Senin, 28 Desember 2015

MELAFALKAN NIAT, ANTARA SUNNAH DAN BID’AH

0


Oleh: Andi Hermawan Prasetyo
Pendahulu
            Alhamdulillah wa Shalatu wa Sallam ‘ala Rasulillah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, puji syukur kehadirat Allah Ta’ala yang senantiasa memberikan kepada para makhluknya kenikmatan yang tiada tara, shalawat bergandengkan salam senantiasa kita curahkan kepada panutan umat muslim sepanjang masa, nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, para keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan siapa saja yang senantiasa mengikuti sunnahnya hingga kiamat kelak, amma ba’du.
            Selaku hamba Allah Ta’ala yang senantiasa tidak terpisah dari beribadah kepada-Nya, sudah barang tentu kita akan berniat jika ingin melakukannya, sebab jika tidak ada niat di dalam diri, ibadah tidak akan terlaksana. Maka niat dalam beribadah sangatlah penting, sampai-sampai niat menjadi salah satu dari syarat diterimanya sebuah amalan.
Oleh karena itu, amalan tanpa disertai niat akan terasa berat, niat tanpa disertai ikhlas sama dengan riya’, dan ikhlas tanpa ada bukti yang nyata bagai debu berterbangan (sia-sia). Namun dalam perihal niat, ada beberapa perkara yang sangat masyhur di tengah masyarakat, salah satunya adalah masalah melafatkan niat.
Dalam masalah talafudz bin niah atau sering disebut melafalkan niat, banyak pendapat yang terdapat di dalamnya. Sebagian mereka ada yang menganggap bid’ah perkara ini, dan ada juga yang beranggapan bahwa hal ini adalah Sunnah dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang harus diikuti, maka dari keduanyalah muncul permusuhan yang saling salah-menyalahkan, atau bahkan sesat-menyesatkan antara satu sama lain, wa iyyadzu billah.
      Dari sinilah latar belakang kami menulis makalah ini, sebagai jawaban atas ketidak tahuan penulis dan masyarakat pada umumnya berkenaan dengan melafalkan niat, masih adakah ulama’ yang memberikan keringanan akan bolehnya melafalkan niat. Di sini kami akan menjelaskan beberapa pembahasan berkenaan dengan melafatkan niat, cukupkah hanya di lisan?, dan bagaimana pendapat para ulama’ berkenaan dengan ini? Untuk lebih jelasnya mari kita ikuti penjelasan berikut!


Pegertian
Secara bahasa niat merupakan masdar dari fi’il “نوي- ينوي”, kata aslinya “نوية” karena bertemunya huruf waw dan ya’ pada satu kalimat dan salah satu di antar keduanya berharakat sukun, maka huruf waw diubah menjadi huruf ya’ dan dimasukkan (diidghamkan) menjadi “نية” yang memiliki arti keinginan terhadap sesuatu.[1] 
Adapun secara istilah niat dibagi menjadi dua makna:
Pertama, Makna niat secara umum, adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang dianggap pas atau selaras dengan keinginan, mulai dari mencari manfaat atau menolak keburukan baik dalam urusan kehidupan atau harta, dari sini terlihat bahwa makna niat secara umum mencakup segala perbuatan baik dalam masalah agama atau dunia.
Kedua, Makna niat secara khusus, adalah kehendak untuk menjalankan ketaatan dan taqarub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dengan mengerjakan atau meninggalkan perbuatan.[2]

Hukum Niat
Niat merupakan ibadah yang disyari’atkan, karena tanpa adanya niat yang benar sebuah amal tidak akan pernah diterima, atau tidak akan mendapat pahala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَما أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفاء...
“Tidaklah mereka kami perintahkan kecuali hanya untuk menyembah Allah ikhlas karena agama-Nya yang lurus…”(al-Bayyinah: 5)
Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam yang diriwayatkan oleh sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى...
