Selasa, 03 Mei 2016

METODE TAFSIR MENURUT AHLUS SUNNAH

0


Oleh : Ari ar-Rasyid 
      I.            PENDAHULUAN
Para sahabat dahulu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Qur'an dan as-Sunnah, jika tidak didapatkan pada keduanya maka mereka berijtihad, karena mereka adalah Ahlul ijtihad dan istinbat.
Ketika ilmu ini semakin berkembang pesat, pembukuannya semakin sempurna, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pun terus meningkat. Permasalahan kalam semakin memanas, fanatisme madzhab pun semakin serius, dan ilmu-ilmu filsafat bercampur aduk dengan ilmu-ilmu naqli, serta setiap golongan hanya membela kepentingan madzhabnya masing-masing. Dari situlah berkembang metode penafsiran yang berbeda-beda, maka kita dapatkan disana rujukan-rujukan baru dan metode-metode yang menyimpang. Tumbuhlah Aqidah-aqidah yang menyimpang seperti Syi'ah, Mu'tzilah, khowarij, dan kelompok- kelompok yang lainnya, dari setiap kelompok itulah tumbuh penafsiran yang berbeda rujukan dan metodenya.
Terlebih dimasa sekarang ini, dimana kelompok-kelompok sesat tersebut telah ber-metamorfosis menjadi kelompok-kelompok liberal yang bebas dalam berfikir dan menafsirkan al-Qur’an. Metode yang mereka gunakan sangatlah serampangan, terutama dalam menafsirkan ayat yang berkaitan dengan perkembangan zaman dan modernisasi. Dengan merubah metode tafsir al-Qur’an yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh para ulama, mereka bermaksud merobohkan sendi-sendi bangunan Islam. Semisal tafsir dengan metode ‘Hermeunetika’, yang mana metode ini asalnya dipakai orang liberal di barat untuk menafsirkan Bible, sehingga rusaklah agama Nashrani. Demikian juga dengan Islam, mereka hendak menerapkannya pada al-Qur’an yang telah terjaga baik lafal maupun maknanya. Maka dengan hal ini penulis berusaha mencari bagaimana metode tafsiran menurut ahlussunnah. Semoga bermanfaat.
   II.            DEFINISI
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “Taf’il” artinya menjelaskan, menyingkap, dan menerangkan makna-makna rasional (yang tidak logis). Kata kerjanya mengikuti wazan “Dharaba-yadhribu” dan “Nashara-yanshuru”. Dikatakan: “Fasara asy-syai’a- yafsiru” dan “Yafsuru,fasran” dan “Fassarahu”. Artinya “Abanahu”(Menjelaskannya). Kata at-Tafsir dan al-Fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.[1]
Dalam lisanul ‘Arab dinyatakan: kata al-Fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata at-Tafsir berarti menyingkapkan maksud sustu lafadz yang tidak jelas. Sebagian Ulama’ berpendapat, kata tafsir adalah kata kerja yang terbalik, berasal dari kata safara yang juga memiliki makna menyingkap (al-Kasyf), dikatakan: Safarat al-Mar’atu sufura, apabila perempuan itu menyingkap cadar dari wajahnya. Dan kata asfara ash-Shubhu artinya menyinari dan terang. Pembentukan kata al-Fasr menjadi bentuk taf’il (yakni, tafsir) untuk menunjukkan arti taktsir (banyak, sering berbuat).[2]
Menurut ar-Raghib kata al-Fasr dan as-Safr adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafadznya. Tetapi yang pertama untuk menunjukkan arti menampakkan makna yang abstrak, sedang yang kedua untuk menampakkan benda kepada penglihatan mata. Maka dikatakanlah, “Safarat al-Mar’atu sufura” (Perempuan itu menampakkan mukanya).[3]
Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai, “Ilmu yang membahas tentang tata cara pengucpan lafadz-lafadz Al-Qur’an, indikator-indikatornya[4], masalah-masalah hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-makna yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya.”[5]
Menurut az-Zarkasyi, “Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[6]

