oleh : Eko asy-Syahid
A. Pendahuluan
Dalam tradisi islam, para mufassir
berpendapat bahwa istilah ahlu kitab ditujukkan kepada dua golongan , Yahudi
dan Nashrani. Dalam perkembangannya pun pengertian ahlu kitab semakin meluas
hingga semua agama yang memiliki kitab bisa di kategorikan sebagai ahlu kitab,
yang secara bahasa mempunyai sebuah kitab suci, baik itu Yahudi, Nashrani,
Zoroaster, Yahudi, Majusi, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Shinto. Beragam
kerancuan tentang lingkupan ahlu kitab semakin menjadi, ketika para liberalis
berbicara tentang agama. Mereka menyebarkan beragam fitnah di tengah kaum
muslimin. Terkhusus di indonesia yang kaum muslimin mayoritas masih awwam,
menjadi obyek obrolan sesat para liberalis yang memalingkan mereka dari islam.
Karena sejatinya mereka benci dengan aturan islam dan mencoba membuang islam
dari kehidupan mereka dan mengubah aturan penuh kebebasan di dalam kehidupan
mereka.
Kesalahan
dalam menarik kesimpulan mengenai ahlu kitab, karena setiap agama dianggap
sebagai ahlu kitab, maka tidak ada bedanya antara islam dengan agama-agama yang
lain. Bahkan, semuanya akan selamat di akhirat kelak.
Pandangan-pandangan ini sungguh sangat
bertentangan dengan pandangan para mufassirin dimasa lalu dalam tradisi
intelektual islam. Contoh al-Thabary (w. 310 H)[1].
Al-Qurthuby (w. 671)[2],
dan Ibnu Katsir (w. 774 H). Mengatakan bahwa terma ahli kitab tertuju kepada
komunitas Yahudi dan Nashrani.
Yahudi dan Nashrani adalah ahlu kitab,
klaim ini berdasarkan argumen bahwa telah diutusnya nabi-nabi kepada mereka
dengan membawa kitab suci yang mengajarkan risalah tauhid, yang masing-masing
kaum berbeda minhaj dan syari’at.
Pun didalam islam ahlu kitab menjadi
golongan kafir yang diperlakukan khusus dari golongan kafir yang lain. Yaitu
dalam hal makanan dan wanita ahlu kitab yang memiliki hukum tersendiri,
meskipun mereka tetap dengan kekafiran mereka. Inilah mengapa perlu penjelasan
akan definisi ahlu kitab dan klasifikasi perspektif ahlusunnah wal jama’ah.
B. Pengertian
Secara bahasa kata أهل berarti penganut atau pengikut, bisa juga
diartikan penghuni. Dari kata أهِل ـَـ اَهَلاً به yang berarti senang, suka, ramah pada, Sedangkan makna
kitab adalah الْكِتَابِ
berarti kitab suci, al-Qur’an, Taurat, Injil, fardhu, kewajiban, buku bacaan,
kumpulan dari lembaran-lembaran.[3]
Dalam kamus mu’jam lughotul fuqoha’ disebutkan bahwa ahlu kitab
adalam Kaum Yahudi dan Nashrani.[4]
Sedangkan secara istilah syar‘i
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ ( أَهْل الْكِتَابِ ) هُمُ :
الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى بِفِرَقِهِمُ الْمُخْتَلِفَةِ
Mayoritas fuqoha‘ berpendapat bahwa ahlu kitab
adalah Yahudi dan Nashrani
dengan berbagai firqohnya [5] [6]
Hanabilah dan Hanafiyyah memberikan tambahan bahwa
Samirah termasuk ke dalam golongan Yahudi, karena mereka beriman dengan taurat
nabi musa dan menjalankan syari’atnya, walaupun dalam banyak hukum mereka
menyelisihi Yahudi. Sedangkan kaum Nashrani adalah mereka yang
beriman dengan injil dan menisbatkan diri mereka kepada nabi Isa Alaihis salam.
sedangkan menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah ahlu kitab hanya sebatas Yahudi dan Nashrani.