 “Setiap amal perbuatan tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapat apa yang ia niatkan…”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa niat adalah perintah yang wajib, yang harus dilakukan oleh seorang hamba apabila hendak mengerjakan suatu amalan. Sehingga amal yang dikerjakan akan berbuah pahala, bukan hanya amalan yang sia-sia.
Fungsi Niat
Mungkin sebagian dari kaum muslimin masih ada yang belum mengerti apa fungsi dari niat itu. Karena banyaknya pekerjaan manusia di dalam kehidupannya, maka perlu adanya pembeda antara amal ibadah dengan adat yang dilakukan, karena tidak sedikit dari adat yang dilakukan masyarakat itu hampir menyerupai ibadah, Sehingga di sini lah niat difungsikan sebagai pembeda. Adapun fungsi dari niat itu sendiri ada dua, yaitu:
Membedakan antara adat dengan ibadah
Dikarenakan hampir semua bentuk ibadah mempunyai kemiripan dengan adat, seperti misalnya: Puasa, yang hakekatnya adalah menahan diri dari makan, minum, jima’, dan segala hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari di ufuk Barat. Hal semacam ini mungkin saja dilakukan oleh seseorang karena sedang diet, akan menjalani operasia, atau karena sebab lain. Maka dari itu untuk membedakan antara keduanya, harus dibedakan dengan niat. Jika niat puasa untuk ibadah, maka dinilai sebagai ibadah dan mendapat pahala, namun jika diniatkan untuk selainnya, hanya akan dinilai sebagai adat bukan ibadah.
Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lainnya
Hal ini dikarenakan satu jenis ibadah bias bermacam-macam. Seperti halnya shalat, yangmana shalat itu ada yang wajib dan ada yang sunah, sedangkan yang wajib saja memiliki berbagai macam bentuk, begitu juga dengan yang sunah. Maka untuk membedakan antara yang satu dengan yang lainnya haruslah ditentukan dengan niat.[3]
Syarat-syarat Sahnya Niat[4]
Islam, disyaratkan dalam niat hendaknya dilakukan oleh seorang Muslim. Sebab niat adalah ibadah dan ibadah tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir, dikarenakan telah hilang syarat dari diterimanya ibadah, yaitu iman kepada Allah Ta’ala. Maka tidak sah kafarah dari orang kafir, sebab sumpahnya tidak dianggap.[5] Hal ini berdasarkan dalil surat at-Taubah ayat 12,
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.
Tamyiz, yaitu kekuatan akal untuk berfikir sehingga ia mampu dengannya untuk menyimpulkan makna-makna dari sebuah kejadian. Maka tidak sah ibadah anak kecil (balita) yang belum mumayyiz dan orang gila, anak kecil yang mumayyiz adalah anak yang memiliki pemikiran yang matang sehingga dapat membadakan antara yang baik dengan yang buruk. Dan cabang dalam hal ini adalah pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil dan orang gila adalah qatlu al-khatha’ dan juga batalnya wudhu orang yang mabuk sebab ia tidak mumayyiz serta shalatnya batal disebabkan mabuknya.[6]
Mengetahui apa yang diniatkan, hendaknya bagi seorang yang mukalaf mengetahui hukum ibadah yang akan ia kerjakan, maka tidak sah apa yang dikerjakan jika ia tidak mengetahui akan wajibnya shalat atau wudhu.
Akan tetapi bisa menjadi sah ibadahnya apabila ibadah tersebut adalah ibadah yang tidak terdapat pembeda antara yang sunnah dengan yang wajib, dengan ketentuan tidak meniatkan nafilah pada ibadah yang ia mengira itu adalah fardhu. Namun ada pengecualian dari syarat ini, yaitu keraguan ihram pada ibadah haji, maka tetap sah siapa yang berihram dengan sebab mengikuti banyaknya manusia yang berihram dan ia tidak mengetahuinya, sebab Ali Radhiallahu ‘Anhu berihram atas dasar ihramnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ia tidak mengetahuinya, serta Rasul masih tetap mensahkan ihramnya.
