukan meberikan persaksian palsu, yakni persaksian dusta, melainkan: “menyaksikan kepalsuan/kedustaa/ kemaksiatan.
[31] Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam Al Qur’an (Dar Al Kutub: Kairo, cet. II tahun. 1964 M) vol. XIII hlm. 79
[32] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adhim (Dar Ath Thoyibah, cet. II tahun 1999 M) Vol. VI hlm. 130
[33] Ibid, Vol. III hlm. 328-329
[34] Abu Ja’far Ath Thobari, Jami’ul bayan fi Ta’wilil Qur’an (Kairo: Muasasatu risalah, cet. I, 2000) vol. 9 hlm 336
[35] Suhail Hasan, As-Sunan Wal Atsar Fin Nahyi An AtTasyabbuh Bil Kuffar,  ( versi maktabah Syamilah) hal. 58-59.
[36] Ibnu Taimiyah, Iqtidho’ Shirothil Mustaqim (Kairo: Dar Al Aqidah, cet. I Tahun. 2006) hal. 418, Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawaid wa ad-Dhawabith al Fiqhiyah al hakimiyah fi Mu'amalati Maliyah, hal 478
[37] Wazarotul Auqof dan Syu’unul Islam, Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (Kuwait: Dar Salasil, cet. II, 1404-1427 H) Vol. 12 hlm. 5
[38] Dr. Wail adh-Dhowahir Salamah, At-Tasyabbuh Qawaiduhu wa Dhawabithuhu wa Ba’dhu Tathbiquhu al-Mu’ashirah. (al- ajhar: skripsi, jami’ah syari’ah al-Ajhar. Tahun 2000) hal 24.
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net