Di madzhab Hanafi,
makna ahlu kitab diperluas :
إنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ هُمْ : كُلُّ مَنْ يُؤْمِنُ بِنَبِيٍّ
وَيُقِرُّ بِكِتَابٍ , وَيَشْمَلُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى , وَمَنْ آمَنَ بِزَبُورِ
دَاوُد , وَصُحُفِ إبْرَاهِيمَ وَشِيثٍ . وَذَلِكَ لِأَنَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ
دَيْنًا سَمَاوِيًّا مُنَزَّلًا بِكِتَابٍ
Sesungguhnya ahlu kitab adalah setiap yang beriman
kepada Nabi dan meyakini sebuah kitab, meliputi Yahudi dan Nashrani, juga yang beriman
kepada kitab Zabur nabi Dawud, shuhuf Ibrahim dan Syits, demikian itu karena
mereka meyakini agama samawi yang diturunkan dengannya sebuah kitab.[7]
Makna yang ada di dalam kalangan Hanafi tentu lebih
lengkap, tetapi definisi menurut jumhur lebih tepat untuk masa sekarang,
mengingat hanya kaum Nashrani dan Yahudi yang masih eksis hingga sekarang,
berbeda dengan pengertian yang disimpulkan oleh Hanafi karena tepat di masa
itu.
C. Klasifikasi
Ahli kitab
1. Yahudi
Mereka yang dinisbatkan kepada pengikut nabi Musa,[8]
anak keturunan Yehuda (aslinya Yehudza, kemudian orang-orang Arab merubah huruf
Dza menjadi dal), anak sulung keturunan Ya’qub. Yahudi, dalam ayat
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا
وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ
صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ
Artinya,’’ Sesungguhnya orang-orang mukmin,
orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja
diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati’’.(al-Baqarah
(2) 62)
Adalah mereka yang bertaubat dari penyembahan mereka
kepada Sapi, yang tertera juga dalam lafadz إنا هدنا إليك
(al-A’raf : 156)
Dalam lintasan sejarah, setelah mereka selamat dari
kejaran fir’aun dengan pertolongn Mukjizat dari Allah melalui Nabi Musa ‘alihissallam,
mereka tinggal di semenanjung Sinai dan timur Kanaan (Palestina), sebagaimana
tertera dalam ayat
يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ
الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا
خَاسِرِينَ
Artinya,’’ Hai kaumku, masuklah ke tanah suci
(Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari
kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang
merugi. (QS. Al-Ma’idah ayat 21)
Setelah nabi Musa wafat, bangsa Israel tetap tinggal
di Kanaan. Setelah berlalunya masa (wafatnya nabi Daud dan Sulaiman) kerajaan
Israel (Yahudi) berpecah, di utara Israel dengan ibukota Samarria dan selatan
Juda dengan ibukota Baitul Maqdis (Yerrusalem). Pada tahun 63 SM Juda dan
Israel jatuh ke tangan orang Romawi, setelah itu orang Yahudi hidup dalam
pelarian, hingga zaman Othmaniyyah (khilafah Utsmaniyyah) orang Yahudi dapat
merasakan kehidupan yang damai dengan membayar Jizyah kepada Khilafah
Othmaniyyah. Pada abad ke-19, ditunjangi oleh Jewish Colonization Assocation
Baron Hirsch, Yahudi dari Eropah Timur berpindah ke Argentina dan membentuk Kolonialisme
pertanian, untuk kembali ke Palestine bermula tahun 1881.[9] Dewasa
ini ada sejumlah kelompok Yahudi utama : Kaum Ashkenazim, Kaum Sefardim, Kaum
Mizrahim atau "Orang dari Timur"[10]
2. Nashrani
Kalimat Nashara adalah bentuk jamak dari Nashriy, yang
dinisbatkan kepada desa bernama Nashirah, tempat turunnya nabi Isa, ada yang
mengatakan bahwa dinamakan Nashara karena mereka saling menolong antar satu
dengan yang lain[11].
Dan dalam perjalanannya mereka menganggap nabi Isa adalah putra Allah, bahkan
Allah itu adalah Isa, (I’tikad mereka akan paham Trinitas) sebagaimana tertera
dalam ayat, yang artinya : ’’Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya
Allah ialah Al Masih putra Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai
Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabbmu". Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal
sekali-kali tidak ada Ilah selain dari Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak
berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara
mereka akan ditimpa siksaan yang pedih’’. (al-Maidah ayat 72-73), yang
sejarah mereka tertera pada tafsir surat ali Imran ayat 55, ketika Nabi Isa
hendak dibunuh oleh utusan orang Yahudi beliau menanawarkan kepada 12
Hawariyyun yang bersamanya, siapa yang mau untuk menjadi posisinya dan dibunuh
oleh orang Yahudi dan janjinya adalah kedudukan bersamaku di jannah. Akhirnya
salah seorang dari mereka maju dan akhirnya dibunuh di tangan orang Yahudi.