Tidak adanya manafi (penghapus niat) antara niat dengan manwi (yang berniat), yang dimaksud dengan manafi adalah perbuatan yang muncul dari luar manwi, bukan niat itu sendiri. Seperti seorang yang murtad dari agamanya setelah berniat untuk ibadah, maka ibadahnya batal.
Macam-macam Manafi (Penghapus Niat)
Memutus Niat
Barangsiapa yang berniat memutuskan keimanan, maka ia telah murtad. Berniat untuk memutuskan shalat, maka shalatnya batal menurut Syafi’iyyah dan tidak batal menurut Hanafiyyah, sebagaimana yang tertera di dalam al-Asybah Ibnu Najim al-Hanafi.[7] Namun ada pengecualian dalam hal ini, yakni dalam masalah haji dan umrah, barang siapa yang berniat untuk memutuskan haji dan umrah, maka secara kesepakatan adalah niatnya tidak bisa membatalkan keduanya, sebab seseorang tidak bisa batal dari keduanya dengan cara merusak niatnya.[8]
Mengubah niat
            Hal yang hampir menyerupai memutus niat adalah mengubah atau mengganti niat, tidak semua ibadah dapat dengan mudah berpindah dari satu ibadah menuju ibadah yang lain, barangsiapa berpindah niat dari satu macam fardhu ke fardhu yang lain, maka ia tidak mendapatkan satupun dari keduanya. Merubah dari nafilah ke fardhu juga tidak akan mendapat salah satu dari keduanya. Adapun merubah dari fardhu menuju nafilah, maka nafilahnya sah.[9]
Ragu dan tidak ada kepastian
            Jika seseorang ragu atau tidak memiliki kepastian dalam niatnya, maka niatnya tidak dianggap atau tidak sah. Seperti seseorang membeli seekor kuda, lalu ia beniat, “Jika ada untung dari kuda ini maka aku akan menjualnya.” Maka tidak ada zakat atasnya, disebabkan tidak adanya keikhlasan di dalam jualbeli. Atau seorang yang berniat pada hari syak (meragukan), “Jika memang masih Sya’ban maka aku tidak berpuasa, tapi jika telah masuk Ramadhan maka aku berpuasa.” Maka tidak sah niatnya. Adapun jika ia berniat, “Jika masih bulan Sya’ban aku niatkan berpuasa nafilah, namun jika telah Ramadhan aku berniat puasa fardhu.” Sah niatnya dan puasanya diperbolehkan jika dalam kondisi seperti ini, sebab puasa Ramadhan tetap sah walaupun dengan niat nafilah.[10]
Tidak Adanya Ketetapan Atas Yang Diniatkan
            Dalam hal ini bisa secara ‘aqlan, syar’an, atau ‘adatan. Contoh dari tidak adanya ketetapan atas yang diniatkan secara ‘aqlan adalah seseorang berniat dengan wudhunya untuk melakukan shalat tapi ia tidak melaksanakan shalatnya, maka niatnya tidak sah disebabkan pembatalannya. Sedangkan secara syar’an adalah seseorang berniat dengan wudhunya untuk melaksanakan shalat di tempat yang najis, ada yang berpendapat wudhunya tidak sah, adapun pengarang al-Wajiz berpendapat bahwa sah wudhunya, tapi jika ia melaksanakan shalatnya di tempat yang najis, maka shalatnya batal tidak dengan wudhunya. Yang terakhir adalah secara ‘adatan, seperti seseorang berniat dengan wudhunya untuk melakukan shalat ‘id dan ia masih berada di awal tahun atau berniat dengan wudhunya untuk mengerjakan thawaf sedangkan ia masih berada di Syam, maka dalam kesahan wudhunya terdapat khilaf, pengarang al-Wajiz beranggapan bahwa wudhunya tetap sah, sebab niat berdiri sendiri bukan termasuk dari salah satu pembatal wudhu.[11]
Syarat Mendapatkan Pahala Dari Niat
            Setelah memahami syarat-syarat sahnya niat, maka perlu diperhatikan pula masalah diterima tidaknya niat kita di sisi Allah sebagai pahala. Sebab walaupun semua syarat telah dipenuhi, belum tentu niat kita akan bernilai pahala. Maka ada syarat tambahan agar niat mendapat pahala, yaitu menghadirkan ikhlas.
