Oleh: Tyo el-Bungry
Pendahulu
Alhamdulillah wa shalatu wa salam
ala Musthafa Shalallahu Alaihi wa Sallam, segala puji hanya milik Allah Ta’ala yang telah melimpahkan
segala nikmat kepada hambanya, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada nabi kita, Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam serta kepada
para keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti
sunnahnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.
Di dalam agama Islam terdapat banyak sekali
perintah dan larangan, umat Muslimin yang beragama Islam dituntut untuk
melaksanakan semua yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan kemampuan
maksimalnya. Begitu juga dalam menjauhi segala macam larangannya, kaum Muslimin
harus secara totalitas menjauhi semua yang telah Allah dan Rasul-Nya larangan.
Namun, di dalam hukum-hukum tersebut masih terdapat keringanan yang Allah
berikan kepada hamba-Nya. Seperti bolehnya seseorang memakan bangkai jika dalam
kondisi sangat lapar dan tidak ada makanan lain selain bangkai tersebut, di
dalam istilah syar’i hukum yang mendapat keringanan disebut dengan rukhshah.
Rukhshah berguna untuk menjadikan agama ini
mudah, sehingga pada hukum-hukum syar’i yang sulit untuk dilakukan atau bahkan
sampai dapat membahayakan nyawa seorang hamba bisa menjadi berubah hukum dari
yang hukum asalnya haram dapat berubah menjadi boleh atau dari yang wajib
dilaksanakan berubah menjadi tidak wajib.
Maka pantaslah agama Islam ini disebut dengan
agama yang mudah. Tapi ternyata masih ada dari kalangan kaum Muslimin yang
belum mengerti atau belum memahami akan hakekat dari rukhshah, sehingga mereka menganggap
salah orang-orang yang melakukan ibadah yang di dalamnya terdapat rukhshah.
Atau malah mereka yang memahami akan perihal rukhshah, lalu mereka melakukan
tindakan yang salah. Mereka berupaya mencari celah di dalam ibadah sehingga
bisa dikatakan mendapat rukhshah, atau mereka justru terlalu menggampangkan
rukhshah, sehingga mengambil segala macam rukhshah yang ada.
Dari sinilah latarbelakang pembuatan makalah
ini, penulis mencoba memaparkan hal-hal yang berkenaan dengan rukhshah, mulai
dari definisinya, pembagiannya, sebab-sebab yang menyebabkan mendapat rukhshah,
dan apakah semua rukhshah harus diambil?
Maka dengan tulisan ini penulis berharap akan
dapat memberikan pengetahuan yang sempat asing di tengah-tengah masyarakat dan
membenarkan pemahaman yang sempat keliru di tengah-tengan masyarakat.
Definisi
Secara etimologi, rukhshah ada yang mengartikan dengan sesuatu yang halus
dan lembut,[1]ada
juga yang mengartikan dengan hal yang mudah
dan gampang[2].
Dikatakan rakhusha as-si’ru jika barang
tersebut mudah untuk dibeli.[3]
Sedangkan secara terminology, rukhshah memiliki beberapa definisi.
Sebagian ulama mendifinisikan
rukhshah dengan sesuatu yang boleh dikerjakan sedangkan pada dasarnya adalah
haram.
Al-Amidi berkomentar bahwa definisi
yang seperti ini kontradiktif. Sebab bagaimana mungkin sesuatu itu mendapat
rukhshah dengan tetapnya hokum akan keharamannya.[4]
Ada juga yang
mendefinisikan dengan sesuatu yang boleh dikerjakan disebabkan adanya udzur,
bersamaan dengan tetapnya sabab keharamannya.
Al-Amidi juga
mengomentari definisi ini, ia menganggap definisi ini tidak jami’ atau belum sempurna. Sebab rukhshah terkadang berupa melakukan sesuatu
dan terkadang meninggalkan sesuatu, seperti gugurnya shaum Ramadhan bagi orang
yang bersafar.
Maka al-Amidi
mencoba mengubah definisi ini dengan ungkapannya, “Seharusnya dikatakan, rukhshah
adalah sesuatu yang disyariatkan berupa hukum-hukum karena uzur, hingga akhir
definisi. Sehingga mencakup segala peniadaan atau meninggalkan dan juga
mencakup penetapan atau mengerjakan. [5]
Sedangkan al-Isnawi
mendifinisikan rukhshah dengan,
الحكم الثابت على خلاف الدليل لعذر
“Hukum yang telah ditetapkan dengan membedakan
dalil syar’i, disebabkan karena adanya uzur”[6]
Dalil Akan Adanya Keringanan
Dari al-Qur’an
...يُرِيدُ
اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر ...َ
“...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu...” {QS.