Setelah nabi Isa diangkat terpecahlah Hawariyyun menjadi tiga kelompok, yang
pertama Ya’qubiyyah yang menyatakan bahwa Nabi Isa adalah Allah, Nasthuriyyah
yang mengatakan bahwa Isa adalah putra Allah, yang ketiga al Muslimun (isyhad
bianna muslimun) mengatakan bahwa Isa adalah seorang Nabi dan diangkat oleh
Allah.(tafsir al-Qurthubi)
Agama Kristen termasuk banyak
tradisi agama yang bervariasi berdasarkan budaya, dan juga kepercayaan dan
aliran yang jumlahnya ribuan. Selama dua milenium, Kekristenan telah berkembang
menjadi tiga cabang utama:
a.
Katolik (denominasi tunggal
Kristen terbesar, termasuk Gereja Katolik ritus Timur, dengan satu koma dua
milyar penganut total, lebih dari setengah dari jumlah total penganut agama
Kristiani)
b.
Protestanisme (terdiri dari
berbagai macam denominasi dan pemikir dengan berbagai macam penafsiran kitab
suci, termasuk Lutheranisme, Anglikanisme, Calvinisme, Pentakostalisme,
Methodis, Gereja Baptis, Karismatik, Presbyterian, Anabaptis, dsb.)
c.
Ortodoks Timur (denominasi
tunggal Kristen terbesar kedua, dan merupakan denominasi Kristen terbesar di
Eropa timur).
Selain itu ada pula berbagai
gerakan baru seperti Bala Keselamatan, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh,
Mormon, Saksi-Saksi Yehuwa, serta berbagai aliran yang muncul pada akhir abad
ke-19 maupun abad ke-20, dll. [12]
3. Majusi
Mereka adalah para penyembah matahari, bulan dan api.[13] Mereka
aslinya adalah an-Najus, karena mereka menggunakan benda-benda najis dalam
peribadatan mereka.[14] Mereka
juga menetapkan dua Tuhan, Tuhan kebaikan dan Tuhan
keburukan dan mereka adalah penduduk Persia Raya. Meskipun mereka musyrik akan
tetapi mereka diperlakukan sebagaimana Ahlu kitab dalam membayar jizyah[15] hal
ini sesuai yang tertera dalam hadits dari sahabat Abdurrahman bin ‘Auf سنوا بهم سنة أهل الكتاب ‘’perlakukan mereka sebagaimana ahli kitab’’.
Perlakuan sama antara Majusi dan ahlu kitab adalah dengan membayar jizyah.
Para Fuqoha sepakat bahwa mereka bukanlah termasuk ahlu kitab meskipun mereka
diperlakukan sebagaimana ahlu kitab dalam pembayaran jizyah.[16]
4. Shobi’ah
Mereka adalah kaum yang menyembah bintang dan Malaikat,
sholat menghadap ke kiblat dan membaca kitab Zabur.[17]
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka termaasuk ahli kitab include
dalam kamunitas Yahudi dan Nashrani[18],
adapun pendapat Imam Ahmad yang juga merupakan salah satu pendapat Ulama’ Syafi’iyyah
bahwa mereka termaasuk kaum Nashrani[19].
Juga ditashih oleh Ibnu Qudamah mengenai pendapat Imam Ahmad bahwa jika dalam
Ushuluddin[20]
bersesuaian dengan Yahudi dan Nashrani maka mereka termaasuk bagian dari Yahudi
dan Nashrani, dan apabila mereka menyelisihi Yahudi dan Nashrani dalam
ushuluddin maka mereka bukanlah termaasuk dari golongan Yahudi dan Nashrani dan
mereka dihukumi sebagai penyembah berhala (‘abadatul autsan).[21]
5. Samiroh
Mereka adalah kaum Yahudi yang membangkang dengan
perilaku mereka menyembah sapi yang diprakarsai oleh Samiri (ada yang
mengatakan namanya adalah harun, adapula yang mengatakan namanya ialah Musa bin
Zhufr) dengan membuat patung sapi dari kumpulan perhiasan-perhiasan dari Mesir yang
dileburkan dan dicetak serta bisa mengeluh (mengeluarkan suara karena memang
bias bersuara, atau patung tersebut dibuat dengan rongga yang ketika angin
bertiup akan menghasilkan bunyi) dan samiri menyesatkan mereka dengan patung
buatan tersebut.[22] Para pengikut Musa akhirnya mengikuti Samiri, ketika
nabi Musa menuju bukit Thursina, diterangkan dalam surat Thaha ayat 83 sampai
98.