III.            SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA
1.    Bentuk Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Nabi memahami Al-Quran dengan sempurna baik secara global dan merinci. Dan adalah tugasnya menerangkannya kepada para sahabat, “Dan kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan.”[7]
Para sahabat juga dapat memahami Al-Quran karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa mereka, sekalipun mereka tidak memahami detail-detailnya. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan, “Al-Quran diturunkan dalan bahasa Arab sesuai dengan tata bahasa mereka. Karena itu semua orang Arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik dalam kosa kata maupun dalam struktur kalimatnya.” Namun demikian mereka berbeda-beda dalam tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain.[8]
Diriwayatkan oleh Abu Ubaidah melalui Mujahid dari Ibnu Abbas ia berkata, “Dulu saya tidak tahu apa makna fathirus samawati wal ardh, sampai datang kepadaku dua orang dusun yang bertengkar tentang sumur. Salah seorang mereka barkata, “Ana fathartuha” maksudnya “Ana ibtada’tuha” (Akulah yang pertama kali membuatnya).[9]
Atas dasar itu Ibnu Qutaibah berkata, “orang Arab itu tidak sama pengetahuannya tentang kata-kata yang tidak bias difahami dan mutasyabih dalam Al-Quran. Tetapi dalam hal ini sebagian mereka mempunyai kelebihan atas yang lain.”[10]
Para sahabat dalam menafsirkan Al-Quran pada masa ini berpegang pada:
1.      Al-Quran al-Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat di jelaskan secara terperinci ditempat yang ain terkadang pula sebuah ayat dating dalam bentuk mutlak atau umum namun kemudian disusul oleh ayat yang lain yang membatasi atau menkhususkannya. Inilah yang dinamakan Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran. Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya. Misalnya, “Dihalalkan bagimu binatang ternak kecuali yang akan dibacakan kepadamu…[11]dan, “Diharamkan bagimu bangkai…[12]
2.      Nabi Saw, beliaulah pemberi penjelasan Al-Quran. Ketika para sahabat mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka merujuk kepada Nabi.
3.      Pemahaman dan ijtihad. Adalah para sahabat apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Quran dan sunnah Rasulullah, mereka melakukan ijtihad. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-Balaghah-an yang ada didalamnya.
Sebagian ulama’ mewajibkan untuk mengambil tafsir yang datang dari sahabat, karena merekalah yang paling ahli bahasa arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka. Az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan berkata, “Ketahuilah Al-Quran itu ada dua bagian. Satu bagian penafsirannya datang berdasarkan naql(riwayat) dan bagian yang lain tidak dengan naql. Yang pertama, penafsiran itu adakalanya dari Nabi, sahabat, atau tokoh tabi’in. jika berasal dari Nabi, hanya perlu dicari keshahihan sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa? Jika demikian maka mereka adalah yang paling mengeti tentang bahasa arab. Karena itu pendapatnya dapat dijadikan pegangan, tanpa diragukan lagi. Atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbabun nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal ini tidak diragukan lagi.”[13]
2.    Bentuk tafsir pada masa Tabi’in
Dalam menafsirkan, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya disamping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri. Menurut adz-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah para mufassir dari kalangan tabi’in berpegang pada Al-Quran. Keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah. Penafsiran para sahabat. Ada juga yang mengambil dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Disamping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.[14]

