oleh : Ikhwanuddin[1]
I.
Pendahuluan
Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah,
shalawat beserta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, Sang pembela kebenaran,
pemimpin para mujahidin dan suri tauladan bagi seluruh kaum muslimin. Islam
adalah agama yang hak memberikan rahmat bagi seluruh alam, adapun musuhnya adalah
kekafiran, keduanya tidak akan pernah
bersatu sampai hari kiamat, bahkan keduanya akan selalu memerangi antara
satu sama lain. dan ini sudah merupakan sunnatullah karena Allah hanya menghendaki tegaknya tauhid
yang murni dimuka bumi ini. bahkan Allah memerintahkan dengan tegas untuk melenyapkan
segala bentuk kekufuran.[2]
Meskipun
demikian realita yang kita saksikan baik pada zaman Nabi atau zaman kita hari
ini bahwa kaum muslimin ada yang meminta bantuan kepada orang-orang kafir,
sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Saudi terhadap Amerika dalam perang
teluk. ini tentu menjadi syubhat ditengah-tengah umat yang harus
disingkap oleh para ulama, karena secara syar’i Allah melarang kaum Muslimin
untuk menjadikan kaum kafir sebagai walinya dalam hal apapun.
Realita
membuktikan kepada kita bahwa kaum kafir hari ini menguasai dunia dengan
kekuatannya, baik dari jumlah personil tentara ataupun persenjataan yang
canggaih, kondisi ini tentu membuat kaum Muslimin terkhusus para mujahidin
semakin sulit untuk mengalahkan mereka, sehingga dibutuhkan kekuatan yang bisa mengimbangi,
oleh karenanya ada sebagian kaum muslimin yang membolehkan meminta bantuan dari
kaum kafir untuk mengusir penjajah kafir
yang menindas kaum muslimin dan ada juga
yang megharamkannya.
Karena
inilah penulis terdorong untuk mencoba menyingkap secara ilmiyah kasus yang
terjadi dilapangan tentang meminta bantuan dari kaum kafir dalam hal jihad fisabilillah
untuk membela kaum muslimin, karena ini merupakan syubhat yang sangat
dahsyat bahkan bisa memabwa kepada pertumpahan darah antara kaum muslimin
sendiri akibat perbedaan dalam menyikapi maslah ini, semoga makalah yang
sederhana ini bisa menjadi salasatu dari sekian banyak penerangan dan
penjelasan tentang masalah yang hari ini
terjadi dilapangan, dan kita kembalikan segalanya kepada Allah Ta’ala.
Pengertian
Meminta bantuan atau dalam bahasa arabnya
disebut al-Isti’anah merupakan
bentuk masdar dari ista’aana-yastai’iinu-isti’anatan yang berarti
istadharo-yastadzhiru yaitu meminta kekuatan dan pertolongan.
Kemudian digandengkan dengan kata bi al-Kuffar
sebagai bentuk pengkhususan, karena Isti’anah (meminta bantuan) itu bermacam-macam,
diantaranya isti’anah bi al-Fasikin, Isti’anah bi al-Bughot,
Isti’anah bi al-Munafiqin dan Isti’anah bi Ahli al-Kitab yang
semuanya memiliki arti dan maksud yang berbeda-beda.
Adapun al-Kuffar secara bahasa adalah
bentuk jama’ dari kata al-kafir yang berarti orang yang menentang
dan ingkar, adapun secara istilah adalah orang yang tidak beriman kepada
syariat Allah yang dibawa oleh Rasulullah.[3]
Sehingga arti al-Isti’anah bi al-Kuffar
fi al-Jihad yaitu: Meminta bantuan kepada orang-orang yang tidak beriman
kepada syariat Allah dalam jihad untuk melawan
musuh kaum muslimin.[4]
Dalil- dalil syar’i tentang meminta bantuan
kepada orang kafir
a. Al-Qur’an
Firman Allah :
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ
اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ
نَفْسَهُ وَإِلَى
اللَّهِ الْمَصِير
“Janganlah
orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan
orang-orang beriman. Siapa yang berbuat demikian, niscaya dia tidak akan
memperoleh apapun dari Allah kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu
yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri
(siksa)-Nya dan hanya Allah tempat kembali.” (Al-Imaran
:28)
لَا تَرْكَنُوا إَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang
dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak memiliki
seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan.”
