andalasannur.blogspot.com
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ala Rabb semeta alam. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, kerabatnya, sahabatnya, dan para pengikutnya hingga hari kiamat.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ala Rabb semeta alam. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, kerabatnya, sahabatnya, dan para pengikutnya hingga hari kiamat.
Allah Ta’ala menciptakan manusia beserta apa
yang ada di bumi adalah untuk memudahkan manusia dalam beribadah kepada Allah
Ta’ala. Namun, Allah juga memberikan cobaan-cobaan yang mana cobaan itu menjadi
rahmat bagi orang yang beriman, juga bisa menjadi laknat bagi orang yang kufur
terhadap-Nya. Diantara cobaan tersebut adalah masa
paceklik. Masa tak kunjung turun hujan dan saat sangat sedikitnya air. Dengan begitu
banyaknya kebutuhan akan air, masa paceklik
menjadi masa yang
begitu sulit.
Masa paceklik bisa terjadi sebagai peringatan
bagi manusia yang telah melakukan banyak dosa dan mereka tidak menyadarinya. Bahkan mereka menikmati maksiat yang mereka lakukan. Sehingga ‘memancing’ kemurkaan Allah
Ta’ala. Allah berfirman:
“Dan jika Kami
hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan
kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya
perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya.”(QS. Al-Isra’:16)
Dalam posisi seperti ini bagi seorang yang
mengaku dirinya seorang muslim, maka sudah menjadi keharusan berbuat sesuai syariat Islam. Yaitu dengan bertaubat kepada Allah Ta’ala dan meningkatkan ketaqwaan
kepadaNya. Salah satu cara yang diajarkan dalam Islam untuk mebuktikan
permohonan taubat seseorang adalah dengan melaksanakan Istisqo’. Yaitu, meminta hujan untuk kota dan orang-orang
di dalamnya dengan melaksanakan sholat dan doa serta
istighfar.[1]
Pengertian Sholat Istisqo’
Secara
bahasa, istisqo’ bermakna meminta hujan. Adapun secara Syar’i
adalah meminta hujan kepada Allah Ta’ala untuk kebutuhan manusia yang bersifat
khusus. Al-Qodhi Iyadh berkata, ”Al-Istisqo’ adalah doa
untuk meminta hujan”[2]. Adapun sebabnya adalah sangat sedikitnya hujan, sedang kebutuhan sangat mendesak.
baik untuk pertanian atau juga untuk kehidupan manusia dan hewan. Sholat Istisqo’
dilaksanakan untuk meminta rahmat kepada Allah Ta’ala berupa hujan[3].
Hukum Sholat Istisqo’
Sholat Istisqo’ merupakan salah satu sunnah
Nabi Muhammad saw. Para ulama’ menghukuminya sebagai amalan sunnah muakkadah. Sunnah yang
sangat dianjurkan untuk melaksanakannya, karena memang Nabi ketika masa
paceklik melaksanakan sholat istisqo’ dengan mengajak para sahabatnya untuk
melakukannya bersama. Abad bin Tamim meriwayatkan dari pamannya ia berkata, “Nabi
Muhammad saw keluar menuju musholla untuk meminta hujan, lalu beliau menghadap
kiblat dan melaksanakan sholat dua raka’at, lalu memutar selendangnya: memutar
yang kanan kesebelah kiri.” HR. Bukhori dan Muslim[4].
Perbedaan Dalam Pelaksanaannya
Jumhur ulama’ selain Abu Hanifah perpendapat
bahwa keluar untuk melaksanakan sholat istisqo’ adalah sunnah. Sedang
Abu Hanifah Tidak mensunnahkannya. Perbedaan ini terjadi karena berbedanya hadits
yang sampai kepada mereka. Sebagian hadits menyebutkan bahwa Nabi keluar dan
melaksanakan sholat, dan sebagian lainnya tidak menyebutkan bahwa Nabi melaksanakan
sholat. Namun yang paling masyhur adalah Nabi
melaksanakan sholat ketika ber-istisqo’.