D. Hukum
seputar Ahlu kitab
1. Di dalam al-Qur’an ahlu kitab disebut
sebagai orang-orang kafir
Dalam pandangan islam, status ahli kitab jelas termasuk
kategori orang kafir. Karena mereka mendustakan Rasulullah dan ajarannya. Dan kekufuran
terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasulullah berarti mengingkari syari’at Allah
secara keseluruhan. Ini karena syari’at yang dibawa Nabi Muhammad merupakan pelengkap
serta penutup rantai kenabian dalam penyempurnaan syari’at Allah. Dan ukuran keimanan mereka adalah dengan
pembenaran terhadap kenabian Muhammad dan ajaran yang dibawanya serta
mengimaninya.[23]
Didalam al-Qur’an Allah berfirman, yang artinya : “Hai ahli kitab, mengapa kamu kafir
kepada ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui (kebenarannya).’’(ali Imran:70)
Dan dalam ayat lain Allah juga menegaskan, yang artinya,’’orang-orang
kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukit yang nyata.’’ (al-Bayyinah:1)
Dalam ayat ini terdapat perbedaan antara kaum musyrikin dan ahlu
kitab. Pun, perbedaan ini bagi kaum muslimin juga berbeda dalam menyikapi
mereka ketika bermuamalah di dunia, diantaranya makanan ahlu kitab dan wanita
mereka halal bagi kaum muslimin. Sedangkan di akherat tetap ahlu kitab dan kaum
musyrikin di neraka Jahannam. Allah berfirman, yang artinya : “Sesungguhnya
orang-orang kafir yakni ahlu kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke
neraka Jahannam, mereka kekal didalamnya mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk. (al-Bayyinah: 6).
Juga disebutkan dalam surat al-Anfal ayat 22 sebagai penjelas makna ayat ini, yang artinya :’’sesungguhnya
seburuk-buruk hewan melata (makhluk) disisi
Allah adalah mereka yang tuli dan bisu dan mereka tidak mengerti apa-apa.’’
(al-Anfaal:22). Yang dimaksud disini adalah orang-orang kafir sebagaimana tertera dalam
surat Muhammad ayat 23, artinya :’’mereka itulah orarng-orang yang dilaknat
Allah dan ditulikan telinga mereka dan dibutakan penglihatan mereka.
(Muhammad:23) [24].
Berikut perincian dalil yang menjelaskan akan
kekafiran ahlu kitab :
1.
Kafirnya kaum Nashrani, didalam firman Allah, yang
artinya, ’’Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya
Allah ialah Al Masih putra Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata:
"Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabbmu". Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim
itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang
tiga", padahal sekali-kali tidak ada Ilah selain dari Ilah Yang Esa. Jika
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang
kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih’’. (al-Maidah ayat 72-73)
2.
Kafirnya orang-orang
Yahudi tersebut dalam firman Allah, yang artinya : ’’Orang-orang Yahudi
berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang-orang Nasrani berkata:
"Al Masih itu putra Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah
melaknat mereka, bagaimana mereka sampai
berpaling?’’(at-Taubah :30).
Akan tetapi jika mereka beriman,
dengan bersyahadat maka mereka termaasuk orang-orang yang beriman, sebagaimana
dalam ayat, yang artinya :
”Dan sekiranya ahli kitab beriman
dan bertakwa, tantulah kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan
tentulah Kami mesukkan mereka kedalam Jannah yang penuh
kenikmatan.’’(al-Maidah: 65).
Begitu halnya Rasulullah menyebut mereka sebagai orang
kafir, sebagaimana yang tertera dalam hadits riwayat sahabat abu Hurairah radhiyyallahu
‘anhu,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ
نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ
كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ».
Artinya :’’dari Abu Hurairah radhiyyallahu anhu dari Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda,’’Demi Dzat yang jiwa
Muhammad ada di tanganNya, tak seorang pun dari ummat ini Yahudi atau Nashrani
yang mendengarku dan tidak beriman kepada apa yang aku bawa kemudian ia mati
kecuali ia termaasuk penduduk neraka. (HR. Muslim. Hadits no. 403, 1/93). Agama ada enam, lima dipersembahkan
untuk syaithan dan satu yang diridhai oleh Allah.[25]
2. Sembelihan ahlu kitab
Allah berfirman, artinya :’’ Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termaasuk
orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah : 5).Dalam hal ini tentunya sembelihan
mereka akan hewan yang halal bagi kaum muslimin, bukan berupa babi, anjing, dan
hewan-hewan yang diharamkan dalam islam.