3.    Tafsir Masa Mu’ashir (Kontemporer)
Masa pembukuan di mulai pada akhir dinasti bani Umayyah dan di awal dinasti Abbasiyah. Periode ini pembukuan hadits mendapat prioritas utama dengan mencakup berbagai bab. Tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini tafsir hanya memuat tafsir Al-Quran surat demi surat dan ayat demi ayat dari awal sampai akhir, dan belum dipisahkan secara khusus dari bab-bab hadits.
            Perhatian segolongan ulama’ terhadap periwayatan tafsir yang dinisbatkan kepada Nabi, sahabat atau tabi’in sangat besar di samping perhatian terhadap pengumpulan hadits. Tokoh terkemuka ialah Yazid  bin Harun as-Sulami, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan lainnya. Tafsir periode ini sedikitpun tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan.
Kemudian datang generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri terpisah dari hadits. Mereka adalah Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu abi Hatim dan lain sebagainya. Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Dan terkadang disertai pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan melakukan kesimpilan sebuah hukum serta penjelasan kedudukan i’rabnya jika diperlukan. Sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari.
Disamping tafsir dengan corak tersebut juga banyak tafsir yang menitikberatkan pada pembahasan ilmu nahwu, sharaf dan balaghah. Dengan demikian, tafsir bir-Ra’yi menang atas tafsir bil-ma’tsur. Penulisan tafsir pada masa selanjutnya masih mengikuti pola di atas, yaitu golongan mutaakhirin hanya mampu mengambil penafsiran golongan mutaqaddimin dengan cara meringkasnya di satu sisi dan memberinya komentar di sisi lain. Keadaan demikian terus berlanjut sampai lahirnya pola baru dalam tafsir modern, di mana sebagian mufassir memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kontemporer di samping upaya menyingkap dasar-dasar kehidupan sosial, prinsip-prinsip tasyri’ dan teori-teori ilmu pengetahuan dari kandungan Al-Quran sebagaimana terlihat dalam tafsir al-Jawahir, al-Manar, dan az-Zilal (maksudnya Fi Zilal al-Quran karya Sayyid Quthub).[15]

IV.            SYARAT DAN ADAB MUFASSIR[16]
Para ulama’ telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufassir.
1.      Aqidah yang benar.
2.      Bersih dari hawa nafsu.
3.      Yang pertama, memulai menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran: karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4.      Mencari penafsiran dari As-Sunnah: karena ia berfungsi sebagai penjelas Al-Quran.
5.      Apabila penafsiran tidak didapatkan didalam As-Sunnah hendaklah melihat bagaimana pendapat para sahabat. Karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Al-Quran, mereka terlibat langsung ketika Al-Quran diturunkan, dan mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shalih.
6.      Apabila penafsiran tidak ditemukan juga dalam Al-Quran, As-Sunnah, dan pandangan para sahabat. Maka sebagian besar ulama dalam hal ini mengembalikan kepada pendapat tabi’in. Seperti: Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Ikrimah maula(budak) Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin Ajda’, Sa’id bin Musayyib, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, Adh-Dhahak bin Muzahim dan tabi’in lainnya.
7.      Pengetahuan bahasa Arab yang baik.
8.      Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran. Seperti ilmu qiraat, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana cara mengucapkan Al-Quran dan dapat memilih mana yang lebih kuat diantara berbagai ragam bacaan yang diperkenankan, ilmu tauhid –dengan ini diharapkan mufassir tidak mena’wilkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hak dan sifat-sifat Allah secara serampangan sehingga melampaui hak-Nya, mengetahui ilmu ushul terutama Ushul at-Tafsir dan mendalami kaidah-kaidah yang dapat memperjelas suatu makna maksud-maksud Al-Quran, seperti pengetahuan tentang asbab an-Nuzul, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.
9.      Pemahaman yang cermat.
Adab Mufassir :
1.      Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu tergantung pada niat.
2.       Berakhlaq mulia, karena mufassir bagai seorang pendidik.
3.      Taat dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya daripada yang hanya hebat dalam teori dan konsep.
4.      Jujur dan teliti dalam penukilan.
5.      Tawadhu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan satu dinding kokoh yang dapat menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6.      Berjiwa mulia.
7.      Berani menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah menyampaikan kalimat yang haq dihadapan penguasa lalim.
8.      Berpenampilan simpatik yang dapat menjadikan Mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan. Namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.
9.      Bersikap tenang.
10.  Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya.
11.  Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran, seperti memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosa kata, menerangkan struktur kalimat, menjelaskan segi-segi balaghah, dan I’rab yang padanya bergantung penentuan makna. Kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan konteks kehidupan umum yang sedang dialami, kemudian mengambil kesimpulan dan penetapan hukum.