Berikut hadits yang telah masyhur juga
digunakan oleh jumhur ulama’ untuk sandaran hukum dan menyatakan bahwa Nabi
sholat dalam ber-istisqo’
عن عباد بن تميم
عن عمه : ((أَنَّ رَسول الله ص. خرج بالناس يستسقي , فصلى بهم ركعتين , جهر
فيهما بالقراءة , ورفع يديه حذو المنكبين , واسبقبل القبلة , واستسقى)) رواه
البخاري و مسلم
Abad bin Tamim meriwayatkan dari pamannya, ia
berkata, “sungguh rasulullah saw keluar bersama manusia melaksanakan istisqo
(meminta hujan) kemudian beliau sholat bersama mereka dua rakaat mengeraskan
suara dalam bacaannya, kemudian beliau mengangkat tangannya setara dengan
pundaknya menghadap kiblat dan meminta hujan”. ( HR. Bukhori dan Muslim)
Dan hadits yang menyatakan bahwa Nabi tidak
melaksanakan sholat ketika ber istisqo’.
حديث أنس بن
مالك خرجه مسلم , أنه قال : (( جاء رجل إلى رسول الله ص. فقال : يا رسول الله
هلكت المواشي , وتقطعت السبل , فادع الله . فدعا رسول الله ص. فمطرنا من الجمعة
إلى الجمعة))
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan dikelurkan oleh
Muslim, ia berkata,”Datanglah seorang kepada Rasulullah saw dan berkata,’Wahai
Rasulullah! telah mati hewan-hewan ternak dan terputusnya hujan maka
mohonkanlah doa kepada Allah’ Rasulullah
pun berdoa, lalu turunlah hujan setelah itu dari hari Jumat hingga Jumat
kembali.”
Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Zaid al-Mazini ia berkata,”Rasulullah
saw keluar dan memohon doa untuk hujan, lalu memutar selendangnya tatkala
menghadap kearah kiblat.” Hadits-hadits ini tidak menyebutkan Rasulullah
melaksanakan sholat ketika sedang ber istisqo’.
Terlepas dari kedua perbedaan ini, banyak pendapat menyatakan
sholat bukanlah syarat sahnya istisqo’, namun sholat juga termasuk sunnah Nabi.[5]
Sehingga, tidak perlu menjadi permasalahan yang rumit dan saling menghargai satu sama lain, juga tidak
boleh menafikan satu sama lain.
Tatacara Sholat Istisqo’
Sholat dilaksanakan dua rakaat secara
berjamaah, dilaksanakan di musholla—tanah lapang—karena seluruh manusia akan
berkumpul disatu tempat yang bisa jadi masjid tidak mencukupi. Atau boleh melaksakannya di tiga masjid, Masjid Haram, Masjid Madinah(Nabawi), dan Masjid al-Aqso.
Tanpa adanya adzan dan iqomah melainkan imam cukup mengumumkan dengan lafadz الصلاة الجامعة. Bacaan dalam sholat istisqo’ di baca dengan jahr(keras).
Surat yang dibaca adalah surat al-A’la dan
asy-Syam menurut Madzhab Maliki dan menurut Madzhab Syafi’i membaca surat Qof
dan al-Qomar atau membaca al-A’la dan al-Ghosiyah. Madzhab Hanbali sepakat
dengan Madzhab Syafi’i.
Adapun dalil membaca dengan bacaan yang keras
adalah hadits Abdullah bin Zaid:
ثم صلى ركعتين,
جهر فيهما بالقراءة
“Kemudian Nabi sholat dua rokaat dengan bacaan
yang keras.” (HR. Bukhori
dan Muslim)
Abu Hanifah tidak mensyaratkan hal tersebut. berbeda dengan
Syafi’i dan Ahmad yang mana mereka mensyaratkannya.
Waktu dilaksankannya Sholat Istisqo’
Tidak ada penjelasan mengenai waktu tertentu
melaksanakan sholat Istisqo’, boleh melaksanakanya di setiap waktu selain
waktu-waktu yang dilarang untuk melaksanakan sholat. Disunnahkan
melaksanakannya diawal siang, pagi hari.
Takbir dalam Sholat Istisqo’
Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah takbir
pada sholat istisqo’:
1.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa takbir di dalamnya
sebagaimana takbir pada Sholat Ied.
2.
Imam Malik berpendapat bahwa takbir pada Sholat Istisqo’ sama
seperti pada sholat-sholat lainnya.