(Hud :
113)
Imam
al-Qurthubi mengatakan bahwa kalimat tarkanu dalam ayat ini berarti
tunduk dan bersandar serta ridho kepada mereka. Begitu juga menurut Ibnu Juraij
bahwa makna tarkanu yaitu condong
dan ridho.[5]
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا بِطانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبالاً وَدُّوا ما
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
menjadikan teman orang-orang yang diluar keluargamu (seagama) sebagai teman
kepercayaanmu, (karena)mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka
megharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan
apa yang tersembunyi dihati mereka lebih jahat. Sungguh, telah kami terangkan
kepadamu ayat-ayat kami jika kamu mengerti (Al-Imran : 118).
Imam al-Qurtubi mengomentari ayat
ini dalam kitabnya, “Sesungguhnya Allah melarang kaum mukminin dengan ayat ini
menjadikan orang-orang kafir baik dari Ahli Kitab atau pengikut hawa nafsu
sebagi tamu dan sahabat karib, lalu megadukan perkara kepada mereka, meminta
bantuan kepada mereka dan menyandarkan seluruh urusannya kepada mereka”.[6]
Imam al-Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan, “Janganlah engkau menjadikan
orang-orang non muslim sebagai wali, orang kepercayaan atau orang-orang
pilihan, karena mereka tidak segan-segan melakukan apa-apa yang
membahayakanmu.”[7]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ
“Wahai
orang-orang yang beriman! janganlah kalian menjadikan pemimipnmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan
permainan,(yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab seblummu, dan
orang-orang kafir (orang musyrik)” (Al-Maidah:
57)
b. As-Sunnah
Sabda Nabi Salallahu Alaihi Wasallam:
Dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Sebelum perang Badar, Rasulullah Salallahu
alaihi Wasallam. Melakukan suatu perjalanan. Sesampainya di Harrah Al-Wabarah_sebuah
tempat berjarak 4 mil dari Madinah_ beliau ditemui oleh seorang laki-laki yang
disebut-sebut sebagai pemberani. Para sahabat Terlihat gembira melihat orang
tersebut. setelah menemui Rasulullah laki-laki itu berkata, “Aku datang untuk
ikut denganmu, dan bergabung dengan pasukanmu.” Rasulullah Salallahu alaihi Wasallam.
Lantas bertanya, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasulnya?” Dia
menjawab, “Tidak”. Belaiu kembali bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena
aku tidak mau meminta bantuan kepada orang musyrik.” Laki-laki itupun pergi,
sehinga sesampinya Rasulullah di Syajarah, beliau kembali ditemui oleh
laki-laki tersebut. Dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya, dan Nabipun
mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, orang itu menjawab, “Tidak”.
Maka Nabipun bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena aku tidak mau meminta
bantuan kepada orang musyrik.” Laki-laki itupun pulang, tetapi kemudian menemui
Nabi kembali di Baida’, dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya.
Lalu Rasulullah bertanya, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan rasul-Nya?”
dia menjawab, “Ya” beliau bersabda lagi kepadanya, “Ikutlah engkau bersama kami,”
[8]
Sabda Nabi -Salallahu Alaihi Wasallam-:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Khubaib Ibnu Abdurrahman
dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam pernah
menolaknya dan menolak juga orang yang bersamanya dalam peperangan beliau
karena keduanya belum memeluk islam. beliau bersabda, “Sesungguhnya kami tidak
akan meminta bantuan kepada orang musyrik” lalu dia berkata, “Kamipun memeluk islam
dan ikut berperang bersama beliau.”[9]
Sabda Nabi -Salallahu Alaihi Wasallam-:
Al-Bukhori meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib
radhiyallahu ‘anhu dia mengatakan ‘seseorang yang bertopeng besi menemui Nabi Salallahu Alaihi Wasallam. Seraya berkata “Wahai
Rasulullah ! bolehkah aku ikut berperang atau aku harus memeluk islam terlabih
dahulu? beliau menjawab ‘Masuklah kedalam islam lalu berperanglah bersama
kami,’ orang itupun memeluk islam lalu ia berperang dan akhirnya terbunuh. Rasulullah
lalu bersabda “Orang ini sedikit beramal tetapi banyak mendapatkan pahala.”[10]
Disebutkan dalam riwayat Imam Muslim bahwa Nabi
pernah meminta bantuan kepada Shofwan bin Umayyah pada perang Hunain padahal
ketika itu Shofwan masih dalam kondisi kafir[11]
Al-Zuhri meriwayatkan bahwa Nabi Salallahu
Alaihi Wasallam Pernah meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi Bani Qoinuqo’ dalam
peperangan Kemudian beliaupun membagi jatah harta rampasan perang kepada mereka.[12]
Diriwayatkan bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam
dan Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyewa Abdullah bin Uraiqit sebagai penunjuk
jalan untuk berhijrah ke Madinah[13]
IV.