Ibnu katsir didalam kitab tafsirnya mengenai ayat
ini,’’yakni sembelihan mereka halal bagi kaum muslimin dan ini adalah perkara
yang disepakati.[26]
Adapun mengenai ayat yang melarang memakan makanan
yang tidak disebut nama Allah telah di Mansukh dengan ayat ini. Ibnu katsir
menjelaskan,
قال
ابن أبي حاتم قرئ على العباس بن الوليد بن مزيد أخبرنا محمد بن شعيب أخبرني
النعمان بن المنذر عن مكحول قال أنزل الله " ولا تأكلوا مما
لم يذكر اسم الله عليه
" ثم نسخه الرب عز وجل ورحم المسلمين فقال " اليوم أحل لكم
الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب " فنسخها بذلك وأحل طعام أهل الكتاب
’’berkata Ibnu Abi Hatim : Dibacakan kepada al-Abbas
bin al-Walid bin Mazyad, telah mengkabarkan kepada kami Muhammad bin syu’aib,
telah mengkabarkan kepada kami an-Nu’man bin al-Mundzir, dari Makhul, ia
berkata : Allah menurunkan (janganlah kalian makan makanan yang tidak
disebutkan nama Allah diatasnya.’’QS. Al-An’am : 121), lalu Allah Azza wa jalla
menghapusnya dan memberikan kasih sayang bagi kaum muslimin lalu berfirman,:
‘’Hari ini telah dihalalkan bagimu yang baik-baik, dan makanan ahli kitab halal
bagimu), maka ayat ini telah menghapus ayat sebelumnya. Dan telah dihalalkan
makanan sembelihan ahlu kitab. (tafsir al-qur’anul Adzim, 3/40)
Dan ini khusus bagi ahlu kitab, sedangkan orang-orang
musyrik sembelihan mereka tetaplah haram bagi kaum muslimin.
Disebutkan pula didalam kitab Syarhul Kabir
karangan ibnu Qudamah bahwa, mengenai
ayat ini (al-Maidah : 5 ) yakni sembelihan mereka tidak ada perbedaan antara
orang fasiq atau orang adil dari kaum muslimin dan orang dari ahlu kitab, tidak
ada perbedaan antar ahlu kitab dzimi atau harbi dalam
masalah kehalalan sembelihan mereka dan haramnya sembelihan selain mereka. Mayoritas ulama’
juga memandang bolehnya hasil buruan mereka (Yahudi dan Nashrani),[27] tetapi
pengecualian bagi kafirnya majusi yang makanan mereka tidak boleh dimakan.
(Ibnu Qudamah, al-Mughni, (hal 39, vol 11).
Dengan pemaparan ini, tentu halnya masih terdetik
dalam benak pertanyaan akankah halal sembelihan Yahudi dan Nashrani hari ini.
Karena rasa wara’(menjaga diri dari perkara yang samar). Sebagai final
kesimpulan point ini, sebagai bentuk wara’ adalah dengan menghindari
makanan sembelihan ahlu kitab, yang meskipun mayoritas ‘Ulama membolehkannya.
Karena realita masa kini yang sembelihan seorang muslim saja masih
dipertanyakan apakah ia membaca bismillah ketika menyembelih ataukah tidak,
terlebih mereka yeng telah berbuat kesyirikan.
3.
Wanita ahlu kitab
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ
(Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. (al Maidah (5): 5)
Dalam ayat ini secara ibarotun nash menegaskan bahwa
halalnya seorang muslim menikahi seorang wanita ahlu kitab yang menjaga
kehormatannya bukan sembarang wanita ahlu kitab. Pembolehan ini merupakan pendapat
mayoritas ulama, hanya saja terjadi perbedaan pendapat pada jenis wanita ahlu
kitab yang boleh dinikahi.