Ikhlas adalah hanya menginginkan wajah Allah dari ibadahnya. Dengan dalil firman Allah dalam surah al-Bayyinah ayat 5,
وَما أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفاء...
“Tidaklah mereka kami perintahkan kecuali hanya untuk menyembah Allah ikhlas karena agama-Nya yang lurus…”(al-Bayyinah: 5)
            Maka dari ayat ini dapat diketahui akan tidak diperbolehkannya persyerikatan di dalam niat, yang demikian ini dapat membatalkan amal dan menghapus pahalanya. Dari sini disimpulkan juga bahwa tidak diterima perwakilan dalam niat, sebab maksud dari niat adalah perkara yang rahasia. Akan tetapi pada satu kondisi niat bisa diwakilkan, yaitu  jika niat bersanding dengan amal perbuatan. Seperti contoh dalam menyebarkan zakat, menyembelih hewan kurban, atau berpuasa untuk orang yang telah mati.
            Dalam hal ini ikhlas berkedudukan sebagai perkara tambahan atas niat, sebab tidak akan tercapai ikhlas tanpa adanya niat, namun terkadang niat telah dicapai walau tanpa adanya ikhlas. Adapun urusan ikhlas atau tidaknya suatu amalan adalah dikembalikan kepada Allah Ta’ala, sebab ikhlas adalah perkara hati yang merupakan salah satu dari perkara akhirat.[12]
            Jadi secara mudahnya bahwa niat adalah pokoknya, dari niat yang benar tersebutlah akan muncul keikhlasan yang akan membuahkan pahala.
Letak Niat
Perlu diketahui bahwa niat adalah salah satu dari jenis keinginan. Niat terletak di dalam hati, maka tidak cukup hanya dengan mengucapkannya saja di bibir tanpa ada di dalam hati. Namun bagi siapa yang tidak mampu untuk menghadirkan hatinya untuk meniatkan sebuah ibadah atau terdapat keraguan di dalam naitnya, maka cukup baginya mengucapkan niat dengan lisannya. Dengan dalil firman Allah Ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 286,
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...”
Sedangkan cabang dari perkara ini adalah permasalahan apabila lisan dengan hati berbeda, maka yang dianggap adalah apa yang ada di dalam hati. Dan keluar dari masalah ini adalah dalam masalah yamin (sumpah), jika lisan telah terucap kepada sebuah  yamin (sumpah) tanpa adanya niat atau maksud, maka ia harus membayar kafarah jika melanggarnya.[13]
Dan juga tidak menjadi syarat dari segala macam ibadah untuk melafalkan niat, maka di dalam al-Mujma’ dikatakan, “Tidak dianggap niat dengan lisan.”[14] Sehingga dapat disimpulkan bahwa sejatinya niat terletak di dalam hati, bukan di lisan. Akantetapi terdapat beberapa pengecualian dalam hal ini. Seperti nadzar, tidak cukup kewajiban melaksanakan nadzar hanya sebatas niat keinginan, namun juga harus disertai dengan melafalkan nadzarnya dengan jelas, sebagaimana pula wakaf, walaupun itu masjid jami’ ia harus melafalkan niat wakafnya yang menunjukkan kepadanya. Adapun hukum melafalkannya  di dalam ibadah, apakah itu mustahab, sunnah, ataukah makruh? Akan kami jelaskan pada pembahasan setelah ini.
Melafalkan Niat
Telah diketahui bahwa niat itu terdapat di dalam hati. Namun ada sebagian kaum Muslimin yang menetapkan bahwa melafalkan niat adalah perintah, sehingga menjadikan adanya perbedaan pendapat di dalamnya. Adapun  Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasalam serta para sahabatnya, baik di dalam hadits shahih ataupun dhaif, mereka tidak pernah menganjurkan agar melafatkan niat jika ingin melakukan ibadah, kecuali pada ibadah haji.[15]
Maka bagaimanakah pendapat para ulama’ berkenaan dengan hal ini? Adakah ulama’ yang membolehkan hal ini, atau malah menganggap bid’ah hal yang semacam ini?