Pandangan Imam Madzhab Terhadap Masalah Ini
Perlu diketahui bahwa permasalahan ini
termasuk yang diperselisihkan oleh para ulama maka sangat tepat sekali jika
kita melihat bagaimana para ulama terkhusus kalangan empat Imam Madzhab memandang
permasalahan ini apakah mereka sepakat atau tidak. untuk lebih jelasnya kami
paparkan masing-masing pendapat sebagai berikut:
1.
Hanafiyah: diriwayatkan dalam kitab Al-bahr
dari Al-Atrah dan Imam Abu Hanifah bahwa mereka membolehkan meminta bantuan
kepada orang kafir. Mereka berhujjah dengan hadits Nabi Salallahu alaihi
wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi Salallahu Alaihi wasallam
pernah meminta bantuan kepada Shofwan bin Umayyah pada perang Hunain sedangkan
ia ketika itu masih dalam keadaan musyrik[14]
Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Dzu
Al-Mukhbir bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
عن ذي مخبر رجل من أصحاب النبي صلى
الله عليه وسلم قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ستصالحون الروم صلحا
آمنا فتغزون أنتم وهم عدوا من ورائكم فتنصرون وتغنمون وتسلمون ثم ترجعون حتى
تنزلوا بمرج ذي تلول فيرفع رجل من أهل النصرانية الصليب فيقول غلب الصليب فيغضب
رجل من المسلمين فيدقه فعند ذلك تغدر الروم وتجمع للملحمة
Dari Dzu Mukhbir, seorang
laki-laki dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wasallam,
ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wasallam
bersabda: “Kalian pasti akan melakukan perdamaian dengan Romawi dengan aman.
Kalian bersama
mereka akan memerangi satu musuh dikemudian hari. Kemudian kalian akan ditolong
dan berhasil mendapatkan ghanimah (memenagkan pertempuran) serta selamat.
Kemudian kalian kembali pulang hingga kalian singgah di sebuah daerah yang
tinggi. Tiba-tiba seorang laki-laki dari kaum Nashrani mengangkat salib seraya
berkata : “Telah menang salib”. Hingga marahlah seorang dari kaum muslimin dan
mendorongnya. Maka ketika itu mulailah tentara Romawi berkhianat serta
menyiapkan pasukannya untuk pertempuran besar” [15]
Diriwayatkan bahwa Nabi Salallahu Alaihi
Wasallam dan Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyewa Abdullah bin Uraiqit sebagai
penunjuk jalan untuk berhijrah ke Madinah[16]
Robi’ bin Hadi al-Madkholi
menyebutkan dalam kitabnya bahwa hadits ini menunjukan bolehnya meminta bantuan
kepada orang kafir baik dalam jihad atau yang lainnya.[17]
Dan yang mendekati pendapat
ini adalah pendapatnya Abu Ya’la[18], Abdurrahman
bin Jauzi[19]
dan Ibnu Hazm, beliau berkata: ”Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada
orang kafir untuk memerangi orang kafir yang lainnya”[20]
2. Malikiyah: mereka berpendapat bahwa
tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan secara mutlak,
kecuali orang kafir dzimmi, ini sebagaimna yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Bari
dalam kitabnya.[21]
Dalil yang mereka jadikan sebagai landasan
adalah sebagai berikut:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha., dia berkata,
“Sebelum perang Badar, Rasulullah Salallahu alaihi Wasallam melakukan suatu
perjalanan. Sesampainya di Harrah Al-Wabarah_sebuah tempat berjarak 4
mil dari Madinah_ beliau ditemui oleh seorang laki-laki yang disebut-sebut sebagai
pemberani. Para sahabat terlihat gembira melihat orang tersebut. setelah
menemui beliau laki-laki itu berkata, “Aku datang untuk ikut denganmu dan
bergabung dengan pasukanmu.” Rasulullah Salallahu alaihi Wasallam lantas
bertanya, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasulnya?” Dia menjawab,
“Tidak”. Belaiu kembali bersabda, “Kalau begitu pulanglah karena aku tidak mau
meminta bantuan kepada seorang yang musyrik.” Laki-laki itupun pergi, sehinga
sesampinya Rasulullah di Syajarah, beliau kembali ditemui oleh laki-laki
tersebut. Dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya dan Nabipun mengajukan
pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, orang itu menjawab, “Tidak”. Maka
