Oleh : Ihsanuddin
I. Pendahuluan
Alhamdulillah
Rab Semesta Alam. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada suri
tauladan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beserta keluarganya,sahabatnya,
serta seluruh manusia yang masih istiqamah dalam mengikuti jejak beliau hingga
hari kiamat.
Khitan wanita masih menjadi tema yang unik bagi
mayoritas umat Islam, sebagian masyarakat menganggap bahwa khitan bagi anak
laki-laki adalah sebuah perkara yang sangat wajar. Namun faktanya tidak
demikian mengenai khitan wanita, mereka masih menganggapnya tabu atau menjadi
sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan. Banyak sekali kaum muslimin yang belum memahami permasalahan
tentang hukum dan manfaat dari khitan wanita. Bahkan oleh sebagian kelompok menyatakan bahwa
khitan wanita itu adalah tindakan kriminal yang harus dilarang, seperti yang
diserukan oleh gerakan feminisme, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) asing,
WHO (World Health Organization) dan lain-lainnya. Larangan khitan wanita juga diputuskan dalam Konferensi Kaum Wanita
sedunia di Beijing China (1995). Di
Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa, kaum feminis telah berhasil
mendorong pemerintah untuk membuat
undang-undang larangan khitan bagi perempuan. Kemudian di Belanda, khitan pada perempuan akan diancam hukuman 12 tahun.
Pelarangan
khitan perempuan tersebut juga pernah
diterapkan di Negara Mesir yang nota benenya adalah Negara Islam.[2]
Di Indonesia sendiri khitan wanita juga
pernah dilarang secara legal pada tahun
2006, dengan alasan bahwa Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari
ketentuan WHO, dan karena khitan wanita dinilai bertentangan dengan HAM.
Padahal mereka orang-orang Barat sengaja melarang khitan wanita dengan tujuan
agar para wanita Islam tidak terkendalikan syahwat mereka, sehingga praktek
perzinaan meluas dan terjadi di mana-mana dan akan terjadi dekadensi moral yang luar biasa di
tengah-tengah masyarakat mereka,
dan ini telah terbukti.
Kemudian pada tahun 2010, Mentri Kesehatan
mengeluarkan peraturan baru dengan nomor 1636/MENKES/PER/2010 tentang khitan
untuk wanita, dijelaskan bahwa khitan wanita hanya
boleh dilakukan oleh petugas medis saja, yakni dalam hal ini adalah dokter,
perawat dan bidan agar tidak menimbulkan dampak yang buruk. Sampai hari ini,
fenomena khitan bagi perempuan terus menjadi perbincangan hangat antara
kelompok yang mewajibkan, melarang, menyunahkan, atau yang mengatagorikannya
sebagai kemuliaan. Di sisi lain, dari kalangan para ulama pun masih muncul
sikap pro dan kontra mengenai soal hukum syar’i dari khitan wanita tersebut.
Berangkat dari problematika inilah yang
menjadi salah satu faktor dan yang dapat melatarbelakangi penulis dalam mengangkat
tema ini. Serta yang telah menarik perhatian penulis untuk mencoba mengkajinya dari
perspektif syar’i disertai penjelasan dari para ulama salaf dan kontemporer,
dan mencoba untuk membedah kasus tersebut. Apalagi
kita sedang hidup di zaman yang sangat memungkinkan terbukanya sebuah pintu ikhtilaf (perbedaan pendapat) mengenai permasalahan-permasalahan kontemporer yang kian mengurita
di dunia ini.
II.
Definisi Khitan Wanita dalam Fiqih Islam
Secara Etimologi Khitan (الْخِتَاَنُ) berasal dari kata bahasa Arab khotana (ختنَ) yang berarti memotong.[3] Di dalam Lisanul Arab disebutkan sebuah ungkapan
khatanal ghulam wal jariyah yakhtinuhuma wa yakhtunuhuma. Artinya adalah
mengkhitan anak kecil laki-laki atau anak kecil perempuan.[4]
Menurut Ibnu Hajar bahwa al-khitan
adalah isim masdar dari kata khatana yang berarti “memotong”, khatn
yang berarti “memotong sebagian benda yang khusus dari anggota badan yang
khusus juga”.[5]
Bahwa kata “memotong” dalam hal ini mempunyai makna dan batasan-batasan khusus.