Al-Baqarah: 185}
...لاَ
يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
...
“...Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya...” {QS. Al-Baqarah: 286}
رَبَّنَا
وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا
رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ
“Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami
apa yang tak sanggup kami memikulnya.” {Qs. Al-Baqarah: 286}
يُرِيدُ
اللّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً
“Allah hendak memberikan
keringanan kepadamu , dan manusia dijadikan bersifat lemah.” {QS. An-Nisa’: 28}
مَا
يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ
“Allah tidak hendak
menyulitkan kamu.” {QS.
Al-Ma’idah:
6}
وَيَضَعُ
عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
“Dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” {QS. Al-Ma’idah:
6}
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” {QS. Al-Hajj: 78}
Dari as-Sunnah
الدين
يسر أحب الدين الى الله الجنيفية السمحة
“Agama itu adalah mudah,
agama yang disenangi Allah adalah agama yang mudah dan benar.” {HR. Al-Bukhari}
يسروا
ولا تعسروا
“Mudahkanlah dan jangan
mempersukar.” {HR. Al-Bukhari}
Sebab-sebab Adanya Keringanan
Ada beberapa sebab yang memungkinkan seorang
hamba mendapat keringanan, di antaranya:
Safar (berpergian), di dalam bepergian kita boleh
meng-qhasar shalat yang awalnya empat rakaat menjadi dua rakaat dan boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala, “...Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (QS. Al-Baqarah: 185)
Sakit, sebab yang kedua adalah sakit, dalam keadaan sakit seorang boleh shalat
dengan duduk, boleh bertayammum sebagai ganti wudhu walaupun air melimpah,
tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, dan sebagainya.
Terpaksa, di dalam keadaan terpaksa seseorang boleh memakan
makanan yang haram, bahkan boleh mengucapkan kata-kata kekafiran atau berbuat
perbutan kekafiran jika nyawanya terancam. Maka ia boleh melakukannya sebab
terpaksa.
Lupa, lupa adalah fitrah manusia, tak ada yang bisa luput dari yang namanya
lupa. Orang bisa bebas dari dosa dikarenakan lupa, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Allah membolehkan
(mengampuni) bagi umatku ketidak sengajaan, lupa, dan terpaksa.”(HR.
Al-Bukhari) contoh dari lupa adalah seperti makan pada waktu puasa Ramadhan
atau salam sebelum selesai shalat, kemudian ia berbicara secara sengaja karena
ia menyangka shalatnya sudah selesai, maka shalatnya tidak batal.
Bodoh, seperti berbicara di dalam shalat karena ia tidak mengerti, maka shalatnya tidak batal. Namun ada beberapa macam jahl (bodoh), macam-macam jahl (bodoh),
yaitu:
Jahl
yang batil, jahl yang tidak ada udzur (ampunan) di akhirat
nanti. Seperti bodohnya orang kafir dalam
masalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
bodohnya para pemuas hawa nafsu dan bodohnya para pemberontak.
Jahl
dalam ijtihad yang benar atau dalam hal syubhat. Maka udzurnya dapat dibenarkan,
seperti orang yang menikah dengan anak gadis dari anaknya atau anak gadis dari
isterinya, dengan anggapan bahwa yang seperti itu adalah halal.
Jahl
di daerah harb (orang muslim
yang belum berhijrah). Maka ini termasuk udzur yang dibenarkan,
seperti halnya orang yang meminum khamr karena bodoh tentang keharamannya, maka ia
tidak mendapat iqab berupa had cambuk sebanyak 80 kali.
Jahlnya
orang yang memberi pertolongan (syafi') kepada yang ditolong (masyfu'), jahlnya tuan (ummah)
dalam memerdekakan budak dan jahlnya perawan dengan dinikahkan oleh walinya.
Maka jahlnya ketiga orang ini terhitung sebagai udzur
sampai mereka mengetahuinya.
Kesulitan dan umumul
balwa’, seperti
shalat dengan najis yang sukar dihindari. Misalnya, darah dari kudis atau
kotoran dari debu jalan dan anak lecil memegang mushaf dalam rangaka belajar.
Kekurangan,
kekurangan adalah salah satu macam dari kesulitan, karena setiap orang mesti
senang pada kesempurnaan. Kekurangan menyebabkan keringanan, seperti anak-anak
dan wanita diberi banyak kebebasan dari kewajiban yang ada pada kaum lelaki
dewasa dan orang gila dan anak-anak tidak mendapatkan pembebanan karena
kekurangan akalnya.[7]
Macam-macam Rukhshah
Para Fuqaha’ membagi rukhshah menjadi tujuh
macam:
Pertama, keringanan dengan pengguguran kewajiban, seperti
gugurnya kewajiban shalat karena adanya halangan berupa haid dan nifas dan gugurnya
kewajiban haji bagi wanita yang tidak mendapatkan mahram.