Nabipun bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena aku tidak mau meminta
bantuan kepada orang musyrik.” Laki-laki itupun pulang, tetapi kemudian menemui
Nabi kembali di Baida’, dia mengutarakan hal yang sama seperti
sebelumnya. Lalu Rasulullah bertanya, “Apakah egkau beriman kepada Allah dan
rasul-Nya?” dia menjawab, “Ya” beliau bersabda lagi kepadanya, “Ikutlah engkau
bersama kami,” [22]
Dari Abu Hamid as-Saidi beliau berkata: suatu
ketika Rasulullah keluar untuk berperang tatkala sampai di Tsaniyati al-Wada
tiba-tiba ada sekelompok pasukan, maka beliau berkata “siapa mereka”? para
sahabat menjawab “mereka adalah Bani Qoinuqo’”, lalu Nabi bertanya kembali
“apakah mereka sudah masuk islam”? para sahabat menjawab “mereka belum masuk
islam”, maka Nabi bersabda: katakan kepada mereka “pulanglah karena aku tidak
mau meminta bantuan kepada orang kafir”[23]
3.
Syafi’iyah: disebutkan dalam sebuah riwayat
dari Imam as-Syafi’i bahwa beliau tidak membolehkan meminta bantuan kepada orang
kafir kecuali dengan beberapa syarat,[24]
karena itu sama saja dengan menjadikan jalan bagi mereka, sedangkan Allah Ta’ala melarang yang
demikian. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam al-Qurtubi.[25]
Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang sudah
disebutkan di atas, diantaranya :
Firman Allah:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا بِطانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبالاً وَدُّوا ما
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang yang diluar
keluargamu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena)mereka tidak henti-hentinya
menyusahkan kamu. Mereka megharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata
kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dihati mereka lebih
jahat. Sungguh, telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat kami jika kamu mengerti.”
(al-imran : 118).
4.
Hanabilah: mereka terbagi menjadi dua pendapat
tentang boleh atau tidaknya meminta bantuan kepada orang kafir, tetapi pendapat
yang paling kuat adalah pendapat yang tidak membolehkan, karena pendapat yang
membolehkanpun memberikan syarat, hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni
bahwa Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi membolehkan meminta bantuan kepada orang
kafir dengan adanya syarat.[26]
Dalil yang mereka gunakan adalah sebagai
berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ
هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Wahai
orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang
yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara
orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (orang
musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.” (Al-Maidah:57)
Secara garis besar dari pendapat imam madzhab
diatas hanya terdapat dua pandangan, yaitu pendapat yang tidak membolehkan
secara mutlak dan yang membolehkan dengan adanya syarat.
Pendapat yang tidak membolehkan secara mutlak
(mereka adalah Syafi’iyah , Malikiyah dan Hanabilah) berpandangan bahwa hujjah kelompok
yang membolehkan itu tidak kuat, karena tidak adanya lafadz yang sorih bahwa Nabi
meminta bantuan kepada orang kafir, seperti hadits tentang Shofwan bin Umayyah,
hadits ini tidak menunjukan bolehnya meminta bantuan kepada orang kafir, karena
Nabi tidak meminta Shofwan untuk ikut berperang bersamanya, akan tetapi Shofwan
sendiri yang ikut bersama Nabi.
Kemudian dalam hadits Aisyah disebutkan secara
shorih penolakan Nabi terhadap seorang musyrik ketika menawarkan dirinya untuk berperang
bersama Nabi.
Adapun pendapat yang membolehkan, mereka
berpandangan bahwa penolakan Nabi terhadap seorang musyrik dalam hadits Aisyah
itu bukanlah penolakan untuk tidak bolehnya berperang bersama beliau, akan
tetapi penolakan tersebut mengandung harapan agar orang tersebut masuk islam
terlebih dahulu. hal ini dibuktikan bahwa orang tersebut akhirnya masuk islam
V.