Maksudnya, bahwa makna dasar kata khitan adalah bagian kemaluan yang harus
dipotong.[6]
Bentuk isimnya (kata bendanya)
adalah khitan dan khitanah. Sedangkan bentuk obyeknya adalah makhtun
(orang yang dikhitan) dan ada yang berpendapat bahwa kata khitan digunakan
untuk kaum laki-laki, sedangkan untuk wanita adalah khafdhu, lalu kata I’zar
digunakan untuk laki-laki dan wanita. Sedangkan kata khatin sama dengan makhtun
(orang yang dikhitan), dan istilah ini bisa digunakan untuk laki-laki dan
wanita. Dan Khitanah adalah nama pekerjaan tukang khitan, lalu kata Khatn
adalah perbuatan orang yang mengkhitan anak kecil. Sedangkan, kata khitan
mencangkup semua organ yang dikhitan, sekaligus penanganannya. Juga, mengandung
arti sebuah bagian organ yang dipotong dari klitoris wanita. Abu Manshur
berkata,”Bahwa kata khitan itu berarti bagian organ intim laki-laki
dan wanita yang dipotong.[7]
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
إِذَالْتَقَى الِختَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila dua khitan telah bertemu ,maka mandi (junub) telah
menjadi wajib.”(HR.Tirmidzi,Ibnu
Majah dan Ahmad)[8]
Maksud dua khitan di sini adalah
sebagian organ tubuh yang dipotong pada bulatan bagian ujung hasyafah (ujung
penis) dari kemaluan laki-laki dan wanita. Pemotongan keduanya juga
diistilahkan dengan i’dzar dan khafdh. Dan arti dasar dari al-khatn
adalah al-qath’u (memotong).[9]
Secara Terminologi menurut istilah ahli fiqih dan
istilah ahli medis adalah sebagai berikut :
Menurut
ahli fiqih, khitan adalah membuang kulit yang menutupi ujung dzakar, sehingga ujung dzakar ini keluar atau nampak.[10]
Menurut ahli medis, khitan adalah menghilangkan jaringan kulit yang
melebihi ujung kemaluan. Artinya, apabila tidak terdapat jaringan kulit (selaput) yang melebihi ujung kemaluan, maka
tidak ada masalah.[11]
Ada
beberapa pendapat dari para ulama dalam pengertian khitan, diantaranya:
ØAl-Mawardi :
قَطْعُ اْلجِلْدَةُ
تَكُوْنُ فِي أَعْلَى فَرْجِهَا كَعُرْفِ الدِّيْك
"Khitan pada perempuan adalah memotong
sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klitoris yang bentuknya
seperti jengger ayam (preputium clitoris)."[12]
Ø Imam
Nawawi :
اَلْخِتَانُ هُوَ فِى الذَّكَرِ قَطْعُ جَمِيْعِ اْلجِلْدَةِ الَّتِى
تُغَطّى اْلحَشَفَةَ حَتَّى تَنْكَشِفَ جَمِيْعُ اْلحَشَفَةِ، وَ فِى اْلاُنْثَى
قَطْعُ اَدْنَى جُزْءٍ مِنَ اْلجِلْدَةِ الَّتِى فِى اَعْلاَ اْلفَرْجِ
“Khitan bagi
laki-laki ialah memotong semua kulit yang menutupi kepala dzakar, sehingga
terbuka kepala dzakar seluruhnya. Sedangkan bagi wanita ialah memotong sedikit
bagian berupa kulit (selaput) yang berada di
atas lubang kemaluan (yang menutup kelentit).”[13]
III. Dalil-Dalil
Tentang Khitan Wanita
Ø Dalil
dari Al-Qur’an:
... وَافْعَلُوا
الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“…..Dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.”{Al-Hajj
[22] :77}
Syaikh Abu Asybal Zuhairi telah
menafsirkan,”Bahwa Al-Qur’an telah mengajarkan pada kita tentang kaidah-kaidah
global (universal). Misalnya, kalau sekiranya kita tahu khitan itu mengandung
sedemikian banyak manfaat dan kebaikan bagi laki-laki dan wanita, di samping
itu juga dapat mengontrol gejolak syahwat keduanya, maka kita akan memahami
bahwa itu termasuk dalam pengertian dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala:”…Dan
berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” {Al-Hajj :77}
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّه ...
“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia
telah menaati Allah..”{An-Nisa’[4]:80}
... فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيم
“…Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi
perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.”{An-Nuur [24] : 63}
Di dalam kitab tafsir Ibnu Katsir
dijelaskan mengenai maksud ayat diatas adalah apabial seseorang menyelisihi
perintah, metode, sunnah Rasulullah baik dari segi perkataan dan perbuatan , serta secara lahir ataupun batin, maka niscaya mereka akan
ditimpa cobaan atau adzab yang pedih.
ثُمَّ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا...
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah
millah (agama) Ibrahim seorang yang hanif…”{An-Nahl [16]: 123}
Dari ayat di
atas Syaikh Abu Asybal Zuhairi mengatakan,”Bahwa Allah Ta’ala telah
memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti millah Nabi Ibrahim a.s. dan di antara
peninggalan ajaran millah Ibrahim adalah Khitan. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala :
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَه ...
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu
pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia….”{Al-Mumtahanah [60] : 4}[14]
Ø Dalil
dari As-Sunnah :
Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ
الشَّارِبِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ
“Lima hal yang termasuk Fitrah,
yakni mencukur bulu kemaluan, khitan, menggunting kumis, mencabut bulu
ketiak,dan memotong kuku.”[15](HR.
Bukhori dan Muslim, Juz. 1, hlm. 221)
Syaikh Abu Asybal Zuhairi
mengatakan,”Al-Khaththabi, mengutip dari mayoritas ulama, ia berkata,’Bahwa
maksud Fitrah di sini adalah sunnah (perikehidupan), atau agama. Jadi,
lima kriteria ini termasuk sunnah dan agama. Bahkan, sebagian ulama mengatakan
bahwa ia adalah merupakan naluri bawaan dan watak asli bagi manusia.’[16]
Kemudian Al-Baidhawi berkata : “Bahwa
maksud Fitrah yang disebutkan dalam hadits di atas adalah perikehidupan.
Yaitu, perikehidupan yang dipilih para nabi dan disepakati semua Syari’at,
sehingga seolah-olah lima perkara tersebut telah menjadi suatu watak yang mereka
miliki semenjak diciptakan.”[17]
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, bahwa
maksud Fitrah dalam hadits di atas adalah merupakan lima perkara yang
apabila dilaksanakan, maka pelakunya akan menyandang fitrah yang Allah Ta’ala
telah menciptakan para hamba di atasnya, dan menganjurkan mereka untuk memeliharanya.