Pendapat para ulama’ berkenaan dengan melafatkan niat terdapat banyak perbedaan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Madzhab Syafi’i, madzhab Syafi’i menyunahkan agar melafatkan niat, guna membantu konsentrasi hati dalam beribadah.[16]
Madzhab Hanafi, ulama’ madzhab Hanafi berbeda pendapat dalam masalah ini, sebagian mereka mengatakan bahwa itu mustahab guna membantu hati, yakni dengan menggabungkan antara niat di dalam hati dengan mengucapkannya, adapun yang lainnya memakruhkan hal itu.[17]
Madzhab Maliki, ulama’ madzhab Maliki membolehkan melafatkan niat, namun lebih utama untuk meninggalkannya. Ada juga sebagian dari mereka yang berpendapat bahwa melafatkan niat adalah makruh dan bid’ah, kecuali bagi orang yang banyak keraguan atau bisikan-bisikan yang itu mengganggu kemantapan dalam beribadah maka ia boleh untuk melafatkan niat, agar keraguannya hilang sehingga hati menjadi tenang dan mantap dalam beribadah.[18]
Madzhab Hambali, Wahbah az-Zhuhaili menyebutkan bahwa ulama’ madzhab Hambali berpendapat bahwa niat wajib di hati dan mustahab untuk diucapkan,[19] akan tetapi Syaikh al-Bawarnu di dalam al-Wajiz menyebutkan bahwa menurut madzhab Hambali melafatkan niat adalah bid’ah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim,[20] ia mengatakan, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam apabila berdiri untuk shalat mengucapkan, ‘Allahu Akbar’ dan tidak pernah mengucapkan sesuatu apapun sebelumnya, juga tidak melafatkan niat. Beliau juga tidak mengucapkan, ‘أصلي لله صلاة كذا مستقبل القبلة أربع ركعات إماما أو مأموما.’ Hal semacam ini termasuk perkara bid’ah dan tidak pernah ada riwayat yang telah meriwayatkan, baik dengan sanad yang shahih, dhaif, atau musnad, dan tidak pula riwayat yang mursal barang satu lafat pun. Juga tidak dari para sahabat, dan tidak ada pula dari kalangan tabi’in yang menjadikannya istihsan, begitu pula dengan para imam madzhab.
Lembaga Lajnah Daimah ketika ditanya tentang hukum melafalkan niat seperti mengucapkan, “Nawaitu an ushalli Lillahi Ta’ala rak’ataini...” maka dijawab, “Shalat adalah ibadah dan ibadah adalah tauqifi, tidak disyariatkan kecuali yang terdapat dalil Al-Quran dan Sunnah atasnya, adapun niat maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menetapkan akan adanya pelafalan niat pada shalat, baik shalat fardhu atau nafilah. Kalaulah ada hal seperti itu maka para sahabat tentu akan melakukannya, tapi pada kenyataannya tidak. Maka dari itu jelaslah bahwa melafalkan niat pada shalat adalah bid’ah secara mutlak.[21]
Adapun yang menjadi kesalahan dari kalangan mutaakhirin adalah dalam memahami ungkapan Imam asy-Syafi’i Rahimahullah di dalam masalah shalat, yang mengatakan,
إنها ليست كالصيام, ولا يدخل فيها أحد إلا بذكر
Mereka memahami bahwa maksud kata بذكر adalah melafatkan niat bagi mushalli (yang shalat), padahal yang diinginkan oleh Imam asy-Syafi’I dengan بذكرtidak lain dan tidak bukan adalah takbiratul ihram, sehingga bagaimana mungkin Imam asy-Syafi’I menyunahkan sebuah perkara yang belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasalam dalam shalat, juga tidak dari kalangan khulafa’ dan para sahabat.[22]
Kesimpulan
Kesimpulan dari masalah ini yang tidak ada perbedaan di dalamnya adalah:
1.      Bahwa tempat niat adalah di dalam hati bukan di lisan dalam segala macam ibadah.
2.      Walaupun niat diucapkan dengan lisan secara tidak sadar, namun di dalam hatinya berbeda, maka yang diterima adalah apa yang ada di dalam hati.
