Selasa, 29 Desember 2015

SAIDUT TABI’IN SA’ID BIN AL-MUSAYYIB

0


v Sekilas Biografi Beliau
Beliau adalah Sa’id bin al-Musayyib bin Hazn bin Abu Wahab bin Amru bin ‘Aidz bin Imran bin Makhzum al-Qurasy al-Makhzumi al-Madani[1], mendapat panggilan Abu Muhammad al-Madani dan beliau merupakan salah satu pembesar para tabi’in pada masanya, faham akan hadits, ilmu fikih, dan seorang yang zuhud, taat beribadah, dan sangan wara’ terhadap suatu hal. Beliau bertemu dengan banyak dari sahabat Radhiyallahu ‘anhum  dan banyak mendengar hadits dari mereka, dan juga menemui para istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam lalu mengambil hadits dari mereka, namun  beliau lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu serta menjadi  menantu bagi Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Beliau dilahirkan dua tahun setelah berjalannya kekhilafahan Umar bin al-Khattab, Ibnu Abi Hatim berkata telah bercerita kepadaku Ali bin Hasan dari Ahmad bin Hanbal dari Sufyan dari Yahya, aku mendengar Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Aku dilahirkan dua tahun setelah berjalannya khilafah Umar.”[2]
Sebelum wafat beliau mengalami sakit yang sangat keras, sebagai mana yang disebutkan oleh Abdurrahman bin Harmalah, “Aku menemui Sa’id bin al-Musayyib tatkala beliau sakit keras dan ternyata beliau sedang melaksanakan salat Dzuhur, aku mendengar beliau membaca surah asy-Syams.”
Setelah menjalani masa sakitnya, akhirnya beliau wafat pada tahun 94 Hijriyah di Madinah, tepatnya pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. Ini sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Hakim bin Abdullah bin Abi Farwah, “Aku melihat  Sa’id bin al-Musayyib pada hari wafatnya beliau yakni pada tahun 94, dan tahun diwaktu beliau wafat dinamakan dengan sannah al-fuqaha’ dikarenakan pada tahun itu banyak ahli fiqih yang meninggal dunia.[3]
Adapun umur beliau ketika wafat adalah berumur 79 tahun lebih namun belum mencapai 80 tahun, Ibnu Hajar berpendapat apabila kelahirannya adalah pada tahun kedua setelah berjalannya pemerintahan Umar sedangkan hadits yang menerangkan tentang ini sanadnya adalah sahih, sehingga dapat disimpulkan bahwa umur beliau dapat diperkirakan kurang dari 80 tahun.[4]
v Keilmuannya
Sa’id bin Musayyib adalah tokoh yang terkemuka di Madinah dan termasuk yang sangat dihormati dalam bidang fatwa. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah imam para ulama fiqih.
Qudamah bin Musa berkata, “Ibnu al-Musayyib mengeluarkan fatwa sedangkan para sahabat masih hidup”. Qatadah mengutarakan bahwa apabila al-Hasan mendapat suatu kesulitan maka ia bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib, dan Sa’id merupakan seorang yang sangat bersegera terhadap ilmu dan amal, serta kami mendapati pada beberapa keluarganya hadits-hadits beliau.”[5]
Muhammad bin Yahya bin Habban berkata, “Adalah yang diutamakan fatwanya pada masa beliau adalah Sa’id bin al-Musayyib, dan dikatakan bahwa ia adalah yang paling faqih dari para fuqaha’ .
Ja’far bin Burqan mengatakan bahwa Maimun bin Mihran berkata, “Aku mendatangi Madinah, lalu aku bertanya kepada penduduknya tentang siapakah yang paling faqih di Madinah, lalu aku ditunjukkan kepada Sa’id bin al-Musayyib.”
Ma’n bin Isa dari Malik ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz tidak mau memberikan keputusan suatu hukum sedang ia menjabat sebagai khalifah, sampai ia bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib.”[6]

