Oleh : Six’s A²MH
Ø Pendahuluan
Menjadi pemeluk agama dengan jumlah
mayoritas di suatu negeri nampaknya bukanlah satu-satunya faktor untuk
menjadikan kaum muslimin bersatu, dan itulah yang dialami oleh kaum muslimin di
Indonesia yang jumlahnya mencapai 80 persen dari total penduduk Indonesia. Hal
ini disebabkan ada beberapa persoalan yang dianggap menjadi titik tolak yang
sangat berpotensi menimbulkan perpecahan dan disharmonisasi antar kaum
muslimin. Mengingat, walaupun telah diselenggarakan berbagai upaya untuk
mencari titik temu, namun nampaknya hal demikian masih belum membawa hasil yang
signifikan, walau tidak mengarah kepada taraf yang semakin parah. Salah satu
persoalan dan termasuk yang sering mengemuka adalah mengenai budaya tahlilan.
Sebenarnya apakah tahlilan itu
dilarang dalam Islam? Sehingga pihak yang mewakili dari kubu kontra tahlilan
sangat menghujat hal ini. Sematan bid’ah bahkan syirik kerap terdengar dalam
event-event kajian yang membahas materi ini. Atau apakah memang sebenarnya
perkara tahlilan ini ada dasarnya, sehingga pihak yang mewakili kubu pecinta
tahlilan mati-matian membela dan melestarikan budaya yang satu ini. Di sini
seorang muslim yang bijak, yang memahami skala prioritas dalam berdakwah dan
mengedepankan persatuan ummat, harus mengetahui secara detail permasalahannya
agar ia dapat mendudukkan perkara yang satu ini dengan pandangan proposional
dan bermanfaat untuk persatuan ummat, tentu dengan tetap menjaga
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab perlu
untuk kita fahami bersama bahwa dalam agama Islam itu ada perkara yang sifatnya
tsawabit (tetap) dan ada pula yang sifatnya mutaghayyirat (dapat
berubah). Dan masing-masing dari keduanya memiliki konsekuensi yang harus
difahami dan dipraktekkan secara bersama.
Memandang pentingnya bagi kaum
muslimin terkhusus para da’inya untuk memahami masalah ini dengan detail, kami
selaku tim yang mendapat amanah untuk membahas masalah ini berusaha semaksimal
mungkin untuk menghadirkan kepada segenap pembaca, pembahasan tentang hakikat
tahlilan baik dari perspektif pihak yang pro maupun yang kontra terhadap
tahlilan. Dengan mengemukakan dalil dan hujjah masing-masing pihak, kemudian
diakhiri dengan solusi yang kami anggap sesuai dengan pertimbangan fiqh
awlawiyat, maslahat dan madharat, juga maqashidus syariah. Dengan harapan agar
lebih banyak mendatangkan manfaat untuk ummat.
Walaupun kami telah berusaha semampu
kami, kami yakin karya tulis yang kami susun masih memerlukan perbaikan dan
penyempurnaan untuk menjadi yang lebih baik. Oleh karena itu, atas kerja sama
yang dilakukan oleh para pembaca dan kaum muslimin semuanya demi proses
perbaikan karya tulis ini kami ucapkan terimakaih dan jazakumullah khairan katsira. Dan kami
berharap semoga Allah Ta’ala membimbing kita menuju jalan yang
diridhai-Nya dan menyatuka hati kaum muslimin semuanya. Amin!
Asal-usul tahlilan
Sebenarnya ritual tahlilan merupakan
budaya agama Hindu, Budha dan Animisme yang
diadopsi oleh para da’i generasi awal di bumi Nusantara ini, yaitu Wali
Songo. Menurut ajaran Hindu, apabila seseorang meninggal dunia, maka ruhnya
akan datang kembali ke rumahnya pada malam hari untuk mengunjungi keluarganya.
Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul dan mengadakan sesaji,
seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap ruh-ruh ghaib, maka ruh orang
yang mati tadi akan marah dan merasuki jasad orang yang masih hidup dari
keluarga si mayit. Maka untuk itu, sepanjang malam para tetangga dan
kawan-kawannya tidak tidur, demi membaca mantra-mantra atau sekadar
berkumpul-kumpul saja. Hal ini dilakukan pada malam pertama kematian,
selanjutnya malam ketiga, ketujuh, keseratus, satu tahun, dua tahun dan malam
keseribu.
Setelah orang-orang yang mempunyai
kepercayaan tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara
tersebut. Sebagai langkah awal para da’i terdahulu, mereka tidak
memberantasnya, akan tetapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan
Budha menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji digantikan dengan nasi dan
lauk-pauk untuk sedekah. Lalu mantera-mantera digantikan dengan dzikir, do’a
dan bacaan-bacaan al-Qur’an.[1]
Upacara semacam ini kemudian dinamakan dengan tahlilan yang sekarang telah
membudaya pada sebagian besar masyarakat muslim Indonesia.
Sebenarnya hal ini sejak dahulu
sudah menjadi polemik di kalangan para wali antara yang setuju memakai cara
seperti itu dengan yang tidak, hal ini dapat kita simak dalam percakapan antara
sunan Ampel selaku Wali Songo yang tidak setuju dengan ritual tahlilan dengan
sunan Kalijogo selaku yang memprakarsai ritual tahlilan. Sunan Ampel
mengingatkan sunan Kalijogo, “Jangan diteruskan perbuatan semacam itu, karena
termasuk bid’ah.” Sunan kalijogo menjawab, “Biarlah nanti generasi setelah
kita, ketika Islam telah tertancap dengan kuat di dalam hati masyarakat yang
akan menghilangkan budaya tahlilan itu.” Kisah ini masih tertulis dalam sebuah
buku mengenai Islam di Indonesia yang tersimpan di sebuah Museum Leiden di
Belanda dengan judul “Het Book van Mbonang”.[2]
Ø Definisi
Tahlilan
Dari segi
bahasa tahlilan berasal dari kata هلل yang
berarti mengucapkan لا إله
إلا الله.[3] Laits berkata, “Yang dimaksud dengan التَّهْليل adalah ucapan لَا إِله إِلا اللَّهُ. [4]Dalam
KBBI tahlilan berarti pembacaan
ayat-ayat suci Al-Quran untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi arwah orang
yang telah meninggal.[5]
Adapun dari
segi istilahi, tahlilan adalah rangkaian bacaaan yang terdiri dari berbagai
dzikir seperti tahmid, tasbih, tahlil, serta ayat-ayat Al-Quran dan do’a.[6]
Maka kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa tahlilan adalah untaian dzikir seperti tahmid,
tasbih, tahlil, dan disertai dengan ayat-ayat Al-Quran dan do’a-do’a yang akan
dihantarkan kepada mayit agar si mayit mendapatkan rahmat dan ampunan dari
Allah Ta’ala.
Ø Khilaf Ulama
Terkait Penghadiahan Pahala
Ulama berbeda pendapat dalam menanggapi masalah sampai tidaknya
pahala dari amalan yang diniatkan untuk orang lain. Untuk lebih jelasnya akan
kami paparkan ulasan dari para ulama berkenaan dengan hal ini.
Dalam madzhab Syafi’i, Imam Syafi’i Rahimahullah menyatakan
bahwa seseorang tidak bisa menerima pahala bacaan Al-Quran yang diniatkan untuk
diberikan kepadnya. Dengan dalil QS. An-Najm ayat 39,
وأن
ليس للإنسان إلا ما سعى
“Dan sungguh seorang manusia tidak memiliki hak selain dari amal
yang telah ia usahakan.”