Ulama’ dan ahli tafsir berbeda pendapat mengenai
firman Allah, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu. Apakah berlaku untuk semua wanita ahli
kitab yang menjaga dirinya, baik mereka itu yang merdeka atau yang budak ? Ibnu
Jarir menceritakan bahwa dari segolongan ulama salaf ada yang menafsirkan al
Muhshonah adalah wanita yang menjaga kehormatannya (al Afiifaat), bahkan
dalam beberapa riwayat maksud dari kata Muhshonaat, selain menjaga diri
dari zina juga mereka mandi junub ketika berhadats.[28]
Dikatakan pula, maksud dengan ahli kitab disini adalah wanita isra’ilayyah,
dan ini pendapar Asy-syafi’i. ada juga yang mengatakan Dzimmiyyat (bukan
harbiyyat (yang diperangi), karena Allah ta’ala berfirman dalam
surat-Taubah 29
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan
tunduk.[29]
Adapun didalam madzhab Maliki. Bolehnya seorang muslim
menikahi perempuan Yahudi maupun Nashrani, dan tidak halal baginya selain
keduanya. Sedangkan hal tersebut dimakruhkan dalam madzhab Maliki tanpa
mengharamkannya.[30]
Dan tidak boleh menikahi perempuan yang murtad.[31]
Komparasi dari beberapa pendapat diatas, maka penulis
menarik kesimpulan bahwa tidak bolehnya bagi seorang muslim menikahi wanita
ahli kitab dikarenakan budaya dan adat mereka. Yang mana mereka tidak dapat
dipercaya bahwa mereka mampu menjaga kehormatan mereka. Apalagi dengan
Modernitas zaman kini, karena Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab sendiri
memisahkan Ibnu Yaman dan Thalhah dari istri keduanya yang berstatus sebagai
ahlu kitab, dengan ijtihad beliau bahwa kedua sahabatnya itu tidak mengetahui
latar belakang istri mereka. Bahkan dalam riwayat tersebut seakan Umar
Radhiyyallahu ‘anhu menganggap tidak sahnya pernikahan mereka. Dan hal itu
beliau lakukan di zaman beliau menjadi seorang Khalifah.[32]
4.
Apakah Yahudi dan Nashrani hari ini masih disebut sebagai ahli
kitab ?
Dari berbagai kalangan di antara kaum muslimin ada
yang berkeyakinan bahwa Yahudi dan Nashrani hari ini bukanlah ahlu kitab yang
dimaksud Al-Qur’an, mengingat alasan mereka adalah karena mereka (Yahudi dan Nashrani)
sudah mengubah kitab yang mereka yakini dan merubah ayat-ayatnya. Sehingga
mereka telah sesat dan tidak bisa disebut sebagai ahlu kitab lagi.
Pendapat ini mereka kemukakan dengan berdalil kepada
surat al-Maidah ayat 5, yang menyatakan akan kehalalan sembelihan ahlu kitab
bagi kaum muslimin. Dengan pertanyaan, yang mana mungkin sembelihan mereka
halal sedangkan mereka sudah merubah kitab Allah ? Tetapi kenyataan yang ada,
bahwa kesesatan yang ada dalam ahlu kitab sudah ada sejak diutusnya nabi
terakhir ketika ayat ini turun, bahkan sebelum Rasulullah Muhammad diutus. Oleh
karenanya Yahudi dan Nashrani hari ini tetaplah disebut sebagai ahlu kitab
karena mereka sudah sesat sejak diturunkannya ayat ini. Juga mereka tetap
diberlakukan sebagai ahlu kitab, karena mereka sekarang adalah juga masih
berstatus sebagai ahlu kitab.
Untuk lebih rincinya adalah sebagai berikut :
a. Perubahan dalam ayat-ayat Allah sudah
mereka lakukan sebelum nabi terakhir diutus.
Sehingga jika mereka tidak disebut sebagai ahlu kitab karena ini, maka
mereka tentu sudah tidak disebut sebagai ahlu kitab sejak dahulu.
Allah berfirman mengenai perilaku mereka
dalam merubah ahlu kitab, dalam surat al-Baqarah 79 :
فوَيْلٌ
لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ
عِندِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا
كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ
Artinya,:’’
Maka
kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan
mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud)
untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri,
dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (QS.