Kedua, keringanan
dengan pengurangan beban,
seperti meng-qhasar shalat empat rekaat menjadi dua rakaat.
Ketiga, keringanan
dengan penukaran, seperti
ditukarnya wudhu atau mandi dengan tayammum.
Keempat, keringanan
dengan mendahulukan,
seperti jama’ taqdim dalam shalat dan menyegerakan zakat sebelum waktunya.
Kelima, keringanan
dengan mengakhirkan, seperti jama’ ta’khir dalam shalat dan penundaan puasa Ramadhan
karena sakit atau bepergian.
Keenam, keringanan
dengan adanya darurat, seperti meminum khamer dikarenakan adanya sesuatu yang menyumbat
tenggorokan dan tidak ada air kecuali khamer, atau memakan bangkai atau babi
karena lapar yang dapat menghantarkan kepada kematian.
Ketujuh, keringanan
dengan perubahan, seperti merubahan
tata cara
shalat dalam keadaan menakutkan di kala peperangan
sedang berlangsung (shalat khouf).[8]
Sedangkan Hanafiyyah membagi Rukhshah menjadi empat macam :[9]
Pertama, kebolehan melakukan hal-hal yang haram disaat keadaan
darurat atau adanya hajat yang mendesak. Seperti mengucapkan kalimat kufur disaat adanya ancaman
akan dibunuh, disertai dengan ketenangan hati atas keimanan. Dengan dalil, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)...” (QS. An-Nahl : 106)
atau memakan bangkai tatkala dalam kondisi kelaparan yang sangat.
Kedua, kebolehan untuk meninggalkan kewajiban jika dalam prakteknya terdapat masyaqah
(kesulitan) yang akan didapat oleh mukalaf. Seperti bolehnya tidak berpuasa
pada bulan Ramadhan bagi para musafir dan orang yang sakit, dengan dalil, “Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain...” (QS. Al-Baqarah : 184)
Ketiga, kebolehan di dalam berakad dan segala macam tasharufat yang manusia
membutuhkannya, dengan menyelisihi kaedah yang ada. Seperti akad salam, yangmana ia adalah jual beli ma’dum (tidak ada
barangnya) dan jual beli macam ini adalah batil, namun syariat membolehkannya
disebabkan kebutuhan manusia, sebagaimana halnya dengan istishna’ (pemesanan
membuatkan barang).
Keempat, mengangkat hukum-hukum sulit yang disyariatkan pada kaum terdahulu,
lalu dijadikan ringan pada umat Muslimin. Seperti bunuh diri sebagai taubat
atas maksiat, membersihkan pakaian dengan memotong bagian yang terkena najis.
Dari sini juga terdapat kesimpulan bahwa Hanafiyah membagi rukhshah menjadi
dua, yaitu rukhshah tarfih dan rukhshah isqathi.[10]
Rukhshah tarfih adalah rukhshah yang ketentuan hukum azimah-nya (asal) tetap
berlaku dan dalilnya juga masih berlaku. Namun demikian, diberikan rukhshah di
dalamnya sebagai bentuk keringanan bagi mukallaf.
Seperti kebolehan
mengucapkan kata-kata yang menyebabkan ia menjadi kufur. Maka dalam kondisi ini
orang tersebut diberi rukhshah untuk tetap mengucapkan kata-kata kufur, akan
tetapi hatinya tetap dalam keyakinan dan keimanan kepada Allah. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang kafir
kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang
yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (an-Nahl: 106) Allah Ta’ala
memberikan pengecualian bagi orang
yang dalam kondisi seperti ini. Artinya, ia tidak berdosa dan tidak pula
mendapat siksa, mengingat adanya uzur dan darurat, yaitu karena jiwanya akan
terancam.
Rukhshah isqathi adalah jenis rukhshah yang
tidaklah hukum azimah-nya tetap berlaku, akan tetapi kondisi yang
mengharuskan keringanan itu telah menggugurkan hukum azimah, dan
menjadikan hukum yang disyariatkan di dalamnya sebagai rukhshah. Seperti
gugurnya menyempurnakan shalat rubaiyyah dalam kondisi safar.
Hukum Rukhshah
Hukum rukhshah ada beberapa macam, ada yang bersifat wajib, nadb (sunah),
ibahah (boleh), atau khilaf al-aula.