v Ibadahnya
Beliau adalah seorang yang rajin dan tidak pernah meninggalkan salat jamaah, Maimun bin Mihran berkata, “Aku mendapati bahwa Sa’id bin al-Musayyib selama empat puluh tahun tidak menghadiri masjid dan mendapati para jamaah telah selesai melaksanakan salat”, dengan kata lain bahwa Sa’id tidak pernah tertinggal salat berjamaah selama empat puluh tahun.
Manna’ al-Qattan menyebutkan bahwa  Sa’id bin al-Musayyib adalah seorang yang tekun beribadah, ia berhaji sebanyak empat puluh kali, dan beliau sangat bersegera menuju masjid guna melaksanakan salat secara berjamaah.[7]
Sa’id sendiri pernah berkata bahwa ia tidak pernah tertinggal dari takbir yang pertama selama lima puluh tahun, dan ia berkata, “Aku memuliakan ibadah dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan aku tidak menghinakannya dengan bermaksiat kepada Allah.”[8]
Ibnu Hiban berkata, “Tidaklah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id sudah berada di dalam masjid.”[9]
Al-‘Attaf bin Khalid dari Abi Harmalah bahwa Ibnu Musayyib berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan salat berjamaah selama empat puluh tahun.”[10]
Sufyan ats-Tsauri dari  Utsman bin Hakim aku mendengar Sa’id berkata, “Tidaklah muadzin mengumandangkan adzan selama tiga puluh tahun, kecuali aku sudah berada di masjid.” Sanad ini kuat.[11]
Hammad bin Zaid dari Yazid bin Hazim berkata, “Sesungguhnya Sa’id senantiasa melakukan shaum.”
Dari Abdurrahman bin Harmalah ia berkata, “Aku mendengar Ibnu al-Musayyib mengatakan, ‘Aku telah berhaji sebanyak empat puluh kali.”[12]

v Sanjungan Ulama’ Terhadapnya
Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tabi’in yang paling utama adalah Sa’id bin al-Musayyib.”
Qatadah juga mengomentari, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang pandai dalam masalah halal dan haram dari beliau.”
Dan juga Yahya bin Sa’id menambahkan, “Beliau adalah manusia yang paling memahami hukum yang disampaikan Umar serta jalan penyelesaiannya, sehingga mendapat julukan Riwayatu Umar.”[13]
Ali bin al-Madani berkata, “Aku tidak menemukan para tabi’in yang lebih luas wawasannya dari Sa’id bin al-Musayyib.”
Ibnu Hiban dalam ats-Tsiqat menyatakan, “Sa’id adalah seorang yang mulia dari para tabi’in, seorang yang faqih, taat beragama, wara’, rajin beribadah dan merupakan seorang yang terkemuka dikalangan penduduk Hijaz.”[14]
v Kewibawaan dan Perjuangannya Membela Kebenaran
Dari Imran bin Abdullah, ia berkata, “Sa’id bin al-Musayyib mempunyai hak atas harta yang ada di baitul mal sebanyak tiga puluh ribu. Lalu ia diundang untuk mengambilnya, akan tetapi ia menolak. Dia berkata, “Aku tidak membutuhkannya, sehingga Allah memberikan keputusan yang adil antara aku dan Bani Marwan.”[15]
Dari Ali bin Zaid berkata, “Seorang pernah berkata kepada Sa’id bin al-Musayyib, ‘Apa pendapatmu tentang al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi yang tidak pernah mengutus seseorang kepada anda dan tidak pula menyakiti anda?’, Sa’id menjawab, “Demi Allah aku tidak mengetahui kecuali aku pernah melihat dia dan ayahnya memasuki masjid, lalu melakukan salat yang tidak sempurna ruku’ dan sujudnya. Lalu aku segera mengambil segenggam kerikil dan melemparkannya, kemudian al-Hajjaj berkata, “Aku merasa telah melakukan salat dengan baik.”[16]
Pada suatu ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengutus pengawalnya untuk menanyakan suatu permasalahan. Kemudian, pengawal tersebut mengundangnya dan mengajak datang ke istana, setelah Sa’id datang Umar bin Abdul Aziz buru-buru berkata, “Utusanku telah melakukan kesalahan, aku hanya ingin menanyakan kepadamu tentang suatu hal permasalahan di majelismu.”[17]
Dari Salamah bin Miskin, dia berkata, “Imran bin Abdullah telah memberitahukan kepada kami, dia berkata, “Aku melihat Sa’id bin al-Musayyib adalah seorang yang lebih ringan untuk berjuang di jalan Allah dari seekor lalat.”
v Guru-guru Beliau
Dikarenakan beliau adalah salah satu dari Kibarut tabi’in, maka tidak heran apabila beliau banyak berguru dengan pembesar-pembesar sahabat dan mendengarkan ilmu darinya, diantara guru-gurunya  adalah: Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Muawiyah bin Abi Shafyan, Abu Darda’, Abu Dzar al-Ghifari, Abu Musa al-Asy’ari, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Musayyib bin Hazn(bapaknya), Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik, Bilal, Zaid bin Tsabit, Sarakah bin Malik, Abi Tsa’labah al-HusniRadhiallahu ‘anhum,  dan masih banyak lagi. Disamping itu beliau juga berguru atau mengambil hadits kepada istri nabi, seperti ‘Aisyah dan Ummu SalamahRadhiallahu ‘anhuma.[18]
v Murid-murid Beliau
Sedangkan untuk murid, beliau memiliki banyak sekali, dan di sini kami hanya akan menyebutkan sebagiannya saja. Diantaranya : Muhammad(anaknya), Salim bin Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Ibrahim, Dawud bin Abi Hind, Zaid bin Aslam, Shafwan bin Salim, Thariq bin Abdurrahman, Basir bin Muharrar, Idris bin Shahib al-Auda, Usamah bin Zaid al-Laisi, Ismail bin Umayah, Abdullah bin Muhammad bin Uqail, Abdullah bin Qayyis at-Tajibi, Shafwan bin Salim, dan masih banyak lagi murid-murid beliau yang tidak kami sebutkan di sini.[19]
v Menikahkan Anaknya
Abu Bakr bin Abu Dawud menyatakan bahwa pada suatu ketika Abdul Malik bin Marwan melamar anaknya Sa’id untuk anaknya Walid, namun ternyata Sa’id enggan dan menolak lamaran tersebut. Sehingga Abdul Malik menjadi marah dan menghukum Sa’id dengan hukuman seratus kali cambuk di hari yang dingin, lalu disiram dengan air, dan dikenakan jubbah yang terbuat dari bulu domba.
Namun sungguh mengherankan dimana dia menolak lamaran dari Abdul Malik yang mana ia adalah seorang khalifah pada waktu itu dan justru mau menikahkan anaknya dengan murid beliau yang notabennya adalah seorang yang sangat miskin dan berperekonomian lemah.
Diceritakan dari Ibnu Abu Wada’ah(menantunya)[20], berkata, “Aku mengikuti majelis ilmu Sa’id bin al-Musayyib, lalu aku tidak menghadirinya beberapa hari, ketika aku hadir ia bertanya kepadaku, “Dari mana saja kamu beberapa hari ini?, aku menjawab, “Istriku meninggal dunia dan aku tersibukkan dengan dia dan urusan keluargaku”, Sa’id bertanya lagi, “Mengapa engkau tidak mengabarkannya kepada kami, sehingga kami dapat hadir dan membantumu?, apakah tidak ada yang menawarimu istri?”, lalu aku menjawab, “Semoga Allah merahmatimu!, siapakah yang mau menikahkan anaknya denganku, seorang yang miskin yang tidak memiliki apa-apa kecuali hanya dua atau tiga buah keping dinar?”, ia menjawab, “Akulah orangnya”, aku bertanya, “Sungguh engkau ingin melakukannya?”, ia menjawab, “Tentu”, lalu ia mengucapkan tahmid serta bersalawat kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan menikahkan aku dengan anaknya dengan mahar dua atau tiga keping dinar.”[21]
Wallahu A’lam Bisshowab


DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, Imam. 1990. Siar A’lam an-Nubala’. Beirut: Muasasah ar-Risalah
Hajar, Ibnu al-Asqalani. 1984. Tahdzibut Tahdzib. Beirut: Daar Al-Fikr
As-Suyuthi, Imam. 1983. Thabaqatil Huffadz. Beirut: Daar al-Kutub al-‘Alamiyah
Al-qatthan, Manna’. 1997. Tarikh at-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Muasasah ar-Risalah















[1] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib (Beirut : Daar Fikr, 1984),  juz. 4, hlm.74
[2] Ibid. hlm. 77
[3] Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam (Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1990), juz. 4, hlm.245
[4]Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib (Beirut : Daar Fikr, 1984), juz. 4, hlm. 76
[5] Lihat Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam(Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1990), juz. 4, hlm. 219
[6]Ibid, hlm. 224
[7]Manna’ al-Qattan, Tarikh Tasyri’ (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1997), hlm. 238
[8]Ibid.
[9] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib (Beirut : Daar Fikr, 1984), juz. 4, hlm. 77
[10]Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam (Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1990), juz. 4, hlm. 221
[11] Ibid.
[12] Ibid, hlm. 222
[13]Imam as-Suyuthi, Thabaqatil Huffadz (Bairut : Daar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1983), hlm. 25
[14]Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib(Beirut : Daar Fikr, 1984), juz. 4, hlm. 76-77
[15]Lihat Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam(Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1990), juz. 4, hlm.226
[16]Ibid.
[17]Ibid, hlm. 224
[18] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibut Tahdzib (Beirut : Daar Fikr, 1984), juz. 4, hlm. 75
[19] Ibid.
[20] Beliau adalah Katsir bin al-Muthalib bin Abu Wada’ah, muridnya Sa’id yang sangat miskin
[21]Lihat Manna’ al-Qattan,Tarikh Tasyri’(Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1997), hlm. 239  dan Imam adz-Dzahabi, Siar A’lam (Beirut : Muasasah ar-Risalah, 1990), juz. 4, hlm. 233-234

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net