Tarjih
Tehadap Permasalahan
Setelah
meneliti pendapat para ulama kami melihat mereka berbenda pendapat dan masing-masing
pendapat berlandaskan kepada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih. sehinga dengan demikian penulis tidak merojihkan salasatunya
karena dalil-dalil yang menjelaskan perkara ini semuanya bisa digunakan sebagi hujjah.
pendapat yang melarang meminta bantuan kepada
orang kafir itu memiliki landasan yang sohih, misalnya hadits Aisyah yang
menunjukan tidak bolehnya meminta bantuan kepada orang kafir, itu adalah hadits
shohih yang diriwayakan oleh Imam Muslim, begitu juga dengan hadits Abu Hamid
as-Saidi itu adalah hadis yang dihasankan oleh al-Albani dalam kitabnya.
Begitu juga dalil-dalil yang dijadikan
landasan oleh kelompok yang membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir itu
bisa digunakan sebagi hujjah meskipun sebagian besarnya dhoif, namun ada beberapa
hadits dengan derajat hasan_bahkan
dishohihkan oleh al-Albani_ yang sah dijadikan sebagai hujjah, yaitu hadits
Dzu-Mukhbir yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya.[27]
Dari sinilah kami tidak merojihkan salasatu
pendapat diatas, sebagaimana para ulama kontemporer juga tidak merojihkannya,[28]
akan tetapi kami menggunakan metode Al-jam’u
baina al-adillah (metode menggabungkan dalil) dengan berlandaskan kepada
sebuah kaidah dalam ushul fikih Al-jam’u aula min at-tarjih[29]
(menggabungkan dalil-dalil yang ada
itu lebih utama dari pada merojihkan yang satu dan membuang yang lainnnya),
karena jika dalil-dalil yang ada masih memungkinkan untuk digabung maka itu
lebih utama daripada ditarjih dan ini cara yang benar.[30]
Demikian ini sebagaimana yang dilakukan oleh ulama
kontemporer seperti Yusuf Qordhowi[31], Abdullah’
Ath-Thuraiqi[32]
dan Robi’ bin Hadi al-Madkholi mereka mengambil jalan keluar untuk permasalahan
ini dengan cara menggabungkan dalil-dalil yang ada sehingga hasilnya adalah
boleh meminta bantuan kepada orang kafir tetapi dengan beberapa syarat dan
ketentuan, diantaranya adalah:
1. Kondisi darurat untuk melakukan hal itu, karena darurat boleh melakukan
yang dilarang (adh-dharuratu tubihu al-mahdzurat) jika kondisi tidak mendesak
untuk melakukan hal ini maka tidak dibolehkan meminta bantuan kepada mereka.
Syarat ini sebagaimana terkandung dalam hadits yang menerangkan Nabi dan Abu
Bakar meminta bantuan kepada Abdullah bin Uraiqit[33]
2. Tidak adanya kaum muslimin yang bisa dimintai bantuan, sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi terhadap raja Najasyi[34]
3. Orang kafir yang dimintai bantuan kondisinya tidak memiliki kekuatan atau
negara yang dikhawatirkan mereka akan bersekongkol dengan kafir yang dimintai
bantuan dalam memukul kaum muslimin
4. Adanya rasa tenang pada diri kaum muslimin terhadap orang yang akan
dimintai pertolongan (orang kafir). Karena tabiatnya orang kafir itu adalah
pendusta dan mereka juga memiliki keinginan untuk menghancurkan kaum Musliminm,
sehingga jika tidak ada kejelasan yang nyata tentang orang kafir yang dimintai
pertolongan maka ini tidak dibolehkan sebagai bentuk kehati-hatian.[35]
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
terhadap Shofwan bin Umayah, Karena Nabi mengetahui bahwa pada diri Shofwan
terdapat loyal yang lebih kuat terhadap suku daripada watsaniyah (teman
menyembah patung), sehingga Nabi tidak ragu lagi untuk meminta bantuan kepada
beliau.[36] [37]
5. Orang kafir yang dimintai pertolongan tidak boleh memiliki misi dakwah,
mengajak kaum muslimin kedalam agamanya, karena hal ini bisa merusak akal dan
membingungkan mereka, padahal kaum muslimin dalam kondisi ini sangat membutuhkan
kepada kuatnya keimanan, keyakinan dan bersatunya barisan, sehingga jika tampak
seruan dari orang kafir kepada kuam muslimin untuk mengikuti agamanya, maka
orang kafir tersebut harus segera disingkirkan dari barisan dan dijauhkan dari
kaum muslimin, hal ini berlandaskan kepada sebuah kaidah “daru al-mafsadah
mukoddam ala jalbi al-masholih” (mencegah kerusakan itu lebih didahulukan
daripada mengambil mashlahat)[38]
6. Orang kafir yang dimintai pertolongan tidak boleh menduduki posisi tertinggi
sehingga bisa mengatur seluruh gerak kaum Muslimin dengan sekehendaknya.
