Oleh : Tyo el-Bungry
Dalam menjalani kehidupannya manusia tidak
terlepas dari dua hal, yaitu kebahagiaan dan kesedihan. Ibarat dua sisi mata
uang yang tidak mungkin dipisahkan, kehidupan manusia selalu diwarnai dengan
kebahagiaan dan kesedihan yang datang silih berganti. Terlebih bagi kaum
Muslimin, kebahagiaan dan kesedihan adalah ujian yang diberikan oleh Allah Ta’ala
kepada hamba-Nya guna mengukur kadar keimanan masing-masing, sebagaimana
firman-Nya, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut :2-3)
Namun acapkali
manusia terlena dan lupa untuk bersyukur atas kebahagiaan yang telah Allah Ta’ala
beriakan kepadanya. Atau tatkala ia diberi ujian berupa kesedihan, ia
menyalahkan dan menganggap Allah Ta’ala telah berbuat tidak adil
kepadanya. Na’udzubillah!
Lalu apa yang harus kita
lakukan tatkala musibah menimpa kita? Ada beberapa langkah yang dapat kita
tempuh agar kita sukses melewati musibah dan musibah menjadi rahmat yang akan
meninggikan derajat kita:
Pertama, apabila ditimpa musibah mengucapkan Inna Lillahi wa
Inna Ilaihi Raji’un (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya
kepada-Nya lah kami akan kembali), namun tidak hanya sekadar diucapkan di
lisan saja tapi juga harus memahami maknanya dan mengamalkan konsekuensi dari
ucapan tersebut.
Disebutkan bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah seorang
hamba yang ditimpa musibah, lalu mengucapkan : Innâ Lillahi wa Innâ Ilaihi
Raji'un, Allahumma ajurni fi mushibati wa akhlif li khoiron minha (sesungguhnya
kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya lah kami akan kembali, ya Allah,
berilah ganjaran dalam musibahku ini dan berilah ganti kepadaku dengan yang
lebih baik darinya), niscaya Allah akan memberi ganjaran pada musibahnya, dan
akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya.
Setelah kita memahami
bahwa sejatinya kita dan apa yang kita miliki adalah pemberian serta amanah
yang diberikan oleh Allah, dan akan kembali kepada-Nya. Maka
seorang hamba akan lebih berlapang dada dan bersabar ketika musibah menimpanya.
Kedua, mengetahui
dan meyakini akan takdir Allah Ta’ala, baik takdir yang baik atau takdir
yang buruk. Seorang hamba akan merasa ringan melalui ujian manakala ia faham
bahwa yang terjadi di muka bumi ini adalah takdir dari Allah Ta’ala, sebagaimana
firman-Nya,
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi
dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri “(QS. Al-hadid : 22-23)
Di dalam ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa
Allah telah menetapkan takdir atas segala sesuatu. Dan dengan memahaminya
semoga para hamba akan menerima dan tidak bersedih atas segala yang menimpa
atau hilang darinya, serta tidak terlalu gembira terhadap pemberian Allah yang
diberikan kepadanya.
Aisyah Radhiallahu ‘Anha bertanya kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang Tha’un, lalu beliau
bersabda,
كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللَّهُ
رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ مَا مِنْ عَبْدٍ يَكُونُ فِي بَلَدٍ يَكُونُ فِيهِ
وَيَمْكُثُ فِيهِ لَا يَخْرُجُ مِنْ الْبَلَدِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ
أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ
أَجْرِ شَهِيدٍ
“Tho'un
itu adalah sebagai azab yang dikirim Allah kepada siapa- siapa yang
dikehendaki-Nya, maka dijadikan-Nya tho'un itu sebagai rahmat bagi orang-orang
yang beriman. Maka seorang hamba yang terkena tho'un, lalu ia tetap tinggal di
negerinya dengan sabar dan mengharap ganjaran dari Allah, dia mengetahui
bahwasanya musibah yang menimpanya itu sudah Allah takdirkan untuknya. Maka,
pasti dia mendapat ganjaran seperti ganjaran orang yang mati syahid” (HR.
al-Bukhari no.
6619)
Dari hadits ini dapat kita simpulkan bahwa
ketika seorang hamba tertimpa musibah, lalu ia bersabar dan mengharapkan pahala
dari Allah Ta’ala serta mengetahui bahwa ini adalah ketetapan yang telah
Allah berikan kepadanya, maka ia akan mendapatkan pahala
yang besar.