Al baqarah (2): 79)
Para ulama
berbeda pendapat mengenai kata وَيْلٌ, sedangkan maksud ayat ini adalah ada segolongan dari kaum Yahudi
(dalam riwayat lain bani Isra’il) merubah ayat-ayat dalam Kitab Taurat (Torah)
lalu memasarkan kepada manusia untuk mendapatkan dunia, mereka menghapus apa
yang mereka benci dan menambahkan apa-apa yang mereka suka dan cinta, serta
menghapus nama Muhammad dari kitab Taurat. Maka, murka Allah atas mereka dan
mengangkat sebagian dari kitab Taurat dan berfirman,’’
فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا
كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
Ayat ini
merupakan salah satu serangkaian kisah tentang perilaku orang Yahudi pada masa
sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihissalaam. Artinya, dengan ini sungguh jelas
terjadi perubahan ayat-ayat Allah Ta’ala oleh tangan-tangan kotor mereka sudah
ada sebelum zaman Nabi Shallallahu ‘alaihissalaam.[33]
b.
Dalam al qur’an Allah Azza wa jalla
tetap menyebut mereka dengan sebutan ahli kitab.
Hal ini
tertera dalam ayat ali Imran ayat 64,
قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ
بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا
اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
Rabb selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)".
Dalam ayat ini meskipun mereka kafir tetap saja Allah menyebut
mereka sebagai Ahlu kitab, yang untuk panggilan kepada orang-orang kafir
sendiri Allah ajarkan kepada nabiNya dalam surat al Kafirun, tetapi orang kafir
tersebut maksudnya adalah kafir Quraisy.
Abu Qatadah, Ibnu Juraij dan Ulama’ lain berpendapat bahwa itu adalah panggilan
mereka kepada orang –orang Yahudi madinah, mereka disebut demikian karena
mereka menjadikan ketaatan mereka terhadap pendeta-pendeta mereka seperti
halnya ketaatan mereka kepada Rabb.[34]
c. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihissalaam juga menyebut
mereka dengan ahlu kitab.
Dari Abu Hurairah radhiyyallahu anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihissalaam bersabda
لَا تُصَدِّقُواْ أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوْهُمْ
‘’janganlag
kalian memebenarkan Ahli kitab, dan jangan pula mendustakannya (HR. Bukhari no.
2684)
Dari Abu Tsala’bah
al Khusyani radhiyyallahu Anhu, berkata
...قُلْتُ يَا نَبِيَ اللهِ إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
أَفَنَأْكُلُ فِيْ اَنِيَتِهِمْ
Aku bertanya kepada Nabi :”Wahai Nabiyallah,
sesungguhnya kami tinggal di negerinya kaum ahli kitab, apakah kami boleh makan
di wadah mereka …….
Jawaban Nabi
أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مَنْ أَهْلَ الْكِتَابِ فَإِنَّ وَجَدْتُم ْغَيْر
َهَا فَلَا تَأكُلُوا فِيْهَا وَإِنَّ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُواهَا وَكُلُوا فِيْهَا
Adapun apa
yang kamu ceritakan tentang ahli kitab, maka jika kamu mendapatkan selain
bejana mereka, maka jangan kamu memakan dengan menggunakan wadah mereka. Jika
kamu tidak mendapatkan wadah lain, maka cuci saja wadah mereka dan makanlah
padanya…. (HR.Bukhari no 5478)
Kisah-kisah yang tertera dalam hadits-hadits tersebut menunjukkan
bahwan ahli kitab mereka lah Yahudi dan Nashrani secara keseluruhan sebagaimana
disebutkan dalam kitab tafsir al Qurthuby bahwa ahlu kitab melingkupi seluruh
kaum Yahudi dan Nashrani.[35]
E. Kesimpulan
Dari setiap paparan yang telah ulama’ jelaskan dalam
kitab-kitab mereka, terma ahli kitab adalah komunitas orang-orang Yahudi dan Nashrani.
Mereka yang kafir karena telah berani mengubah ayat-ayat Allah sedangkan nabi
telah diutus ditengah mereka. Didalam komunitas Yahudi tidak ada bedanya antara
yang berpegang pada Talmud maupun Torah begitu halnya Nashrani dengan berbagai
macam firoqnya.
Mereka tetaplah kafir akan tetapi sembelihan mereka
tetap halal bagi kaum muslimin. Kecuali jika benar-benar nampak bahwa mereka
menyembelih untuk selain Allah. Wanita mereka tetap halal untuk dinikahi, akan
tetapi sebagai bentuk kehati-hatian sahabat Umar memisahkan para sahabat nabi
dari istri mereka yang berstatus ahlu kitab, karena syarat yang tertera dalam
surat al-Maidah ayat 5 adalah Muhshonaat (menjaga kehormatan).[36]
Mereka menyandang gelar kafir. Dan akan masuk neraka.
Kecuali mereka beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad serta ajaran yang dibawa
olehnya.