Sebab perbedaan adalah dalam mengqiyaskannya
dengan sholat ied. Syafi’i berlandaskan dalil hadits dari Ibnu Abbas
أن رسول الله ص.
صلى فيها ركعتين كما يصلي في العيدين رواه أبو داود و الترمذي و النسائ.
“Sesungguhnya Rosulullah Saw sholat
di dalamnya dua rakaat sebagaimana sholatnya pada Sholat Ied.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai.)[6]
Khotbah Istisqo’ dan Hukumnya
Jumhur dan Shohibani membentuk satu
kesepakatan bahwa khotbah istisqo’ termasuk sunnah seperti sunnahnya Sholat Istisqo’.
Berbeda dengan
Abu Hanifah, beliau tidak mensunnahkan khotbah istisqo’.
Khotbah Sesudah Sholat atau Sebelumnya?
Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini
adappun perbedaanya sebagai berikut:
1.
Syafi’i dan Malik berpendapat bahwa khotbah
istisqo’ dilaksanakan setelah sholat, karena diqiyaskan dengan Sholat Ied.
2.
Syafi’i membolehkan khotbah sebelum sholat
berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid ia berkata:
رأيت النبي ص. يوم خرج يستسقي , فحول إلى الناس ظهره , واستقبل القبلة يدعو ,
ثم حول رداءه , ثم صلى ركعتين, جهر فيهما بالقراءة
“Aku melihat Nabi Saw suatu hari keluar untuk ber-istisqo’, lalu beliau memunggungi manusia, menghadap kiblat, dan berdoa. Kemudian beliau memutar selendangnya, kemudian beliau melaksanakan sholat
dua rokaat dengan bacaan yang keras.” (HR. Bukhori dan Muslim)[7]
Ibnu Mundzir berkata,”Telah diriwatkan dari
Nabi bahwa beliau melaksanakan istisqo’ dan berkhotbah sebelum sholat”[8]
Khotbah sekali atau dua kali?
1.
Ibnu Abbas RA berkata,”Apa yang dilakukan
Rosulullah saw pada hari istisqo’ sama seperti apa yang Rasulullah
lakukan pada hari ied.”[9]
Ini membuktikan bahwa Rasulullah melaksanakan khotbah dua kali. Dan dalam riwayat
lain menyebutkan bahwa Rasulullah melaksanakan khotbah ied seperti khotbah
jumat.
2.
Abu Yusuf dan Ahmad berpendapat khotbahnya
hanya sekali karena tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad khotbah
istisqo’ lebih dari sekali.
Dalam khotbah seyogyanya bagi khotib untuk
memperbanyak istighfar, madzhab Syafi’i menganjurkan untuk istighfar sebanyak
Sembilan kali pada pembukaan awal dan tujuh kali pada pembukaan kedua.[10]
Doa dan Memutar Selendang
Doa dilakukan setelah pembukaan kedua bagi
yang melaksakan khotbah dua kali dan di akhir khotbah bagi yang melaksanakan
khotbah sekali. Disunnahkan ketika sedang berdoa khotib menghadap kiblat
menbelakangi jamaah dengan mengangkat kedua tangan hingga ketiaknya terlihat,
Anas meriwayatkan:
((كان
النبي ص. لا يرفع يديه في شيء من دعاءه إلا في استسقاء , فإنه كان يفع يديه , حتى
يرى بياض إبطيه)) رواه أحمد و شيخان (متفق عليه).
“Nabi saw tidak pernah mengangkat tangannya ketika berdoa
kecuali ketika sedang meminta hujan (istisqo’). Ketika itu Nabu saw mwngangkat tangannya
hingga terlihat putih pada ketiaknya.”
Juga riwayat dari Abad bin Tamim:
ورفع يديه حذو
المنكبين
“Dan beliau mengangkat tangannya setara dengan
pundaknya.” (HR. Bukhori
dan Muslim)
Ketika doa telah berlangsung maka dianjurkan
untuk memutar selendang; kanan ke kiri, kiri ke kanan, dan atas ke bawah, bawah
ke atas. Jama’ah mengikuti apa yang dilakukan oleh khotib, memutar selendang.