Juga, menjadikan mereka mencintainya, agar mereka berada dalam sifat paling
sempurna, paling mulia, dan dalam penampilan paling indah. Dan di antara kelima
perkara tersebut salah satunya adalah Khitan.[18]
الْخِتَانُ
سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ وَ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ
“Khitan itu sunnah bagi kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum
wanita.”(HR. Thabrani,
dalam Al-Kabir, Juz 11, hal. 186, no. 1159)[19].
Bahwa maksud sunnah di sini adalah amalan sunnah yang tidak boleh ditinggalkan.
Syaikh Abu Asybal Zuhairi
berkata:”Maksudnya adalah dapat menyebabkan lahirnya rasa hormat seorang suami
kepada seorang istri. Inilah makna kemuliaan, yaitu seorang istri akan menjadi
lebih dihargai dan dihormati oleh seorang suami.”[20]
IV.
Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Khitan Wanita
Para ulama ahli fiqih telah sepakat bahwa
khitan wanita secara umum ada di dalam Syari’at Islam. Dan mereka juga telah bersepakat
tentang legalitas khitan wanita dalam Syariat Islam, buktinya, kitab-kitab dari kalangan
ahli fiqih empat madzhab telah menyebutkan perbedaan pendapat seputar status
hukum yang bersifat wajib atau sunnah berkhitan bagi wanita. Tidak satu pun dari
mereka yang berpendapat haram atau makruh. Sehubungan dengan adanya perbedaan
pendapat dari para ulama tentang setatus hukum khitan wanita, maka dari itu
perlu dipelajari masing-masing pendapat tersebut baik yang mengatakan wajib,
sunnah, makruh dan haram, diantaranya adalah sebagai berikut.
1) Kelompok
Yang Berpendapat Hukum Khitan Wanita Adalah Wajib
Imam Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ (juz.I, halaman: 284-285) pernah berkata:
الْخِتَانُ وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ
عِنْدَنَا، وَبِهِ قَالَ كَثِيْرُوْنَ مِنَ السَّلَفِ، كَذَا حَكَاهُ الْخِطَابِي،
وَمِمَّنْ أَوْجَبَهُ أَحْمَدُ، وَقَالَ مَالِكُ وَأَبُوْ حَنِيْفَةُ سُنَّةٌ فِي
حَقِّ الْجَمِيْعِ
“Dalam madzhab
kami (Madzhab Syafi’i) khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan bagi perempuan.
Menurut al-Khittâbi,
pendapat ini juga merupakan pendapat kebayakan ulama salaf (ulama terdahulu).
Ulama lain yang berpendapat khitan itu wajib adalah Imam Ahmad. Sedangkan
menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, khitan itu sunnat bagi laki-laki
maupun bagi perempuan.”
Kemudian dalam kitab Al-Muntaqa (juz. I halaman: 232) Imam Syafi'i berpendapat
bahwa hukum khitan adalah wajib bagi laki-laki dan wanita. Serta di dalam kitab
Kasysyaf Al-Qanna’ (1-80 ) dan dalam kitab Al-Inshaaf (1-123) Imam
Ahmad juga berpendapat khitan hukumnya adalah wajib bagi laki-laki dan wanita. Asya'bi, Rabi'ah, Al-Auza'i dan banyak ulama lainya berpedapat
bahwasanya khitan wajib bagi laki laki dan perempuan. Dan Imam Malik menekankan, terlihat pada perkataan
beliau" Barang siapa yang tidak berkhitan maka ia tidak boleh menjadi
imam dan kesaksiannya tidak diterima.” Di antara alasan-alasan yang
menunjukkan wajibnya khitan wanita adalah sebagai berikut :
a) Bahwa
khitan merupakan salah satu ajaran agama Nabi Ibrahim. Sebagaimana hadis yang
diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
اِخْتَتَنَ
إِبْرَاهِيْمُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اِبْنُ ثَمَانِينَ سَنَةًباِلْقَدُوْمِ
“Bahwa
Ibrahim a.s berkhitan dengan kapak saat ia berusia 80 tahun.” (H.R.Bukhari, 6298 dan Muslim, 370)
Keterangan :
Ø Kalau
dibaca Bilqoduum, artinya “dengan kampak”, tetapi kalau dibaca Bilqodduum
dengan tasydid, artinya “di kota Qoddum”, di daerah Syam.
Ø Mulai saat itulah khitan telah menjadi
syari’at (peraturan) pada ummat Nabi Ibrahim dan keturunannya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meneruskan syari’at itu untuk dilaksanakan
oleh ummatnya.
Ø Telah kita ketahui bahwa pokok-pokok ajaran
yang telah disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim pada umumnya diteruskan dan
dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga menjadi ajaran Islam.
Firman Allah Ta’ala :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ
حَنِيفًا...
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah
millah (agama) Ibrahim seorang yang hanif…”{An-Nahl [16]: 123}
Bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengikuti millah Nabi Ibrahim a.s dan di antara
peninggalan ajaran millah Nabi Ibrahim adalah Khitan. Bahkan ia termasuk
di antara kalimat-kalimat yang Allah ujikan kepada Nabi Ibrahim, sebagaimana
firman Allah Ta’ala :
وَإِذِ
ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ...