7. Dengan ketentuan yang sudah disebutkan diatas, seyogyanya bagi kaum Muslimin
untuk membatasi diri dari meminta bantuan kepada orang kafir yaitu hanya pada kondisi darurat saja sebagai bentuk
kehati-hatian terhadap mereka, karena orang kafir itu tidak memiliki apa yang
dimiliki oleh orang muslim berupa keimanan dan loyalitas.
VI.
Kesimpulan
Setelah
melihat penjelasan diatas, baik pendapat para ulama mutakoddimin ataupun
mutaakhirin kami berkesimpulan bahwa pada asalnya meminta bantuan kepada
orang kafir dalam hal jihad melawan kaum kafir itu diharamkan, akan tetapi hal
ini boleh dengan adanya syarat, apabila syarat-syaratnya terpenuhi maka tidak
mengapa melakukannya namun jika tidak maka diharamkan untuk melakukannya.
Wallahu a’lam bisshowab.
VII. Daftar pustaka
1.
Abdullah bin Ibrahim bin Ali ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu
Bighoiri al-Muslimin fi al-Fiqhi al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu
Al-Buhuts wa Al-Iftaa wa Ad-Da’wah wa
Al-Irsyad, 1409 H) Cet. I
2.
Yusuf Kordowi, Fikih Jihad, (Qohiroh:
Maktabah Wahbah 1436 H, 2009 M). Cet. I
3.
Robi’ bin Hadi Umair al-Madkholi, Shoddu
Udwanu al-Muslimin Wa Hukmu Isti’anatu Ala Qitalihim Bi Ghoiri al-Muslimin,
(Riyadh: Al-Furqon 1411 H).
4.
Imam As-Syaukani, Fathu al-Qodir (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmi 1415 H), Cet. I
5.
Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li ahkami al-Qur’an,
(Dar Kutub al-Mishriyah 1384 H).
6.
Abu Amru, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah,
(Multako Ahlu al-Hadits) (versi maktabah syamilah)
7.
Muhamad bin Qudamah, Al-Mughni (Qohiroh:
Hajaro)
8.
Imam Nawawi, Minhaj ath-Tholibin wa Umdatu al-Muftin
(Beirut: Dar Al-Ma’rifah)
9.
Ibnu Hazm, Al-Muhalaa, (Bairut-libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2010 M), Cet, I
10.
Imam Nawawi, Raudhatu ath-tholibin (Bairut-libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1427
H, 2006 M), Cet, III
11.
Abu Al-Harits al-Ghozzi, al-Wajiz fi idhohi
qowaidi al-Fiqhi al-Kuliyati (beirut: Musasatu ar-Risalah 1416 H, 1996 M),
Cet, V
12.
Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh
(Damaskus-Suriyah: Dar al-Fikr 1419 H, 1999 M) Cet, I
13.
Ibrahim Mushthofa dkk, Al-Mu’jam al-Wasith,
(Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyah)
14.
Ibnu Mandzur, Lisanu al-Arob, (Beirut:
Dar ash-Shodir).
15.
Sa’di Abu Habib, al-Qomus al-Fiqhi, (;
Suriah: Darul Fikri, 1988 M) Cet, II
16.
Abu Qosim Husain bin Muhammad (Roghib
Al-Ashfahani), al-Mufrodat Fi Ghoribil Qur’an, (Lebanon: Darul Fikri,
tt),
17.
Abu
Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Hajar Al-Atsqolani, Fathul
Bari, ( Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiah, 1989 M), Cet, I
18. Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ashan’ani, Subulussalam, (Riyadh: Daru
Ibni Jauzi, 1421 H) Cet, II
19. Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Muqri Al-Fayumi, Al-Mishbah Al-Munir Fi
Ghoribi Syarhil Kabir Lirrofi’I, (Beirut: Al-Maktabah Al-Ilsmiyah, tt),
20.