Wajib, seperti
memakan bangkai bagi orang yang terpaksa, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, “Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi
nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir
telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 3)
Dalam ayat ini Allah mengharamkan memakan
bangkai, akan tetapi bagi orang yang terpaksa dalam keadaan lapar dan di
hadapannya tidak ada sesuatu selain bangkai. Maka dalam kondisi ini Allah
memberikan keringanan baginya untuk memakannya sekadar menjaga kehidupannya.
Bahkan memakan bangkai tersebut di saat kondisi seperti ini adalah wajib. Hal
ini ditetapkan dengan dalil, “...Dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...” (QS. Al-Baqarah: 195)
Nadb, seperti mengqashar shalat dalam safar pada kondisi telah terpenuhi
syarat-syaratnya.
Ibahah (boleh), seperti bolehnya akad salam, yang ditetapkan dengan hadits, “Siapa
saja yang melakukan salam (pesanan) hendaklah dalam takaran dan timbangan yang
jelas hingga tempo yang jelas.”
Yangmana ia adalah jual beli ma’dum (tidak ada
barangnya) dan jual beli macam ini adalah batil, namun syariat membolehkannya
disebabkan kebutuhan manusia, sebagaimana halnya dengan istishna’ (pemesanan
membuatkan barang).
Khilaf al-Aula, sebagian ulama mengungkapkan dengan sebutan irtikab al-makruh (mengerjakan
yang makruh). Misalnya adalah berbuka bagi seorang musafir pada hari Ramadhan,
yang ia tidak merasakan kesulitan di dalam safarnya, juga memiliki kemampuan
dan kekuatan untuk berpuasa, maka yang lebih utama baginya adalah berpuasa.
Jika ia berbuka maka ia telah melakukan khilaf al-aula. [11]
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat kita ambil
kesimpulan bahwa rukhshah memang benar adanya, dan merupakan bentuk keringanan
yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya sebagai bentuk kasih sayang serta
menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang mudah.
Lalu dapat kita ketahui
juga bahwa dalam pengambilan rukhshah memiliki sebab-sebab yang menjadikan
rukhshah tersebut dapat diambil dan dipakai oleh seorang hamba, sehingga kita
mengetahui rambu-rambu tentang tatacara pengambilan rukhshah.
Wallahu A’lam bish Shawab
DAFTAR PUSTAKA
1.
Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar asy-Sya’qithi, Mudzakkarah fi
Ushul al-Fiqh (Madinah : Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2001)
2.
Muhammad
Ibrahim al-Hafnawi, Mu’jam Gharib al-Fiqh wa al-Ushul (Kairo : Daar al-Hadits,
2009)
3.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Raudhatu an-Nadzir wa Junnatu al-Munadzir
(Damaskus : Muasasah ar-Risalah, 2009)
4.
Ali
bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Riadh : Daar
ash-Shami’I, 2003)
5.
Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, Nihayah as-Sul Syarh Minhaj al-Wushul
(Beirut : Daar al-Kutub, 1999)
6.
Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Buwarnu, Al-Wajiz Fi Idhahi
Qawa'id al-Fiqh al-Kuliyyah (Bairut : Muasasah ar-Risalah, 1996)
7.
Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (Damaskus : Daar al-Fikr,
1999)
8.
Abdul Hayy Abdul ‘Al, Ushul Fiqh al-Islami alih bahasa Muhammad
Misbah (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2014)
[1] Muhammad al-Amin bin
Muhammad al-Mukhtar asy-Sya’qithi, Mudzakkarah fi Ushul al-Fiqh (Madinah
: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2001), hlm. 59
[2] Muhammad Ibrahim al-Hafnawi, Mu’jam Gharib al-Fiqh wa al-Ushul (Kairo
: Daar al-Hadits, 2009), hlm. 268
[3] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Raudhatu
an-Nadzir wa Junnatu al-Munadzir (Damaskus : Muasasah ar-Risalah, 2009),
hlm. 88
[4] Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Riadh
: Daar ash-Shami’I, 2003), vol. 1, hlm. 176
[6] Jamaluddin Abdurrahim
al-Isnawi, Nihayah as-Sul Syarh Minhaj al-Wushul (Beirut : Daar
al-Kutub, 1999), vol. 1, hlm. 63
[7] Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Buwarnu, Al-Wajiz Fi Idhahi
Qawa'id al-Fiqh al-Kuliyyah (Bairut : Muasasah ar-Risalah, 1996), hlm. 227-228
[10] Abdul Hayy Abdul ‘Al, Ushul
Fiqh al-Islami alih bahasa Muhammad Misbah (Jakarta Timur : Pustaka
Al-Kautsar, 2014), hlm. 165-166