   V.            METODE TAFSIR MENURUT AHLUS SUNNAH
Bahwasannya sumber tafsiran itu ada dua macam:
1.      Tafsir bil Ma’tsur
2.      Tafsir bir Ra’yi
Pertama, Tafsir bil Ma’tsur
            Tafsir yang berdasarkan pada Al-Quran atau riwayat yang shahih. Yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan as-Sunnah, perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat para tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka umumnya menerima dari para sahabat.[17]
Sumber Tafsir bil Ma’tsur:
1.      Al-Quran
Sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat di jelaskan secara terperinci ditempat yang ain terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlak atau umum namun kemudian disusul oleh ayat yang lain yang membatasi atau menkhususkannya. Inilah yang dinamakan Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran. [18]Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya. Misalnya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu . Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.[19]ditafsirkan di ayat yang lain,
 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul...[20][21]

2.      As-Sunnah
Beliaulah pemberi penjelasan Al-Quran. Ketika para sahabat mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka merujuk kepada Nabi.[22]
Dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan ia berkata, “Ketika turun ayat ini,
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
 “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”[23] sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah siapakah di antara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?” beliau menjawab, “Kezaliman disini bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang shaleh(Luqman),
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar.[24]kezaliman disini yang dimaksud adalah syirik.[25]
3.      Perkataan para Sahabat dan Tabi’in
Perkataan Ibnu Mas’ud tentang firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna"[26]  demi Allah itu adalah lagu. Demi Allah yang tidak ada Ilah kecuali Dia. Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Mak-hul, Amr bin Syu’aib dan Ali bin Badzimah.[27]
Hukum Tafsir bil Ma’tsur
            Tafsir bil Ma’tsur adalah metode penafsiran yang harus diikuti dan dijadikan pedoman dalam menafsirkan Al-Quran, karena ia merupakan cara yang paling aman dalam memahami kitab Allah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, tafsir itu ada empat macam yaitu tafsir yang diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka, tafsir yang diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui oleh para ulama’, tafsir yang sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah.
Kedua, Tafsir bir Ra’yi
            Tafsir yang didalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan pun didasarkan pada logikanya semata. Kategori penafsiran seperti ini dalam memahami Al-Quran tidak sesuai dengan ruh syariat yang di dasarkan pada nash-nashnya. Nalar semata yang tidak disertai bukti-bukti akan berakibat pada penyimpangan terhadap kitabullah.
Tafsir bir Ra’yi dibagi menjadi dua:
1.      Tafsir bir Ra’yi al-Mahmud (yang terpuji)
Tafsir yang bersandar dari Al-Quran dan sunnah. Hendaknya ia orang yang ahli dalam bahasa arab, pakar didalam kaedah-kaedahnya. Serta mengetahui kaedah-kaedah syar’i dan ushulnya.
Hukumnya:
      Sebagian ulama’ membolehkan menafsirkan dengan akal yang bersandar kepada bahasa arab dan nash-nash syar’i. Dalilnya:
1.      Firman Allah :
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
      Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quraan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?[28]
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quraan ataukah hati mereka terkunci?[29]
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.[30]
2.      Rasulullah pernah berdo’a untuk Ibnu Abbas. Do’a itu berbunyi:
اللهم فقهه فى الدين وعلمه التأويل
Maksudnya: “Ya Allah, ajarkanlah Ibnu Abbas ini dalam urusan agama. Dan ajarkanlah dia Ta’wil.”
Seandainya cakupan ta’wil hanya mendengar dan menuqil riwayat saja, tentunya pengkhususan do’a di atas untuk Ibnu Abbas tidak bermakna apa-apa. Dengan demikian, maka ta’wil yang dimaksud dalam do’a itu adalah diluar penuqilan, yaitu pemikiran dan ijtihad.
3.      Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya.
Maka dengan hal ini Tafsir bir Ra’yi al-Mahmud boleh digunakan. Ibnu Taimiyah berkata, “Barang siapa yang berbicara tafsir tanpa mengetahui dari segi bahasa dan syar’i, maka dia tidak berdosa”[31]
2.      Tafsir bir Ra’yi al-Madzmum (yang tercela)
Tafsir yang murni dengan pikiran dan hawa nafsu. Tafsir ini tidak bersandar kepada nash-nash syar’i.[32] Dan kebanyakan orang yang melakukan penafsiran demikian adalah ahli bid’ah dan penganut madzhab yang bathil.[33]
Hukumnya:
            Menafsirkan Al-Quran dengan Tafsir bir Ra’yi al-Madzmum tanpa ada dasar yang shahih adalah haram dan tidak boleh dilakukan.[34] Dalilnya:
1.      Firman Allah:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.[35] Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dan berfirman:
وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.[36] Dan berfirman:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”[37]
2.      Dari sunnah:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
 “Barangsiapa berkata tentang Al-Quran menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduknya di dalam neraka.”[38] Dan hadits:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
 “Barangsiapa berkata tentang Al-Quran dengan akalnya walaupun ternyata benar, maka ia telah melakukan kesalahan.”[39]
VI.            KESIMPULAN DAN PENUTUP
Metode penafsiran menurut ahlussunnah yaitu menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan as-Sunnah. Jika tidak ada dari keduanya maka dengan menggunakan ijtihadnya para sahabat dan tabi’in.
Ibnu taimiyah mengatakan ; ketika kita tidak menemukan tafsir (suatu ayat) dalam al-Qur’an, tidak pula dalam as-sunnah, maka kami me-ruju’-nya kepada perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Merekalah orang yang paling mengetahui tentang tafsir, karena mereka menyaksikan (bagaimana) al-Qur’an turun, dan kondisi-kondisi yang mengkhususkan ayat-ayat tersebut, karena itulah mereka memiliki pemahaman yang purna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih.[40]
Jika tidak ada juga maka dengan perkataan para Tabi’in, karena mereka mengambil tafsir dari para sahabat yang mereka menyaksikan turunnya al-Qur’an. Maka mereka orang yang paling mengetahui tafsir daripada orang-orang setelahnya.