Ibnu Abdil Bar, Al-Kaafi, (Riyadh: Maktabah
Ar-Riyadh Al-Haditsiyah) vol, 1
21.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Ahkam Ahli
adz-Dzimmah, (Al-Mamlakah al-Arobiyah as-Su’udiyah: Romad an-Nasyr 1418 h,
1997 m)
[2] Q.S Al-Anfal: 39. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Ahkam Ahli adz-Dzimmah,
(Al-Mamlakah al-Arobiyah as-Su’udiyah: Romad an-Nasyr 1418 H, 1997 M) vol. 1 hlm.
1396
[3]
Ibrahim Mushthofa dkk, Al-Mu’jam al-Wasith,
(Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyah) hlm. 791. Ibnu Mandzur, Lisanu al-Arob,
(Beirut: Dar ash-Shodir) Vol. 5 hlm. 146. Abu Amru, Al-Mausu’ah Al-fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Multako Ahlu Al-Hadits, (versi Maktabah Syamilah
[4] Abu Amru, Al-Mausu’ah Al-fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Multaqo Ahlu
Al-Hadits, (versi maktabah syamilah).
[7] Imam Al-Baghowi, Ma’alim At-Tanzil Fi Tafsir Al-Qur’an ( Beirut:
dar at-thoyibah li an-nasyri wa at-tauzi’, 1417 H, 1997 M), vol. II hlm. 95
[8] HR Mu slim (1817) dalam kitab Al-Jihad Wa Al-Sair, Ahmad (24386) dalam
Al-Musnad, Abu Daud (2732) dalam kitab Al-Jihad, Al-Tirmidzi (1558) dalam kitab
Al-Sair, dan Ibnu Majah (2832) dalam kitab Al-Jihad, dari Aisyah r.a.
[9] HR Ahmad (17563) dalam Al-Musnad, para perawi hadits ini mengatakan bahwa
sanadnya dhaif, kecuali kalimat, “sesungguhnya kami tidak akan meminta bantuan
kepada seorang musyrik untuk memerangi orang-orang musyrik” riwayat ini
bersetatus hasan lighoirihi. Diriwayatkan pula oleh Abi Syaibah (33831) dalam
kitab Al-Sair, At-Thabrani dalam Al-Kabir (4/223), dan Al-Hakim
(2/121) dalam kitab Al-Jihad. Al-Hakim menshahihkan sanadnya, tetapi
Adz-Dzahabi tidak mengomentarinya tentang hlm tersebut, diriwayatkan pula oleh
Abu Nu’man dalam Hilyah Auliya (1/364) dan Al-Baihaki dalam Al-Kurba
(9/37) dalam kitab Al-Sair, dari Khubaib Ibnu Isaf, dalam Majma’ Az-Zawaid
(5/550), Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan
Ath-Thabrani dengan perawi-perawi yang tsiqqoh.
[11] Sohih Muslim.usudul ghobah, vol.3 hlm 22. rawa’iul bayan fi
tafsiri al-qur’an vol.1 hlm. 402 (versi Maktabah Syamilah)
[12] HR. Riwayat Ibnu Mansur (2/284) dalam bab Ma Jaa’a fi Sahman Al-Nisaa
dan Ibnu Abi Syaibah (33835) dalam kitab Al-Sair, Awwamah mengatkan
bahwa riwayat ini berasal dari Maraasil Al-Zuhri, sedagkan ia bagaikan
angin dalam pandangan Yahya Al-Qoththon. Diriwayatkan pula oleh Abu Daud dalam maraasil
(270) dan Al-Baihaki dalam Al-Kubra ((9/53) dalam kitab al-sair, dikatakan
bahwa hadits ini mungqoti’ dari Al-Zuhri.
[15] HR. Abu Dawud no. 4292; dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud
no. 2767].
[18] Mahmas bin Abdillah bin Muhamad al-Jal’ud,Al-Mualat
wa al- Mu’adat fi Syari’ati al-Islamiyah, (versi Maktabah Syamilah) vol.II
hlm. 330
[19] Aburrahman bin Jauzi, Zaad al-Masir fi ‘Ilmi at-Tafsir, (versi
Maktabah Syamilah) vol.I ham. 447
[22] HR Muslim (1817) dalam kitab Al-Jihad Wa Al-Sair, Ahmad (24386) dalam
Al-Musnad, Abu Daud (2732) dalam kitab Al-Jihad, Al-Tirmidzi (1558) dalam kitab
Al-Sair, dan Ibnu Majah (2832) dalam kitab Al-Jihad, dari Aisyah r.a.