“Dan (ingatlah),ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan
beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya…”{Al-Baqarah [2] :124}
Biasanya, suatu ujian berkaitan erat dengan sesuatu yang wajib.[21]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata tentang ayat ini,”Allah telah
menguji Ibrahim agar bersuci di lima tempat di bagian kepala dan lima tempat
lainnya di bagian tubuh. Yaitu, menggunting kumis, berkumur, istinsyaq (memasukkan air ke hidung), bersiwak dan mencukur rambut. Adapun yang di bagian tubuh adalah memotong
kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak, dan mencuci organ
yang digunakan untuk buang air besar dan kecil dengan air (istinja’).”(HR. Bukhari Muslim)
Demikian dua ayat al-Qur’an yang dijadikan
landasan dalil oleh pendapat pertama akan wajibnya khitan bagi laki-laki dan
wanita.
b)
Sebagaimana hadits Ummu Athiyyah bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
kepada wanita tukang khitan yang biasa mengkhitan di wilayah Madinah :
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِي َصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ لِأُمِّ
عَطِيَّةِ وَهِيَ خِتَانَة كَانَتْ تختن النِّسَاء فِي اْلمدِيْنَة : " إِذَاخَفَضْتِ
فَأَشمِّي وَلاَ تُنْهَكِي، فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلوَجْهَ وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ
“Bahwa Rasulullah bersabda kepada seorang
wanita tukang khitan yang biasa mengkhitan di wilayah Madinah, Apabila engkau
mengkhitan (wanita), maka potonglah sedikit dan jangan berlebihan, karena yang
demikian itu dapat mencerahkan wajah seorang wanita, dan lebih menyenangkan
suami.” {HR. Hakim, juz 3, hal. 603, no. 6236 dan disahihkan oleh Al-Baniy }
c)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Waki’ dari Salim Abi Ala’
Muradi, dari Amru bin Haram, dari Jabir, dari Yazid, dari Ibnu Abbas, ia
berkata :
اْلأَقْلَفُ لَا تُقْبَلُ
لَهُ صَلَاةُ وَلَا تُؤْكَلُ ذَبِيحَتَهُ
“Orang yang tidak berkhitan, maka shalatnya tidak diterima dan
sembelihannya tidak boleh dimakan.” (HR. Ahmad). Adapun setatus hadits ini
adalah mauquf kepada ibnu Abbas. [22]
d) Bahwa
khitan sama dengan memotong bagian dari organ tubuh yang tidak bisa tumbuh
kembali sebagai bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Sehingga, hukumnya wajib
seperti hukum memotong tangan dalam tindak pencurian.[23]
e) Bahwa
dibolehkan orang yang hendak dikhitan membuka aurat, dan orang yang mau mengkhitan
pun dibolehkan melihat aurat tersebut. Padahal kedua hal ini, pada asalnya
hukumnya haram. Andaikata khitan tidak wajib, tentulah hal itu tidak
dibolehkan.[24]
f)
Bahwa orang yang tidak berkhitan
dapat membuka peluang rusaknya thaharah dan shalatnya. Sebab, kulit kulupnya
menutupi semua bagian zakar (kemaluan), sehingga kulupnya terkena air kencing
dan tidak mungkin dibersihkan. Jadi keabsahan bersuci dan shalat tergantung
erat dengan khitan, dan maslahat ini juga teraplikasi pada kaum wanita.[25]
2) Kelompok
Yang Berpebdapat Hukum Khitan Adalah Sunnah
Bahwa dalam kitab al-Fawâkih ad-Dawâni karya
Imam Ahmad bin Ghanam an-Nafrâwî, disebutkan :
وَالْخِفَاضُ قَطْعُ مَا عَلَى فَرْجِ اْلأُنْثَى وَهُوَ كَعُرْفِ
الدِّيْكِ ( لِلنِّسَاءِ ) وَحُكْمُهُ أَنَّهُ
مُكَرَّمَةٌ , بِضَمِّ الرَّاءِ وَفَتْحِ
الْمِيْمِ أَيْ كَرَامَةٌ بِمَعْنَى مُسْتَحَبٌ لِأَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِذَلِكَ
“Al-Khifâdh atau khitan bagi perempuan yaitu dengan cara memotong
sedikit bagian yang seperti belalai ayam yang ada dalam kemaluan perempuan,
hukumnya makrumah (mulia), dengan membaca dhammah huruf ra’ dan fathah huruf
mim, yaitu mulia dalam artian dianjurkan (sunnah), berdasarkan perintah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”.
Kelompok yang berpendapat bahwa hukum
khitan laki-laki dan wanita adalah sunnah, pendapat ini dipegang oleh Mazhab Hanafi
yang terdapat di dalam kitab Hasyiah Ibnu Abidin : 5- 479, dan dalam kitab Al-Ikhtiyar
: 4-167, yang mendasari alasannya dengan beberapa dalil berikut:
a)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
الْخِتَانُ
سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ وَ مَكْرُمَةٌ لِلّنِسَاءِ
“Khitan itu
sunnah bagi kaum lelaki dan merupakan kehormatan bagi wanita.” {H.R Ahmad
dan Baihaqi}. Bahwa maksud sunnah dalam hadits ini bukanlah amalan sunnah yang
boleh untuk ditinggalkan, jadi maksud sunnah di sini adalah suatu metode,
Syariat dan jalan hidup[26]
hal ini sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,” Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah
Khulafaur Rasyidin sepeninggalku,” dan hadits,”Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan dari
gologanku.” Bahwa maksud sunnah dalam hadits ini adalah jalan dan metode
hidup.
b)
Diriwayatkan
dari Hasan Al-Bashri, bahwa ia berkata,”Sungguh banyak manusia telah masuk
Islam bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau tidak memeriksa seorang pun dari
mereka.”[27]
c)
Adapun secara medis menurut Dr. Muhammad Ali Al-Bar
yang berpendapat sunnah dan mengandung banyak manfaat. Ia berkata,”Khitan bagi
wanita adalah sunnah.” Bila dilakukan dengan memotong sedikit bagian dari
klitoris. Bahwa klitoris yang dimiliki bagi wanita layaknya zakar pada pria.