Ketiga, ketika tertimpa musibah, hendaknya kita menengok dan
meneladani orang lain yang tertimpa musibah sama seperti kita, sehingga kita
akan melaluinya dengan tenang dan ringan. Sebab dengan melihat orang lain, kita
akan mengetahui bahwa tidak hanya kita saja yang sedang tertimpa musibah,
bahkan tidak sedikit dari mereka yang tertimpa musibah lebih berat dari kita.
Ibnu Qayyim Rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya kalau manusia memeriksa seluruh penduduk bumi, yang dia
lihat adalah orang-orang yang tertimpa musibah. Berpaling
ke kiri dan ke kanan tidaklah terlepas dari orang-orang yang tertimpa musibah.”
Terkadang penderitaan yang
dirasakan sendiri akan terasa lebih berat, tapi jika ada orang lain yang
menderita dengan penderitaan yang sama atau bahkan lebih berat dari dirinya, ia
akan merasakan keringanan dalam menjalani musibah tersebut.
Keempat, meyakini bahwa cobaan yang kita terima, jika dilalui
dengan sabar dan ridha atas musibah yang menimpa, Allah akan menggantinya
dengan yang lebih baik. Bahkan musibah yang menimpa kita dapat menghapuskan
dosa-dosa dan menyucikan jiwa-jiwa kita, dan bagi yang bersabar akan
mendapatkan shalawat, rahmat, dan hidayah dari Allah Ta’ala. Ini
sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam surah al-Baqarah ayat 157,
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ
صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُون
“Merekalah
(orang-orang yang bersabar) yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Rab mereka,
dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”
Dalam tafsir al-Qurthubi disebutkan bahwa ini
adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada orang-orang yang bersabar, shalawat
kepada hambanya adalah mengampuninya, merahmatinya, memberkahinya, dan
memuliakannya di dunia dan akhirat. Az-Zujaj berkata, “Shalawat dari Allah Ta’ala
adalah ampunan dan sanjungan kebaikan.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
ما يصيب
المسلم من نصب ولا وصب ولا هم ولا حزن ولا أذى ولا غم حتى الشوكة يشاكها إلا كفر
الله بها من خطاياه.
“Tidaklah seorang muslim tertimpa oleh
keletihan, penyakit yang terus menerus, kesusahan, kesedihan, gangguan,
kegundahdulanaan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus
sebagian dari kesalahan-kesalahannya.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Seberapa berat ujian yang kita hadapi, jika
dihadapi dengan kesabaran dan kerelaan akan bernilai pahala bagi kita.
Kelima, yakin
bahwa apa yang menimpa kita adalah yang terbaik bagi kita. Sebab Allah
mengetahui apa yang dibutuhkan oleh hamba-Nya bukan yang diinginkan oleh
hamba-Nya. Dengan mengetahuinya, maka kita akan yakin bahwa Allah sedang
merencanakan skenario yang pas dan cocok bagi hamba-Nya. Ini sebagaimana
firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 216, “…Boleh jadi engkau membenci
sesuatu, padahal itu adalah yang terbaik bagimu, dan boleh jadi engkau menyukai
sesuatu, padahal itu adalah buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan engkau
tidak mengetahui.”
Terkadang kita tidak menerima atas apa yang
telah Allah berikan kepada kita, kita justru menuntut agar Allah mengabulkan
apa yang kita inginkan, padahal belum tentu yang kita dapat adalah hal yang
buruk. Maka sudah semestinya seorang hamba untuk mengedepankan husnudzan kepada
Allah, dan meyakini bahwa yang diberikan adalah yang terbaik baginya.
Keenam, meng-intropeksi
diri kita. Sebab segala yang menimpa seorang hamba adalah buah dari
perilakunya. Mulai dari maksiat yang ia tidak tinggalkan, dosa yang ia
remehkan, atau bahkan kedzaliman yang ia lakukan, keseluruhannya adalah salah
satu dari sekian sebab yang menyebabkan Allah menurunkan musibah kepada
hambanya, sebagai pengingat agar ia kembali kepada jalan yang benar.
Allah Ta’ala berfirman, “Apa saja
nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul
kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. An-Nisa’ :
79)
Dari keseluruhan ini apabila seorang hamba
mampu memenuhinya dan melakukannya dalam kehidupan sehari-harinya, terlebih
dalam kondisi tertimpa musibah. Insya’a Allah ia akan melalui ujian itu
dengan sabar dan mudah.
Wallahu A’lam