Dari sinilah Imam Syafi’I Rahimahullah dan para pengikutnya
menyimpulkan bahwa bacaan yang pahalanya diberikan kepada sang mayit tidak
dapat sampai, sebab bacaan tersebut bukanlah hasil dari amalan mereka (mayit).[7]
Namun dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Quran disebutkan
dengan bersandar pada perkataan ar-Rabi’
bin Anas, “Ayat tersebut ditujukan untuk orang kafir. Adapun bagi seorang
mukmin, maka ia bisa mendapat dari apa yang diusahakannya dan dari usaha orang
lain yang diberikan kepadanya.” Lalu al-Qurthubi menambahi, “Banyak hadits yang
menerangkan akan hal ini, dan seorang mukmin ia dapat mendapatkan pahala dari
amal saleh orang lain.” [8]
Dan sebagian ulama yang menolak berlandaskan dengan dalil dari
hadits,
اِذَا
مَاتَ اْلاِنْسَـان اِنـْقـَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : صَدَقَـةٍ
جَارِيَةٍ ، اَوْعِلْمٍ يـُنـْتـَفَعُ بـِهِ ، أُوْوَلـَدٍ صَالحٍ يـَدْعُـوْلَه
“Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali
tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang
bermanfaat sesudahnya” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)
Dalam hal ini menjadi dalil bahwa shaum, shalat, dan seluruh amalan
badan tidak bisa diwakilkan dengan orang lain. Dan juga dengan ini dijadikan
dalil bagi yang berpendapat bahwa orang yang berhaji untuk mayit, sejatinya
haji yang ia laksanakan adalah untuk dirinya bukan untuk orang yang diniati,
adapun jika disusul dengan do’a maka bagi si mayit adalah pahala sebab harta,
yakni apabila harta yang dikeluarkan untuk berhaji adalah harta si mayit.[9]
Adapun pandangan ulama madzhab Maliki dalam hal ini adalah sebagai
berikut, termaktub di dalam buku Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil,
وَالْمَشْهُورُ
مِنْ مَذْهَبِ إمَامِنَا الشَّافِعِيِّ وَشَيْخِهِ مَالِكٍ وَالْأَكْثَرِينَ كَمَا
قَالَهُ النَّوَوِيُّ فِي فَتَاوِيهِ وَفِي شَرْحِ مُسْلِمٍ أَنَّهُ لَا يَصِلُ
ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ لِلْمَيِّتِ قَالَ بَعْضُ الْمُفْتِينَ: فَإِهْدَاءُ مَنْ
لَا يَعْتَقِدُ الْوُصُولَ عَبَثٌ مَكْرُوهٌ
“Yang masyhur di dalam madzhab Imam kita Asy-Syafi’i dan gurunya
Imam Malik dan yang lainnya, dan ini sebagaimana yang diungkapkan Imam
an-Nawawi dalam fatwanya dan di dalam Syarh Shahih Muslim, bahwa pahala bacaan
tidak dapat sampai kepada si mayit. Sebagian mufti berpendapat, “Menghadiahkan
bagi orang yang tidak meyakini akan sampainya pahala adalah makruh.”
Namun di akhir penjelasan disebutkan bahwa hal ini apabila pembaca
meniatkan bacaannya untuk si mayit, adapun jika ingin bermanfaat adalah pembaca
berdoa setelah membaca agar pahala menjadi milik mayit.[10]
Akan tetapi di dalam Nawazil milik Ibnu Rusyd menyebutkan,
فِي
السؤال عَنْ قَوْله تَعَالَى {وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى} [النجم:
39] قَالَ وَإِنْ قَرَأَ الرَّجُلُ وَأَهْدَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ
لِلْمَيِّتِ جَازَ ذَلِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ أَجْرُهُ
Ibnu Rusyd dalam menjawab pertanyaan tentang firman Allah Ta’ala
di dalam surat an-Najm ayat 39, beliau menjawab, “Apabila seseorang membaca
Al-Quran lalu menghadiahkan pahala bacaannya untuk si mayit, maka hal ini
diperbolehkan dan pahala dapat sampai kepada si mayit.”[11]
Sedangkan untuk ulama Hanabilah menilai bahwa semua pahala ibadah
yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai kepadanya tanpa mempertimbangkan
apakah disusul dengan doa atau tidak.