3.      Apabila lisan mengucapkan niat, tapi tidak dibarengi dengan keinginan hati, maka perbuatan itu tidak akan mendapatkan pahala.
4.      Bahwa melafatkan niat pada shalat merupakan perkara yang bid’ah sayyiah bukan bid’ah hasanah. Dan ini telah disepakati kaum muslimin, serta tidak ada di antara mereka yang meriwayatkan bahwa melafatkan niat adalah hal yang mustahab, juga bukan bid’ah hasanah, ini sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Qayyim dan fatwa Lajnah Daimah.
5.      Adapun keringanan bagi mereka yang sangat susah untuk berkonsentrasi, tidak dapat menenangkan hati, atau banyak terjadi waswis padanya, maka tidak mengapa atau boleh melafatkan niat agar hati menjadi mantap, sebagaimana pendapat madzhab Maliki.

Wallahu A’lam bis-Shawab











DAFTAR PUSTAKA
1.      Wahbah az-Zhuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Daar al-Fikr, 2009
2.      Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Bawarnu, al-Wajis fi Idhah Qawaid al-Fiqh, Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1996
3.      Ibnu Najim al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nadzair, Damaskus: Daar al-Fikr, 2005
4.      Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zadul Ma’ad, Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1998
5.      Ahmad bin Abdurrazzaq, Fatawa Lajnah Daimah, Riyadh: Daar al-‘Ashimah, 1996
6.      Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami, Jakarta: Yayasan al-Furqan al-Islami, Desember 2013
7.      Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, versi Maktabah Syamilah.





[1] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, juz. 15, hlm. 347, bab “نوي
[2] Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Bawarnu, al-Wajis fi Idhah Qawaid al-Fiqh (Bairut : Muasasah ar-Risalah, 1996), hlm. 125
[3] Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami (Jawa Timur : Pustaka al-Furqan, 2013), hlm. 20-21
[4] Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Bawarnu, al-Wajis fi Idhah Qawaid al-Fiqh (Bairut : Muasasah ar-Risalah, 1996), hlm. 131
[5] Ibnu Najim al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nadzair (Damaskus : Daar al-Fikr, 2005), hlm. 52
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm. 53
[8] Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Bawarnu, al-Wajis... hlm. 135
[9] Ibid. hlm. 136 dan Ibnu Najim al-Hanafi, al-Asybah... hlm. 54
[10] Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Bawarnu, al-Wajis... hlm. 137
[11] Ibid.
[12] Ibid. hlm. 140
[13] Ibnu Najim al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nadzair (Damaskus : Daar al-Fikr, 2005), hlm.47
[14] Ibid. hlm. 50
[15] Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Bawarnu, al-Wajis fi Idhah Qawaid al-Fiqh (Bairut : Muasasah ar-Risalah, 1996), hlm. 142
[16] Wahbah az-Zhuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Damaskus : Daar al-Fikr, 2009), vol. 1, hlm. 666  
[17] Ibid. hlm. 662
[18] Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Bawarnu, al-Wajis... hlm. 142 dan Wahbah az-Zhuhaili, al-Fiqh al-Islam... hlm. 664
[19] Wahbah az-Zhuhaili, al-Fiqh al-Islam... hlm. 667
[20] Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Bawarnu, al-Wajis... hlm. 143
[21] Ahmad bin Abdurrazzaq, Fatwa Lajnah Daimah (Riyadh : Daar al-‘Ashimah, 1996)No. 2444, vol. 6, hlm. 319
[22] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zadul Ma’ad (Bairut : Muasasah ar-Risalah, 2000), vol. 1, hlm. 194

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net