Memutar selendang adalah sebuah isyarat bergantinya masa sulit menjadi masa
yang nyaman. Dari masa susah menjadi masa mudah. Dan dari
kemurkaan menjadi kelembutan.
Berdoa dengan dua keadaan, sirr dan jahr (pelan dan keras). Ketika pelan
manusia seluruhnya berdoa dan ketika keras manusia mengaminkannya. Kemudian
setelah itu khotib kembali menghadap jamaah dan mengingatkan untuk selalu taat.
Lalu bersholawat
atas Nabi, karena sholawat atas Nabi akan membantu terkabulnya doa. Umar RA
berkata:
الدعاء موقوف
بين السماء و الأرض , لا يصعد منه شيء حتى تصلي على نبيك
“Sebuah doa tergantung antara langit dan bumi,
tidak akan naik hingga dibacakanlah sholawat atas Nabi.”
Doa-doa ma’tsur dari Nabi Muhammad saw
((أللهم
اسقيناغيثا مغيثا مريئا مريعا غدقا مجللا طبقا دائما أللهم اسقينا الغيث ولا
تجعلنا من القانطين أللهم إن نستغفرك إنك كنت بنا غفرا فأرسل السماء علينا
مدرارا))
((أللهم إن
باعباد و البلاد والخلق من الأواء والضنك ما لا نشكو إلا إليك. أللهم أنبت لنا
الزرع و أدر لنا الضرع و السقنا من بركات السماء وأنبت لنا من بركات الارض أللهم
ارفع عنا الجهد والعري و الجوع واكشف عنا من البلاء ما لا يكشفه غيرك أللهم إنا
نستغقرك إنك كنت بنا غفرا فأرسل السماء علينا مدرارا))
Sunnah-sunnah ketika beristisqo’
1.
Hakim
menganjurkan masyarakat untuk bertaubat, dan senantiasa bertaqorub kepada
Allah.
2.
Masyarakat
bersama Imam berjalan menuju musholla tiga hari berturut turut. Berpuasa tiga hari berturut dan pada hari
keempat menuju tanah lapang dan melaksanakan sholat dalam keadaan berpuasa.
3.
Membersihkan
badan, mandi, bersiwak, memotong kuku, dll, namun tidak menggunakan wewangian karena wewangian simbol dari kebahagian.
4.
Manusia
keluar menuju musholla dengan keadaan khudhu’, tunduk, dan tawaduk
5.
Musholla
berada di tanah lapang.
6.
Berdoa
dengan doa yang ma’tsur.
7.
Madzhab Syafi’i menganjurkan akan hadirnya
orang-orang tua, orang lemah, dan anak-anak karena doa mereka lebih dekat
dengan pengkabulan.[11]
(ABDULLAH MUKHLIS)
[2]Imam al-Qurthubi,Bidayatu al-Mujtahid
wa an-Nihayatu al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), cet. 1, vol. 2 hlm. 472
[3]Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, Damaskus, 2005),
cet. 1, vol. 1, hlm. 291
[4]Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,Shohih
fiqh sunnah, (al-Maktabah at-Tauqifiyah),hlm.440
[5]Imam al-Qurthubi, Bidayatu al-Mujtahid
wa an-Nihayatu
al-Muqtasid, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), cet.
1, vol. 2, hlm. 474
[6]Imam al-Qurthubi, Bidayatu al-Mujtahid
wa an-Nihayatu
al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996),
cet. 1, vol. 2, hlm. 475
[7]Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, Damaskus, 2005),
cet. 1, vol. 1, hlm. 294
[8]Imam al-Qurthubi, Bidayatu al-Mujtahid
wa an-Nihayatu
al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996),
cet. 1, vol. 2, hlm. 475
[9]Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, Damaskus, 2005),
cet. 1, vol. 1, hlm. 293
[10]Imam Taqiyuddin al-Hushni al-Hasani ad-Dimasyqi, Kifayatu al-Akhyar fi Hilli Ghoyati al-Ikhtishar, (Damaskus: Dar al-Bashoir, 2001), cet. 9, hlm. 190-191
[11]Imam Taqiyuddin al-Hushni al-Hasani ad-Dimasyqi, Kifayatu al-Akhyar fi Hilli Ghoyati al-Ikhtishar, (Damaskus: Dar al-Bashoir, 2001), cet. 9, hlm. 190