DAFTAR PUSTAKA
1.      Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo)
2.      Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah)
3.      DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, Tafsir Ibnu Katsir (Pustaka Imam Syafi’i)
4.      Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (al-Hai`ah al-Mishriyah, 1974)
5.      Dr. Muhammad Sayyid Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1398 H)
6.      Muhammad bin Shalih bin Muhammad al-‘Utsaimin, Syarh Muqaddimah at-Tafsir Ibn Taimiyah, (Riyadh : Dar al-Wathan, 1995)
7.      Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1419 H)
8.      Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, dalam bab Fi Bayani Ahsani Thuruqi at-Tafsir, (Dar al-Wafa`: 2005)



[1] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 323
[2] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 324, Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 7
[3] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 324, Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 7
[4] Indikator adalah sesuatu yang mendapatkan petunjuk atau keterangan
[5] Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 8, Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 324
[6]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 324, Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 8
[7]Qs. An-Nahl: 44
[8] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 334
[9] Al itqan
[10] Tafsir wal mufasirun
[11] Qs. Al-Maidah: 1
[12] Qs. Al-Maidah: 3
[13] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 337, al-itqan
[14] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 338
[15] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 342
[16]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: 329-332
[17] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm:
[18] Ibid, hlm:
[19] Qs. Al-Maidah: 1
[20] Qs. Al-Maidah: 3
[21] Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 74
[22] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm:
[23] Qs. Al-An’am: 82
[24] Qs. Luqman: 13
[25] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm: , Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 76
[26]Qs. Luqman: 6
[27] DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, Tafsir Ibnu Katsir (Pustaka Imam Syafi’i) hlm: 395
[28] Qs. Al-Qamar: 17
[29] Qs. Muhammad: 24
[30] Qs. Shaad: 29
[31] Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 79-80
[32] Ibid, hlm: 80
[33] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm:
[34] Ibid, hlm: , Dr. Fahri Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumi, Buhuts Fii Ushul Tafsir wa Manahijuhu, (Maktabah at-Taubah), hlm: 81
[35] Qs al-Isra’: 36
[36] Qs al-Baqarah: 169
[37] Qs an-Nahl: 44
[38] HR. At-Tirmidzi hadits ini hasan
[39] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulumul Qur’an, (Maktabah Wahbah: Kairo), hlm:
[40] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, dalam bab Fi Bayani Ahsani Thuruqi at-Tafsir, (Dar al-Wafa`: 2005), vol. 13, hlm. 364 

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net