F. Daftar
pustaka
1. Al-Qurthubi, 1984, al-Jami Li ahkami
al-Qur’an, Mesir, Daar al-Kutub al-Ilmiyyah.
2. Asy-Syaukani, ___, Fathul Qadir, Beirut,
Daaral-Ma’rifah.
3. Ali bin Naif asy-Syahud, ___, Khulashoh fie
Ahkami Ahli Dzimmah, tanpa kota dan penerbit.
4. Muhammad al-Amin Asy-Syinqithi, 1995 M-1415
H, Adhwa’ul bayan, Beirut, Daar al-Fikri.
5. Imaduddin Abi al-Fida’ Isma’il Ibnu Katsir,
1999, Tafsir al-Qur’an al-Azim, ____, Daar al-Thayyibah.
6. Ibnu Qudamah, 1992, Al-Mughni, Mesir,
Hajara.
7. Abu Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin
al-mughirah al-ju’fi al-Bukhari, 1422 H, al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih
al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah Shallallahu ‘alaihissalaama wa sunanihi wa
Ayyamihi, _____, Daar Thauq al-Najah.
8. Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad
al-Qurthubi, 1384 H-1964 M, al-Jami’ Li Ahkami al-Qur’an, Mesir, Daar al-Kutub al-Mishriyyah, pentahqiq :
Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Athfasy
9. Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah (tanpa
Tahun dan Kota)
10. Ibnu Taymiyyah, ______, Majmu’ Fatawa,
_____,Daar al-Wafa’
[1] Abu Ja’far al-Thabary, Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (hal, 1. Vol.1
daar al-Hijr, Tahqiq : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)
[2] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurthuby, al-Jami’ Li Ahkami
al-Qur’an (hal,1 vol.1 daar al-Kutub al-Mishriyyah, cet.ke-2)
[5] Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi (hal,20, vol.14 Daar
ihya al-Turats al-Arabi)
[7] khulashoh
fi ahkami ahli Dzimmah( 1/237).
[9]
SejarahBangsaYahudi_ISLAMdanBlogAkuISLAM.html
[16] Ali bin Nayif al-Syahud,Khulashoh fi ahkami ahli Dzimmah (1/237), lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (hal 48 vol 3)
[17] Abu
Ja’far al-Thabari, Tafsir al-Thabari (hal 584, vol.18 Muasasah al-Risalah.
Cet.ke-1), lihat juga Syamsuddin al-Qurthubi, tafsir al-Qurthubi
(hal 3725, vol. 1, versi maktabah Syameela)
[18] Ibnu ‘Athiyyah al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajiz fi al-Tafsir al-Kitab al-‘Aziz
(Lebanon, daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993 M, cet ke-1) 3/25
[21]
Al-Syinqiti, Adhwa’ul bayan (9/49, darul
fikri)
[22]
Syinqithi, Adhwa’ul Bayan (hal78 vol.4. daar al-FIkri)
[23] Abu
Hamid al-Ghazali, Fayshol al-Tafriqoh baina al-Islam wa al-Zindiqoh (
[26]
Ibnu Katsir, Tafsir al-qur’anul Adzim (3/40)
[27] Muhammad bin Idris, al-Umm (hal,272 vol.4 cet. daar al-Ma’rifat,
Beirut), lihat juga Muhammad ‘Alisy, manhul Jalil syarhu ala mukhtashor sayyid
al-Jalil, (hal 414. Vol.2 daar al-Fikri), dan Zainuddin bin Najim al-Hanafie
w.970, al-Bahru al-Ra’iq syarhu kanzu al-Daqa’iq (hal, 193. Vol.8 daar
al-Ma’rifah)
[28] Ibnu Jarir al-Thabary, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Qur’an (Muassasah
al-Risalah, 2000 M, cet. Ke-1) 9/585
[31] Abu Umar Yusuf bin Abdullah
al-Namiri al-Qurthuby w.463 H, al-Kaafi fi fiqhi ahli madinah al-Maliky
(Riyadh-maktabah al-Riyadh cet.ke-2)2/543
[32] Ibnu
Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim 1/582
[34]
Ibid
[35] Muhammad
bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi (hal,20, vol.14 Daar ihya al-Turats
al-Arabi)
[36] Juga pendapat Ibnu Umar mengenai nikah dengan Ahlu kitab. Ibnu
Taimiyyah, Majmu’ fatawa (
hal 92, vol. 14. Daarul wafa’ cet. Ke-3)