Hanya saja bentuknya sangat kecil dan tidak dilalui saluran air kencing. Di ujung
klitoris terdapat kulit kulup meskipun kecil, tapi dapat menyimpan banyak
penyakit, sebagaimana kulup yang dimiliki oleh lelaki. Sebab, di kulit inilah
cairan akan menumpuk dan menjadi sarang pertumbuhan mikroba dan penyakit. Klitoris adalah organ yang sangat sensitif seperti
ujung zakar. Tak diragukan, bahwa organ ini sangat ampuh untuk meningkatkan
libido dan nafsu birahi. Sehingga bisa digolongkan sebagai pemicu dari perbuatan perzinaan.[28]
V. ANALISA DALIL DARI PENDAPAT YANG WAJIB DAN SUNNAH
Ø Pendapat yang wajib :
1)
Dalam kitabnya Silsilah al-Ahâdits
ash-Shahîhah, Syaikh Al-Bani ketika menilai hadits ini, ia secara panjang
lebar membahas dan menjelaskannya, dengan ditambahi hadits-hadits dan
jalur-jalur yang menjadi penguatnya (syawâhid). Di kesimpulan terakhirnya, ia mengatakan:
وبالجملة فالحديث بهذه
الطرق والشواهد صحيح، والله أعلم
“Dengan melihat hadits-hadits secara keseluruhan, hadits
ini dengan sanad-sanad dan syawâhid (penguat-penguat) yang telah disebutkan,
adalah Shahih. Wallâhu a’lam.
2)
Berdasarkan sebuah Kaidah Fiqiyyah :
الضَّرَرُ اْلأَشَدُ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
اْلأَخَفِّ
“Bahaya yang lebih berat dapat dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan”[29]
Bahwa dibolehkan orang yang hendak
dikhitan membuka aurat, dan orang yang mau mengkhitan pun dibolehkan melihat
aurat tersebut. Sehingga bahaya yang berisiko kecil harus ditanggung untuk
mencegah bahaya yang lebih besar. Padahal kedua hal ini, pada asalnya hukumnya haram. Andaikata
khitan tidak wajib, tentulah hal itu tidak dibolehkan.
3)
Imam
al-Qurthubi dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 124, mengutip pendapat Qatadah bahwa yang dimaksud dengan ayat:
“Ikutilah agama Ibrahim yang lurus” adalah khitan (sunat).
Ø Pendapat yang sunnah :
1)
Mengenai hadits :
الْخِتَانُ سُنَّةٌ
لِلرِّجَالِ وَ مَكْرُمَةٌ لِلّنِسَاءِ
Syaikh Albany dalam Silsilah al-Ahâdits
ad-Dha’îfah menilai hadits di atas sebagai Hadits Dhaif. Syaikh Albany
mengatakan:
أخرجه أحمد، وهذا إسناد رجاله ثقات، غير أن الحجاج و هو ابن
أرطاة مدلس و قد عنعنه، و اختلف عليه في إسناده فرواه عباد هكذا، و تابعه حفص بن غياث عن الحجاج
به
“Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan
sanad rawi-rawinya tsiqat (kuat, terpercaya). Hanya saja ada rawi bernama
al-Hajjâj dan dia itu Ibnu Arthah, seorang rawi mudallis, dan ‘an’anah.
Sanadnya diperdebatkan, ‘Ubad meriwayatkannya begini, juga diikuti oleh Hafzh
bin Ghiyats dari al-Hajjaj”.
Mereka para fuqaha’juga berdalil dengan hadits-hadits
Rasulullah saw. Hadits-hadits ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat
khusus. Yang bersifat umum seperti yang diriwayatkan Bukhari Muslim, sedangkan
yang bersifat khusus seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Baihaki dan
lainnya. Hadits-hadits yang bersifat umum, adalah
hadits-hadits Shahih, karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Dengan
demikian, tidak benar kalau dikatakan bahwa pendapat yang mengatakan
khitan perempuan itu diperintahkan berdasarkan kepada hadits-hadits Dhaif. Tapi
yang lebih tepat, hadits-hadits yang dipergunakannya, ada yang shahih, dhaif,
dan ada juga yang diperdebatkan kedhaifannya. Wallâhu a’lam bis shawâb.
VI.
BATASAN YANG DIPOTONG PADA KHITAN WANITA DALAM ISLAM
Di
tengah-tengah masyarakat, khitan wanita dilakukan dengan empat cara. Namun,
para medis memperselisihkan urutan tingkatan-tingkatan tersebut. Diantaranya
adalah sebagai berikut :
a) Sepasang labiom minora dan sebagian kecil dari klitoris (ujung
klitoris) dipotong.
b) Menghilangkan sebagian klitoris dan sebagian dari sepasang bibir kemaluan
bagian dalam (labium minora).
c) Menghilangkan semua klitoris dan semua bagian dari sepasang bibir kemaluan
bagian dalam (labium minora).
d) Khitan Fir’aun yang merupakan tingkatan keempat inilah yang paling
berbahaya serta bertentangan dengan Islam. Yaitu semua bagian dari sepasang labium
minora, sepasang labium mayora dan klitoris dipotong semua
tanpa tersisa sedikitpun klitorisnya.[30]
Ringkasnya
dalam pelaksanaan khitan pada perempuan harus dilaksanakan oleh tenaga medis
muslimah yang ahli di bidangnya dan mengerti tentang ajaran islam dengan baik
serta dapat menjalankan praktek khifadh (khitan wanita) sesuai dengan
yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Khitan
wanita dalam pandangan orang-orang barat merupakan salah satu tidakan kriminal
yang harus dilarang, karena dalam praktiknya menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yaitu memotong semua bagian dari labium minora, labium mayora dan klitoris
dipotong semua tanpa tersisa sedikitpun, sehingga dapat mematikan naluri
seksual bagi seorang wanita.