Imam Ahmad Rahimahullah berkomentar Tentang hadits berkaitan
dengan sahabat Amru bin al-‘Ash, bahwa ayahnya bernadzar untuk menyembelih
seratus ekor unta, lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
kepadanya, “Jika ayahmu telah mengucapkan kalimat tauhid (masuk Islam), maka
puasanya dirimu untuknya atau sedekahnya kamu atasnya akan bermanfaat baginya.”
قال
أحمد: الميت يصل إليه كل شيء من الخير للنصوص الواردة فيه
Lalu Imam Ahmad Rahimahullah berkata, “Mayit akan mendapat
setiap kebaikan yang diberkan kepadanya, karena adanya nash-nash yang
menjelaskan akan hal itu.”[12]
Ibnu al-Qayyim Rahimahullah berkata,
من
صلى أو صام أو تصدق وجعل ثوابه لغيره من الأموات والأحياء جاز ويصل ثوابها إليهم
عند أهل السنة والجماعة
“Barang siapa yang shalat, shaum, atau bersedekah, lalu pahalanya
diniatkan untuk selainnya (baik untuk yang telah meninggal atau yang masih
hidup), maka ini diperbolehkan dan
pahala tetap bisa sampai kepada mereka, ini adalah menurut Ahlussunnah wal
jama’ah.”[13]
Ibnu Qudamah Rahimahullah menjelaskan,
وَأَيُّ
قُرْبَةٍ فَعَلَهَا، وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ، نَفَعَهُ
ذَلِكَ، إنْ شَاءَ اللَّهُ، أَمَّا الدُّعَاءُ، وَالِاسْتِغْفَارُ، وَالصَّدَقَةُ،
وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ، فَلَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا، إذَا كَانَتْ
الْوَاجِبَاتُ مِمَّا يَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ
“Setiap ibadah yang dilakukan seseorang dan pahalanya ia niatkan
untuk si mayit yang muslim, maka akan bermanfaat bagi si mayit, Insya’a Allah!
Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban-kewajiban, maka aku
tidak mengetahui akan adanya khilaf ulama jika kewajiban-kewajiban tersebut
adalah ibadah-ibadah yang bisa diwakilkan (digantikan) dengan orang lain.”[14]
Adapun pendapat dari kalangan madzhab Hanafi terkait penghadiahan
pahala tertulis di dalam buku Fiqh al-‘Ibadat ‘ala al-Madzhab al-Hanafi,
يصح مطلقاً أن يعمل الإنسان ويتعبد ويهب الثواب لغيره، فيكون الثواب
له ولغيره، سواء نوى العمل أو نواه لنفسه ثم وهبه .وخالف المعتزلة مستدلين بقوله
تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} . وأجيب بأن هذا النص خاص فيما إذا لم يهبه،
فإذا تبرع صاحب العمل فوهبه يصل ثوابه سواء كان الموهوب له حياً أو ميتاً.
“Sah secara mutlak jika seseorang beramal atau beribadah, lalu
menghadiahkan pahala untuk orang lain, maka pahala menjadi miliknya dan milik
orang lain, baik itu diniatkan untuk orang lain atau niat untuk dirinya lalu
dihadiahkan. Namun Mu’tazilah berbeda pendapat dengan dalil firman Allah “Dan
sungguh seorang manusia tidak memiliki hak selain dari amal yang telah ia
usahakan.” . QS. An-Najm : 39. Maka jawaban atas itu adalah bahwa ayat ini
khusus jika setelah amal tidak dibarengi dengan menghadiahkannya, namun jika
pelaksana amalan mendermakan amalannya (pahalanya), maka pahalanya akan dapat
sampai, baik yang diberi itu orang yang masih hidup atau telah meninggal .”[15]
Adapun Ibnu Taimiyyah saat menjawab pertanyaan, apakah bacaan
keluarga mayit dapat sampai kepadanya? Beliau menjawab,
يصل
إلى الميت قراءة أهله وتسبيحهم وتكبيرهم وسائر ذكرهم لله تعالى إذا أهدوه إلى
الميت وصل إليه والله أعلم.