[23] HR Ath-Thohawi didalam Musykil al-Atsar 3/ 241 dari jalur Ubaid bin
Rijal, dan diriwayatkan juga oleh Hakim dalam al-Mustadrok 2/122. Al-Albani
berkata hadits ini sanadnya hasan, Silsilah al-Ahadits adh-Dhoifah no.
1101
وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَآخَرُونَ : إِنْ كَانَ الْكَافِر حَسَن الرَّأْي فِي الْمُسْلِمِينَ , وَدَعَتْ الْحَاجَة إِلَى الِاسْتِعَانَة بِهِ اُسْتُعِينَ بِهِ , وَإِلَّا فَيُكْرَه
”Asy-Syafi’i
dan yang lainnya telah berkata : ’Apabila orang kafir tersebut mempunyai
pandangan bagus terhadap kaum muslimin (bisa dipercaya) dan kondisi sangat
membutuhkan pada pertolongan orang kafir tersebut, maka diperbolehkan meminta
pertolongan kepadanya. Jika tidak, maka hlm itu dibenci”
Hlm ini sebagaimana juga
disebutkandalam kitab minhaju at-tholibin beserta syarah
mughni al-muhtaj vol, 1 hlm, 221
[25] Syamsudin al-Qurtubi, al-Jami’ liahkami
al-Qur’an (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyah 1384 H 1964 M) vol.6 hlm. 224
[26] Yusuf Qordowi, Fikih jihad, (Qohiroh: Maktabah Wahbah ).vol 1 hlm. 806
[27] HR. Abu Dawud no. 4292; dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2767].
[28] Diantara ulama kontemporer yang melakukan tarjih adalah Yusuf Qordowi, Robi’ bin Hadi al-Madkholi dan Abdulah Ath-Thuraiqi
[29] Muhamad Sulaiman Al-Asyqor, al-Wadih fi ushul al-Fiqhi li al-Mubtadiin,
(Urdun: Dar An-Nafais). Vol. 1 hlm. 270. Wahbah zuhaili, al-Wajiz fi ushul
al-Fiqh, (Damaskus, suriah : Dar Al-Fikr ) hlm, 245
ويجمع
بينه وبين الذي قبله بأوجه ذكرها المصنف منها وذكره البيهقي عن نص الشافعي أن
النبي صلى الله عليه وسلم تفرس فيه الرغبة في الإسلام فرده رجاء أن يسلم فصدق ظنه
وفيه نظر من جهة التنكير في سياق النفي ومنها أن الأمر فيه إلى رأي الإمام وفيه
النظر بعينه ومنها أن الاستعانة كانت ممنوعة ثم رخص فيها وهذا أقربها وعليه نص
الشافعي
[31] Yusuf Kordhowi, Fikih jihad, (Qohiroh:
Maktabah Wahbah).vol 1 hlm. 806
[32] Abdullah bin Ibrahim bin Ali Ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu Bighoiri Al-Muslimin
Fi Al-Fiqhi Al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu Al-Buhuts Wa Al-Iftaa wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1407 H) hlm. 270
[33] Abdullah bin Ibrahim bin Ali Ath-Thuraiqi, Al-Isti’anatu
Bighoiri Al-Muslimin Fi Al-Fiqhi Al-Islami, (Saudi Arabia: Idarotu
Al-Buhuts Wa Al-Iftaa wa Ad-Da’wah wa
Al-Irsyad, 1407 H) hlm. 112
[34] Mahmas bin Abdillah bin Muhamad al-Jal’ud,Al-Mualat
wa al- Mu’adat fi Syari’ati al-Islamiyah, (versi Maktabah Syamilah) vol.II
hlm.333
“لأن يربني رجل من قريش – يعني محمد –خير من أن يربني رجل من هوازن"
H.R Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/388), Ibnu Hiban
dalam As-Sair (11/95), Al-Arnaut mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan, dan
diriwayatkan juga oleh Al-Baihaki dalam kitab pembagian fai’ dan ghonimah
(6/370) dari jalur Jabir bin Abdillah. Syarat seperti ini juga dijselaskan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni
(13/98).
[38] Muhamad Sulaiman al-Asyqor, Al-Wadih Fi Ushul Fiqih Li al-Mubtadiin,
(Qohiroh: Dar al-Salam) hlm. 270
0 komentar:
Posting Komentar