Sedangkan, tata cara dalam pelaksanaan
khitan wanita menurut perspektif medis telah diutarakan dalam sebuah kitab
yaitu ‘Amaliyyatul Khitanil Untsa (Prosesi Khitan Wanita) sebagai
berikut :
1) Obat bius harus diberikan dengan
dosis yang benar-benar bisa menghilangkan kesadaran.
2) Lokasi yang akan dipotong
dibersihkan dengan sebersih-bersihnya.
3) Penyuntikan obat bius sebanyak 5 ml.
Caranya, 3 ml obat bius disuntikkan dengan cara khusus di sekitar kemaluan.
Sedangkan sisanya disuntikkan langsung ke labium minora dan klitoris.
4) Selaput klitoris dipegang dengan
alat penjepit, kemudian diangkat untuk melihat bagian-bagian di atas bibir
kemaluan bagian dalam yang perlu dipotong. Dan pemotongan bisa dilakukan dengan
menggunakan gunting kecil atau pisau bedah.
5) Hendaknya memastikan lokasi
pendarahan hingga benar-benar kering.
6) Kemudian menjahit pinggir-pinggir
luka dengan benang khusus agar rapat.
7) Hendaknya bagian-bagian yang
dipotong adalah pada bagian yang menonjol dari klitoris dan labium
minora. Kemudian diberi obat bius pada hari pertama setelah proses khitan
selesai, agar segera sembuh. Dan luka akan sembuh sekitar 3-4 hari.[31]
VII.
HAL- HAL YANG DAPAT MENGGUGURKAN KHITAN WANITA
Bahwa kewajiban khitan
akan menjadi gugur apabila dalam keadaan sebagai berikut diantaranya adalah :
a) Apabila anak perempuan lahir tanpa memiliki selaput yang menutupi ujung
klitorisnya.[32]
b) Apabila wanita meninggal sebelum dikhitan.[33]
c) Wanita yang masuk Islam ketika telah tua dan mengkhawatirkan keselamatan
dirinya bila dikhitan.[34] Akan
tetapi pendapat yang paling kuat adalah tetap mengkhitan wanita tua yang ingin
masuk Islam atau wanita yang sudah menginjak usia baligh dalam keadaan belum di
khitan, dengan syarat bila hal tersebut tidak menyebabkan bahaya bagi
pelakunya.
d) Apabila anak perempuan tidak kuat menahan rasa sakit ketika dikhitan,
sehingga bila dilakukan akan meyebabkan bahaya yang lebih besar (kematian).
Maka akan seperti ini boleh untuk tidak melakukan khitan. [35]
VIII. SYUBHAT-SYUBHAT TENTANG KHITAN WANITA
Adapun pendapat kelompok yang mengatakan, bahwa khitan
wanita adalah merupakan kebiasaan buruk yang tidak memiliki korelasi dengan
Islam, baik dari kalangan ulama kontemporer ataupun paramedis, maka
syubhat-syubhat mereka dapat dibantah dengan jawaban berikut :
a) Pendapat sebagian ulama dan dokter bahwa tidak ditemukan nash syar’i yang shahih
terkait dengan khitan wanita yang bisa dijadikan hujjah. Di antara yang
mengatakan seperti itu adalah syaikh Sayyid Thanthawi.
Bahwa pertanyaan ini dapat
terbantahkan dengan hadits-hadits shahih di antaranya adalah :
Hadits tentang :”Lima hal yang termasuk fitrah” ini adalah hadits
shahih yang diriwayatkan Bukhari, Muslim. Kemudian hadits tentang :”Apabila
dua khitan bertemu, maka mandi telah menjadi wajib,” (H.R. Muslim) Imam
Ahmad menjelaskan tentang hadits ini “ Bhawa para wanita zaman dahulu juga
berkhitan.” Kemudian hadits tentang :”Khitanlah dan jangan berlebihan
dalam memotongnya”, ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Bani.[36]
Kemudian terkait dengan
disyariatkannya khitan bagi wanita, para fuqaha’ berdalil dengan hadits Ummu
Athiyyah yang setatus haditsnya adalah hasan, hadits ini diperkuat oleh riwayat
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda,”Wahai para wanita Anshar,
berkhitanlah dan jangan berlebihan dalam memotongnya.” Hadits ini
diriwayatkan secara marfu’dengan riwayat lain dari Abdullah bin Umar. Bahwa
riwayat-riwayat ini dan lainnya mengandung seruan Rasulullah untuk mengkhitan
wanita dan larangan beliau dalam memotong klitoris seluruhnya. Petunjuk
Nabi ini, tiada lain bertujuan untuk mengendalikan keseimbangan nafsu seksual
yang dimiliki wanita.