“Bacaan Al-Quran, tasbih, takbir, dan segala macam dzikir yang
ditujukan kepada Allah dapat sampai kepada mayit jika keluarga menghadiahkannya
kepada mayit maka akan sampai kepadanya, Wallahu A’lam.”
Lalu ketika beliau ditanya tentang pandangan madzhab Syafi’i akan
hal ini, beliau menjawab,
أما
وصول ثواب العبادات البدنية: كالقراءة والصلاة والصوم فمذهب أحمد وأبي حنيفة
وطائفة من أصحاب مالك والشافعي إلى أنها تصل وذهب أكثر أصحاب مالك والشافعي إلى
أنها لا تصل والله أعلم.
“Adapun sampainya pahala ibadah badaniyyah seperti membaca
Al-Quran, shalat, dan shaum, maka menurut madzhab Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan
sebagian pengikut Imam Malik dan Syafi’i menyatakan bahwa pahala dapat sampai
kepada mayit. Sedangkan mayoritas dari Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat
bahwa pahala tidak dapat sampai, Wallahu A’lam.” [16]
Dari sini dapat
disimpulkan bahwa para ulama terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama
adalah yang membolehkan dan menganggap bahwa pahala dapat sampai, yakni para
pengikut madzhab Hanafi, Hanbali, dan sebagian pengikut Imam Malik dan Syafi’i,
adapun ulama yang menolaknya yaitu dengan dalil firman Allah Ta’ala
surat an-Najm 39 adalah mayoritas dari pengikut madzhab Syafi’i dan Maliki.
Sebenarnya perbedaan ini terjadi pada ibadah yang diniatkan untuk seseorang
tanpa ada embel-embel setelah ibadah dilakukan, adapun jika setelah ibadah lalu
dilanjutkan dengan doa agar pahala dapat dinikmati oleh orang lain, maka ini
dibolehkan dan pahala dapat dinikmati Insya’a Allah!
[1] H.
Mahrus Ali, Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsah dan Ziarah Para
Wali. (Surabaya : La Tasyuk, Desember 2007)
[4]
Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Bairut : Daar Shadir, cetakan ke-3),
versi al-Maktabah asy-Syamilah.
[6] FKI
(Forum Karya Ilmiah) TAHTA, Menjawab Vonis Bid’ah, (Kediri : Pustaka
Gerbang Lama, 2014), hlm. 29
[7] Abu
al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi, Tafsir Ibnu Katsir
(Bairut : Daar Thaibah, 1999), vol. 7, hlm. 465
[8] Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi
, Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (Kairo : Daar al-Kutub al-Mishriyyah,
1964), vol. 17, hlm. 114
[9] Abu
Sulaiman Hamdu bin Muhammad bin Ibrahim al-Khithabi, Mu’alim as-Sunan Syarh
Sunan Abi Dawud (Halb : al-Muthba’ah al-‘Ilmiyyah, 1932), vol. 4, hlm. 89
[10]
Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Maghribi al-Maliki, Mawahib
al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil (Kairo : Daar al-Fikr, 1992), vol. 2,
hlm. 545
[11]
Muhammad bin Ahmad bin ‘Irfah ad-Dasuqi al-Maliki, Hasyiyyah ad-Dasuqi ‘ala
asy-Syarh al-Kabir (Kairo : Daar al-Fikr), vol. 1, hlm. 423
[12]
Abdurrahman bin Muhammad bin Qashim al-‘Ashimi al-Hanbali, Al-Ihkam Syarh Ushul al-Ahkam (cetakan
ke-2 tahun 1406 H), vol. 2, hlm. 96
[14]
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin
Qudamah al-Hanbali, al-Mughni li Ibnu Qudamah (Kairo : Maktabah
al-Qahirah), vol. 2, hlm. 423
[15]
al-Hajah Najah al-Halbi, Fiqh al-‘Ibadat ‘ala al-Madzhab al-Hanafi, vol.
1, hlm. 198, versi al-Maktabah asy-Syamilah
[16]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Madinah : Mujma’ al-Muluk li Thaba’ah,
1995), vol. 24, hlm. 423