Berdasarkan uraian di atas, maka
kesimpulan yang bisa ditarik dari teks-teks syar’i dan pendapat para fuqaha’
sesuai dengan apa yang terdapat dalam kitab-kitab Fiqih dan Al-Hadits. Khitan
bagi laki-laki dan wanita termasuk dalam katagori fitrah yang diperintahkan
dalam Islam dan dianjurkan agar selalu dijalani sesuai dengan ajaran Rasulullah
terkait tentang tata cara dalam berkhitan.[37]
b) Mereka (Gerakan Feminisme) mengatakan,”Sesungguhnya khitan wanita memiliki
dampak negatif yang sangat banyak, pendarahan yang hebat, infeksi pada luka
bekas khitan, infeksi pada alat reproduksi, dan pada kandung kemih serta dapat
menyebabkan wanita tidak dapat merasakan kenikmatan seksual. Demikian pula
terjadinya sebagian kasus perceraian karena disebabkan adanya khitan wanita.”
Pertanyaan ini dapat dibantah,
bahwa semua dampak buruk ini muncul jika kita dalam praktek khitan tidak
mengikuti petunjuk Rasulullah atau dalam pelaksanaannya menggunakan peralatan
yang tidak steril. Rasulullah telah menjelaskan kepada kita, bahwa dalam khitan
wanita, yang diambil atau dipotong itu hanya sedikit saja dan disisakan
sebagian besarnya. Dan apabila hal ini dilaksanakan sesuai dengan metode yang
diajarkan Rasulullah bisa mencerahkan wajah bagi seorang wanita, dan dapat
memberikan rasa nikmat dalam berhubungan intim bagi seorang suami.
Dalam buku Az-Zawajul Mitsali
disebutkan,”Bahwa wanita tidak memiliki organ yang lebih mudah bereaksi dan
lebih sensitif daripada klitoris dan sepasang bibir kemaluan bagian dalam (labium
Minora).[38]
Kemudian juga dinyatakan dalam buku tersebut,”Bahwa wanita yang tidak berkhitan
bisa mencapai orgasme dua atau tiga kali, atau bahkan dua belas kali atau lebih
dalam sekali hubungan intim.[39] Setelah
ini, masihkah mereka mengatakan bahwa anggapan gesekan baju dengan klitoris
wanita mampu membangkitkan syahwatnya adalah omong kosong belaka. Bahwa Islam
tidak memerintahkan untuk menghilangkan klitoris wanita sampai ke akar-akarnya,
tapi Islam memerintahkan untuk memotong sebagiannya saja, dengan tujuan agar tingkat
sensitivitas seksualnya sedikit berkurang dan bisa terkendalikan dengan baik.
Jadi, segala kebaikan hanya bisa
diraih dengan mengikuti ajaran Rasulullah, karena beliau telah mensyariatkan
untuk umatnya tentang semua hal yang mengandung maslahat baik di dunia maupun
di akhirat.
c) Mereka mengatakan,”Bahwa khitan wanita mengandung unsur pelecehan terhadap
dirinya dan merupakan perampasan hak-haknya, sehingga sangat kontradiktif
dengan hadits Rasulullah.”
Bahwa ungkapan di atas dapat
dijawab, sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Fathul Bari tentang
penjelasan hadits,”Lima hal yang termasuk fitrah...,” kemudian apabila
lima perkara ini dilaksanakan dengan baik, maka pelakunya akan menyandang
fitrah yang mana Allah telah menciptakan para hamba di atasnya, lalu
menganjurkan mereka untuk menjaganya dan menjadikan mereka untuk mencintainya,
dengan tujuan agar mereka berada dalam keadaan yang paling sempuna dan
penampilan yang paling mulia.”[40]
IX. KESIMPULAN
1. Para ulama ahli
fiqih telah sepakat bahwa khitan wanita telah disyari’atkan dalam agama Islam,
akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai setatus hukumnya ada yang
mengatakan wajib, sunnah dan makromah. Dan seorang muslim tidak boleh melakukan
pelarangan terhadap praktik khitan wanita.
2. Khitan wanita mengandung beberapa manfaat dan hikmah
seperti dapat menstabilkan syahwatnya (libido), kemudian dapat memelihara
seseorang dari berbagai penyakit. dan khitan wanita itu tidak menimbulkan bahaya apa pun bila
dilakukan sesuai yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
3. Bahwa
hukumnya sesuai dengan kondisional, karena keadaan organ wanita (klitorisnya)
antara satu dengan yang lainnya itu berbeda-beda, maka bagi wanita yang
memiliki klitoris yang panjang dan dapat mengganggu aktivitasnya
sehari-hari dan membuatnya tidak pernah tenang karena seringnya terkena
rangsangan dan dikhawatirkan akan menjerumuskannya ke dalam tindakan prostitusi
seperti zina, maka bagi wanita seperti ini khitan hukumnya adalah wajib.
4. Sedangkan
bagi wanita yang klitorisnya berukuran sedang dan tertutup dengan
selaput kulit, maka khitan baginya adalah sunnah, karena akan menjadikannya
lebih baik dan dicintai oleh suaminya, sekaligus dapat membersihkan
kotoran-kotoran yang berada dibalik klitorisnya.
5. Adapun
wanita yang memiliki klitoris kecil dan tidak tertutup dengan kulit
(selaput), maka khitan baginya merupakan suatu kehormatan.
[3]
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam (Baerut; Dar al-Mashriq,
1986), hlm. 169.
[4]Ibnu
Mundzir, Lisanul ‘Arab,( Beirut-Lebanon) jilid III, hlm.1102, kata Khatana, bab huruf Kha’ bersama ta’ dan nun.
[5]Ahmad
Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, Khitan dan Aqiqah; Upaya Pembentukan
Generasi Qur’ani, (Surabaya; Al-Miftah, 1998 M), hlm. 332.
[6]M.
Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Aqiqah,
Pemberian Nama, Khitan dan Maknanya), (Jakarta;Pustaka Amani, 2001),
hlm.106.
[8]Hadist
shahih lihat silsilah Al-Hadist As-Shahih, no.1261.dan Syarhun
Nawawi, IV : 41-42, kitab Al-Haidh, bab Ma Yujibul Ghusla.
[9]Ibnu
Mundzir, Lisanul ‘Arab,( Beirut-Lebanon) jilid II, hlm.1102, kata
Khatana, bab huruf Kha’ bersama ta’ dan nun.
[10]
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani,Nailul Authar ,
(Darul Hadits,Mesir,1993 M), jilid I, hlm. 145
[11]Dr.
Shafinaz Sayyid Syalabi, Femal Circumcision in Arural Community in Egypt,
hlm. 1
[12]Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Baerut; Dar Al-fikr, 1989 M), vol.
X, hlm. 340.
[13]Abu
Al-Asybal Hasan Az-Zuhairi, Syarh Shahih Muslim, (Syabakah
Al-Islamiyah), vol. I, hlm. 543. Versi Maktabah Syamilah
[14]Abul Asybal Az-Zuhairi,Al-Qaulul Mubin fi Itsbati Masyru’iyyatil Khitan lil Banat wal
Banin, hlm.52-53.
[15]Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut,Libanon, 1989 M), vol.X,
hlm.347; Syarhun Nawawi li Muslim, vol.III, hlm.146; Abu Dawud, vol.I,
hlm.14-15; Nasa’I, vol.I, hlm.13-14; Al-Muwaththa’, vol. II, hlm.
333-334.
[16]Abul Asybal Az-Zuhairi, Al-Qaulul Mubin fi Itsbati Masyru’iyyatil Khitan lil Banat wal
Banin, hlm.37.
[17]Ibid. hlm. 37
[18]Ibid, hlm. 37-38; Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari,
(Beirut,Libanon, 1989 M), vol.I, hlm.351-352.
[19]Muhammad
bin ‘Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani, Fathur Rabbani min Fatawa
imam Asy-Syaukani , (Maktabah Jailul Jadid, Yaman), jilid XVII, hlm. 3112;
Abu Bakar Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, (Darul Kutub Al-Alamiyah, Beirut),
vol.VIII, hlm.563, kitab Al-Asyribah. Ibnu Hajar berkata:”Hadits ini
memiliki jalan lain di luar riwayat Hajjaj. Thabrani meriwayatkan dalam Al-Kabir,
dan Baihaqi dari hadits Ibnu Abbas secara marfu’. Dalam As-Sunan,
Baihaqi mendha’ifkannya. Lalu dalam Al-Ma’rifah ia mengatakan:”Tidak sah kemarfu’annya.Hadits
ini para perawinya adalah Tsiqah, akan tetapi dalam sanadnya ada Tadlis.
[20]Abul Asybal Az-Zuhairi, Al-Qaulul Mubin fi Itsbati
Masyru’iyyatil Khitan lil Banat wal Banin, hlm. 55.
[21]Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Baerut; Dar Al-fikr, 1989
M),vol.X, hlm. 354.
[22]Ibid.
hlm. 147-148
[23]Ibid.
hlm. 148
[24]Ibid.
hlm. 149
[25]Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut,Libanon, 1989 M), vol.X,
hlm.354. dan Ibn al-Qoyyim al-Jauziyah, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud,(Maktabah
Darul Bayan, Damaskus), hlm. 149-150.
[26] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut,Libanon,
1989 M), vol.X, hlm.352,dan Nailul Authar,I:146,dan Tuhfatul Wadud,
hlm.156.
[27]Ibn
al-Qoyyim al-Jauziyah, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud,(Maktabah
Darul Bayan, Damaskus), hlm. 156.
[28] Dr. Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik
Khitan Wanita, (Zam-Zam, Cemani, Solo,), hlm. 70-72, cet. 1
[29] Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarhi
Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, Pustaka Al-Kautsar, hal
153.
[30] Dr. Muhammad Fayyadh, Al-Bitrut Tanasuli
lil Inats, (Darusy Syuruq, Kairo), hlm. 28, dan Dr. Mahmud Karim, Circumcision,
Multination Male, Universitas Ain Syams, hlm. 34, dan Dr. Muhammad Fathi, Az-Zawajul
Mitsali, (Maktabah Al-Khanji, Kairo), hlm.43
[32] Imam Nawawi, Al- Majmu’ Syarhul Muhadzdzab,
(Darul Qalam, Damaskus), Jilid, I, hlm. 351, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Fathul Bari, (Baerut; Dar Al-fikr, 1989 M),vol.X, hlm. 353.
Dan Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani,Nailul
Authar , (Darul Hadits,Mesir,1993 M), jilid I, hlm.145
[33] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Tuhfatul Wadud bi
Ahkamil Maulud, (Darur Rayyan lit Turats, Kairo), hlm.173.
[34] Manshur bin Yusuf, Ar-Raudul Murbi’ Syarhu
Zadil Mustaqni’, Darul Fikr, jilid.I, hlm. 159. Dan Al-Hashkafi, Ad-Durrul
Mukhtar ma’a Raddil Muhtar, jilid, VII, hlm. 342.
[36] Dr. Maryam Ibrahim Hindi, Khitanul Inats
Baina Ulama’ Asy-Syari’ah wal At-Tiba’, Zam-Zam, hal. 77.
[37] Al-Fatawa Islamiyyah, Departemen Hukum, Lembaga Fatwa Mesir, (Kairo), jilid, XI, hlm.
7864-7865.
adakah bahaya jika tidak dikhitan
BalasHapus